• Tidak ada hasil yang ditemukan

G. Pengapsahan Data

3. Gambaran umum masyarakat adat Kajang Ammatoa

Lokasi Penelitian yaitu di “Kawasan Adat Kajang Ammatoa“ yang bertempat di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan yang berada sekitar 250 km dari kota Makassar Kota Provinsi Sulawesi Selatan.

Berdasarkan tempat bermukimannya, suku Kajang Ammatoa terbagi dalam dua kelompok yaitu suku Kajang Luar dan Suku Kajang Dalam. Suku Kajang Dalam meliputi tujuh dusun, di desa yaitu Tanah Toa. Pusat kegiatan komunitas suku Kajang Ammatoa berada di suku Kajang Dalam tempatnya di Dusun Benteng. Wilayah komunitas masyarakat adat kawasan hutan Tanah Toa Kajang Ammatoa tersebut adalah :

a. Kawasan Adat Dalam

Komunitas masyarakat adat Kajang Ammatoa dalam terbagi atas beberapa wilayah administrasi pemerintahan desa, antara lain :

- Sebelah selatan dengan nama Seppa.

- Sebelah Barat dengan nama Doro.

- Sebelah Utara dengan nama Tuli.

- Sebelah Timur dengan nama Limba.

b. Kawasan Adat Luar

- Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Ujung Loe.

- Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Herlang.

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Sinjai.

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Bulukumpa.

c. Kawasan Hutan

Luas kawasan hutan adat Kajang Ammatoa ini adalah 331,17 ha, secara keseluruhan, baik yang termasuk wilayah Kajang Dalam maupun Luar. Dan dari 331,17 ha tersebut, sekitar 90 ha digunakan sebagai lahan pertanian tadah hujan.

Tanaman yang di budidayakan diatas lahan seluas itu cukup beragam, diantaranya padi, jagung, coklat,kopi dan lain lain.

Luas hutan adat Borong Karama’ yaitu ± 115 ha.Luas hutan adat tidak dapat diketahui pasti berapa luasnya, hal itu dikarenakan belum pernahnya diadakan pemetaan. Namun sekianlah menurut mantan Kepala Desa Tanah Toa, (Abdul Kahar Muslim, 13 Agustus 2014).

Suku Kajang Ammatoa adalah salah satu suku yang tinggal jauh dipedalaman Sulawesi Selatan.Secara turun temurun, mereka tinggal diperkampungan Desa Tanah Toa. Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba.

Bagi mereka, daerah itu dianggap sebagai warisan leluhur dan mereka menyebutnya, Tana Toa.

Suku Kajang Ammatoa terbagi dua kelompok masyarakat, yaitu tau ilalang embayya (orang Kajang Dalam) dan tau pantarang embayya (orang Kajang Luar). Orang Kajang Luar hidup dan menetap di tujuhDesa di Kecamatan Kajang. Sementara orang Kajang Dalam hanya tinggal di Dusun Benteng, Desa Tana Toa, di Dusun Benteng inilah, masyarakat adat Kajang dalam dan luar melaksanakan segala bentuk aktivitas yang masih terkait dengan adat istiadat, meskipun masyarakat adat Kajang Ammatoa terbagi menjadi dua kelompok, tapi tidak ada perbedaan diantara keduanya sejak dulu hingga kini, mereka selalu berpegang teguh pada ajaran leluhur. Berdasarkan ajaran leluhur, masyarakat adat Kajang Ammatoa harus selalu menjaga keseimbangan hidup dengan alam dan para leluhur.

Masyarakat adat Kajang Ammatoa tinggal berkalompok dalam suatu area hutan yang luasnya sekitar 50 km. bahasa Konjo yang kental merupakan bahasa suku yang selama ini sebagai media komunikasi antar sesama masyarakat suku Kajang Ammatoa. Mereka menjauhkan diri dari segala bentuk yang berhubungan hal-hal modern kegiatan ekonomi dan pemerintahan Kabupaten Bulukumba, di dalam setiap rumah warga Kajang Ammatoa, tidak ada satupun perabotan rumah tangga tidak ada kursi ataupun kasur mereka juga tidak satupun menggunakan peralatan elektronik, seperti radio dan televisi. Mereka menganggap, modernitas dapat menjauhkan suku Kajang Ammatoa dengan alam dan para leluhur, bagi masyarakat Kajang Ammatoa. Modernitas juga dianggap sebagai pengaruh yang dapat merusak dan menyimpang dari aturan adat istiadat dan ajaran leluhur, mereka sangat tertutup terhadap hal-hal yang baru dan tidak mudah untuk menerima budaya dari luar daerah.

d. Pakaian Adat Masyarakatadat Kajang Ammatoa

Hitam merupakan sebuah warna adat yang kental akan kesakralan dan bila kita memasuki kawasan adat Kajang Ammatoa pakaian kita harus berwarna hitam, karena warna hitam mempunyai makna bagi masyarakat Kajang Ammatoa sebagai bentuk persamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan, karena tidak ada warna hitam yang lebih baik anatara satu dengan yang lainnya, semua hitam adalah sama. Warna hitam menunjukkan kekuatan, kesamaan derajat bagi setiap orang dihadapan sang pencipta.

Kesamaan dalam bentuk wujud lahir, menyikapi keadaan lingkungan, utamanya kelestarian hutan yang harus dijaga keasliannya sebagai sumber

kehidupan. Pakaian hitam ini terdiri dari tope le’leng (sarung hitam) baju le’leng (baju hitam) dan kaum pria menggunakan passapu (penutup kepala) yang ditenun sendiri secara tradisional oleh kaum perempuan masyarakat adat Kajang Ammatoa dengan bahan alami yang diperoleh dari alam dan alat-alat sederhana yang dibuat sendiri yang memamfaatkan hasil alam.

e. Bentuk rumah, pembagian kawasan hutan adat dan fungsinya

Masyarakat Kajang Dalam lebih teguh memegang adat istiadat dan tradisi leluhur nenek moyang mereka dibanding penduduk Kajang Luar yang tinggal diluar perkampungan wilayah kawasan adat Kajang Ammatoa. Rumah adat Suku Kajang Ammatoa bila kita lihat secara fisik tidak jauh berbeda dengan rumah adat masyarakat Bugis Makassar struktur yang tinggi dan masih mempergunakan kekayaan hutan disekitar untuk membuatnya, dalam membuat sebuah rumah, masyarakat Kajang Ammatoa harus mematuhi beberapa aturan adat yang berlaku salah satunya adalah hanya boleh membangun rumah yang terbuat dari kayu.

Rumah tidak boleh terbuat dari batu bata ataupun tanah, bagi mereka, hanya oran mati yang diapit tanah, sementara rumah untuk tempat orang yang masih hidup, jika umah dibuat dari batu bata atau tanah, meskipun penghuni rumah masih hidup, mereka akan dianggap oleh seluruh masyarakat adat Kajang Ammatoa.

Semua rumah warga dibangun dari bahan yang sama bangunan rumahnya terbuat dari kayu sementara atapnya terbuat dari daun pohon sagu, bukan hanya bahan tapi bentuk, ukuran, dan arah rumahnya dibangun juga sama menghadap ke barat, bahkan model dalam rumahnya juga sama. Rumah Adat Kajang Ammatoa

tidak sama seperti rumah pada umunya, karena saat masuk pertama kali, yang dijumpai adalah dapur dan jamban, kemudian ruang tamu.

Rumah tersbut antara dapur dan ruang tamunya tidak bersekat, ini juga merupakan simbol penghormatan dan keterbukaan pada tamu, berarti apapun yang dimakan oleh sang pemilik rumah maka tamu juga berhak memakannya. Konon konsep ini tidak hanya menunjukkan kesederhanaan, mereka juga mengangapnya sebagai simbol keseragaman mereka percaya, jika ada keseragaman maka tidak akan ada konflik dan rasa iri diantara masyarakat suku Kajang Ammatoa.

Rumah panggung yang semuanya menghadap ke barat tertata rapi, khususnya yang berada di dusun Benteng tempat rumah Ammatoa berada, tampak beberapa rumah yang berjajar dari utara ke selatan.

Depan barisan rumah terdapat pagar batu kali setinggi satu meter, persamaan lainnya adalah umumnya mereka hidup dengan bertani dan beternak biasanya mereka menanam padi, palawija, dan sayur-sayuran sedangkan hewan peliharaannya kebanyakan kuda, sapi dan ayam.

Hal unik yang dimiliki masyarakat Kajang Ammatoa yang membedakan dengan masyarakat lainnya adalah sebuah keluarga masyarakat adat Kajang Ammatoa, jika memiliki dua bidang tanah, hanya sebidang tanah yang digarap dan ditanami pada satu musim tanam, sementara sebidang lagi dijadikan tempat penggembalaan ternak hal ini dilakukan bergantian pada dua bidang tanah tersebut, cara ini sebenarnya dilakukan untuk menjaga kesuburan tanah.

Terkait dengan penghormatan atas tanah, hutan yang juga merupakan bagian kawasan adat Kajang Ammatoa, mempunyai arti yang sakral bagi

masyarakat kawasan adat Kajang Ammatoa terbagi menjadi tiga bagian, kawasan yang pertama adalah hutan rakyat yang luasnya sekitar 98 ha kawasan ini digarap bersama dan hasilnya dinikmati bersama pula, kawasan kedua disebut hutan kemasyarakatan seluas 144 ha, hutan di lokasi ini boleh digarap dengan syarat terlebih dahulu menanam bibit pohon pengganti sebelum sebuah pohon ditebang dan kawasan yang ketiga adalah hutan adat atau hutan pusaka seluas 317 ha yang hanya boleh digunakan untuk kegiatan ritual pemilihan Ammatoa pada saat pergantian kepemimpinan.

Bagi masyarakat adat Kajang Ammatoa, mematahkan ranting saja haram hukumnya dan yang melanggar akan dikenai sanksi berat, misalnya dikeluarkan dari komunitas adat Kajang Ammatoa atau diyakini akan mendapat malapetaka karena melanggar pesan leluhur.

f. Ammatoa dan Proses Pemilihan Ammatoa

Menurut kepercayaan masyarakat adat Kajang Ammatoa, orang yang pertama kali hidup dan bermukim di tanah adat tersebut dikenal dengan nama Ammatoa, ketua adat suku Kajang Ammatoa. Bagi masyarakat adat Kajang Ammatoa, Ammatoa dianggap sebagai orang suci. Merupakan pedoman hidup warga suku Kajang Ammatoa yang tinggal dikawasan adat Kajang Ammatoa, dalam memilih pemimpin adat mereka kepercayaan ini membuat seorang pemimpin adat yang kerap disebut Ammatoa sebagai orang suci.

Ammtoa sangat di hormati dan dipercaya, terutama untuk menjaga Pasang ri Kajang. Kepercayaan yang terpenting adalah menjaga kelestarian hutan, karena hutan merupakan jiwa dan kehidupan warga Kajang Ammatoa.

Menjadi seorang Ammatoa membutuhkan pengorbanan besar rakyat percaya bahwa sang Ammatoa adalah orang terakhir yang merasakan kemakmuran bila penduduk Tana Toa mengalami kemakmuran, namun menjadi orang pertama yang akan merasakan kemiskinan, menjadi seorang Ammatoa tidak mudah karena jabatan ini berlaku seumur hidup, pengangkatannya melalui beberapa ritual adat pemilihan Ammatoa dapat dikatakan cukup mistis, upacara adatnya disebut panganro. Saat penduduk memilih beberapa calon untuk menjadi Ammatoa , para calon tadi berjalan masuk ke hutan, tidak seorangpun yang hingga saat ini tahu apa yang terjadi didalam hutan dan hanya calon yang terpilihlah yang mampu masuk ke dalam hutan dan kembali dengan selamat.

Masyarakat percaya bahwa Ammatoa dipilih sendiri oleh turie’ a’ra’na atau Tuhan sendiri, lalu diberikan kemampuan untuk menjaga kelestarian hutan dan berkomunikasi dengan para leluhur penjaga hutan, apabila Ammatoa meninggal (bahasa Kajang: a’ linrung), maka seorang pejabat adat baru akan ditunjuk untuk memimpin selama 3 tahun, setelah itu seorang Ammatoa baru dapat dipilih oleh warga. Dibawah kepemimpinan Ammatoa dan kelima pemuka adat, kebiasaan-kebiasaan leluhur tetap dijalankan. Justru dengan kebiasaan ini swasembada segala faktor kehidupan dapat terus berjalan.

Kebiasaan yang harus dijalankan oleh seorang wanita adalah kewajiban seorang wanita membuat pakaian untuk anggota keluarganya. Masyarakat Kajang Ammatoa juga diwajibkan untuk menghormati tanah leluhur salah satunya, hutan.

Mereka menganggap hutan sebagai ibu oleh masyarakat Kajang Ammatoa, ibu dianggap sebagai orang yang selalu dihormati sebagai wujud penghormatan,

mereka wajib menjaga dan memelihara hutan. Jika ada warga menebang hutan secara liar, ia akan dikenakan sanksi adat. Karena mereka percaya, menebang hutan secara liar akan membuat tu rie’ a’ra’na (tuhan) murka. Kemurkaan-Nya akan membawa kutukan bagi masyarakat Kajang Ammatoa. Kutukan itu dapat berupa penyakit bagi orang yang menebang hutan mereka juga percaya, kutukan itu juga dapat berupa musibah atau bencana bagi Tana Toa dan seluruh masyarakat yang hihup didalamnya (Sultan, 10 Agustus 2014).

g. Ritual Upacara Adat Kajang Ammatoa

Selain percaya terhadap adat Kajang Ammatoa, suku Kajang Ammatoa juga memiliki kepercayaan agama, namanya ajaran Sallang Patuntung (Islam).

Dalam bahasa konjo, patuntung berarti mencari sumber kebenaran. Berdasarkan ajaran patuntung, jika manusia ingin mencari kebenaran harus menjalankan tiga pilar hidup, pertama menghormati tu rie’ a’ra’na yaitu tuhan., kedua masyarakat Kajang Ammatoa juga harus menghormati tanah yang di berikan Tuhan, dan yang ketiga yaitu menghormati nenek moyang.

Kepercayaan dan penghormatan terhadap Tuhan merupakan keyakinan yang paling mendasar dalam ajaran agama patuntung mereka percaya tu rie’ a’ra’

na adalah tuhan yang maha kekal, Maha mengetahui, Maha perkasa dan Maha perkasa. Mereka meyakini, tu rie’ a’ra’na menurunkan perintah kepada orang pertama.

Dalam ajaran agama patuntung, suku Kajang Ammatoa juga diwajibkan menghormati nenek moyang atau para leluhur begitu hormatnya, setiap tahun mereka mengadakan ritual upacara adat untuk berkomunikasi dengan para leluhur

mereka menyebutnya a’battasa jera’ (ritual bersih kubur). Dikalangan masyarakat suku Kajang Ammatoa, ritual bersih kubur memiliki arti penting mereka menganggap ritual ini sebagai wujud komunikasi masayarakat Kajang Ammatoa dengan leluhur begitu pentingnya, setiap keturunan Kajang Ammatoa harus hadir ketika ritual ini dilaksanakan bahkan meskipun telah tinggal diluar Tana Toa, dia harus datang untuk menjalin kembali komunikasi dengan nenek moyang.

Setiap tahun, ritual bersih kubur selalu dilaksanakan pada tanggal 24 bulan ramadhan dalam hijriah ketiak hari ritual telah tiba, semua masyarakat Kajang Ammatoa berkumpul di makam Bohe Tomi di Tana Toa, makam ini merupakan makam Ammatoa pertama suku Kajang Ammatoa. Riual membakar kemenyan dan berdoa di makam selalu menjadi yang terpenting, dalam ritual ini kemenyan menjadi simbol bahwa restu dari leluhur selalu menyertai kehidupan masyarakat Kajang Ammatoa, sementara doa menjadi simbol penghormatan kepada roh leluhur. Ketika ritual bersih kubur dilaksanakan, mereka juga selalu memberikan sesaji berupa sirih pinang sesaji itu dipersembahkan sebagai bentuk persembahan kepada leluhur sebagai penutup acara, mereka juga mengadakan acara makan bersama dirumah ketua adat acara makan bersama dilaksnakan pada malam hari, makan bersama menjadi tanda bahwa seluruh rangkaian ritual telah usai dilaksanakan bukan hanya itu, makan bersama juga menjadi simbol bahwa hingga kini, masyarakat Kajang Ammatoa tetap melaksanakan pesan leluhur yang berasal dari Pasang ri Kajang sebagai sumber tuntunan hidup masyarakat adat Kajang Ammatoa.

h. Tugas dan kewajiban masyarakat adat Kajang Ammatoa

Turun-temurun, masyarakat suku Kajang Ammatoa di Tana Toa tetap menjalankan ajaran patuntung, aturan adat Kajang Ammatoa juga selalu mengikat setiap aktifitas kehidupan mereka, ajaran dan aturan itulah yang membuat mereka selalu hidup sederhana, kesederhanaan menjadi wujud kebersamaan dan kebersamaan itulah yang membuat suku Kajang Ammatoa selalu hidup rukun dan berdampingan.

Di Tana Toa, masyarakat Kajang Ammatoa tidak hanya diwajibkan untuk patuh terhadap ajaran patuntung dan Ammatoa. Mereka juga wajib untuk menghormati kaum perempuan posisi perempuan di dalam adat sangat dihormati salah satu contoh adalah apabila disebuah sumur ada perempuan, maka kaum laki-laki tidak boleh mendekati sumur itu sebelum kaum wanita itu selesai mandi atau menyelesaikan hajatnya dan mengambil air untuk pulang, baru laki-laki boleh kesana apabila tidak dipatuhi maka akan ada denda sebagai pelanggaran asusila sebab terdapat pantangan, laki-laki tidak boleh mendekati seorang wanita di sumur hukumannya itu bisa sampai mengancam nyawa laki-laki tersebut.

Membuat pakaian merupakan syarat bagi seorang wanita untuk dapat melangsungkan pernikahan sehingga dalam kehidupannya, wanita tanpa keahlian membuat pakaian tidak dapat menikah pembuatan pakaian ini dilakukan secara tradisional mulai dari pembuatan benang, proses pewarnaan hingga menenungnya menjadi selembar kain dan memasak, sedangkan kaum pria diwajibkan untuk bekerja di ladang dan membuat perlengkapan rumah dari bahan kayu, keahlian

membuat perlengkapan dari kayu ini juga merupakan kewajiban bagi kaum pria untuk berumah tangga.

B. Pola Relasi Komunitas Adat Kajang Ammatoa Dengan Pemerintah Desa