• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

D. Biaya yang Diperhitungkan

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1.Gambaran Lokasi Penelitian

4.1.1. Geografi

Desa Purwasari yang menjadi lokasi penelitian ini terletak di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Menurut data monografi desa, sebelah utara Desa Purwasari berbatasan dengan Desa Petir, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sukajadi, sebelah timur berbatasan dengan Desa Petir, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Situ Daun. Jarak tempuh dari Kecamatan Dramaga ke desa ini sejauh 7 km, serta dari Ibukota Kabupaten dan Ibukota Provinsi Bogor masing-masing sejauh 40 km dan 157 km. Dilihat dari kondisi geografisnya desa ini berada 535 m dari permukaan laut. Berdasarkan data iklimnya, desa ini memiliki curah hujan 2000 mm hingga 2500 mm/tahun dan suhu udara rata-rata 280 C sampai 320 C.

Tabel 2. Luas Wilayah di Desa Purwasari Menurut Penggunaan, Tahun 2010

No Penggunaan Wilayah Luas (ha) Persen (%)

1 2 3 4 5 6 7 8 Pemukiman Persawahan Perkebunan Pekarangan Pemakaman Taman Perkantoran

Prasarana Umum Lain

30,42 158,23 12,28 1,75 1,44 0,10 0,15 8,40 14,41 74,98 5,81 0,83 0,68 0,04 0,07 3,98 Jumlah 211,02 100

Sumber: Buku Monografi Desa Purwasari, 2010

Luas lahan di Desa Purwasari mencapai 211,02 ha yang dimanfaatkan untuk pemukiman, persawahan, perkebunan, pekarangan, taman, pemakaman, perkantoran, serta prasarana umum lainnya. Pada Tabel 2 dapat dilihat persentase luas lahan untuk persawahan sebesar 74,98%, pemukiman sebesar 14,41%, perkebunan sebesar 5,81%, pemakaman sebesar 0,68%, pekarangan sebesar

0,83%, taman sebesar 0,04%, perkantoran sebesar 0.07%, dan sisanya untuk prasarana lainnya sebesar 43,98%. Berdasarkan luas pemanfaatan lahannya, terlihat bahwa Desa purwasari ini memiliki potensi besar di bidang pertanian. 4.1.2. Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat

Jumlah penduduk desa Purwasari secara keseluruhan berjumlah 6.747 jiwa yang terdiri dari 3.474 laki-laki dan 3.273 perempuan. Jumlah kepala keluarga di desa ini adalah 1.791 orang. Dilihat dari angkatan kerja, jumlah penduduk di desa ini yang telah masuk angkatan kerja sebanyak 2.971 orang, masih sekolah dan tidak bekerja sebanyak 2.933 orang, ibu rumah tangga sebanyak 1.228 orang, penduduk bekerja penuh sebanyak 2.520 orang, dan 630 orang bekerja tidak tentu. Mata pencaharian penduduk Desa Purwasari terdiri dari pertanian, peternakan, perikanan, dan kerajinan. Struktur mata pencaharian penduduk di Desa Purwasari dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Struktur Mata Pencaharian Penduduk Desa Purwasari, Tahun 2010 No Struktur Mata Pencaharian Jumlah (orang) Persen (%)

1 2 3 4 Pertanian Peternakan Perikanan Kerajinan 649 13 15 125 80,92 1,62 1,87 15,59 Jumlah 802 100

Sumber: Buku Monografi Desa Purwasari, 2010

Berdasarkan Tabel 3, terlihat bahwa sebagian besar mata pencaharian penduduk Desa Purwasari adalah sebagai petani (80,92%), khususnya petani tanaman padi dengan luas lahan 58,56 ha. Sisanya sebagai pengrajin (15,59%), peternak ikan (1,87%), dan peternak (1,62%). Oleh karena itu, dapat dinyatakan Desa Purwasari merupakan desa pertanian.

4.2. Karakteristik Petani Responden Padi Organik dan Anorganik

Karakteristik petani responden yang akan dibahas dalam penelitian ini baik petani padi organik maupun anorganik meliputi umur petani, status kepemilikan lahan, luas lahan garapan, status usahatani, dan pengalaman usahatani.

4.2.1. Umur Petani

Responden petani padi organik dan anorganik dalam penelitian ini masing-masing berjumlah 15 orang. Berdasarkan hasil wawancara, umur responden petani padi organik mulai dari yang terkecil 25 tahun sampai yang tertua 70 tahun, sedangkan umur responden petani anorganik mulai dari yang terkecil 30 tahun sampai yang tertua 80 tahun. Karakteristik responden berdasarkan umur untuk petani padi organik dan petani padi anorganik dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Karakteristik Responden Petani Padi Organik dan Anorganik Berdasarkan Umur di Desa Purwasari, Tahun 2011

Umur Petani (Th)

Petani Padi Organik Petani Padi Anorganik Jumlah (Orang) Persen (%) Jumlah (Orang) Persen (%) 20 – 30 31 – 40 41 – 50 > 50 2 0 5 8 13,33 53,3 33,33 0,00 0 1 2 12 0,00 6,67 13,33 80,00 Jumlah 15 100 15 100 Sumber: Data Primer diolah (2011)

Petani padi organik dan anorganik sebagian besar berumur lebih dari 50 tahun, hal tersebut dapat terlihat dari Tabel 4 yaitu sebanyak 53,33% responden petani organik berumur lebih dari 50 tahun dan sebanyak 80,00% untuk petani padi anorganik. Pada selang umur 41 sampai 50 tahun, responden petani padi organik sebanyak 33,33% dan petani padi anorganik sebanyak 13,33%. Sisanya hanya petani padi anorganik yang umurnya berada pada selang umur dari 31 sampai 40 tahun yaitu sebanyak 6,67% dan pada selang umur 20 sampai 30 tahun hanya terdapat pada petani organik yaitu sebanyak 13,33%. Dominannya

petani yang berumur lebih dari 50 tahun ,menunjukan bahwa petani padi organik maupun anorganik di Desa Purwasari cukup banyak memiliki ilmu di bidang pertanian.

4.2.2. Status Kepemilikan Lahan

Status kepemilikan lahan oleh petani padi organik maupun anorganik berdasarkan data wawancara menunjukan semua responden petani tersebut merupakan petani pemilik lahan. Lahan pertanian yang dimiliki tersebut didapat secara turun temurun. Sehingga para petani tersebut tidak perlu mengeluarkan biaya sewa lahan.

4.2.3. Luas Lahan Garapan

Luas lahan yang garapan yang dimiliki oleh petani padi organik mulai dari 0,1 ha sampai 1ha. Sedangkan luas lahan garapan yang dimiliki oleh petani padi anorganik mulai dari 0,03 ha sampai 0,5 ha. Karakteristik responden berdasarkan luas garapan baik pada petani padi organik maupun anorganik di Desa Purwasari dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Karakteristik Responden Petani Padi Organik dan Anorganik Berdasarkan Luas Lahan Garapan di Desa Purwasari, Tahun 2011 Luas Lahan

Garapan (ha)

Petani Padi Organik Petani Padi Anorganik

Jumlah (Orang) Persen (%) Jumlah (Orang) Persen (%)

≤ 0,25 > 0,25 8 53,33 7 46,67 10 5 66,67 33,33 Jumlah 15 100 15 100 Sumber: Data Primer diolah (2011)

Berdasarka Tabel 5 diatas terlihat bahwa luas lahan garapan petani padi organik maupun anorganik sebagian besar kurang dari sama dengan 0,25 ha. Pada petani padi organik yang memiliki luas lahan garapan kurang dari sama dengan 0,25ha sebanyak 53,33% dan petani yang memiliki luas lahan lebih dari 0,25 ha sebanyak 46,67%. Petani padi anorganik yang memiliki luas lahan garapan kurang

dari sama dengan 0,25 berjumlah 66,67%, sedangkan yang memiliki luas lahan garapan lebih besar dari 0,25 ha berjumlah 33,33%. Hal tersebut menunjukan bahwa petani padi organik maupun anorganik termasuk golongan petani kecil. 4.2.4. Status Usahatani

Responden petani padi organik dan anorganik dalam penelitian ini sebagian besar menjadikan bertani sebagai pekerjaan pokok. Hal ini terlihat dari Tabel 6 yang menunjukan bahwa 73,33% status usahatani pada petani organik sebagai pekerjaan pokok dan 80,00% status usahatani pada petani padi anorganik adalah sebagai pekerjaan pokok. Sisanya, sebanyak 26,67% dari petani organik dan 20,00% petani padi anorganik menjadikan pekerjaan usahatani padi ini sebagai pekerjaan sampingan.

Tabel 6. Karakteristik Responden Petani Padi Organik dan Anorganik Berdasarkan Status Usahatani, Tahun 2011

Status Usahatani

Petani Padi Organik Petani Padi Anorganik

Jumlah (Orang) Persen (%) Jumlah (Orang) Persen (%) Pokok Sampingan 11 4 73,33 26,67 12 3 80,00 20,00 Jumlah 15 100 15 100 Sumber: Data Primer diolah (2011)

Petani padi organik dan anorganik di lokasi penelitian yang menjadikan bertani sebagai pekerjaan sampingan, pada umumnya selain bertani mereka ada yang menjadi guru, supir angkutan umum, pengrajin kayu, dan pedagang. Banyaknya responden yang pekerjaan pokoknya sebagai petani, mengindikasikan bahwa pekerjaan sebagai petani cukup dapat memenuhi kebutuhan pokok responden.

Lamanya pengalaman usahatani merupakan hal yang sangat mendukung keberhasilan petani. Pada umumnya, semakin lama petani melakukan usahatani, maka ia akan memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi dalam bertani. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani padi organik di Desa Purwasari rata-rata sudah menjalankan usahatani padi organik selama 3 tahun. Pengalaman usahatani tiap responden cukup beragam, hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Karakteristik Responden Petani Padi Organik dan Anorganik

Berdasarkan Pengalaman Usahatani, Tahun 2011 Pengalaman

Usahatani (Th)

Petani Padi Organik Petani Padi Anorganik

Jumlah (Orang) Persen (%) Jumlah (Orang) Persen (%) 0 – 10 11 – 20 > 20 2 3 10 13,33 66,67 20,00 2 4 9 13,33 60,00 26,67 Jumlah 15 100 15 100 Sumber: Data Primer diolah (2011)

Pada Tabel 7, terlihat bahwa sebagian besar petani padi organik dan anorganik memiliki pengalaman usahatani diatas 20 tahun, dengan komposisi 66,67% petani padi organik dan 60,00% petani padi anorganik. Selanjutnya sebanyak 20% petani organik dan 26,67% petani padi anorganik memiliki pengalaman usahatani antara 11 tahun sampai 20 tahun. Serta sisanya sebanyak 13,33% petani padi organik dan anorganik memiliki pengalaman usahatani antara 0 tahun sampai 10 tahun. Banyaknya petani padi organik dan anorganik yang memiliki pengalaman lebih dari 20 tahun, maka hal tersebut menunjukan bahwa petani padi di Desa Purwasari ini memiliki pengetahuan yang banyak dalam bertani padi.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisis Perbandingan Efisiensi Usahatani Padi Organik dan Anorganik Analisis efisiensi yang dilakukan yaitu membandingkan antara penerimaan rata-rata dengan biaya rata-rata pada usahatani padi organik dan usahatani padi anorganik. Perbandingan penerimaan dengan biaya (rasio R/C) ini terdiri dari rasio R/C total yang merupakan rasio antara penerimaan total rata-rata dengan biaya total rata-rata dan rasio R/C tunai yang merupakan rasio antara penerimaan total rata-rata dengan biaya tunai rata-rata.

Pada Tabel 8 diketahui bahwa penerimaan total rata-rata usahatani organik adalah sebesar Rp 10,82 juta, biaya total rata-rata usahatani organik adalah sebesar Rp 1,85 juta, dan biaya tunai rata-rata usahatani organik adalah sebesar Rp 1,81 juta. Berdasarkan nilai tersebut diperoleh R/C rasio total usahatani padi organik adalah sebesar 5,87, artinya setiap Rp 1 dari biaya total yang dikeluarkan oleh petani padi organik akan memberikan penerimaan sebesar Rp 5,87. Kemudian R/C rasio tunai usahatani organik adalah sebesar 5,96, yang berarti bahwa setiap Rp 1 dari biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani organik akan memberikan penerimaan sebesar Rp 5,96. Namun, untuk usahatani padi anorganik penerimaan total rata-rata sebesar Rp 10,48 juta, biaya total rata-rata sebesar Rp 3,05 juta dan biaya tunai rata-rata sebesar Rp 3,02 juta. Berdasarkan nilai tersebut diperoleh R/C rasio total dan tunai usahatani padi anorganik masing-masing sebesar 3,43 dan 3,47, yang berarti bahwa setiap Rp 1 dari biaya total yang dikeluarkan oleh petani padi anorganik akan memberikan penerimaan sebesar Rp 3,43 dan setiap Rp 1 dari biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani padi anorganik akan memberikan penermaan sebesar Rp 3,47.

Tabel 8. Analisis Efisiensi Usahatani Padi Organik dan Anorganik per Hektar pada Musim Tanam September-Desember 2010 di Desa Purwasari

Biaya Usahatani Usahatani Padi Organik

Usahatani Padi Anorganik Nilai (Rp) Nilai (Rp) A.Total Penerimaan B.Biaya Tunai C.Total Biaya

D.R/C atas Biaya Tunai E. R/C atas Biaya Total

10.828.933 1.818.367 1,845.272 5,96 5,87 10.477.902 3.023.861 3.054.064 3,47 3,43

Sumber: Data Primer diolah (2011)

Berdasarkan nilai R/C rasio total dan tunai, kedua usahatani layak atau sudah efisien. Namun penerimaan atas setiap satu rupiah yang dikeluarkan baik dari biaya total maupun tunai usahatani padi organik lebih besar dibandingkan dengan usahatani anorganik, maka dapat dikatakan bahwa usahatani padi organik lebih menguntungkan dan efisien.

5.2. Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Padi Organik dan Anorganik

Pendapatan dari suatu usahatani merupakan selisih antara penerimaan dan biaya dari usahatani tersebut. Analisis perbandingan usahatani yang dilakukan dalam penelitian ini adalah membandingkan antara pendapatan rata-rata usahatani padi organik dengan pendapatan usahatani anorganik. Pendapatan rata-rata usahatani yang dibandingkan terdiri dari pendapatan rata-rata atas biaya tunai dan pendapatan rata-rata atas biaya total. Pendapatan rata-rata atas biaya tunai merupakan selisih antara penerimaan total rata-rata dengan biaya tunai rata-rata. Pendapatan rata-rata atas biaya total merupakan selisih antara penerimaan total rata-rata dengan biaya total rata-rata. Adapun perbandingan pendapatan rata-rata usahatani organik dengan anorganik dapat dilihat pada Tabel 9 berikut.

Tabel 9. Analisis Pendapatan Rata-Rata Usahatani Padi Organik dan Anorganik per Hektar pada Musim Tanam September-Desember 2010 di Desa Purwasari

Biaya Usahatani Usahatani Padi Organik Usahatani Padi Anorganik

Nilai (Rp) Nilai (Rp)

A.Pendapatan atas Biaya Tunai B.Pendapatan Total 9.010.566 8.983.660 7.454.040 7.423.837

Sumber: Data Primer diolah (2011)

Berdasarkan Tabel 9, terlihat bahwa pendapatan total rata-rata usahatani padi organik lebih besar dibandingkan dengan pendapatan total rata-rata usahatani padi anorganik. Pendapatan total rata-rata usahatani padi organik adalah sebesar Rp 8,98 juta, sedangkan pendapatan rata-rata total untuk usahatani padi anorganik adalah sebesar Rp 7,42 juta. Dilihat dari pendapatan rata-rata atas biaya tunai, pendapatan rata-rata atas biaya tunai usahatani organik lebih besar dibandingkan dengan pendapatan rata-rata usahatani anorganik, yaitu masing-masing sebesar Rp 9,01 juta dan Rp 7,45 juta. Perbedaan pendapatan usahatani padi organikdan anorganik ini disebabkan oleh adanya perbedaan penerimaan dan biaya antar kedua usahatani.

Penerimaan total rata-rata usahatani pada penelitian ini terbagi atas penerimaan tunai dan penerimaan yang diperhitungkan. Adanya pembagian penerimaan usahatani ini dikarenakan petani padi organik maupun anorganik tidak menjual hasil produksi secara keseluruhan. Hasil produksi yang dijual oleh petani hanya sebagian kecil saja untuk modal berusahatani kembali, sisanya untuk kebutuhan sehari-hari.Penerimaan total rata-rata usahatani organik adalah sebesar Rp 10,82 juta (Lampiran 1), sedangkan penerimaan total rata-rata usahatani anorganik adalah sebesar Rp 10,48 juta (Lampiran 2). Hal ini berarti penerimaan

total rata-rata organik lebih besar dibandingkan penerimaan total rata-rata usahatani anorganik.

Apabila dilihat dari penerimaan tunai, usahatani padi organik mendapatkan penerimaan tunai rata-rata lebih besar dibandingkan usahatani padi anorganik. Penerimaan tunai rata-rata usahatani padi organik adalah Rp 3,36 juta atau 30,98% dari penerimaan total (Lampiran 1), sedangkan usahatani padi anorganik mendapatkan penerimaan tunai rata-rata sebesar Rp 1,65 juta atau 15,78% dari penerimaan total (Lampiran 2). Namun untuk rata-rata penerimaan yang diperhitungkan usahatani padi anorganik lebih besar dibandingkan rata-rata penerimaan yang diperhitungkan oleh usahatani organik, yaitu masing-masing sebesar Rp 8,82 juta atau 84,22% dari penerimaan total (Lampiran 2) dan Rp 7,47 juta atau 69,02 dari penerimaan total (Lampiran 1). Hal tersebut dikarenakan hasil produksi padi yang dijual oleh petani padi organik lebih besar dibandingkan hasil produksi padi yang dijual oleh petani padi anorganik.

Produksi padi yang dijual oleh petani padi organik maupun anorganik adalah berupa gabah kering. Petani padi organik menjual hasi produksinya rata-rata sebesar 1.493,33 kg dan yang tidak di jual adalah sebesar 3.326,67 kg (Lampiran 1). Sedangkan petani padi anorganik menjual hasil produksi padinya sebesar 813,33 kg dan yang tidak di jual sebesar 4.339,73kg (Lampiran 2). Harga jual gabah kering rata-rata organik dan anorganik untuk penerimaan tunai masing-masing sebesar Rp 2.246 (Lampiran 1) dan Rp 2.033 (Lampiran 2). Sedangkan harga jual gabah kering organik dan anorganik rata-rata untuk penerimaan yang diperhitungkan masing-masing sebesar Rp 2.246 (Lampiran 1) dan Rp 2.033 (Lampiran 2).

Biaya dalam penelitian ini merupakan biaya rata-rata per hektar pada satu musim tanam periode September-Desember 2010. Total biaya yang dikeluarkan petani untuk melakukan usahatani padi terdiri dari biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan atau non tunai. Biaya tunai untuk usahatani padi organik dalam penelitian yang dilakukan terdiri dari biaya sarana produksi (benih, pupuk, pupuk organik cair, sewa alat bajak), biaya tenaga kerja laki-laki dan perempuan, serta pajak lahan. Sedangkan untuk usahatani padi anorganik biaya yang dikeluarkan terdiri dari biaya sarana produksi (benih, pupuk kimia, pestisida kimia, sewa alat bajak), biaya tenaga kerja laki-laki dan perempuan, serta biaya pajak lahan. Selanjutnya, untuk biaya yang diperhitungkan atau non tunai baik petani padi organik maupun anorganik hanya mengeluarkan biaya penyusutan.

Total biaya rata-rata dari usahatani padi anorganik lebih tinggi dari total biaya rata-rata organik, yaitu Rp 3,05 juta (Lampiran 2) untuk usahatani anorganik dan Rp 1,85 juta untuk usahatani organik (Lampiran 1). Tingginya total biaya rata-rata yang dikeluarkan oleh petani anorganik disebabkan oleh biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan untuk usahatani anorganik lebih tinggi, yaitu sebesar Rp 3,02 juta dan Rp 30.203 (Lampiran 2), dibandingkan biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan untuk usahatani organik, yaitu sebesar Rp 1,82 juta dan Rp 26.906 (Lampiran 1).

Dilihat dari biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan baik untuk usahatani padi organik maupun usahatani anorganik, biaya tunai yang dikeluarkan jauh lebih besar dibandingkan biaya yang diperhitungkan. Pada usahatani padi organik, persentase biaya tunai adalah sebesar 98,60% dari biaya total, sedangkan biaya yang diperhitungkan sebesar 1,46% dari biaya total (Lampiran 1). Pada

usahatani padi anorganik, persentase biaya tunai adalah sebesar 99,04% dari biaya total, sedangkan biaya yang diperhitungkan sebesar 0,99% dari biaya total (Lampiran 2). Hal tersebut dikarenakan biaya yang diperhitungkan pada kedua usahatani padi hanya memperhitungkan biaya penyusutan.

Biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan untuk usahatani anorganik lebih besar daripada usahatani organik dikarenakan perbedaan dari komponen biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan antara kedua usahatani. Hal tersebut dimulai dari biaya benih, pada usahatani padi organik biaya benih rata-rata yang dikeluarkan adalah Rp 196 ribu atau 10,63% dari total biaya keseluruhan (Lampiran1). Pada usahatani anorganik, biaya benih rata-rata yang dikeluarkan adalah Rp 352 ribu atau 11,55% dari total biaya keseluruhan (Lampiran 2). Biaya benih usahatani padi anorganik lebih besar karena jumlah benih yang digunakan dan harga benih lebih tinggi dibandingan dengan usahatani organik. Hal tersebut dikarenakan petani organik yang melakukan penanaman bibit satu lubang tanam berisi maksimum 3 bibit padi. Menurut hasil wawancara dengan petani padi organik apabila menanami satu lubang padi dengan jumlah bibit yang sedikit, maka hasil panen yang di dapat lebih baik dibandingkan dengan menanami satu lubang dengan bibit yang lebih banyak. Jumlah benih rata-rata yang digunakan petani padi anorganik adalah 54,00 kg/ha (Lampiran 2) , sedangkan jumlah benih rata-rata yang digunakan petani padi organik adalah 37,73 kg/ha (Lampiran 1). Harga benih rata-rata untuk usahatani padi anorganik adalah Rp 6.533/kg (Lampiran 2), sedangkan harga benih rata-rata untuk usahatani organik adalah Rp 5.200/kg (Lampiran 1). Petani di Desa Purwasari ini rata-rata menggunakan benih padi varietas Inpari 10 dan beberapa menggunakan varietas Inpari 9.

Dilihat dari biaya pupuk, usahatani padi anorganik mengeluarkan biaya lebih banyak daripada biaya pupuk yang dikeluarkan oleh usahatani organik. Hal ini dikarenakan usahatani padi anorganik menggunakan pupuk Urea, TSP, dan Phonska. Sedangkan usahatani padi organik menggunakan pupuk organik (kompos), pupuk organik cair, dan sedikit pupuk urea, namun untuk pupuk organik tidak mengeluarkan biaya karena pupuk tersebut dibuat sendiri oleh petani. Biaya rata-rata untuk pupuk Urea, TSP, dan Phonska masing-masing adalah Rp 526 ribu atau 17,22% , Rp 171 ribu atau 5,61%, dan Rp 25.000 atau 0,82% (Lampiran 2). Biaya rata-rata untuk pupuk Urea dan pupuk organik cair yang digunakan petani padi organik masing-masing sebesar Rp 160 ribu atau 8,69% dan Rp 25.200 atau 1,37% dari total keseluruhan biaya (Lampiran1). Jumlah dan harga rata-rata dari pupuk Urea, TSP, dan Phonska masing-masing adalah 263,00 kg/ha dan Rp 2.000/kg, 79,00 kg/ha dan Rp 2.167/kg, serta 25,00 kg/ha dan Rp1.000/kg (Lampiran 2). Rata-rata penggunaan pupuk organik, Urea dan pupuk organik cair masing-masing adalah 2.869,87 kg/ha, 93,20 kg/ha, dan 1,2 liter/ha (Lampiran 1). Harga pupuk Urea rata-rata yang digunakan petani organik adalah Rp 1.720/kg dan harga pupuk cair organik rata-rata Rp 21.000/liter (Lampiran 1).

Petani padi organik di Desa Purwasari masih menggunakan sedikit pupuk Urea sebagai perangsang pertumbuhan padi di awal. Menurut hasil wawancara dengan responden petani organik, sejak mereka beralih ke pertanian organik, berangsur-angsur mereka mengurangi penggunaan pupuk kimia dan tidak menggunakan pestisida. Pestisida hanya digunakan oleh petani padi anorganik. Pestisida yang digunakan biasanya adalah Matador dan Decis. Biaya rata-rata

yang dikeluarkan untuk pestisida kimia adalah Rp 553/ha dengan rata-rata penggunaan sebanyak 0,05 liter/ha dan harga per liter pestisida adalah Rp 11.067 (Lampiran 2).

Selanjutnya, biaya untuk sewa alat bajak terdiri dari sewa traktor dan sewa kerbau. Petani padi organik hanya mengeluarkan biaya rata-rata untuk sewa traktor, sedangkan petani padi anorganik mengeluarkan biaya rata-rata untuk sewa traktor dan sewa kerbau. Rata-rata petani padi organik menggunakan 1 unit traktor untuk 1 ha, dengan harga sewa rata-rata sebesar Rp 50.000/unit (Lampiran 1). Sedangkan petani padi anorganik rata-rata menggunakan traktor dan kerbau masing-masing sebanyak 1 unit/ha dan 3 ekor/ha (Lampiran 2). Rata-rata harga sewa traktor adalah Rp 50.000 dan untuk rata-rata harga sewa kerbau adalah Rp 70.000 (Lampiran 2). Biaya rata-rata yang dikeluarkan untuk sewa traktor dan kerbau masing-masing adalah Rp 50.000 dan Rp 210 ribu (Lampiran 2). Persentase biaya sewa traktor dari keseluruhan total biaya untuk usahatani padi organik dan anorganik yaitu, 2,71% (Lampiran 1) dan 1,64% (Lampiran 2). Persentase biaya pada sewa kerbau untuk usahatani padi anorganik sebesar 6,88% dari total biaya keseluruhan (Lampiran 2). Tidak semua petani menggunakan traktor dan kerbau untuk membajak sawah Beberapa dari mereka hanya menggunakan cangkul saja. Hal tersebut dikarenakan lahan sawah yang sulit untuk dijangkau oleh traktor dan kerbau.

Biaya selanjutnya adalah biaya tenaga kerja yang terdiri dari tenaga kerja laki-laki dan tenaga kerja perempuan. Upah rata-rata untuk tenaga kerja di Desa Purwasari sebesar Rp 25.000 untuk laki-laki dan Rp 20.000 untuk perempuan. Tenaga kerja dihitung dengan satuan Hari Orang Kerja (HOK). Tenaga kerja di

Desa Purwasari biasanya 1 hari bekerja selama 5 jam, yaitu dari jam 7 pagi sampai jam 12 siang. Pada usahatani padi organik menggunakan tenaga kerja laki-laki sebanyak 32 HOK dan tenaga kerja perempuan sebanyak 26 HOK (Lampiran 1). Sedangkan pada usahatani padi anorganik menggunakan tenaga kerja lebih banyak, yaitu 37 HOK untuk laki-laki dan 34 HOK untuk perempuan (Lampiran 2). Oleh karena itu, biaya tenaga kerja yang dikeluarkan petani padi anorganik lebih besar daripada biaya tenaga kerja yang dikeluarkan petani padi organik. Biaya tenaga kerja yang dikeluarkan petani padi anorganik adalah Rp 925 ribu atau 30,29% untuk tenaga kerja laki-laki dan Rp 680 ribu atau 22,27% untuk tenaga kerja perempuan (Lampiran 2). Sedangkan biaya tenaga kerja yang