• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA RELASI KOMUNITAS ADAT KAJANG AMMATOA DENGAN PEMERINTAH DESA DALAM PELESTARIAN HUTAN ADAT DI DESA TANAH TOA KECEMATAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "POLA RELASI KOMUNITAS ADAT KAJANG AMMATOA DENGAN PEMERINTAH DESA DALAM PELESTARIAN HUTAN ADAT DI DESA TANAH TOA KECEMATAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

i

HENRY WINARTO Nomor Stambuk : 10564 00986 10

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2015

(2)

ii Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Pemerintahan

Disusun dan Diajukan Oleh : Henry Winarto

Nomor Stambuk : 10564 00986 10

Kepada

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2015

(3)
(4)
(5)

v

Nama : Henry Winarto

Nomor Stambuk : 10564 00986 10

Program Studi : Ilmu Pemerintahan

Menyatakan bahwa benar karya ilmiah ini adalah penelitian saya sendiri tanpa bantuan dari pihak lain atau telah ditulis / dipublikasikan orang lain atau melakukan plagiat. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik sesuai aturan yang berlaku, sekalipun itu pencabutan gelar akademik.

Makassar, 30 Juni 2014 Yang menyatakan,

Henry Winarto

(6)

vi dan Muhammad Tahir).

Komunitas adat Kajang Ammatoa adalah suku yang tinggal jauh di pedalaman Desa Tana Toa Kecamatan Kajang hidup sederhana dan jauh dari pengaruh modern segala kebutuhan hidup masyarakatnya diambil dari hasil alam tanpa harus merusaknya dengan memanfaatkan hasil alam secara berlebihan mereka menjaga hutan adat tetap terlestarikan sebagai sebuah peninggalan yang sangat berharga bagi keturunannya kelak,

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana kerja sama dan peran pemerintah Desa Tana Toa dan pemerintah adat Kajang Ammatoa dalam pelestarian hutan adat Kajang Ammatoa juga untuk mengetahui bagaimana upaya pemerintah adat Kajang Ammatoa dalam pemberdayaan masyarakat adat Kajang Ammatoa. Metode penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang memperoleh data dari hasil wawancara dengan beberapa orang narasumber yang tahu persis keadaan lokasi penelitian.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam hal kerja sama yang dilakukan antara pemerintah adat Kajang Ammatoa dengan pemerintah Desa Tana Toa adalah dengan mengangkat Kepala Desa Tana Toa menjadi Galla' Lombo' yang merupakan sebuah jabatan dalam struktur pemerintahan kelembagaan adat Kajang Ammatoa.

KataKunci : Reiasi, pelestarian hutan Adat Ammatoa

(7)

vii

yang berjudul "Pola Relasi Komunitas Adat Kajang Ammatoa Dengan Pemerintah Desa Dalam Pelestarian Hutan Adat Di Desa Tana Toa Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba"

Skripsi ini merupakan tugas akhir yang diajukan untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar sarjana Ilmu Pemerintahan Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan dan dorongan dari berbagai pihak . Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Drs. H. Parakkasi Tjaija, M.Si selaku pembimbing I dan bapak Drs.

Muhammad Tahir, M.Si selaku pembimbing II yang senantiasa meluangkan waktunya membimbing dan mengarahkan penulis, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

2. Bapak Drs. H. Muhlis Madani, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar

3. Bapak A. luhur Prianto, S.IP., M.Si selaku ketua jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar 4. Kedua orang tua saya Bapak Syafaruddin, dan Ibu Ramlah serta segenap keluarga dan sahabat saya yang senantiasa memberikan semangat dan bantuan, baik moril maupun materil

(8)

viii

Makassar, 14 Mei 2014

Henry Winarto

(9)

ix

Halaman Pernyataan Keaslian Karya Ilmiah ... iv

Abstrak ... v

Kata Pengantar ... vi

Daftar Isi... viii

BAB I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ...1

2. Rumusan Masalah ...6

3. Tujuan Penelitian ...6

4. Kegunaan Penelitian...7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 1. Pemerintah Desa...8

1. Tipe Pemerintah Desa ...13

2. Komunitas Adat Kajang Ammatoa ...14

3. Pola Relasi...20

4. Pelestarian HutanAdat...22

5. Kerangka Pikir ...34

6. Fokus Penelitian...35

7. Deskripsi Fokus Penelitian...36

BAB III. METODE PENELITIAN 1. Waktu dsan lokasi Penelitian ... 37

2. Jenis dan Tipe Penelitian... 37

3. Sumber Data...38

4. Informan Penelitian...39

5. Teknik Pengumpulan Data...40

6. Teknik Analisis Data... 41

7. Pengabsahan Data ...41

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Deskripsi atau Karakteristik Obyek Penelitian ...43

2. Pola Relasi Komunitas Adat Kajang Ammatoa dengan Pemerintah Desa Tana Toa dalam Melestarikan Hutan Adat ...56

BAB VI. PENUTUP 1. Kesimpulan ...71

2. Saran...73

DAFTAR PUSTAKA ...75

(10)

1

Indonesia adalah sebuah negara yang terdiri dari gugusan pulau-pulau besar maupun pulau-pulau yang berukuran kecil dan terbentang mulai dari Sabang sampai Marauke, Indonesia terdiri atas tiga bagian wilayah dan waktu yaitu : Indonesia barat, Indonesia tengah, dan waktu Indonesia timur, kita juga mengetahui bahwa di Indonesia memiliki 3 (tiga) wilayah pembagian waktu saja, namun di Indonesia ada banyak suku, budaya, adat istiadat, dan bahasa, sesuai dengan semboyan negara Indonesia yaitu bhineka tunggal ika yang berarti berbeda-beda tapi satu.

Perbedaan suku dan bahasa tidaklah menjadi masalah dalam tanah air, negara republik Indonesia untuk menjaga dan mempertahankan keutuhan juga kesatuan NKRI, ada beberapa suku di Indonesia yang sudah dikenal luas oleh masyarakat dalam negeri atau bahkan sampai ke luar negeri misalnya Sunda yang terkenal hingga kemanca negara karena alat musik tradisionalnya yaitu angklung, Papua yang terkenal karena ciri khas pakaian tradisional suku dan tariannya dan banyak lagi suku yang lainnya. Walaupun telah banyak suku dan komunitas adat di Indonesia yang telah dikenal luas di dalam maupun di luar negeri, namun masih banyak juga suku atau komunitas adat yang belum diketahui keberadaannya oleh masyarakat Indonesia sendiri atau dengan kata lain belum pernah terjamah oleh para wisatawan. Padahal setiap suku atau komunitas adat, tentu masing-masing memiliki keunikan dan daya tarik wisatawan tersendiri yang berbeda dari yang

(11)

lainnya. Misalnya di provinsi Sulawesi Selatan masyarakat luar mungkin hanya mengenal suku dan adat istiadat Bugis Makassar saja, namun sebenarnya masih banyak komunitas adat lainnya yang berbeda perilaku, pakaian, dan bahasa, contohnya masyarakat komunitas adat Kajang Ammatoa atau Kajang Le’leng yang bermukim di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba masyarakat Kajang Ammatoa ini idientik dengan pakaian yang berwarna serba hitam, dengan menggukan passapu (penutup kepala) terkhusus bagi lelaki, baju, dan tope le’ leng (sarung hitam) bagi laki-laki dan perempuan yang semuanya itu dibuat sendiri dengan cara yang tradisional. Setiap suku dan komunitas adat masing-masing memilki aturan dan hukum adat yang berlaku dalam lingkungannya, sebab itulah hukum adat pada umumnya sangat dihormati dan dipegang teguh oleh masyarakat adat karena hukum adat bermula dari silsila keturunan yang diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang mereka. Ada beberapa bentuk hak adat atas tanah seperti, hak milik yang diperoleh dengan membuka lahan sendiri atau diwariskan oleh keturunannya, hak atas tanah tempat budidaya, tempat berburu, hak atas tanah hutan yang tidak boleh dibuka karena terdapat hal-hal gaib dan sakral. Didalam sebuah kawasan adat pasti memiliki struktur pemerintahan adat tersendiri yang didalam pembentukannya sama sekali tidak ada campur tangan dari pihak luar atau bahkan pemerintah sekalipun.

Namun dalam kehidupan sehari-hari tentu saja pemerintah adat dan pemerintah harus menjalin kerja sama dalam hal penyelesaian masalah-masalah yang ada dan yang timbul didalam lingkungan masyarakat adat, karena selain kawasan adat

(12)

adalah wilayah pemerintahan adat, kawasan adat juga termasuk sebagai wilayah pemerintahan desa setempat.

Masyarakat Kajang Ammatoa adalah sebuah kelompok masyarakat adat yang bertempat tinggal dan bermukim di dalam kawasan adat Kajang Ammatoa, namun kawasan adat Kajang Ammatoa juga termasuk dalam wilayah pemerintahan desa Tana Toa. Tapi seperti yang kita ketahui bahwa masyarakat adat lebih mematuhi aturan adat dibanding aturan pemerintah atau perundang- undangan yang berlaku.

Masyarakat adat Kajang Ammatoa adalah masyarakat adat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kearifan lokal hidup berdampingan baik antara manusia dengan manusia, maupun manusia dengan alam sekitar tempat tinggalnya berserta dengan isinya. Masyarakat adat Kajang Ammatoa beranggapan bahwa alam adalah suatu subyek yang paling penting dalam kelangsungan hidup manusia, dan juga menganggap bahwa alam adalah sebuah warisan nenek moyang secara turun-temurun yang tidak ternilai harganya dan harus dijaga kelestariannya agar kelak anak cucu keturunan masyarakat adat Kajang Ammatoa masih bisa melihat dan merasakan warisan nenek moyang mereka yang tidak ternilai harganya. Masyarakat adat Kajang Ammatoa beranggapan jika alam dijaga kelestariannya dan tidak dirusak semaunya maka alam pun akan memberikan dampak positif bagi manusia, dalam hal pertanian tanaman produksi akan melimpah hasilnya dan juga sebaliknya. Masyarakat adat Kajang Ammatoa menganut paham Tau Kamase-Masea yang artinya hidup sederhana (Mallaha, 21 Juli 2014). Masyarakat adat Kajang Ammatoa

(13)

beranggapan bahwa dunia adalah kehidupan yang hanya sementara dan akhirat adalah kehidupan yang selamanya-lamaya. Jadi kebahagiaan dunia menurut masyarakat adat Kajang Ammatoa hanyalah cukup sebatas memiliki rumah kecil yang cukup untuk beristirahat dan tempat tidur anggota keluarga, memiliki bahan pokok makanan yang cukup untuk keluarga yang didapat dari hasil bertani dan alam, memiliki hewan ternak sebagai pembantu dalam proses bertani dan juga sebagai tabungan jika ada keperluan mendadak. Sesuai adat Kajang Ammatoa yang diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat ada aturan yang berlaku yang harus dipatuhi dan jika dilanggar akan mendapatkan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan yang diberikan oleh ketua adat yang disebut Bohe’

Ammatoa dan aturan-aturan yang ada di Kajang Ammatoa lebih dikenal dengan sebutan Pasang ri Kajang (pesan di Kajang) yang berfungsi sebagai aturan, selain itu juga berfungsi sebagai pedoman dan pandangan hidup manusia yang terkhusus bagi masyarakat Kajang Ammatoa yang diwariskan dari nenek moyang secara turun-temurun yang disampaikan secara lisan dan tersirat bersamaan dengan sejak pertama kali manusia hadir dan hidup di bumi (Jumadong, 21 Juli 2014).

Tradisi komunitas adat Kajang Ammatoa masih manjaga warisan nenek moyang mereka yang dianggap sangat berharga, bagi anak cucu keturunan masyarakat adat Kajang Ammatoa diantaranya adalah budaya, keyakinan, dan hutan. Sampai pada hari ini dan selamanya hingga dunia ini sudah tidak ada lagi atau berakhir masyarakat adat Kajang Ammatoa berkewjiban untuk menjaga kelestariannya, dan harus tetap diwariskan kepada anak cucu keturunan masyarakat adat Kajang Ammatoa kelak hingga akhir zaman. Kajang Ammatoa

(14)

memiliki nilai kearifan budaya yang diaplikasikan dalam pengelolaan kawasan hutan. Kajang Ammatoa membagi ke dalam tiga (3) bagian untuk pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Pembagian kawasan ini dikenal dengan sebutan yaitu : Borong Karamaka (hutan keramat), Borong Batasayya (Hutan Perbatasan), Borong Luara’ (hutan luas atau hutan rakyat).

Kawasan adat Kajang Ammatoa secara adnimistratif berada didalam daerah pemerintah daerah Kabupaten Bulukumba, dengan demikian segala kebijakan pemerintah daerah juga berlaku dalam kawasan adat Kajang Ammatoa, yang memperkenankan untuk individu atau kelompok untuk mengambil dan memanfaatkan hasil hutan untuk kegiatan industri yang berskala besar atau berskala kecil. Sedangkan kebijakan ini tentu saja ditolak oleh masyarakat adat Kajang Ammatoa untuk mengekploitasi hutan adat yang ada didalam wilayah masyarakat adat Kajang Ammatoa karena keberadaannya yang harus dilestarikan dan tetap dijaga keberadaannya, karena didalam Pasang ri Kajang sebagai sumber hukum dan aturan yang berlaku didalam kawasan adat Kajang Ammatoa disebutkan bahwa:

Talakullei nisambei kajua, iyato’ minjo kaju timboa, talakullei nitambai nanikurangi borong karamaka. kasipalli tauwa a’lamung-lamung ri boronga, nasaba’ se’re hattu la rie’ tau angngakui bate lamunna. (tidak bisa diganti kayunya, kayu itu saja yang tumbuh hutan keramat itu tidak bisa ditambah atau dikurangi orang dilarang menanam di dalam hutan sebab suatu waktu akan ada orang yang mengakui bekas tanamannya).

(15)

Pasang diatas menjadi landasan aturan dalam menjaga kelangsungan dan kelestarian hutan adat beserta seluruh isinya agar tidak dirusak dan dieksploitasi agar kelestariannya tetap terjaga dan bisa terus diwariskan kepada keturunan masyarakat adat Kajang Ammatoa hingga akhir zaman tanpa ada perubahan sedikitpun sejak diwariskan dari nenek moyang leluhur mereka.

B. Rumusan Masalah

Memperhatikan luasnya cakupan masalah yang akan diteliti mengenai

“Pola Relasi Komunitas Adat Kajang Ammatoa Dengan Pemerintah Desa Dalam Pelestarian Hutan Adat di Desa Tana Toa Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba“ maka penulis membatasinya pada masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kerja sama yang dilakukan pemerintah adat Kajang Ammatoa dengan pemerintah Desa Tana Toa dalam pelestarian hutan adat Kajang Ammatoa?

2. Bagaimana peran pemerintah Desa Tana Toa dan pemerintah adat Kajang Ammatoa dalam pelestarian hutan adat Kajang Ammatoa?

3. Bagaimana upaya pemerintah adat Kajang Ammatoa dalam pemberdayaan masyarakat adat Kajang Ammatoa?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui tujuan penelitian dengan berdasarkan perumusan masalah yang telah disampaikan diatas, maka penelitian ini memiliki tujuan antara lain :

1. Mengetahui peran pemerintah Desa Tana Toa dan pemerintah adat Kajang Ammatoa dalam pelestarian hutan adat Kajang Ammatoa.

(16)

2. Mengetahui kerja sama yang dilakukan pemerintah adat Kajang Ammatoa dengan pemerintah Desa Tana Toa dalam pelestarian hutan adat Kajang Ammatoa.

3. Mengetahui upaya pemerintah adat Kajang Ammatoa dalam pemberdayaan masyarakat adat Kajang Ammatoa.

D. Kegunaan Penelitian

Keguanaan yang bisa diambil dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis

a. Bagi peneliti, menambah wawasan dalam pengembangan ilmu pemerintahan khususnya teori-teori yang dikembangkan dalam penelitian ini.

b. Bagi peneliti, untuk menambah wawasan mengenai teori dan bentuk pola relasi pemerintahan adat dan pemerintahan formal.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak sebagai bahan pemikiran untuk memperbaiki pola relasi antara pemerintah formal dan pemerintah adat.

b. Untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan studi strata satu pada jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar.

(17)

8

Kesatuan masyarakat termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan republik Indonesia (Widjaja, 2002 : 19). Keadaan pemerintahan desa sekarang ini adalah sebagai warisan dari undang-undang lama yang pernah ada untuk mengatur desa, yaitu IGO yang berlaku di Jawa dan Madura. Perturan peundang-undangan tersebut tidak mengatur pemerintahan desa secara seragam dan kurang memberikan dorongan kepada masyarakatnya untuk tumbuh menuju kearah kemajuan yang dinamis. Sejarah perjalanan tata pemerintahan desa selama ini berubah-ubah seiring dengan dinamika kondisi dan situasi politik nasional.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 kurang memberikan kebebasan Daerah/Desa untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (Dwi, 2014 : 24). Kenyataannya dengan berbagai Undang-Undang Pemerintahan, desa diperlemah karena diambil beberapa penghasilannya dan hak ulayahnya. Undang- Undang tentang Pemerintahan Desa ternyata melemahkan atau menghapuskan banyak unsur-unsur demokrasi demi keseragaman bentuk dan susunan pemerintahan desa (Widjaja, 2012 : 32). Demokrasi tidak lebih hanya sekedar masih menjadi impian dan slogan dalam retorika untuk pelipur lara.

Masyarakat desa tidak dapat memberdayakan dirinya sendiri dan bahkan semakin lama semakin lemah dan tidak berdaya. Keadaan seperti ini tidak dapat

(18)

dibiarkan begitu saja. Roda berputar, zaman berubah, orde baru berlalu, era reformasi bergulir, aspirasi masyarakat pun mengalir.

Untuk menyonsong kehidupan yang lebih baik dan yang dilandasi demokrasi, perlu disusun dan diatur kembali kehodupan tata pemerintahaan Daerah/Desa sesuai dengan tuntutan zaman dan aspirasi masyarakat. Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan : “ Pembagian daerah Indonesia atas derah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul yang bersifat istimewa”. Dalam wilayah Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbestuuren de landschappen dan volksgemeenschappen seperti desa di Jawa dan Madura, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya (Hilman, 1992 : 46). Daerah- daerah tersebut mempunyai susunan asli. Oleh karenanya, dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Sifat istimewa yang melekat ini bisa merupakan hak-hak asal-usul atau melekat pada daerahnya. Menurut asal-usulnya, daerah adalah suatu locale rechts gemeenschappen maka jadi otonom. Desa secara yuridis menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 bukan daerah otonom dan bukan pula daerah adnimistratif (Widjaja, 2003 : 61).

Indonesia akan dibagi daerah provinsi (bersifat adnimistratif) dan daerah propinsi akan dibagipula dalam daerah yang lebih kecil dan mengarahkan kepada penyeragaman yaitu pemerintahan desa yang diseragamkan (Djamali, 1993 : 78).

Penyeragaman ini dimaksudkan untuk memperkuat pemerintahan desa agar mampu menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan,

(19)

menyelenggarakan adnimistrasi desa yang lebih efektif dan efisien serta memberikan dorongan perkembangan dan pembangunan masyarakat desa. Dalam kenyataannya, dengan berbagai peraturan dan ketentuan, masyarakat desa bukan diberdayakan (empowerment) akan tetapi lebih dibudidayakan atau diperlemah, karena diambil berbagai sumber penghasilannya dan hak ulayahnya sebagai masyarakat tradisional seperti Lebak Lebung, lahan pertanian serta sumber- sumber penghasilan lainnya seperti pemasukan pajak retribusi (Koesnoe, 2009 : 35). Menggerakkan masyarakat atas dasar mobilitas bukan partisipasi.

Menyelenggarakan adnimistrasi desa yang tidak tersedia sumber daya manusia yang cakap dan terampil sehingga terkesan tidak berfungsi dan kurang peranannya. Pembangunan desa tidak mengindahkan adat setempat dan dianggap sebagai proyek pemerintah. Desa adalah bentuk pemerintahan terkecil yang ada di negeri ini. Luas wilayah desa biasanya tidak terlalu luas dan dihuni oleh sejumlah keluarga. Mayoritas penduduknya bekerja di bidang agraris dan tingkat pendidikannya cenderung rendah. Jumlah penduduknya tidak begitu banyak, maka biasanya hubungan kekerabatan antara masyarakatnya terjalin kuat. Para masyarakatnya juga masih percaya dan memegang teguh adat dan tradisi yang ditinggalkan para leluhur mereka. (Awaliayah, 2013 : 61).

Menurut Sutardjo Kartodikusumo desa adalah suatu kesatuan hukum di mana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Desa dalam pengertian umum adalah sebagai suatu gejala yang bersifat universal, terdapat dimana pun di dunia ini, sebagai suatu komunitas kecil, yang terikat pada lokalitas tertentu baik sebagai tempat tinggal (secara

(20)

menetap) maupun bagi pemenuhan kebutuhannya, dan yang terutama yang tergantung pada sektor pertanian (Widjaja, 2012 : 19).

Pengertian Desa secara umum lebih sering dikaitkan dengan pertanian.

Misalnya, Egon E. Bergel mendefinisikan desa sebagai “setiap pemukiman para petani. Sebenarnya, faktor pertanian bukanlah ciri yang harus melekat pada setiap desa. Ciri utama yang terlekat pada setiap desa adalah fungsinya sebagai tempat tinggal (menetap) dari suatu kelompok masyarakat yang relatif kecil (Suhartono, 2000 : 29).

Sementara itu Koentjaraningrat memberikan pengertian tentang desa melalui pemilahan pengertian komunitas dalam dua jenis, yaitu komunitas besar (seperti: kota, negara bagian, negara) dan komunitas kecil (seperti: band, desa, rukun tetangga dan sebagainya). Dalam hal ini Koentjaraningrat mendefinisikan desa sebagai “komunitas kecil yang menetap tetap di suatu tempat”.

Koentjaraningrat tidak memberikan penegasan bahwa komunitas desa secara khusus tergantung pada sektor pertanian. Dengan kata lain artinya bahwa masyarakat desa sebagai sebuah komunitas kecil itu dapat saja memiliki cirri - ciri aktivitas ekonomi yang beragam, tidak di sektor pertanian saja. Selanjutnya, menurut Paul H. Landis, seorang sarjana sosiologi perdesaan dari Amerika Serikat, mengemukakan definisi tentang desa dengan cara membuat tiga pemilahan berdasarkan pada tujuan analisis. Untuk tujuan analisis statistik, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya kurang dari 2500 orang. Untuk tujuan analisa sosial-psikologi, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya memiliki hubungan yang akrab dan serba informal

(21)

di antara sesama warganya. Sedangkan untuk tujuan analisa ekonomi, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya tergantung kepada pertanian (Subianto, 12 agustus 2014).

Desa-desa asli yang telah ada sejak zaman dahulu kala memiliki hak dan wewenang untuk menyelenggarakan rumah tangganya sendiri yang disebut dengan hak otonomi. Desa yang memiliki hak otonomi disebut desa otonom.

Otonomi Desa berdasarkan hukum adat (asli indonesia) dan pada hakekatnya bertumbuh di dalam masyarakat (Widjaja, 2012 : 19).

Desa juga dapat diartikan sebagai suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan republik Indonesia (Taliziduhu, 2001 : 19 ).

Menurut P.J. Bournen desa adalah salah satu bentuk kuno dari kehidupan bersama sebanyak beberapa ribu orang, hampir semuanya saling mengenal, kebanyakan yang termasuk didalamnya hidup dari pertanian, perikanan, dan usaha-usaha yang dapat dipengaruhi oleh hukum dan kehendak alam lainnya; dan dalam tempat tinggal itu terdapat banyak ikatan-ikatan keluarga yang rapat, ketaatan, dan kaidah-kaidah sosial.(Purnama, 10 Oktober 2012).

1. Tipe Pemerintahan Desa

Berdasarkan sejarah pertumbuhan desa ada empat tipe desa di Indonesia sejak awal pertumbuhannya sampai sekarang yaitu :

(22)

a. Desa adat (self-governing community). Desa adat merupakan bentuk desa asli dan tertua di Indonesia. Konsep “ otonomi asli “ merujuk pada pengertian desa adat ini. Desa adat mengatur dan mengelola dirinya sendiri dengan kekayaan yang dimiliki tanpa campur tangan negara. Desa adat tidak menjalankan tugas- tugas adnimistratif yang diberikan negara. Desa adat inilah yang kemudian diakui keberadaannya dalam IGO, IGOB dan Desa-Ordonnanntie.

b. Desa adnimistrasi (locale state government) adalah desa yang merupakan suatu wilayah adnimistrasi, yaitu satuan pemerintahan terendah untuk memberikan pelayanan adnimistrasi dari pemerintah pusat. Desa adnimistrasi dibentuk oleh negara dan merupakan kepanjangan negara untuk menjalankan tugas-tugas adnimistrasi yang diberikan negara. Desa adnimistrasi secara substansial tidak mempunyai otonomi dan demokrasi. Desa adnimistrasi semacam ini meskipun diberi hak otonomi. Desa yang benar-benar sebagai desa adnimistrasi adalah semua desa yang berubah menjadi kelurahan.

c. Desa otonom sebagai locale self-government. Desa otonom adalah desa yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dengan undang-undang. Desa otonom mempunyai kewenangan yang jelas karena diatur dalam undang-undang pembentukannya. Oleh karena itu, desa otonom mempunyai kewenangan penuh mengatur dan mengurus urusan rumah tanggannya sendiri. Desa otonom mendapat transfer kewenangan yang jelas dari pemerintah pusat, berhak membentuk lembaga pemerintahan sendiri, mempunyai badan pembuat kebijakan desa, berwenang membuat peraturan desa dan juga memperoleh desentralisasi keuangan dari negara.

(23)

d. Desa campuran (adat dan semiotonom), yaitu tipe desa yang mempunyai kewenangan campuran antara otonomi asli dan semi otonomi formal. Disebut campuran karena otonomi aslinya diakui oleh undang-undang dan juga diberi penyerahan kewenangan dari kabupaten/kota. Disebut semiotonom karena model penyerahan urusan pemerintahan dari daerah otonom kepada satuan pemerintahan di bawahnya ini tidak dikenal dalam teori desentralisasi. Menurut teori desentralisasi atau otonomi daerah, penyerahan urusan pemerintahan hanya dari pemerintah pusat. (Nurcholis, 2011 : 65-66).

B. Komunitas Adat Kajang Ammatoa

Menurut defenisi yang diberikan UN Economic and Sosial Council masyarakat adat atau tradisional adalah suku-suku atau bangsa yang, karena mempunyai kelanjutan historis dengan masyarakat sebelum masuknya penjajah di wilayahnya, menganggap dirinya berbeda dengan kelompok masyarakat lain yang hidup di wilayah mereka. (Keraf, 2010 : 361).

Pandangan dasar dari kongres I Masyarakat Adat Nusantara tahun 1999 menyatakan bahwa masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun-temurun diatas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, serta kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat. Secara sederhana dikatakan bahwa masyarakat adat terikat oleh hukum adat, keturunan dan tempat tinggalnya. (Sulkarnain, 2010 : 211).

Ciri yang membedakan masyarakat adat dengan kelompok ,asyaraat lainnya adalah mereka mendiami tanah-tanah milik nenek moyangnya baik secara

(24)

keseluruhan atau sebagian, mempunyai garis keturunan yang sama yang menyangkut agama, sistem, suku, pakaian, tarian, cara hidup sehari-hari, termasuk cara mencari nafkah, mempunyai bahasa tradisional sendiri dan biasanya hidup terpisah dengan kelompok masyarakat lain juga menolak atau berhati-hatiterhadap hal-hal baru yang berasal dari luar komunitasnya. (Ningrat, 2004 : 54).

Sifat-sifat dan ciri-ciri umum yang dimiliki masyarakat adat tradisional adalah hubungan atau ikatan masyarakat desa dengan tanah sangat erat, sikap hidup dan tingkah laku yamg magis religius, adanya kehidupan gotong royong, memegang erat tradisi, menghormati sesepuh, kepercayaan pada pimpinan lokal dan tradisional, organisasi kemasyarakatan yang relatif statis, tingginya nilai-nilai sosial. (Suhandi 2002 : 63)

Masyarakat yang hidup dalam suatu wilayah komunitas adat biasanya memiliki aturan yang telah ditetapkan oleh leluhurnya dan dijaga kelestariannya yang menjadi aturan atau tuntunan masyarakat suatu komunitas adat tertentu dalam menjalani kehidupan sehari-hari sebagai pola perilaku manusia yang terdiri dari interaksi sosial yang memiliki struktur dalam suatu kerangka nilai yang relevan. Dengan mematuhi aturan yang telah ditetapkan oleh leluhurnya, yang diyakini sebagai tuntunan hidup yang terbaik dan benar bagi masyarakat komunitas adat tertentu dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat sehari-hari.

Komunitas adat Kajang Ammatoa adalah sekelompok masyarakat adat yang tinggal disebuah pedalaman yang terletak di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Komunitas adat Kajang Ammatoa hampir sama dengan masyarakat adat pada umumnya yang ada

(25)

di daerah lain, namun masyarakat adat Kajang Ammatoa melmiliki keunikan yang nampak jika dilihat dan diperhatikan, masyarakat yang hidup di kawasan adat Kajang Ammatoa tergolong masyarakat yang masih primitif karena masyarakat adat Kajang Ammatoa sangat menolak perubahan zaman masyarakat adat Kajang Ammatoa menolak gaya hidup modern yang dianngap akan merusak tatanan hidup masyarakat adat yang tinggal didalamnya dan akan membawa bencana, karena Pasang ri Kajang melarang segala bentuk perubahan yang terjadi didalam kawasan adat, karena masyarakat adat Kajang Ammatoa meyakini konsep hidup Tau Kamase-Masea adalah konsep hidup yang terbaik yang diwariskan dari leluhurnya yang harus dijaga keberadaannya karena jika dilanggar dan terjadi perubahan akan ada bencana besar yang terjadi didalam kawasan adat karena masyarakat adat Kajang Ammatoa masih mempercayai hal-hal yang gaib dan sakral. Sejak dulu sampai sekarang dan seterusnya tetap hidup sederhana dan primitf tidak terpengaruh dengan perkembangan zaman, sehingga didalam kawasan adat kajang ammatoa dilarang memasukkan aliran listrik, jalan yang beraspal atau beton, juga alat transportasi modern. Selain itu masyarakat adat Kajang Ammatoa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kesederhanaan, dan kesetaraan.

Seluruh masyarakat adat yang tinggal di dalam kawasan adat Kajang Ammatoa menggunakan pakaian adat yang sama model dan warnanya, karena pakaian adat yang digunakan merupakan hasil tenunan tradisional yang dibuat oleh para wanita dirumah disaat para lelaki pergi bekerja di sawah dan ladang, pakaian masyarakat adat Kajang Ammatoa terdiri dari tope le’leng (sarung hitam)

(26)

dan baju le’leng (baju hitam) bagi laki-laki dan perempuan, terkhusus laki-laki juga menggunakan passapu (kain tenunan yang berfungsi sebagai penetup kepala hampir sama dengan kain surban) juga rumah panggung masyarakat adat Kajang Ammatoa memiliki model dan ukuran yang sama dan terbuat dari kayu.

Masyarakat adat Kajang Ammatoa memiliki struktur kelembagaan adat atau pemerintahan adat yang menjadi pemimpin adat bertugas untuk menjaga kelestarian adat istiadat dan budaya yang diwariskan dari leluhurnya sebagai tuntunan hidup bagi masyarakat adat yang tinggal di dalam kawasan adat Kajang Ammatoa sebagai tuntunan hidup dalam menjalankan kehidupan sehari-hari guna mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan kehidupan di akhirat kelak, masyarakat adat Kajang Ammatoa memiliki pemimpin adat atau ketua adat yang disebut oleh masyarakat adat sebagai Bohe’ Amma, ketua adat bertugas sebagai pemberi keadilan terhadap masyarakat yang bersengketa di dalam kawasan adat Kajang Ammatoa dan keputusannya adalah keputusan yang mutlak tidak dapat diganggu gugat atau ditawar-tawar, karena diyakini oleh masyarakat adat Kajang Ammatoa sebagai pemberi keputusan yang paling adil bagi permasalahan yang timbul didalam kawasan adat karena merupakan penyambung lidah dari leluhur mereka.

Pemimpin adat Kajang Ammatoa dalam menjalankan tugasnya sebagai ketua adat yang mengawasi masyarakat adat dalam menjalankan aturan-aturan adat istiadat dan budaya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat adat dalam kawasan adat Kajang Ammatoa dibantu oleh beberapa Galla’ yang memiliki tugas berbeda sesuai dengan gelar Galla’ yang diberikan, masyarakat adat Kajang

(27)

Ammatoa menganut agama Sallang Patuntung (Islam) sebagai salah satu warisan dari leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan karena masyarakat menganggap adat yang diwariskan oleh leluhur kepada anak cucunya merupakan suatu harta yang sangat mahal dan tidak ternilai harganya. Aturan adat yang berlaku dikehidupan masyarakat adat Kajang Ammatoa disebut dengan Pasang Ri Kajang (pesan di Kajang) pesan ini berasal dari leluhur mereka yang berfungsi sebagai aturan, dan pedoman hidup bagi masyarakat adat Kajang Ammatoa untuk memperoleh kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat nanti, pasang ini mencakup seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, khususnya bagi masyarakat adat Kajang Ammatoa, diantaranya hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan.

Berikut ini adalah struktur kelembagaan pemerintahan adat Kajang Ammatoa dan Bohe’ Ammatoa sebagai pimpinan pemerintah tertinggi dari kelembagaan adat

1. Bohe’ Ammatoa sebagai pimpinan.

2. Karaeng Tallua (Penasehat) yang meliputi : Karaeng La’biria (Karaeng Kajang/Camat Kajang), Sulehatang (Kepala Kelurahan), Moncong Buloa (Karaeng Tambangan).

3. Ammatoa didampingi dua orang Anrong (ibu) yaitu : Anrongta ri Pangi dan Anrongta ri Bongki. Anrongta ri Pangi bertugas melantik Ammatoa. Selain itu, dalam sistem politik tradisional yang berlaku di kajang, Ammatoa juga dibantu oleh yang disebut : Ada’ Lima Karaeng Tallu.

4. Ada’ Limayya yang terbagi atas dua adat yaitu :

(28)

5. Tana Lohea yang terdiri dari Galla Anjuru, Galla Ganta, Galla Sangkala, Galla Sopa’ dan Galla Bantalang

6. Tana Kekkesea yang memiliki beberapa tanggung jawab penting dalam masyarakat adat meliputi : Galla’ Lombo’ (memiliki tugas menerima tamu dan mengutus utusan untuk mengikuti upacara adat, baik di tingkat kabupaten maupun tingkat nasional. Posisi Galla’ Lombo’ selalu diisi oleh Kepala Desa Tana Toa). Galla Pantama (mengurusi masalah pertanian), Galla’ Kajang (mengurus masalah ritual) Galla’ Puto (bertindak sebagai juru bicara Ammatoa) Galla’ Malleleng (mengurusi masalah kebutuhan ikan untuk digunakan pada acara adat).

7. Perangkat tambahan yang membantu tugas Ammatoa : Galla’ Jo’jolo, Galla’

Tu Toa Sangkala, Tu Toa Ganta’, Anrong Guru, Kadaha, Karaeng Pattongko’, Lompo Karaeng, Lompo Ada’, Loha, Kammula, Katte’ (Imam), dan Panre bassi (Pandai Besi). (Jumadong, 21 Juli 2014).

C. Pola Relasi

Hubungan antara sesama dalam istilah sosiologi disebut relasi atau relation. Relasi sosial juga disebut hubungan sosial merupakan hasil dari interaksi (rangkaian tingkah laku) yang sistematik antara dua orang atau lebih. Relasi sosial merupakan hubungan timbal balik antar individu yang satu dengan individu yang lain dan saling mempengaruhi. (Nugroho, 3 November 2011).

Menurut Spradley dan McCurdy, relasi sosial atau hubungan sosial yang terjalin antara individu yang berlangsung dalam waktu yang relatif lama akan

(29)

membentuk suatu pola, pola hubungan ini juga disebut sebagai pola relasi sosial.

(Ramadhan, 2009 : 11).

Pola relasi adalah sebuah bentuk hubungan kerja sama antara dua pihak atau lebih dalam mengerjakan sesuatu karena memiliki cita-cita dan tujuan yang sama. Menurut Thompson dan McEwen dalam Soekanto (2006:68) mengidentifikasikan lima bentuk kerja sama yaitu: kerukunan, tawar-menawar (bargaining), kooptasi (co-optation), koalisi (coalition), join venture. Mengacu pada bentuk-bentuk kerjasama tersebut, maka interaksi pemerintah desa Tana Toa dan pemerintah Kajang Ammatoa dapat digolongkan dalam bentuk kooptasi yaitu masuknya atau diterimanya unsur-unsur baru pada kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam organisasi melalui suatu proses sebagai upaya menjaga kestabilan. (Madani, 2011 : 51). Ini dapat dilihat dari bentuk kerja sama antara pemerintah adat Kajang Ammatoa dengan pemerintahan desa Tana Toa.

Desa Tana Toa sama dengan kebanyakan desa pada umumnya memiliki struktur pemerintahan formal sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, namun sebuah keunikan dimiliki desa Tana Toa karena didalam wilayah adnimistrasinya tinggal sebuah komunitas adat yang bernama Kajang Le’leng atau Kajang Ammatoa.

Disisi lain kita mengetahui bahwa setiap komunitas adat pasti juga memiliki struktur pemerintahan adat tersendiri, tapi sampai hari ini kedua sistem pemeritahan ini mampu hidup berdampingan karena adanya kerjasama atau relasi antara pemerintahan adat Kajang Ammatoa dengan pemerintahan formal atau pemerintahan desa Tana Toa.

(30)

Hubungan kerja sama peerinth adat Kajang Ammatoa dengan pemerintah desa Tana Toa terwujud dengan kepala desa yang berfungsi sebagai pimpinan pemerintah desa, disisi lain kepala desa juga termasuk dalam struktur kelembagaan pemerintahan adat. Didalam struktur pemerintahan adat, kepala desa Tana Toa secara otomatis juga memegang jabatan dalam struktur kelembagaan pemeritahan adat Kajang Ammatoa yang bergelar Galla’ Lombo’.

Galla’ Lombo’ dalam pemerintahan adat Kajang Ammatoa memiliki tugas sebagai perantara bagi orang-orang yang berada di luar kawasan adat Kajang Ammatoa yang memiliki kepentingan di dalam kawasan adat Kajang Ammatoa dan juga sebaliknya bagi masyarakat yang tinggal di dalam kawasan adat Kajang Ammatoa yang memiliki urusan atau kepentingan diluar kawasan adat Kajang Ammatoa, atau secara garis besar kepala desa Tana Toa memiliki wewenang untuk memberikan izin kepada orang-orang yang masuk atau keluar dari kawasan adat Kajang Ammatoa. Galla’ Lombo’ ini juga bertugas menerima tamu dan mengutus masyarakat adat Kajang Ammatoa untuk mengahdiri panggilan dari pemerintah Kabupaten jika ada pertemuan.

Kepala desa Tana Toa yang menjabat sebagai Galla’ Lombo’ didalam struktur pemerintahan adat, secara otomatis sebagai bawahan dari ketua adat yaitu Ammatoa, hal ini didasari karena didalam struktur pemerintahan adat Kajang Ammatoa yang ditunjukkan diatas bahwa pemimpin pemerintahan adat adalah ketua adat yaitu Ammatoa. Sehingga terlihat dominasi pengaruh pemerintahan adat dibanding pemerintahan desa terhadap kehidupan masyarakat adat Kajang Ammatoa meskipun masyarakat adat juga termasuk sebagai masyarakat desa Tana

(31)

Toa, sehingga tidak terjadi tarik ulur antara kebijakan pemerintah adat dan pemerintah desa yang menjadi perpanjangan tangan dari pemerintah daerah dalam menerapkan kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah Kabupaten Bulukumba, namun setiap kebijakan yang ingin diterapkan didalam kawasan adat Kajang Ammatoa oleh pemerintah desa terlebih dahulu harus dibicarakan dengan pemerintah adat Kajang Ammatoa, jika tidak melanggar aturan hukum adat maka bisa diterapkan didalam kawasan adat namun sebaliknya jika melanggar aturan hukum adat maka bisa dipastikan kebijakan tersebut tidak bisa dijalankan atau diterapkan di dalam kawasan adat Kajang Ammatoa karena ditolak oleh pimpinan pemerintahan adat Kajang Ammatoa.

D. Pelestarian Hutan Adat

Hutan adat yang berada didalam kawasan adat Kajang Ammatoa ini sama dengan hutan pada umumnya, namun bagi masyarakat adat Kajang Ammatoa yang tinggal didalamnya menganggap bahwa terdapat sesuatu hal yang bersifat gaib didalamnya sehingga disakralkan dan dijaga kelestariannya. Hutan ini digunakan untuk mengadakan upacara adat tertentu, di Indonesia ada banyak hutan adat yang menjadi tempat tinggal oleh suku-suku tertentu dan telah diakui keberadaannya oleh negara, diantaranya komunitas masyarakat adat Kajang Ammatoa.

Masyarakat adat Kajang Ammatoa adalah sebuah komunitas masyarakat adat yang hampir sama dengan masyarakat lainnya dimana komunitas adat tentu memiliki struktur pemerintahan adat tersendiri yang dipimpin oleh ketua adat

(32)

yang dituakan oleh masyarakat adat Kajang Ammatoa yang disebut dengan nama Bohe’ Ammatoa.

Bohe’ Ammatoa berasal dari tiga kata yang berasal dari bahasa konjo atau bahasa asli masyarakat adat Kajang Ammatoa yaitu bohe’, Amma, dan toa, dimana Bohe’ berarti kakek atau orang yang dituakan, Amma berarti bapak atau ayah, dan toa yang berarti tua, jadi dapat disimpulkan bahwa Bohe’ Ammatoa adalah orang yang dihormati atau orang yang dituakan. Masyarakat adat Kajang Ammatoa sangata menghormati Ammatoa karena bagi masyarakat adat Kajang Ammatoa percaya bahwa segala perkataan dan perbuatan Ammatoa adalah suri tauladan terbaik dalam mejalani hidup didalam kawasan adat Kajang Ammatoa dan sesuai dengan Pasang ri Kajang (Pesan di Kajang).

Masyarakat adat Kajang Ammatoa mempercayai bahwa hutan adat Kajang Ammatoa adalah daratan yang pertama kali muncul di bumi saat Ammatoa yang pertama hidup di bumi dan menjadikan hutan sebagai tempat tinggalnya, karena itulah hutan dianggap sakral dan sebagai sumber kehidupan oleh manusia.

Komunitas masyarakat adat Kajang Ammatoa memberikan nama terhadap kawasan hutan adat yaitu dengan sebutan hutan Tombolo yang diyakini sebagai daratan yang pertama kali muncul di bumi berbentuk seperti tempurung kelapa karena itulah hutan adat Kajang Ammatoa dinamak hutan Tombolo (Jumadong, 21 Juli 2014). Masyarakat adat Kajang Ammatoa membagi kawasan utan adat atas tiga bagian yaitu: (1) Borong Karama’a (hutan keramat) yaitu kawasan hutan yang terlarang untuk senua jenis kegiatan, terkecuali kegiatan acara-acara ritual dan upacara adat masyarakat adat Kajang Ammatoa, (2) Borong Battasayya

(33)

(hutan perbartasan) merupakan hutan yang diperbolehkan diambil kayunya sepanjang persediaan kayu masih ada dengan izin dari Ammatoa sebagai ketua adat. (3) Borong Luarayya (hutan luas) merupakan hutan yang bisa dikelola oleh masyarakat dan dimanfaatkan sesuai kebutuhannya.

Kawasan hutan seluas 710 ha diakui masyarakat adat Kajang Ammatoa sebagai kawasan hutan adat. Kawasan ini terdiri dari Borong Karama’a (hutan keramat) seluas ±331 ha, dan berada di wilayah desa Tana Toa hutan ini merupakan hutan inti adat yang dilindungi. Serta hutan produksi yang terdiri dari Borong Battasayya (hutan perbartasan) dan Borong Luarayya (hutan luas) seluas

±381 ha, hutan ini diperbolehkan diambil isinya dan dikelolah sepanjang masih banyak persediaan di dalamnya (Sultan, 22 Juli 2014). Hutan inti adat atau Borong Karama’a sama sekali tidak boleh diambil baik yang tegolong jenis kayu dan bukan jenis kayu maupun satwa yang ada didalamnya kecuali kayu yang telah mati atau sudah roboh yang dimanfaatkan hanya khusus untuk upacara adat saja.

Masyarakat adat Kajang Ammatoa dipimpin oleh Ammatoa dan dibantu oleh suatu lembaga pemerintahan adat yang disebut dengan Ada’ Limayya (adat lima) dan Karaeng Tallua (pemerintah tiga). Kelima orang tersebut bergelar Galla’ dan Gallrrang, dimana tiga diantaranya mempunyai wilayah daerah kawasan atau kekuasaan dan juga berungsi sebagai kepala desa. Berdasarkan Pasang ri Kajang (Pesan di Kajang) masyarakat adat Kajang Ammatoa dibatasi oleh empat aliran sungai sebagai batas alam yang berhulu di kawasan hutan keramat, masyarakat yang bermukim dan bertempat tinggal disekitar bagian dalam aliran sungai dikenal dengan ilalang embayya ri tana tau kamase-masea,

(34)

dan juga sebaliknya masyarakat yang bermukim dan bertempat tinggal disisi luar aliran sungai tersebut dikenal dengan sebutan ipantarang embayya ri tana tau kuasayya. (Kamaming, 1 Agustua 2014).

Sungai tersebut merupakan sumber mata air yang dimanfaatkan untuk mengairi lahan persawahan mereka yang membentang luas pada semua bagian sisi hutan adat Kajang Ammatoa. Kelestaria hutan di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba tidak lepas dari payung hukum adat yang selama ini dihormati dan dijunjung tinggi oleh masyarakat adat yakni Pasang ri Kajang. Kearifan lokal masyarakat adat Kajang Ammatoa dalam mengelola sumber daya alamnya memang diartikulasikan melalui media-media tradisional seperti mitos, ritual, dan pesan-pesan leluhur, tetapi sesungguhnya mengandung pengetahuan ekologis, yaitu sistem pengetahuan mengenai fungsi hutan sebagai penyeimbang ekosistem, masyarakat adat Kajang Ammatoa dalam mengelola hutan tidak terlepas dari kepercayaannya terhadap Pasang ri Kajang. Masyarakat adat Kajang Ammatoa memahami bahwa dunia diciptakan oleh tau rie’ a’ra’na (Tuhan Maha Pencipta) beserta isinya harus selalu dijaga keseimbangannya terutama hutan karena itulah hutan harus dipelihara dengan baik dan mendapat perlakuan khusus bagi penghuninya serta tidak boleh merusaknya, salah satu Pasang ri Kajang yang berbunyi “injo boronga anre nakkulle nipanraki, punna nupanraki boronga nupanraki kalennu” (hutan tidak boleh dirusak, jika engkau merusaknya maka sama halnya kamu merusk diri kamu sendiri). Selain itu, kita juga bisa melihat Pasang ri Kajang lainnya yang berbunyi ”injo nattahang boronga ka pasang,

(35)

rettoppi tanayya rettoi ada’ a” (hutan bisa terlestariakn karena dijaga oleh pesan, kalau bumi hancur maka adat juga hancur)(Sirajuddin, 2000:41-42).

Hutan tidak akan pernah lepas dari kehidupan sosial masyarakat, karena hutan merupakan sebuah konstruksi sosial, terdapat hubungan keterkaitan antara hutan dengan masyarakat, kesalahan dalam pengelolaan hutan salah satunya adalah karena banyak pihak yang berkecimpung dalam bidang kehutanan namun hanya memahami hutan sebagai sumber daya alam yang bernilai ekonomi namun lupa dengan keseimbangan ekosistem lingkungan jika hutan dieksploitasi maka masyarakat sekitar hutan akan mengalami suatu bencana (Moeliono, 2011:53).

Masyarakat adat Kajang Ammatoa menanamkan rasa kepemilikan yang besar bagi masyarakat adat yang tinggal didalam kawasan adat terhadap hutan karena ketergantungan masyarakat adat Kajang Ammatoa terhadap hutan masih kuat dan sikap tata kelola yang arif membuat hutan dapat tumbuh berdampingan secara lestari dengan masyarakat yang merupakan bukti dari fungsi Pasang ri Kajang yang terbangun dari masyarakat terhadap kelestarian hutan (Hasanuddin, 2007:36)

Pengelolaan hutan oleh masyarakat adat Kajang Ammatoa bukanlah hal yang asing lagi hal ini ditunjukkan dengan banyaknya kehidupan masyarakat disekitar hutan dan kebutuhan masyarakat adat Kajang Ammatoa dari hutan dalam berbagai hal antara lain pemenuhan kebutuhan hidup dan upacara adat.

Masyarakat adat didefinisikan sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul di wilayah geografis tertentu, serta memiliki nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, dan wilayah tertentu (Suryadi, 2013:23).

(36)

Masyarakat adat Kajang Ammatoa tinggal disekitar atau didalam hutan, mereka lebih banyak manggantungkan hidupnya dari kegiatan bertani, meramu, mengelola hutan, serta bercocok tanam sehingga rasa memiliki mereka atas hutan sangat tinggi karena keberlangsungan hidup mereka sangat ditentukan dengan keberadaan hutan, berbagai kearifan lokal mereka terapkan untuk mengelola dan menjaga kelestarian hutan yang menjadi satu-satunya sumber penghidupan bagi mereka. Pembagian kawasan hutan dan sanksi adat atas pelanggaran pengelolaan hutan adat menjadi salah satu bentuk upaya melestariakan hutan yang diwariskan oleh leluhur mereka yang membagi wilayah hutan menjadi tiga bagian yaitu:

1. Borong Karamaka (Hutan Keramat), yaitu kawasan hutan yang terlarang untuk semua jenis kegiatan, terkecuali kegiatan atau acara-acara ritual, tidak boleh ada penebangan, pengukuran luas, penanaman pohon, ataupun kunjungan selain pengecualian di atas, termasuk larangan mengganggu flora dan fauna yang terdapat di dalamnya. Adanya keyakinan bahwa hutan ini adalah tempat kediaman leluhur (pammantanganna tau riolonta), menjadikan hutan ini begitu dilindungi oleh masyarakatnya. Diungkapkan secara jelas dalam sebuah pasang, yaitu:

Talakullei nisambei kajua, iyato’ minjo kaju timboa, talakullei nitambai nanikurangi borong karama’a, kasipalli tauwa a’lamung-lamung ri boronga, nasaba’ se’re hattu la rie’ tau angngakui bate lamunna.(Tidak bisa diganti kayunya, kayu itu saja yang tumbuh hutan keramat itu tidak bisa ditambah atau dikurangi, orang dilarang menanam di dalam hutan sebab suatu waktu akan ada orang yang mengakui bekas tanamannya).

(37)

Hutan keramat ini adalah hutan primer yang tidak pernah diganggu oleh komunitas adat Kajang Ammatoa. Pelanggaran berat dalam hutan keramat itu, antara lain: Ta’bang Kaju (menebang kayu), Rao Doang (mengambil udang), Tatta’ Uhe (mengambil rotan), dan Tunu Bani (membakar lebah). Ada dua jenis hutan adat (Borong Karama’) yang terdapat di dalam kawasan ini antara lain Borong Ilau’ dan Borong Iraja. Dan hanya orang-orang tertentu saja yang boleh memasuki kawasan hutan adat tersebut konon katanya, hutan tersebut dikelilingi mantra sakti. Oleh karena itu, barang siapa yang memasuki hutan tersebut dengan niat buruk maka dia akan mendapatkan ganjaran yang setimpal. Bahkan apabila pelakunya adalah warga adat Kajang Ammatoa sendiri, maka akan disidang dan diberi sanksi sesuai pelanggarannya bisa saja orang tersebut tidak diperbolehkan lagi untuk tinggal di kawasan adat Kajang Ammatoa, dan apabila terjadi pelanggaran di dalam hutan keramat, pelanggaran terhadap ketentuan adat ini akan dijatuhi sanksi adat, dalam bentuk pangkal cambuk atau denda uang dalam jumlah tertentu, sesuai dengan Ada’ Tanayya, sebuah sistem peradilan adat Kajang Ammatoa. Mereka juga memiliki lembaga adat yang disebut dengan Tau Limayya (lembaga pemerintah beranggotakan lima orang), dipimpin oleh seseorang yang bergelar Ammatoa, yang tugas utamanya mengatur penebangan pohon, pengambilan rotan, dan pemanenan lebah madu di hutan adat, serta penangkapan udang. Pelaku akan dikenakan sanksi yang disebut poko’ ba’bala atau sanksi atas pelanggaran berat merupakan sanksi yang tertinggi nilai dendanya, yaitu sampulon anrua

(38)

reala atau ruanmpulo ngappa’ ohang, ditambah dengan segulung kaci (kain kapan) dan kayu yang diambil dari hutan keramat harus dikembalikan

2. Borong Batasayya (Hutan Perbatasan) merupakan hutan yang diperbolehkan diambil kayunya sepanjang persediaan kayu masih ada dan dengan seizin dari Ammatoa selaku pemimpin adat, jadi keputusan akhir bisa tidaknya masyarakat mengambil kayu di hutan ini tergantung dari Ammatoa, kayu yang ada dalam hutan inipun hanya diperbolehkan untuk membangun sarana umum, dan bagi komunitas adat Kajang Ammatoa yang tidak mampu membangun rumah selain dari tujuan itu, tidak akan diizinkan hanya beberapa jenis kayu yang boleh ditebang, yaitu kayu asa, nyatoh dan pangi. Jumlahnya yang diminta harus sesuai dengan kebutuhannya. Sehingga tidak jarang, kayu yang diminta akan dikurangi oleh Ammatoa. Kemudian ukuran kayunya ditentukan oleh Ammatoa sendiri syarat yang paling utama adalah ketika ingin menebang pohon, maka pertama-tama orang yang bersangkutan wajib menanam pohon sebagai penggantinya kalau pohon itu sudah tumbuh dengan baik, maka penebangan pohon baru bisa dilakukan, penebangan 1 jenis pohon, maka seseorang harus menanam 2 pohon yang sejenis di lokasi yang telah ditentukan oleh Ammatoa penebangan pohon itu memakai alat tradisional berupa kapak atau parang.

Kayu yang ditebang harus dikeluarkan dari hutan dengan cara digotong atau dipanggul dan tidak boleh ditarik karena akan merusak tumbuhan lain yang berada di sekitarnya pelanggaran di dalam kawasan hutan perbatasan ini, seperti menebang tanpa seizin Ammatoa atau menebang kayu lebih dari yang diperkenankan akan dikenai sanksi, sanksinya dikenal dengan istilah Tangnga

(39)

Ba’bala sanksi ini mendenda pelakunya sebesar karua reala atau sampulong rua ohang ditambah dengan satu gulung kaci (kain kapan). Selain itu, dikenal juga sanksi ringan Cappa’ Ba’bala yang dikenakan atas pelanggaran ringan, seperti kelalaian yang menyebabkan kayu dalam kawasan hutan mengalami kerusakan/tumbang untuk pelanggaran ini dikenakan sanksi berupa denda sebesar Appa’ reala atau karua ohang, ditambah satu gulung kaci (kain putih) sanksi terakhir ini dapat juga dijatuhkan kepada orang yang menebang pohon dari kebun warga masyarakat Kajang Ammatoa, yang selanjutnya mengenai hal ini akan dijelaskan pada bagian di bawah ini.

3. Borong Luara (Hutan Rakyat) merupakan hutan yang bisa dikelola oleh masyarakat meskipun kebanyakan hutan jenis ini dikuasai oleh rakyat, aturan- aturan adat mengenai pengelolaan hutan di kawasan ini masih berlaku tidak diperbolehkan adanya kesewenang-wenangan memanfaatkan hutan rakyat ini selain sanksi berupa denda, seperti yang telah dijelaskan di atas, juga terdapat sanksi berupa hukuman adat, hukum adat sangat mempengaruhi kelestarian hutan karena ia berupa sanksi sosial yang dianggap oleh komunitas adat Kajang Ammatoa lebih berat dari sanksi denda yang diterima. Sanksi sosial itu berupa pengucilan dan lebih menakutkan lagi karena pengucilan ini akan berlaku juga bagi seluruh keluarga sampai generasi ke tujuh namun sanksi ini merupakan bagian dari poko’ ba’bala. Selain kepercayaanya, faktor yang berpengaruh untuk menjaga keseimbangan sumber daya hutan adalah utuhnya pandangan mereka terhadap asal mula leluhurnya bahwa manusia berkembang dimulai dari Ammatoa pertama sebagai Tomanurung dan dunia meluas dimulai

(40)

dari hutan Tombolo (Tana Toa), dimana manusia pertama itu adalah Ammatoa yang turun dari langit ke bumi di hutan Tombolo. Itulah keyakinan mereka terhadap leluhurnya yang hingga saat ini masih melekat dipikiran dan hati sanubari warga masyarakat adat Kajang Ammatoa.

Pemahaman masyarakat Kajang Ammatoa terhadap sumber daya hutan sendiri dilandasi oleh prinsip hidup tallasa kamase-masea (kesederhanaan) dan ajaran Pasang ri Kajang sebagai suatu nilai yang dipegang teguh oleh masyrakat adat Kajang Ammatoa meyakini, merawat hutan merupakan bagian dari ajaran Pasang ri Kajang, karena hutan memiliki kekuatan gaib yang dapat mensejahterakan sekaligus mendatangkan bencana manakala tidak dijaga kelestariannya. Dengan berdasarkan Pasang ri Kajang tersebut, masyarakat adat Kajang Ammatoa menjadi bukti betapa kuatnya kearifan lokal masyarakat adat Kajang Ammatoa dalam pengelolaan hutan. Dengan Pasang inilah semua bentuk pemanfaatan dan pengelolaan hutan dan pelestarian hutan, dengan pasang inilah semua bentuk pemanfaatan dan pengelolaan hutan diatur dengan jelas mulai dari tata cara penebangan pohon sampai dengan pemberian sanksi, ini juga termasuk sebagai alat pengawasan serta kontrol atas semua aktivitas yang berhubungan dengan hutan yang ada didalam kawasan adat Kajang Ammatoa.

Hukum adat sebagai sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial bermasyarakat, hukum adat adalah hukum asli masyarakat adat Kajang Ammatoa sumbernya adalah aturan-aturan hukum yang tersirat dari leluhur mereka yang dipertahankan dengan kesadaran hukum mesyarakatnya selain itu dikenal juga masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang

(41)

terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.

Masyarakat adat Kajang Ammatoa juga mengenal hukum negara, namun hukum negara yang bertentangan dengan hukum adat tidak diterapkan dalam lingkungan masyarakat adat Kajang Ammatoa, karena dianggap akan merubah struktur budaya dan adat istiadat yang telah lama keberadaannya dan harus tetap dijaga, dan sebaliknya hukum negara yang sama sekali tidak bertentangan dengan hukum adat itu bisa digunakan sebagai aturan pendukung yang memperkuat posisi hukum adat, bagi masyarakat adat Kajang Ammatoa hukum adat adalah aturan yang terbaik untuk menjalankan kehidupan dalam kawasan masyarakat adat Kajang Ammatoa yaitu tallasa kamase-masea yang berdasarkan kearifan lokal.

Hukum adat yang berlaku didalam lingkungan kawasan masyarakat adat Kajang Ammatoa lebih dikenal dengan sebutan Pasang ri Kajang. Pasang ini berfungsi menjadi pedoman dan aturan hidup yang berlaku dalam hidup masyarakat adat Kajang Ammatoa merupakan hukum tersirat yang diwariskan oleh leluhurya. Pemerintah adat dan pemerintah formal mampu bertahan dan bisa berjalan secara berdampingan dalam kehidupan masyarakat adat Kajang Ammatoa sampai saat ini karena sebuah bentuk relasi atau kerja sama antara pemerintahan adat dan pemerintahan formal, dalam bentuk pengangkatan dan pemberian gelar dalam struktur pemerintahan adat bagi yang menjabat sebagai kepala desa di Tana Toa dengan gelar Galla’ Lombo’ dengan syarat penduduk asli desa Tana Toa.

(42)

Galla’ Lombo’ dalam struktur pemerintahan adat memiliki tugas menerima tamu dan mengutus utusan untuk mengikuti pertemuan baik di tingkat daerah maupun provinsi, ini juga sebagai sebuah wadah untuk menjalin kerja sama antara pemerintah adat Kajang Ammatoa dengan pemerintah formal terkhusus bagi masyarakat adat Kajang Ammatoa, bentuk lain dari relasi atau kerja sama pemerintah formal atau pemerintah desa dengan pemerintah adat ialah jika kebijakan pemerintah formal yang akan diterapkan di wilayah pemerintahan adat Kajang Ammatoa, perangkat pemerintahan adat terlebih dahulu diajak bermuswarah oleh pemerintah formal atau pemerintah daerah dengan kepala desa sebagai mediator penghubung dan dimintai pendapat apakah mengenai kebijakn tersebut bisa diterapkan atau tidak didalam kawasan adat Kajang Ammatoa sehingga tidak bertolak belakang dengan hukum adat atau aturan Pasang yang berlaku di Kajang Ammatoa, dengan kata lain selama pola kerja sama dan relasi yang seperti ini tetap dipertahankan maka keputusan yang saling tumpang tindih antara pemerintah adat dan pemerintah formal tidak akan pernah terjadi.

Pasang ri Kajang yang merupakan hukum adat yang mendominasi hukum formal atau hukum negara bagi kehidupan masyarakat adat Kajang Ammatoa Pasang ri Kajang (hukum adat) lebih detail dan menyentuh segala aktivitas kehidupan masyarakat adat Kajang Ammatoa hingga aspek yang terkecil dibandingkan dengan hukum negara yang hanya mengatur sebagian kecil dan secara umum aktivitas kehidupan yang dilakukan oleh masyarakat adat Kajang Ammatoa.

(43)

E. Kerangka Pikir

Dalam membangun hubungan pemerintah desa, pemerintah adat Kajang Ammatoa, pola relasi, pelestarian hutan adat, dan kerja sama antara pemerintah adat Kajang Ammatoa dengan pemerintah desa Tana Toa dibutuhkan suatu hubungan yang harmonis, sehingga pola relasi yang terbangun punya hubungan yang berkesinambungan dengan hukum yang yang berlaku antara pemerintah desa dan hukum yang berlaku didalam kelembagaan pemerintah adat Kajang Ammatoa sehingga tujuan pemerintah adat Kajang Amatoa untuk melestariakan hutan adat dapat terwujud.

Bagan Kerangka Pikir:

Pemerintah Desa

Pemerintah Adat (Komunitas Adat Kajang

Ammatoa)

Pola Relasi

1. Kerja sama pemerintah adat Kajang Ammatoa dengan pemerintah desa Tana Toa.

2. Peran pemerintah desa dan pemerintah adat Kajang Ammatoa.

3. Upaya pemerintah adat dalam pemberdayaan masyarakat komunitas adat Kajang Ammatoa.

Pelestarian Hutan Adat

(44)

F. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini berangkat adri latar belakang masalah kenudian dirumuskan dalam suatu rumusan masalah dan dikaji berdasarkan teori dalam kajian teori yaitu pemerintahan desa, pemerintah adat, dan hutan adat guna untuk melihat pola relasi dan kerja sama pemerintahan desa Tana Toa dengan pemerintahan adat Kajang Ammatoa dalam melestarikan hutan adat Kajang Ammatoa.

G. Deskripsi Fokus Penelitian

Pemerintah adat Kajang Ammatoa dan pemerintah desa Tana Toa saling bekerja sama dalam usaha pelestarian hutan adat di kawasan adat Kajang Ammatoa, karena selain kawasan adat ini adalah wilayah pemerintahan adat Kajang Ammatoa tapi juga secara adnimistratif termasuk dalam wilayah pemerintahan desa Tana Toa.

Tapi keadaan ini tidak mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat adat dan penegakan aturan hukum adat oleh pemerintahan adat Kajang Ammatoa karena dalam struktur kelembagaan adat Kajang Ammatoa pemimpin adat adalah ketua adat yang bergelar Ammatoa dan dibantu oleh beberapa bawahan yang bergelar Galla’ dan diantaranya adalah Galla’ Lombo’ yang dijabat oleh orang yang menjabat sebagai kepala desa Tana Toa, sehingga pemerintah adat lebih mendominasi pemerintahan desa terutama dari segi aturan atau hukum adat.

Masyarakat dalam kawasan adat Kajang Amamatoa hanya mengenal hukum adat dan aturan adat yaitu Pasang, sehingga kebijakan pemerintah adat tidak saling tumpang tindih dengan kebijakan pemerintah desa, karena kekuasaan

(45)

pemerintah adat yang lebih dominan dari pemerintah desa. Hal ini membuat setiap aturan adat atau Pasang ri Kajang sudah tidak bisa lagi diganggu gugat oleh siapapun, termasuk masalah hutan adat yang tidak bisa dieksploitasi karena memiliki nilai-nilai tersendiri dari sudut pandang adat istiadat masyarakat adat Kajang Ammatoa yang aka terus dijaga kelestariannya hingga akhir zaman.

(46)

37

Peneliti melakukan penelitian ini kurang lebih 3 bulan muali dari tanggal 30 juni 2014 sampai pada tanggal 1 oktober 2014. Penelitian ini berlokasi di sebuah perkampungan masyarakat adat yaitu suku Kajang Ammatoa di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. Alasan penulis memilih lokasi tersebut karena masyarakat adat Kajang Ammatoa meiliki daya tarik tentang pola hidup juga kerja sama masyarakat dan struktur lembaga pemerintahan adat yang menjaga dan melestarikan hutan didalam wilayah kawasan adat Kajang Ammatoa.

B. Jenis dan Tipe Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yakni: (a) pemilihan sampel awal, informan yang diwawancarai atau suatu situasi sosial untuk observasi yang terkait dengan fokus penelitian, (b) pemilihan sampel lanjutan guna memperluas deskripsi informasi dan melacak variasi informasi yang mungkin ada, dan (c) menghentikan pemilihan sampel lanjutan bilamana dianggap sudah tidak ditemukan lagi variasi. Penelitian dengan pendekatan kualitatif lebih menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktif dan induktif serta analisis terhadap dinamika hubungan antara fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah. hal ini bukan berarti pendekatan kualitatif sama sekali tidak menggunakan dukungan data kuantitatif akan tetapi penekanannya tidak pada pengujian hipotesis malainkan pada usaha menjawab pertanyaan penelitian melalui cara berfikir formal dan argumentatif.

(47)

Tipe penelitian ini adalah penelitian deskriptif melakukan analisis hanya sampai pada taraf deskripsi yaitu menganalisis dan mengkaji fakta secara sistematik sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang benar mengenai sebyek yang diteliti. kebanyakan pengolahan datanya didasarkan pada analisis presentase dan analisis kecenderungan (trend) tanpa mengaitkan dengan populasi dimana dat tersebut diambil. Penelitian berdasarkan pernyataan dari sumber data atau informan yang dianggap benar dan valid berdasarkan perbandingan dengan informan yang lain, dengan didukung data yang ada peneliti berusaha untuk mengungkapkan suatu fakta atau realita fenomena sosial tertentu sebagai mana adanya dan memberikan gambaran secara objektif tentang keadaan yang ada (Suryabrata, 2003:41).

C. Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini ada dua yaitu: data primer dan data sekunder adapau yang dimaksud sebagai berikut:

1. Data Primer

Observasi yaitu pengumpulan data dengan cara pengamatan langsung dengan obyek penelitian.

Data primer dikumpulkan melalui teknik wawancara, yaitu data yang diperoleh langsung dari informan melalui tatap muka langsung dan terbuka sesuai dengan yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

(48)

Dokumentasi yaitu pencatatan dokumen dan data yang berhubungan dengan penelitian ini. Data yang berfungsi sebagai bukti dan hasil wawancara diatas.

2. Data Sekunder

Studi pustaka, yaitu kajian buku-buku, jurnal, dan literatur yang relevan dengan obyek yang diteliti. Dalam hal ini penulis memakai buku tentang pemerintahan desa, hutan, dan undang-undang agrarian atas tanah ulayat, penulis juga menggunakan situs-situs internet untuk memperoleh data yang berhubungan dengan obyek penelitian, data ini berfungsi sebagai pelengkap dari data primer diatas.

D. Informan Penelitian

Informan penelitian adalah orang yang menjadi nara sumber bagi peneliti dalam melakukan penelitian untuk memperoleh informasi yang akurat dan valid tentang obyek penelitian, peneliti melakukan pendalaman terhadap beberapa narasumber yang akan dijadikan informan, dan peneliti memilih beberapa orang informan yang dianggap mampu memberikan keterangan yang akurat dan valid sehingga mampu dipertanggung jawabkan oleh peneliti kepada pembimbing dan penguji. Adapun informan yang akan penulis wawancarai adalah sebagai berikut:

No. Nama Informan Jabatan/Status Inisial Jumlah

1 Puto Palasa Ammatoa PP 1 orang

2 Galla’ Puto Galla’ Puto GP 1 orang

3 Andi Buyung Saputra La’biriyya ABS 1 orang

4 Sultan Galla’ Lombo’ GL 1 orang

5 Djunaidi Abdillah Kadis Pariwisata

dan kebudayaan DA 1 orang

6 Abdul Kahar Muslim Anggota DPRD AKM 1 orang

Jumlah Total Informan : 6 orang

(49)

E. Teknik Pengumpulan Data

Dalam melakukan pengumpulan data, penulis melakukan pencarian data:

a. Observasi

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada obyek penelitian.

b. Wawancara

Wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data untuk mendapatkan informasi yang digali dari sunber data langsung melalui percakapan atau tanya jawab, wawancara pada penelitian kualitatif sifatnya mendalam karena ingin mengeksplorasi informasi secara holistic dan jelas dari informan.

c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah pengumpulan dokumen dan data-data yang diperlukan dalam permasalahan penelitian lalu ditelaah secara intens sehingga dapat mendukung dan menambah kepercayaan dan pembuktian suatu keadaan dan kejadian.

F. Teknik Analisis Data

Peneliti melakukan teknik analisis data dengan pola analisis non-statistik untuk data deskriptif atau data tekstural, karena peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif yang memperoleh data dari hasil wawancara dengan beberapa orang narasumber yang tahu persis keadaan lokasi penelitian. Dengan teknik snowball yang bergulir dari narasumber yang satu ke narasumber yang lainnyayang berstatus masyarakat setempat, peneliti pun menemukan data yang akurat dengan membandingkan pernyataan yang satu dengan pernyataan yang

(50)

lainnya. Data yang telah dikumpulkan selanjutnya dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan cara pengelomokan data atau mengkategoresasikan data, yitu darta yang ada ditabulasi dengan memberikan bobot presentasi dan selanjutnya diinterprestasikan dengan memberikan uraian secara deskriptif sesuai dengan fakta atau keadaan lokasi penelitian.

G. Pengapsahan Data

Data penelitian yang dikumpulkan diharapkan dapat menghasilkan penelitian yang bermutu atau data yang kredibell, oleh karena itu peneliti melakukan pengabsahan data dengan hal-hal berikut:

1. Perpanjangan Masa Pengamatan

Peneliti akan melakukan peroanjangan masa pengamatan jika data yang dikumpulkan dianggap belum cukup sehingga dilakukan perpanjangan dengan melakukan pengumpulan data, pengamatan, dan wawancara kepada informan baik dalam bentuk pengecekan data maupun mendapatkan data yang belum diperoleh sebelumnya. Oleh karena itu, peneliti menghubungi kembali para informal data dan mengumpulkan data sekunder yang masih diperlukan.

2. Pencermatan Pengamatan

Data yang diperoleh peneliti dilokasi penelitian akan diamati secara cermat untuk memperoleh data yang bermakna. Oleh karena itu peneliti akan memperhatikan secara cermat apa yang terjadi dilapangan sehingga dapat memperoleh data yang sesungguhnya.

3. Triangulasi

(51)

Triangulasi bermakna silang yakni mengadakan penegcekan akan kebenaran data yang diumpulkan dari berbagai sumber data, dengan mengumpulkan teknik pengumpulan data yang lain, serta pengecekan pada waktu yang berbeda.

Referensi

Dokumen terkait

kepuasan kerja pegawai dibandingkan dengan kecerdasan emosional yang rendah. Hal ini dapat dipahami karena kecerdasan emosional adalah merupakan kemampuan untuk

Namun, Kenampakan geothermal berupa air panas yang ada di sekitar Candi Songgoriti dapat dimanfaatkan dengan lebih kreatif lagi, karena potensi air panas

Pola penghambatan komponen bioaktif EMM juga akan dibandingkan dengan fraksi D dari ekstrak etil asetat yang telah diperoleh dari hasil penelitian

Upacara-upacara hari besar yang lain dilakukan dengan cara yang hampir sama, yang berbeda hanya perubahan di dalam membaca paritta, yang mana semuanya telah diatur dalam

Dapat disimpulkan bahwa hadiṡ yang memperbolehkan turun setelah hadiṡ larangan, ini artinya dalam memahami hadiṡ tersebut haruslah tidak melarang secara mutlak

Kombinasi yang paling optimal belum dapat ditentukan pada penelitian ini walaupun konsentrasi ekstrak gambir sudah mencapai 40 mg/mL dan waktu kontaknya mencapai 120

Hal ini diafirmasi oleh kedua tokoh agama mayoritas di Desa Suwaru yang sering terlibat konversi agama yakni agama Islam dan Kristen yang serentak mengungkapkan bahwa jalan

Hasil identifikasi menyimpulkan bahwa, faktor-faktor yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dalam pengembangan usaha komoditi kemiri lokal di Kampung