• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN Lokasi dan waktu Penelitian

GAMBARAN UMUM

Outsourching di Indonesia dan Pelaksanaannya

Saat ini outsourcing telah menjadi salah satu strategi bagi para manajer di seluruh dunia untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi perusahaan dalam perencanaan pengelolaan karyawan, seperti perekrutan, program pelatihan, administrasi kepegawaian, pensiun ataupun program jenjang karir (Karthikeyan et al. 2011).Strategi ini juga diterapkan oleh berbagai perusahaan di Indonesia karena seperti diketahui Indonesia kini sedang bergerak aktif mengejar ketertinggalannya dari Negara-negara maju, khususnya di sektor ekonomi.

Praktik outsourcing di Indonesia sudah ada sejak dulu.Semula praktiknya memang dilakukan untuk pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya sebagai kegiatan penunjang bukan kegiatan yang berhubungan langsung dengan pekerjaan utama atau inti (core activity/core business) seperti diperusahaan perkebunan dan pertambangan.Pertambangan minyak dan gas bumi dianggap sebagai cikal bakal

outsourcing di Indonesia. Dalam rangka pelaksanaanya, pekerjaan pertambangan tersebut diatur oleh UU No. 40/Prp tahun 1960 tentang pertambangan MIGAS yang memuat ketentuan :

1. Pertambangan dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi (MIGAS) hanya diusahakan oleh Negara dan dalam hal ini oleh perusahaan negara semata-mata;

2. Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor untuk perusahaan negara tersebut apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan yang belum dapat atau tidak dapat dikerjakan sendiri. (Indraajit dan Richardus, 2003)

Praktik yang marak sekarang menurut Suwondo (2003) adalah pemborongan pekerjaan bukan hanya untuk pekerjaan yang tidak langsung berhubungan dengan hasil produksi tetapi juga dilakukan terhadap pekerjaan-pekerjaan yang sesungguhnya merupakan kegiatan inti perusahaan pemberi kerja (core activity).

Secara teoritis outsourcing dibagi kedalam dua jenis yakni outsourcing

pekerjaan yang berkaitan dengan pemborongan pekerjaan pada pihak lain, diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, di mana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi oleh para pihak. Kedua, outsourcingtenagakerja dimana tipe

outsourcing ini merupakan praktik yang memberikan efisiensi pada tingkat tertentu dalam operasional bisnis, namun merugikan secara serius kepentingan tenagakerja dipihak lain. Praktik jenis kedua ini yang banyak terjadi di Indonesia dan seringkali ditentang oleh aktivis perburuhan, terutama setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.(ATC, 2003)

Bentuk Hubungan Kerja di Indonesia

Hubungan kerja menurut undang-undang ketenagakerjaan adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.Ketiga unsur tersebut bersifat mendasar dan mutlak sehingga timbulnya suatu hubungan pekerjaan.Hubungan kerja seseorang dalam artian lain adalah status pekerjaan seseorang.Hubungan kerja di Indonesia yang dikenal saat ini dapat dibedakan atas hubungan kerja permanen/tetap, hubungan kerja menurut jangka waktu tertentu/kontrak dan hubungan kerja alihdaya/outsourcing.

Hubungan kerja permanen dalam undang-undang ketenagakerjaan disebut dengan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) adalah hubungan kerja yang tidak ditetapkan jangka waktunya. Hubungan kerja ini dilakukan apabila pekerjaan yang sifatnya terus-menerus dan tidak terputus-putus, pekerjaan tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman. Pasal 60 ayat 1 dan 2 menjelaskan bahwa hubungan kerja yang bersifat tidak tentu (PKWTT) dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama tiga bulan serta dalam masa percobaan ini pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.

Hubungan kerja kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja untuk melakukan pekerjaan tertentu dalam waktu tertentu. Hubungan kerja ini pada pelaksanaanya hampir sama dengan praktik outsourcing dimana basis utamanya adalah kontrak. Oleh karena itu, hubungan kerja kontrak dengan outsourcing kadangkala menjadi kabur dan sering menjadi perdebatan. Pada hakekatnya outsourcing adalah sebuah pola

kerja dengan cara mendelegasikan opersai dan manajemen harian dari suatu proses bisnis/kerja pada pihak lain di luar perusahaan yang menjadi penyedia jasa

outsourcing. Perusahaan-perusahaan di Indonesia banyak yang memiliki kantor manajemen dan kantor operasional produksi (pabrik) yang terpisah, tetapi pada pelaksanaanya tidak mengalih-dayakan produksinya. Hal ini tentu tidak sesuai dengan aturan yang berlaku sehingga perlu kiranya ada perbaikan regulasi dan perbaikan sistem sehingga tercipata lingkungan bisnis yang baik. Selain itu dibutuhkan kerja sama antara pemerintah, pengusaha, dan tenagakerja itu sendiri untuk menciptakan hal tersebut.

Industri Tekstil dan Produk Tekstil di Indonesia

Peradaban modern manusia dimulai sejak ditemukannya mesin uap pertama oleh James Watt pada tahun 1764 di Inggris, kapal uap oleh John Fitch dan Charlotte Dundas tahun 1786 di Amerika, lokomotif pertama oleh George Stephenson tahun 1897 di Jerman.Penemuan-penemuan tersebut mengiringi meletusnya Revolusi Industri di Inggris yang merupakan awal era industralisasi dunia.

Revolusi Industri di Inggris mengawali era produksi dengan menggunakan mesin. Para pengusaha mulai menerapkan penemuan ilmu untuk tujuan produksi dan berusaha mendapatkan peningkatan output industri yang sangat besar melalui penggunaan teknologi baru. Peristiwa besar dan bersejarah di Inggris itu tentu saja mengundang para peneliti sosial, ekonomi, dan para teknokrat untuk menyelidiki fenomena perkembangan bisnis dan industri yang melonjak tersebut.Kemudian, hasil penyelidikan mereka diaplikasikan dalam berbagai aspek bisnis dan industri sehingga perkembangannya menjadi lebih pesat, lebih efisien dan efektif, lebih profitabel, serta tidak lupa memperhatikan dampak negatif yang mungkin timbul agar tidak mengganggu stabilitas sosial dan kelestarian lingkungan hidup.

Industrialisasi menyebar dengan pesat ke negara-negara lain di belahan dunia.Negara-negara Eropa tentu menjadi yang pertama mengikuti jejak Inggris, kemudian menyebar ke Benua Amerika juga jauh ke timur ke Benua Asia.Jepang merupakan negara industri pertama di Asia, disusul Republik Rakyat Cina, Korea Selatan, Taiwan dan Singapura.

Bagaimana dengan Indonesia?Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) merupakan bentuk industri manufaktur modern pertama yang dibangun pada awal proses industrialisasi di Indonesia. Indonesia bisa dikatakan terlambat dalam mengembangkan industri TPT modern.Sejarahnya yakni industri TPT Indonesia merupakan relokasi dari Asia Timur melalui proses perdagangan internasional dan Penanaman Modal Asing (PMA). PMA di sektor TPT di tahun 1960-1990-an paling banyak berasal dari Jepang dan Korea Selatan.Nilai investasi PMA dari kedua negara tersebut jika digabungkan mencapai lebih dari 50% dari total PMA yang bergerak di bidang TPT di Indonesia.Nilai tersebut memberikan pengaruh yang signifikan bagi perkembangan industri TPT di Indonesia.

Industri TPT di Indonesia mengalami beberapa fase pengembangan.Apabila dibagi kedalam beberapa tahap industrialisasi, maka perkembangan industri TPT dapat dibagi ke dalam beberapa fase yakni fase pengenalan, fase subsitusi impor, dan fase ekspor7.

Pada fase pengenalan (1968-1974) pemerintah mendukung pengembangan industri TPT dan industri lainnya sebagai bagian dari industrialisasi subsitusi impor dengan diluncurkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing tahun 1967 yang diikuti oleh Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri di tahun 1968. Pemerintah pada saat itu juga membuat kebijakan untuk memproteksi industri ini dari persaingan asing dengan melarang masuknya tekstil kualitas rendah ke pasar domestik.Tujuannya yaitu untuk mendorong munculnya pengusaha lokal di bidang tekstil. Catatan fase pengenalan ini yakni output tekstil mengalami peningkatan di awal Orde Baru karena kebijakan pemerintahnya. Hal tersebut tetap belum mampu memenuhi semua kebutuhan domestik.

Fase subsitusi impor (1975-1983) diawali dengan peningkatan produk tekstil di pasar Indonesia pada paruh kedua tahun 1970-an diikuti oleh turunnya harga produk tekstil domestik. Namun demikian tidak semua kebutuhan tekstil domestik dapat dipasok dari produksi domestik. Ketergantungan impor bahanbakutahun 1974 tercatat sangat tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa struktur industri tekstil Indonesia sangat lemah pada awal tahap subsitusi impor.Pemerintah pada saat itu mengeluarkan kebijakan untuk mengembangkan keterkaitan kebelakang di industri tekstil dengan memberikan prioritas investasi pada pabrik yang terintegrasi penuh.Kebijakan tersebut mendapatkan sambutan positif dari produsen dengan ekspansi kapasitas produksi dan restrukturisasi teknologi. Hal ini mengakibatkan total kapasitas produksi menjadi dua kali lipat selama periode tersebut. Peningkatan total kapasitas produksi diikuti dengan modernisasi industri tekstil di Indonesia yang mengakibatkan banyak pabrik dibangun kemudian. Modernisasi tektisl bergerak di sektor hilir sehingga membawa perbaikan dalam struktur industri tekstil Indonesia.Cepatnya pertumbuhan industri tekstil di era subsitusi impor, industri di Indonesia memasuki fase ekspor di tahun 1984.

Fase ekspor produk tekstil terjadi di awal 1984.Pada dekade 1980-an, ekspor menjadi sumber utama pertumbuhan di industri tekstil di Indonesia.Pertumbuhan ekspor produknya pun mengalami trend positif selama periode 1982-1992. Pangsa ekspor Indonesia untuk tekstil dan garmen mencapai 2.6 persen dari total ekspor tekstil dan garmen dunia.

Ekspor produk industri tekstil Indonesia secara umum mengalami penurunan setelah mengalami puncaknya di tahun 1992 yang berakibat pada penurunan produksi domestik pada tahun 1994-1995. Penurunan ekspor ini tidak terlalu memengaruhi kondisi ekonomi Indonesia secara keseluruhan.Ketika merayakan Tahun Emas (50 tahun kemerdekaannya), bangsa Indonesia “memproklamasikan” diri sebagai negara industri baru di kawasan Asia. Bank Dunia (World Bank) memasukkan Indonesia ke dalam New Industrializing Economies (NIEs) dengan gelar Miracle Economies bersama-sama Jepang, Singapura, Hongkong, Taiwan, dan Korea Selatan.

Industri tekstil Indonesia di periode krisis moneter 1997-1998 kehilangan sumber pembiayaan. Sebagian besar bank dilikuidasi oleh pemerintah pada bulan 7Asosiasi Pertekstilan Indonesia, 2011, ”Perkembangan Industri Garmen di Indonesia”. Kajian

Pengembangan Industri Tekstil dan Produk Tekstil, Diakses tanggal 1 Oktober 2014,

November 1997. Sebelumnya produsen tekstil menggunakan jasa perbankan ini untuk transaksi ekspor dan impor.Transaksi internasional terganggu karena letter of commerce dari perbankan Indonesia tidak lagi diterima sebagai akibat menurunnya kepercayaan internasional terhadap stabilitas politik dan ekonomi Indonesia. Krisis moneter menyebabkan ketidakpastian dalam iklim usaha,meningkatkan suku bunga dan nilai tukar sekaligus biaya produksi. Masalah utama yang dihadapi oleh produsen tekstil adalah membengkaknya harga bahan baku, karena masih tingginya ketergantungan terhadap bahan baku impor. Sebagian besar perusahaan tekstil yang tidak dapat menutup semua biaya krisis moneter mengalami kebangkrutan, khususnya produsen yang berorientasi pada pasar domestik.Pasar domestik mengalami kontraksi karena pendapatan riil konsumen domestik mengalami penurunan drastis.

Realisasi investasi baik PMA maupun PMDN untuk sektor tekstil dan Produk Tekstil pada tahun 2000-an mengalami penurunan dibandingkan periode 1990-an. Walaupun mengalami penurunan pada tahun 2002, luas kawasan industri di Indonesia tercatat sebanyak 66 771 Ha yang dikelola oleh 203 perusahaan kawasan Industri. Dari data tersebut provinsi Jawa Barat mempunyai kawasan Industri terbesar dengan luas 32 619 Ha.Kawasan industri di Bogor sendiri yakni seluas 520 Ha. Jumlah ini diyakini akan terus bertambah seiring iklim investasi yang terus membaik, apalagi di era pemerintahan saat ini.

Tahun 2011 sejumlah Negara seperti Korea Selatan, China, dan Taiwan menjadikan Indonesia sebagai basis industri tekstil yang memproduksi Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) untuk kebutuhan pasar domestik di masing-masing negara tersebut. Kondisi ini memicu adanya peningkatan investasi di sektor tersebut. Investasi langsung tersebut akan membuat adanya penyerapan tenagakerja sebanyak 100.000 hingga 200.000 orang di tahun yang sama. Hal ini juga

mendongkrak investasi ratusan persen dibanding tahun-tahun

sebelumnya.Peningkatan investasi secara tidak langsung menggerakkan ekonomi Indonesia ke arah yang lebih baik.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2011 yakni sebesar 6.5 persen.Hal ini tentu didorong oleh pertumbuhan sektor-sektor ekonomi Indonesia.Sektor Industri sendiri mengalami trend positif dari tahun 2007 hingga 20011.

Tabel 3Pertumbuhan Ekonomi menurut sektor 2007-2011(persen)

Sektor 2007 2008 2009 2010 2011

Pertanian 3.5 4.8 4 3 3

Pertambangan 1.9 0.7 4.5 3.6 1.4

Industri Pengolahan 4.7 3.7 2.2 4.7 6.2

Listrik, gas, dan air bersih 10.3 10.9 14.3 5.3 4.8

Konstruksi 8.5 7.6 7.1 7 6.7

Perdagangan, hotel, dan restoran 8.9 6.9 1.3 8.7 9.2 pengangkutan dan komunikasi 14.0 16.6 15.8 13.4 10.7 Keuangan, Real Estat dan Jasa

Perusahaan 8.0 8.2 5.2 5.7 6.8

Jasa 6.4 6.2 6.4 6 6.7

Sektor Industri Pengolahan di tahun 2011 tumbuh signifikan sebedar 6.2 persen.Sektor tersebut mengalami peningkatan yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2010 sebesar 4.7 persen.Lonjakan pertumbuhan sektor itu didorong oleh pertumbuhan pada sektor industri nonmigas yang mencapai 6.8 persen.Pertumbuhan subsektor industri nonmigas ditopang oleh industri logam dasar, besi dan baja, industri makanan, minuman, dan tembakau, serta industri tekstil, barang dan kulit, serta alas kaki.Ketiga subsektor itu masing-masing tumbuh sebesar 13.1 persen, 9.2 persen, dan 7.5 persen.

Profil Narasumber dan Responden Profil Perusahaan

Industri yang beroperasi di Bogor tahun 2003 sebanyak 2 722 unit dengan penyerapan tenagakerja 43 612 orang dan nilai investasi sebesar Rp 357 216 795 046. Industri ini terdiri dari industri besar/menengah, industri kecil formal, serta industri kecil non formal.Kelompok-kelompok industri ini tercatat dengan rinci pada tabel 4.

Tabel 4. Daftar kelompok industri berdasarkan skala investasi di Bogor tahun 2003 (1)

No Kelompok Industri

Unit usaha (Unit)

Investasi (Rp) Tenaga Kerja (orang) Industri Menengah/Besar

1 Makanan 6 8 415 350 000 251

2 Minuman 4 52 073 848 639 745

3 Kayu Olahan/Rotan 4 7 656 270 000 723

4 Pulp dan kertas 4 22 509 910 000 437

5 Bahan Kimia Industri 5 3 729 010 000 294 6 Bahan Galian/Non logam

7 Kimia 3 43 578 351 250 1 133

8 Mesin dan Rekayasa

9 Logam 5 7 727 490 000 1 813 10 Alat Angkut 4 12 138 250 000 638 11 Industri Tekstil 18 160 621 090 000 17 331 12 Industri Kulit 13 Industri Alpora 1 1 826 076 000 300 14 Industri Elektronika 2 7 739 080 000 205 Jumlah 56 328 014 725 889 23 827

Sumber : Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Bogor, 2003.

Berdasarkan Tabel 4 industri tekstil dan produk tekstil di Bogor bergerak di tiap skala investasi.Skala besar/menengah terdapat 18 unit usaha industri tekstil dengan jumlah investasi Rp 160 621 090 000 dengan menyerap tenaga kerja sebesar 17 331 orang.

Tabel 5. Daftar kelompok industri berdasarkan skala investasi di Bogor tahun 2003 (2) No Kelompok Industri Unit Usaha (unit)

Investasi (Rp) Tenaga Kerja (orang) Industri Kecil Formal

1 Makanan 154 3968440000 1660

2 Minuman 28 1509550000 365

3 Kayu Olahan/Rotan 103 2100410000 927

4 Pulp dan kertas 41 1328110000 334

5 Bahan Kimia Industri 10 562409487 93

6 Bahan Galian/Non logam 36 911700000 786

7 Kimia 31 1861950850 462

8 Mesin dan Rekayasa 5 678630000 201

9 Logam 73 4575350000 706 10 Alat Angkut 92 2062130000 1069 11 Industri Tekstil 75 4772878650 2929 12 Industri Kulit 65 1387910000 1523 13 Industri Alpora 8 518750000 97 14 Industri Elektronika 7 88300000 40 Jumlah 728 26326518987 11192 No Kelompok Industri Unit Usaha (Unit)

Investasi (Rp) Tenaga Kerja (Orang) Industri Kecil Non Formal

1 Makanan 929 788640230 4453

2 Minuman 194 166367600 887

3 Kayu Olahan/Rotan 75 152497852 333

4 Pulp dan kertas 22 20309375 81

5 Bahan Kimia Industri

6 Bahan Galian/Non logam 35 125500000 195

7 Kimia 23 80500000 109

8 Mesin dan Rekayasa

9 Logam 119 253472716 277 10 Alat Angkut 65 260000000 184 11 Industri Tekstil 127 277479721 602 12 Industri Kulit 295 647282670 1233 13 Industri Alpora 5 16000000 21 14 Industri Elektronika 35 87500000 175 Jumlah 1924 2875550164 8550

Berdasarkan Tabel 5 industri tekstil dan produk tekstil pada Skala kecil formal terdapat 75 unit usaha dengan investasi sebesar Rp 4 772 878 650 dan menyerap tenaga kerja sebesar 2 929 orang.Skala usaha kecil non-formal terdapat 295 unit usaha industri tekstil dengan total investasi Rp 647 282 670 dan menyerap tenagakerja sebesar 1233 orang.

Penelitian ini mengambil 4 perusahaan industri tekstil dan produk tekstil yang berada pada skala besar/menengah.Dari setiap perusahaan diambil 10 responden secara acak dengan syarat khusus yakni tenagakerja kontrak atau

outsourcing. Pengakuan dari responden pada saat pengambilan data menyatakan bahwa produk dari tempat mereka bekerja selain dipasarkan di dalam negeri juga diekspor ke beberapa negara lain. Jelas bahwa dari pengakuan tersebut perusahaan tempat mereka bekerja adalah perusahaan berorientasi ekspor. (lampiran 2)

Profil Responden

Data yang diambil penulis merupakan data primer yang didapat melalui wawancara dan penyebaran kuisioner. Agar mendapatkan sudut pandang yang berbeda juga untuk perbandingan, maka dilibatkan 3 pihak yakni pihak tenaga kerja itu sendiri, pihak perusahaan yang diwakili Bapak Agus Tjahjoadi, Direktur Eksekutif Indonesian Outsourcing Association (IOA) atau Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (ABADI), juga Bapak Budi Setiadi yang merupakan tenaga ahli bidang ketenagakerjaan DPR RI komisi IX dari pihak pemerintah.

Kuisioner diberikan kepada 40 tenaga kerja dari 4 perusahaan berbeda.Sementara wawancara mendalam hanya dilakukan kepada beberapa orang saja.Tenaga kerja yang menjadi responden adalah tenaga kerja kontrak dengan berbagai latar belakang, seperti tingkat pendidikan terakhir, status perkawinan, jarak rumah menuju perusahaan, tigkat pengeluaran, dan lain-lain.

Dokumen terkait