• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hutan adat yang berada didalam kawasan adat Kajang Ammatoa ini sama dengan hutan pada umumnya, namun bagi masyarakat adat Kajang Ammatoa yang tinggal didalamnya menganggap bahwa terdapat sesuatu hal yang bersifat gaib didalamnya sehingga disakralkan dan dijaga kelestariannya. Hutan ini digunakan untuk mengadakan upacara adat tertentu, di Indonesia ada banyak hutan adat yang menjadi tempat tinggal oleh suku-suku tertentu dan telah diakui keberadaannya oleh negara, diantaranya komunitas masyarakat adat Kajang Ammatoa.

Masyarakat adat Kajang Ammatoa adalah sebuah komunitas masyarakat adat yang hampir sama dengan masyarakat lainnya dimana komunitas adat tentu memiliki struktur pemerintahan adat tersendiri yang dipimpin oleh ketua adat

yang dituakan oleh masyarakat adat Kajang Ammatoa yang disebut dengan nama Bohe’ Ammatoa.

Bohe’ Ammatoa berasal dari tiga kata yang berasal dari bahasa konjo atau bahasa asli masyarakat adat Kajang Ammatoa yaitu bohe’, Amma, dan toa, dimana Bohe’ berarti kakek atau orang yang dituakan, Amma berarti bapak atau ayah, dan toa yang berarti tua, jadi dapat disimpulkan bahwa Bohe’ Ammatoa adalah orang yang dihormati atau orang yang dituakan. Masyarakat adat Kajang Ammatoa sangata menghormati Ammatoa karena bagi masyarakat adat Kajang Ammatoa percaya bahwa segala perkataan dan perbuatan Ammatoa adalah suri tauladan terbaik dalam mejalani hidup didalam kawasan adat Kajang Ammatoa dan sesuai dengan Pasang ri Kajang (Pesan di Kajang).

Masyarakat adat Kajang Ammatoa mempercayai bahwa hutan adat Kajang Ammatoa adalah daratan yang pertama kali muncul di bumi saat Ammatoa yang pertama hidup di bumi dan menjadikan hutan sebagai tempat tinggalnya, karena itulah hutan dianggap sakral dan sebagai sumber kehidupan oleh manusia.

Komunitas masyarakat adat Kajang Ammatoa memberikan nama terhadap kawasan hutan adat yaitu dengan sebutan hutan Tombolo yang diyakini sebagai daratan yang pertama kali muncul di bumi berbentuk seperti tempurung kelapa karena itulah hutan adat Kajang Ammatoa dinamak hutan Tombolo (Jumadong, 21 Juli 2014). Masyarakat adat Kajang Ammatoa membagi kawasan utan adat atas tiga bagian yaitu: (1) Borong Karama’a (hutan keramat) yaitu kawasan hutan yang terlarang untuk senua jenis kegiatan, terkecuali kegiatan acara-acara ritual dan upacara adat masyarakat adat Kajang Ammatoa, (2) Borong Battasayya

(hutan perbartasan) merupakan hutan yang diperbolehkan diambil kayunya sepanjang persediaan kayu masih ada dengan izin dari Ammatoa sebagai ketua adat. (3) Borong Luarayya (hutan luas) merupakan hutan yang bisa dikelola oleh masyarakat dan dimanfaatkan sesuai kebutuhannya.

Kawasan hutan seluas 710 ha diakui masyarakat adat Kajang Ammatoa sebagai kawasan hutan adat. Kawasan ini terdiri dari Borong Karama’a (hutan keramat) seluas ±331 ha, dan berada di wilayah desa Tana Toa hutan ini merupakan hutan inti adat yang dilindungi. Serta hutan produksi yang terdiri dari Borong Battasayya (hutan perbartasan) dan Borong Luarayya (hutan luas) seluas

±381 ha, hutan ini diperbolehkan diambil isinya dan dikelolah sepanjang masih banyak persediaan di dalamnya (Sultan, 22 Juli 2014). Hutan inti adat atau Borong Karama’a sama sekali tidak boleh diambil baik yang tegolong jenis kayu dan bukan jenis kayu maupun satwa yang ada didalamnya kecuali kayu yang telah mati atau sudah roboh yang dimanfaatkan hanya khusus untuk upacara adat saja.

Masyarakat adat Kajang Ammatoa dipimpin oleh Ammatoa dan dibantu oleh suatu lembaga pemerintahan adat yang disebut dengan Ada’ Limayya (adat lima) dan Karaeng Tallua (pemerintah tiga). Kelima orang tersebut bergelar Galla’ dan Gallrrang, dimana tiga diantaranya mempunyai wilayah daerah kawasan atau kekuasaan dan juga berungsi sebagai kepala desa. Berdasarkan Pasang ri Kajang (Pesan di Kajang) masyarakat adat Kajang Ammatoa dibatasi oleh empat aliran sungai sebagai batas alam yang berhulu di kawasan hutan keramat, masyarakat yang bermukim dan bertempat tinggal disekitar bagian dalam aliran sungai dikenal dengan ilalang embayya ri tana tau kamase-masea,

dan juga sebaliknya masyarakat yang bermukim dan bertempat tinggal disisi luar aliran sungai tersebut dikenal dengan sebutan ipantarang embayya ri tana tau kuasayya. (Kamaming, 1 Agustua 2014).

Sungai tersebut merupakan sumber mata air yang dimanfaatkan untuk mengairi lahan persawahan mereka yang membentang luas pada semua bagian sisi hutan adat Kajang Ammatoa. Kelestaria hutan di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba tidak lepas dari payung hukum adat yang selama ini dihormati dan dijunjung tinggi oleh masyarakat adat yakni Pasang ri Kajang. Kearifan lokal masyarakat adat Kajang Ammatoa dalam mengelola sumber daya alamnya memang diartikulasikan melalui media-media tradisional seperti mitos, ritual, dan pesan-pesan leluhur, tetapi sesungguhnya mengandung pengetahuan ekologis, yaitu sistem pengetahuan mengenai fungsi hutan sebagai penyeimbang ekosistem, masyarakat adat Kajang Ammatoa dalam mengelola hutan tidak terlepas dari kepercayaannya terhadap Pasang ri Kajang. Masyarakat adat Kajang Ammatoa memahami bahwa dunia diciptakan oleh tau rie’ a’ra’na (Tuhan Maha Pencipta) beserta isinya harus selalu dijaga keseimbangannya terutama hutan karena itulah hutan harus dipelihara dengan baik dan mendapat perlakuan khusus bagi penghuninya serta tidak boleh merusaknya, salah satu Pasang ri Kajang yang berbunyi “injo boronga anre nakkulle nipanraki, punna nupanraki boronga nupanraki kalennu” (hutan tidak boleh dirusak, jika engkau merusaknya maka sama halnya kamu merusk diri kamu sendiri). Selain itu, kita juga bisa melihat Pasang ri Kajang lainnya yang berbunyi ”injo nattahang boronga ka pasang,

rettoppi tanayya rettoi ada’ a” (hutan bisa terlestariakn karena dijaga oleh pesan, kalau bumi hancur maka adat juga hancur)(Sirajuddin, 2000:41-42).

Hutan tidak akan pernah lepas dari kehidupan sosial masyarakat, karena hutan merupakan sebuah konstruksi sosial, terdapat hubungan keterkaitan antara hutan dengan masyarakat, kesalahan dalam pengelolaan hutan salah satunya adalah karena banyak pihak yang berkecimpung dalam bidang kehutanan namun hanya memahami hutan sebagai sumber daya alam yang bernilai ekonomi namun lupa dengan keseimbangan ekosistem lingkungan jika hutan dieksploitasi maka masyarakat sekitar hutan akan mengalami suatu bencana (Moeliono, 2011:53).

Masyarakat adat Kajang Ammatoa menanamkan rasa kepemilikan yang besar bagi masyarakat adat yang tinggal didalam kawasan adat terhadap hutan karena ketergantungan masyarakat adat Kajang Ammatoa terhadap hutan masih kuat dan sikap tata kelola yang arif membuat hutan dapat tumbuh berdampingan secara lestari dengan masyarakat yang merupakan bukti dari fungsi Pasang ri Kajang yang terbangun dari masyarakat terhadap kelestarian hutan (Hasanuddin, 2007:36)

Pengelolaan hutan oleh masyarakat adat Kajang Ammatoa bukanlah hal yang asing lagi hal ini ditunjukkan dengan banyaknya kehidupan masyarakat disekitar hutan dan kebutuhan masyarakat adat Kajang Ammatoa dari hutan dalam berbagai hal antara lain pemenuhan kebutuhan hidup dan upacara adat.

Masyarakat adat didefinisikan sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul di wilayah geografis tertentu, serta memiliki nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, dan wilayah tertentu (Suryadi, 2013:23).

Masyarakat adat Kajang Ammatoa tinggal disekitar atau didalam hutan, mereka lebih banyak manggantungkan hidupnya dari kegiatan bertani, meramu, mengelola hutan, serta bercocok tanam sehingga rasa memiliki mereka atas hutan sangat tinggi karena keberlangsungan hidup mereka sangat ditentukan dengan keberadaan hutan, berbagai kearifan lokal mereka terapkan untuk mengelola dan menjaga kelestarian hutan yang menjadi satu-satunya sumber penghidupan bagi mereka. Pembagian kawasan hutan dan sanksi adat atas pelanggaran pengelolaan hutan adat menjadi salah satu bentuk upaya melestariakan hutan yang diwariskan oleh leluhur mereka yang membagi wilayah hutan menjadi tiga bagian yaitu:

1. Borong Karamaka (Hutan Keramat), yaitu kawasan hutan yang terlarang untuk semua jenis kegiatan, terkecuali kegiatan atau acara-acara ritual, tidak boleh ada penebangan, pengukuran luas, penanaman pohon, ataupun kunjungan selain pengecualian di atas, termasuk larangan mengganggu flora dan fauna yang terdapat di dalamnya. Adanya keyakinan bahwa hutan ini adalah tempat kediaman leluhur (pammantanganna tau riolonta), menjadikan hutan ini begitu dilindungi oleh masyarakatnya. Diungkapkan secara jelas dalam sebuah pasang, yaitu:

Talakullei nisambei kajua, iyato’ minjo kaju timboa, talakullei nitambai nanikurangi borong karama’a, kasipalli tauwa a’lamung-lamung ri boronga, nasaba’ se’re hattu la rie’ tau angngakui bate lamunna.(Tidak bisa diganti kayunya, kayu itu saja yang tumbuh hutan keramat itu tidak bisa ditambah atau dikurangi, orang dilarang menanam di dalam hutan sebab suatu waktu akan ada orang yang mengakui bekas tanamannya).

Hutan keramat ini adalah hutan primer yang tidak pernah diganggu oleh komunitas adat Kajang Ammatoa. Pelanggaran berat dalam hutan keramat itu, antara lain: Ta’bang Kaju (menebang kayu), Rao Doang (mengambil udang), Tatta’ Uhe (mengambil rotan), dan Tunu Bani (membakar lebah). Ada dua jenis hutan adat (Borong Karama’) yang terdapat di dalam kawasan ini antara lain Borong Ilau’ dan Borong Iraja. Dan hanya orang-orang tertentu saja yang boleh memasuki kawasan hutan adat tersebut konon katanya, hutan tersebut dikelilingi mantra sakti. Oleh karena itu, barang siapa yang memasuki hutan tersebut dengan niat buruk maka dia akan mendapatkan ganjaran yang setimpal. Bahkan apabila pelakunya adalah warga adat Kajang Ammatoa sendiri, maka akan disidang dan diberi sanksi sesuai pelanggarannya bisa saja orang tersebut tidak diperbolehkan lagi untuk tinggal di kawasan adat Kajang Ammatoa, dan apabila terjadi pelanggaran di dalam hutan keramat, pelanggaran terhadap ketentuan adat ini akan dijatuhi sanksi adat, dalam bentuk pangkal cambuk atau denda uang dalam jumlah tertentu, sesuai dengan Ada’ Tanayya, sebuah sistem peradilan adat Kajang Ammatoa. Mereka juga memiliki lembaga adat yang disebut dengan Tau Limayya (lembaga pemerintah beranggotakan lima orang), dipimpin oleh seseorang yang bergelar Ammatoa, yang tugas utamanya mengatur penebangan pohon, pengambilan rotan, dan pemanenan lebah madu di hutan adat, serta penangkapan udang. Pelaku akan dikenakan sanksi yang disebut poko’ ba’bala atau sanksi atas pelanggaran berat merupakan sanksi yang tertinggi nilai dendanya, yaitu sampulon anrua

reala atau ruanmpulo ngappa’ ohang, ditambah dengan segulung kaci (kain kapan) dan kayu yang diambil dari hutan keramat harus dikembalikan

2. Borong Batasayya (Hutan Perbatasan) merupakan hutan yang diperbolehkan diambil kayunya sepanjang persediaan kayu masih ada dan dengan seizin dari Ammatoa selaku pemimpin adat, jadi keputusan akhir bisa tidaknya masyarakat mengambil kayu di hutan ini tergantung dari Ammatoa, kayu yang ada dalam hutan inipun hanya diperbolehkan untuk membangun sarana umum, dan bagi komunitas adat Kajang Ammatoa yang tidak mampu membangun rumah selain dari tujuan itu, tidak akan diizinkan hanya beberapa jenis kayu yang boleh ditebang, yaitu kayu asa, nyatoh dan pangi. Jumlahnya yang diminta harus sesuai dengan kebutuhannya. Sehingga tidak jarang, kayu yang diminta akan dikurangi oleh Ammatoa. Kemudian ukuran kayunya ditentukan oleh Ammatoa sendiri syarat yang paling utama adalah ketika ingin menebang pohon, maka pertama-tama orang yang bersangkutan wajib menanam pohon sebagai penggantinya kalau pohon itu sudah tumbuh dengan baik, maka penebangan pohon baru bisa dilakukan, penebangan 1 jenis pohon, maka seseorang harus menanam 2 pohon yang sejenis di lokasi yang telah ditentukan oleh Ammatoa penebangan pohon itu memakai alat tradisional berupa kapak atau parang.

Kayu yang ditebang harus dikeluarkan dari hutan dengan cara digotong atau dipanggul dan tidak boleh ditarik karena akan merusak tumbuhan lain yang berada di sekitarnya pelanggaran di dalam kawasan hutan perbatasan ini, seperti menebang tanpa seizin Ammatoa atau menebang kayu lebih dari yang diperkenankan akan dikenai sanksi, sanksinya dikenal dengan istilah Tangnga

Ba’bala sanksi ini mendenda pelakunya sebesar karua reala atau sampulong rua ohang ditambah dengan satu gulung kaci (kain kapan). Selain itu, dikenal juga sanksi ringan Cappa’ Ba’bala yang dikenakan atas pelanggaran ringan, seperti kelalaian yang menyebabkan kayu dalam kawasan hutan mengalami kerusakan/tumbang untuk pelanggaran ini dikenakan sanksi berupa denda sebesar Appa’ reala atau karua ohang, ditambah satu gulung kaci (kain putih) sanksi terakhir ini dapat juga dijatuhkan kepada orang yang menebang pohon dari kebun warga masyarakat Kajang Ammatoa, yang selanjutnya mengenai hal ini akan dijelaskan pada bagian di bawah ini.

3. Borong Luara (Hutan Rakyat) merupakan hutan yang bisa dikelola oleh masyarakat meskipun kebanyakan hutan jenis ini dikuasai oleh rakyat, aturan-aturan adat mengenai pengelolaan hutan di kawasan ini masih berlaku tidak diperbolehkan adanya kesewenang-wenangan memanfaatkan hutan rakyat ini selain sanksi berupa denda, seperti yang telah dijelaskan di atas, juga terdapat sanksi berupa hukuman adat, hukum adat sangat mempengaruhi kelestarian hutan karena ia berupa sanksi sosial yang dianggap oleh komunitas adat Kajang Ammatoa lebih berat dari sanksi denda yang diterima. Sanksi sosial itu berupa pengucilan dan lebih menakutkan lagi karena pengucilan ini akan berlaku juga bagi seluruh keluarga sampai generasi ke tujuh namun sanksi ini merupakan bagian dari poko’ ba’bala. Selain kepercayaanya, faktor yang berpengaruh untuk menjaga keseimbangan sumber daya hutan adalah utuhnya pandangan mereka terhadap asal mula leluhurnya bahwa manusia berkembang dimulai dari Ammatoa pertama sebagai Tomanurung dan dunia meluas dimulai

dari hutan Tombolo (Tana Toa), dimana manusia pertama itu adalah Ammatoa yang turun dari langit ke bumi di hutan Tombolo. Itulah keyakinan mereka terhadap leluhurnya yang hingga saat ini masih melekat dipikiran dan hati sanubari warga masyarakat adat Kajang Ammatoa.

Pemahaman masyarakat Kajang Ammatoa terhadap sumber daya hutan sendiri dilandasi oleh prinsip hidup tallasa kamase-masea (kesederhanaan) dan ajaran Pasang ri Kajang sebagai suatu nilai yang dipegang teguh oleh masyrakat adat Kajang Ammatoa meyakini, merawat hutan merupakan bagian dari ajaran Pasang ri Kajang, karena hutan memiliki kekuatan gaib yang dapat mensejahterakan sekaligus mendatangkan bencana manakala tidak dijaga kelestariannya. Dengan berdasarkan Pasang ri Kajang tersebut, masyarakat adat Kajang Ammatoa menjadi bukti betapa kuatnya kearifan lokal masyarakat adat Kajang Ammatoa dalam pengelolaan hutan. Dengan Pasang inilah semua bentuk pemanfaatan dan pengelolaan hutan dan pelestarian hutan, dengan pasang inilah semua bentuk pemanfaatan dan pengelolaan hutan diatur dengan jelas mulai dari tata cara penebangan pohon sampai dengan pemberian sanksi, ini juga termasuk sebagai alat pengawasan serta kontrol atas semua aktivitas yang berhubungan dengan hutan yang ada didalam kawasan adat Kajang Ammatoa.

Hukum adat sebagai sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial bermasyarakat, hukum adat adalah hukum asli masyarakat adat Kajang Ammatoa sumbernya adalah aturan-aturan hukum yang tersirat dari leluhur mereka yang dipertahankan dengan kesadaran hukum mesyarakatnya selain itu dikenal juga masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang

terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.

Masyarakat adat Kajang Ammatoa juga mengenal hukum negara, namun hukum negara yang bertentangan dengan hukum adat tidak diterapkan dalam lingkungan masyarakat adat Kajang Ammatoa, karena dianggap akan merubah struktur budaya dan adat istiadat yang telah lama keberadaannya dan harus tetap dijaga, dan sebaliknya hukum negara yang sama sekali tidak bertentangan dengan hukum adat itu bisa digunakan sebagai aturan pendukung yang memperkuat posisi hukum adat, bagi masyarakat adat Kajang Ammatoa hukum adat adalah aturan yang terbaik untuk menjalankan kehidupan dalam kawasan masyarakat adat Kajang Ammatoa yaitu tallasa kamase-masea yang berdasarkan kearifan lokal.

Hukum adat yang berlaku didalam lingkungan kawasan masyarakat adat Kajang Ammatoa lebih dikenal dengan sebutan Pasang ri Kajang. Pasang ini berfungsi menjadi pedoman dan aturan hidup yang berlaku dalam hidup masyarakat adat Kajang Ammatoa merupakan hukum tersirat yang diwariskan oleh leluhurya. Pemerintah adat dan pemerintah formal mampu bertahan dan bisa berjalan secara berdampingan dalam kehidupan masyarakat adat Kajang Ammatoa sampai saat ini karena sebuah bentuk relasi atau kerja sama antara pemerintahan adat dan pemerintahan formal, dalam bentuk pengangkatan dan pemberian gelar dalam struktur pemerintahan adat bagi yang menjabat sebagai kepala desa di Tana Toa dengan gelar Galla’ Lombo’ dengan syarat penduduk asli desa Tana Toa.

Galla’ Lombo’ dalam struktur pemerintahan adat memiliki tugas menerima tamu dan mengutus utusan untuk mengikuti pertemuan baik di tingkat daerah maupun provinsi, ini juga sebagai sebuah wadah untuk menjalin kerja sama antara pemerintah adat Kajang Ammatoa dengan pemerintah formal terkhusus bagi masyarakat adat Kajang Ammatoa, bentuk lain dari relasi atau kerja sama pemerintah formal atau pemerintah desa dengan pemerintah adat ialah jika kebijakan pemerintah formal yang akan diterapkan di wilayah pemerintahan adat Kajang Ammatoa, perangkat pemerintahan adat terlebih dahulu diajak bermuswarah oleh pemerintah formal atau pemerintah daerah dengan kepala desa sebagai mediator penghubung dan dimintai pendapat apakah mengenai kebijakn tersebut bisa diterapkan atau tidak didalam kawasan adat Kajang Ammatoa sehingga tidak bertolak belakang dengan hukum adat atau aturan Pasang yang berlaku di Kajang Ammatoa, dengan kata lain selama pola kerja sama dan relasi yang seperti ini tetap dipertahankan maka keputusan yang saling tumpang tindih antara pemerintah adat dan pemerintah formal tidak akan pernah terjadi.

Pasang ri Kajang yang merupakan hukum adat yang mendominasi hukum formal atau hukum negara bagi kehidupan masyarakat adat Kajang Ammatoa Pasang ri Kajang (hukum adat) lebih detail dan menyentuh segala aktivitas kehidupan masyarakat adat Kajang Ammatoa hingga aspek yang terkecil dibandingkan dengan hukum negara yang hanya mengatur sebagian kecil dan secara umum aktivitas kehidupan yang dilakukan oleh masyarakat adat Kajang Ammatoa.