• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Desa Leuweung Kolot

Desa Leuweung Kolot merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Secara geografis, Desa Leuweung Kolot berbatasan langsung dengan Desa Ciaruteun Ilir di bagian utara. Di bagian selatan Desa Leuweung Kolot ini berbatasan dengan Desa Girimulya, Desa Cimanggu di bagian barat, dan Desa Cibadak di bagian timur.

Desa Leuweung Kolot memiliki wilayah seluas 189 Ha yang terdiri dari 2 Kampung, 6 RW, dan 25 RT. Kampung yang terdapat di Desa Leuweung Kolot ini adalah Kampung Pos dan Kampung Cipakel. Berdasarkan laporan akhir tahun 2013, Desa Leuweung Kolot ini terdiri dari 1 869 kepala keluarga dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 3 353 orang dan penduduk perempuan sebanyak 3 595 orang.

Desa Leuweung Kolot memiliki tingkat curah hujan sebanyak 2 000 mm/tahun dengan ketinggian tempat 3 000 m dari permukaan laut. Luas wilayah pertanian di desa ini lebih tinggi dibanding lahan yang lain, yakni sekitar 105 Ha merupakan tanah sawah, 44 Ha tanah kering, dan 1,87 Ha tambak/kolam. Hal ini didukung oleh potensi irigasi yang dimiliki oleh Desa Leuweung Kolot. Potensi irigasi yang digunakan untuk irigasi pertanian terdiri dari sungai dan mata air. Penduduk setempat hampir seluruhnya menggunakan mata air sebagai sumber untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga sehingga hampir setiap rumah tidak menggunakan PAM namun memiliki sanyo sebagai alat bantu menarik air dari mata air tersebut.

Pada lahan pertanian di Desa Leuweung Kolot cenderung lebih banyak ditanami oleh ubi jalar, ubi kayu, dan kacang tanah. Namun berdasarkan mata pencahariannya, penduduk di Desa Leuweung Kolot sebagian besar bermata pencaharian sebagai pedagang. Hal ini terlihat dari banyaknya Usaha Kecil dan

25 Menengah (UKM) yang terbentuk di desa ini terutama usaha di bidang produk turunan kedelai seperti tahu dan tempe. Industri tahu dan tempe di desa ini dianggap bermatapencaharian sebagai pedagang. Data mata pencaharian penduduk Desa Leuweung Kolot dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Mata pencaharian penduduk Desa Leuweung Kolot

Mata Pencaharian Jumlah

PNS 45

Pensiun 20

Petani 661

Pedagang 1 854

Jasa Industri -

Sumber: Laporan Tahunan Desa Leuweung Kolot (2013)

Berdasarkan data pada Tabel 6 diatas, mata pencaharian penduduk di Desa Leuweung Kolot sekitar 1 854 orang berprofesi sebagai pedagang, 661 orang sebagai petani, 20 orang pensiun, dan 45 orang sebagai PNS. Data ini mendukung banyaknya industri tahu di Desa Leuweung Kolot yang pelaku usahanya juga berprofesi sebagai pedagang dengan menjual tahunya di pasar. Pelaku industri tahu di desa ini tidak hanya sebagai produsen penghasil tahu tapi juga sebagai pedagang yang menjual tahunya dipasar. Profesi pelaku industri tahu ini dianggap sebagai pedagang. Dengan demikian, banyaknya industri di Desa Leuweung Kolot sebagai salah satu sentra industri tahu juga didukung dari data yang ada.

Gambaran Umum Usaha Tahu Desa Leuweung Kolot 1. Karakteristik Pelaku Industri Tahu

Responden dalam penelitian ini berjumlah 25 orang industri tahu di Desa Leuweung Kolot, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Karakteristik industri meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan, lama usaha, dan cara pemasaran. Seluruh responden yang diwawancarai selama penelitian merupakan penduduk Desa Leuweung Kolot dan menjalankan usaha pembuatan tahu.

Responden industri tahu di Desa Leuweung Kolot dikelompokkan menjadi 6 kelompok, yaitu kelompok umur 20-29 tahun, 30-39 tahun, 40-49 tahun, 50-59 tahun, 60-69 tahun, dan 70-79 tahun. Tingkat umur dapat mempengaruhi kinerja seseorang. Umur produktif seseorang yakni antara 20-60 tahun. Pada Tabel 6 terlihat bahwa responden di Desa Leuweung Kolot masih berumur produktif dimana jumlah responden industri tahu terbanyak berada pada kelompok umur 30- 39 tahun sebanyak 8 orang (32.00 persen) dan kelompok umur 60-69 tahun sebanyak 7 orang (28.00 persen). Pada kelompok umur 60-69 tahun dan 70-79 tahun, responden hanya berperan sebagai pemilik. Sedangkan untuk aktivitas produksinya dilakukan oleh tenaga kerja yang bekerja di pabrik tersebut. Untuk kelompok umur lainnya, pemilik pabrik tahu ikut berperan dalam pembuatan tahu sehingga pada kelompok ini industri tahu masih aktif bekerja. Data tersebut menunjukkan bahwa usaha tahu di Desa Leuweung Kolot sebagian besar dijalankan oleh kelompok umur 30-39 tahun sebesar 32.00 persen. Karakteristik pelaku industri tahu dapat dilihat pada Tabel 7.

26

Tabel 7 Karakteristik responden pelaku industri tahu

Uraian Kategori Jumlah Responden (orang) Persentase (%)

Kelompok Umur 20-29 1 4.00 30-39 8 32.00 40-49 3 12.00 50-59 5 20.00 60-69 7 28.00 70-79 1 4.00 Jenis Kelamin Laki-laki 23 92.00 Perempuan 2 8.00 Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah 2 8.00 SD 17 68.00 SMP 1 4.00 SMA 5 20.00 Jumlah Tanggungan keluarga 1 6 24.00 2 6 24.00 3 5 20.00 4 4 16.00 5 1 4.00 6 1 4.00 7 2 8.00 Lama Usaha ≤ 10 7 28.00 11 ≤ 0 ≤ 20 11 44.00 ≥ 21 7 28.00

Berdasarkan data pada Tabel 7 yang merupakan hasil survey terhadap 25 orang industri tahu di Desa Leuweung Kolot diperoleh hasil bahwa sebagian besar pemilik usaha tahu di desa ini adalah laki-laki sebanyak 23 orang dan 2 orang perempuan. Hal ini disebabkan karena peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga yang bertugas untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Sedangkan istri berperan sebagai ibu rumah tangga yang turut membantu suami dalam menjalankan usahanya. Untuk responden perempuan hanya berperan sebagai pemilik pabrik tahu namun tidak ikut dan secara maksimal dalam proses pembuatan tahu.

Karakteristik responden industri tahu juga dapat dilihat dari tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan responden di Desa Leuweung Kolot yang dijadikan sebagai responden dalam penelitian, sebagian besar didominasi oleh lulusan SD yakni sebanyak 17 orang (68.00 persen). Berdasarkan data ini dapat dilihat bahwa banyaknya responden dengan pendidikan SD tidak mempengaruhi keberhasilan usaha karena usaha tahu tidak membutuhkan keterampilan yang tinggi dan bisa dipelajari dengan mudah bahkan sudah diwarisi oleh keluarga terdahulu secara turun-temurun.

Selain itu, untuk jumlah tanggungan keluarga yang dimiliki oleh responden industri tahu dapat berpengaruh signifikan terhadap usaha yang dijalankan. Semakin banyak jumlah tanggungan keluarga maka akan semakin tinggi biaya yang dikeluarkan oleh responden untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Ditambah lagi usaha tahu di Desa Leuweung Kolot ini sebagian besar merupakan usaha skala kecil dimana kebanyakan dari industri tahu menjadikan usaha ini sebagai mata pencaharian utama sehingga mereka tidak memiliki penghasilan tambahan. Jumlah tanggungan keluarga responden di desa ini cukup beragam. Responden paling banyak memiliki jumlah tanggungan sebanyak 1 orang dan 2 orang dengan persentase yang sama yaitu 24.00 persen. Untuk jumlah tanggungan

27 lainnya berjumlah lebih kecil karena sebagian besar penduduk di desa ini tidak memperhatikan pendidikan anak-anaknya sehingga untuk anak perempuan lebih cepat menikah dan tidak menjadi tanggungan keluarga lagi.

Lama usaha industri tahu di Desa Leuweung Kolot cukup beragam. Responden yang menjalani usaha kurang dari 10 tahun adalah sebanyak 7 orang (28.00 persen). Pada kelompok ini merupakan responden yang masih berumur muda dan baru memulai usaha menjadi industri tahu. Alasan responden ini memilih menjadi industri tahu ada yang karena turun-temurun dari keluarga atau sebagai mata pencaharian utama untuk memenuhi kebutuhan keluarga karena tidak memiliki keahlian yang tinggi. Pada kelompok usaha 11 sampai 20 tahun adalah sebanyak 11 orang (44.00 persen). Sedangkan pada kelompok usaha lebih dari 21 tahun ada sebanyak 7 orang (28.00 persen). Pada kelompok ini sebagian besar terdiri dari industri yang usahanya merupakan turun-temurun dari keluarga. Responden memlih usaha ini untuk melanjutkan usaha keluarganya yang sudah dipertahankan dari generasi sebelumnya.

Cara memasarkan produk tahu bagi industri tahu di Desa Leuweung Kolot dilakukan dengan menjual produk tahu ke pedagang yang ada di pasar, berkeliling ke rumah-rumah warga, dan menjual sendiri produknya di pasar. Industri yang menjual produknya ke pasar biasanya pasar-pasar yang dituju adalah pasar Bubulak, Dramaga, Leuwiliang, Ciampea, Jumat, Jasinga, Merdeka, Bogor, hingga pasar Cigudeg. Cara pemasaran yang dilakukan industri dengan membuka lapak dan menjualnya sendiri di pasar atau menjual produknya melalui perantara ke pedagang-pedagang yang ada di pasar yang sudah menjadi langganannya. Industri yang menjual ke pasar akan mengeluarkan biaya transportasi untuk menyewa angkutan umum. Sedangkan industri yang memasarkan dengan cara berkeliling tidak mengeluarkan biaya transportasi. Sebaran responden berdasarkan cara pemasarannya dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Karakteristik responden berdasarkan cara pemasaran

Pemasaran Jumlah responden Persentase (%)

Pasar 24 96.00

Keliling 1 4.00

Jumlah 25 100.00

Pada Tabel 8 di atas dapat dilihat bahwa dari 25 industri tahu yang menjadi responden, 24 diantaranya memasarkan tahunya di pasar baik yang menjual sendiri maupun yang menjualnya melalui perantara pedagang-pedagang yang ada di pasar. sedangkan 1 responden lainnya menjual tahu dengan cara berkeliling di desa menggunakan kayu panggul sehingga biaya yang dikeluarkan lebih kecil dan target pembelinya pun hanya sebatas warga desa.

Sistem pembayaran bagi industri yang menjual secara berkeliling dan menjual produknya sendiri di pasar adalah secara tunai karena ia menjual langsung produknya ke pembeli dan langsung dibayar. Sedangkan untuk industri yang menjual produknya melalui pedagang yang ada di pasar, mereka ada yang membayar secara tunai dan ada juga yang membayar setelah tahu habis terjual. Kadang untuk beberapa pedagang ada yang membayar hanya sebanyak tahu yang berhasil terjual. Tahu yang tersisa biasanya dikembalikan lagi ke industri tahu sehingga penerimaan industri tahu pun berkurang.

28

Proses Produksi Tahu

Industri tahu di Desa Leuweung Kolot menggunakan mesin dan peralatan yang masih sederhana. Peralatan yang digunakan terdiri dari mesin penggiling, tahang, ember, ebek, cetakan, jirigen, kuali, drum, saringan, dan siantai. Peralatan tersebut merupakan peralatan yang sering digunakan oleh industri tahu saat melakukan produksi tahunya sehari-hari.

Tahap dalam proses produksi tahu diawali dengan merendam kedelai kurang lebih selama 7-8 jam di dalam ember agar kedelai menkadi empuk ketika dimasak. Biasanya kedelai direndam pada malam hari agar bisa digunakan untuk produksi pada esok paginya. Setelah direndam, kedelai kemudian dicuci menggunakan air bersih untuk membersihkan kotoran pada kacang kedelai yang tersisa. Kebersihan kacang kedelai harus dijaga karena dapat mempengaruhi hasil olahan kedelainya. Kemudian kedelai yang telah dibersihkan digiling dengan menggunakan mesing penggiling. Proses penggilingan ini dapat memakan waktu sekitar 15 hingga 20 menit per 10 kilogram kedelai. Pada responden industri tahu di Desa Leuweung Kolot, semua industri telah memiliki mesin penggiling sendiri baik dibeli baru maupun bekas sehingga tidak memerlukan biaya untuk penggilingan kedelai.

Setelah proses penggilingan, kedelai yang sudah hancur tersebut dimasukkan ke dalam kuali untuk direbus. Air yang digunakan untuk merebus kedelai harus air bersih yang telah mendidih agar bubur kedelai dapat masak sempurna. Perebusan kedelai sebaiknya tidak dilakukan sekaligus tetapi bertahap agar dapat menghasilkan kualitas tahu yang baik. Untuk bahan bakar yang digunakan, industri di desa tempat penelitian menggunakan bahan bakar berupa kayu bakar. Industri tahu bisanya menggunakan kayu bakar yang lebih banyak agar proses memasak kedelai tidak memakan waktu cukup lama. Kedelai yang telah dimasak kemudian berubah menjadi bubur kedelai yang encer kemudian disaring dengan menggunakan saringan dan ditampung ke dalam tahang. Setelah kedelai disaring dan dimasukkan ke dalam tahang, maka dtambahkan air sehingga volume kedelai yang encer semakin bertambah.

Bubur kedelai yang telah disaring ke dalam tahang selanjutnya akan dilakukan proses penggumpalan. Untuk industri tahu di Desa Leuweung kolot sebagian menggunakan sioko dan sebagian lagi menggunakan air biang sebagai bahan penggumpal bubur kedelainya. Sioko merupakan bahan penggumpal buatan yang biasa dibeli industri di warung terdekat. Sedangkan air biang merupakan air yang diperoleh dari hasil proses penggumpalan terakhir yang berada dibagian atas dari sisa penggumpalan. Sehingga industri yang menggunakan air biang tidak mengeluarkan biaya untuk membeli bahan penggumpal buatan atau sioko. Sioko atau air biang ini berperan sebagai koagulen untuk menggumpalkan bubur kedelai. Penggunaan sioko atau air biang biasanya disesuaikan oleh kebutuhan industri tahu. Industri tahu cenderung lebih memilih menggunakan sioko karena dapat menghasilkan tahu yang lebih banyak. Bubur kedelai yang telah digumpalkan menggunakan sioko atau air biang harus diperhatikan proses pengadukannya. Semakin lama maka adukannya pun akan semakin pelan. Untuk tahu putih biasanya diperlukan pengadukan yang lebih lama dan penambahan sioko atau air biang.

Setelah menggumpal, bubur tahu tersebut kemudian dicetak menggunakan cetakan atau dibungkus menggunakan kain dan dilakukan pengempresan untuk

29 mengurangi jumlah air dalam bubur tahu dan membentuk ukuran tahu. Besarnya ukuran cetakan berbeda-beda tergantung ukuran tahu yang ingin dihasilkan. Untuk tahu yang dibungkus, industri cukup membungkusnya dengan kain yang kemudian dikempres agar mengurangi kandungan airnya. Sedangkan pada tahu yang dicetak, industri harus memasukkan terlebih dahulu tahu tersebut ke dalam cetakan. Setelah dilakukan pengempresan tahu tersebut lalu diiris dengan menggunakan pisau atau penggaris. Tahu yang sudah jadi kemudian diletakkan di atas ebek untuk pengeringan.

Pada industri tahu putih maka proses produksinya akan berhenti setelah tahu dikeringkan. Namun untuk industri tahu kunyit atau tahu kuning makasetelah proses tahu dibentuk dan dikeringkan tadi kemudian tahu diberi kunyit atau sepuhan sebagai pewarna sesuai dengan permintaan konsumen. Kunyit atau sepuhan ini diberikan melalui perebusan ulang dari tahu yang sudah dibentuk dan dikeringkan pada air mendidih yang sudah dicampur dengan kunyit atau sepuhan. Setalah direbus kemudian tahu direndam didalam air dan siap untuk dijual.

Kebutuhan Peralatan Produksi

Peralatan yang digunakan untuk memproduksi tahu di Desa Leuweung Kolot masih tergolong sederhana. Peralatan yang digunakan mampu menghasilkan kuantitas produk yang bermacam-macam. Kedelai yang diproduksi di desa ini berkisar antara 20 kg hingga 400 kg per hari. Untuk 20 kg kedelai mampu menghasilkan sekitar 42 kg tahu per produksi, sedangkan penggunakan 400 kg kedelai dapat menghasilkan hingga 1000 kg tahu tiap produksinya. Kuantitas tahu tersebut tidak hanya ditentukan dari kondisi kacang kedelainya namun juga dipengaruhi oleh efisiensi penggunaan peralatan produksi. Peralatan yang biasa digunakan dalam proses pembuatan tahu meliputi mesin penggiling, tahang, kuali, saringan, siantai, drum, ember, cetakan, jirigen, dan ebek.

Mesin penggiling yang digunakan oleh industri tahu di Desa Leuweung Kolot berupa mesin penggiling baru dan bekas. Tiap industri rata-rata menggunakan 1 unit mesin untuk produksinya. Mesin yang digunakan berbahan bakar solar atau bensin. Untuk industri tahu dengan kapasitas produksi lebih besar, mereka menggunakan mesin yang berkulitas lebih bagus. Harga rata-rata mesin penggiling yang dibeli oleh industri tahu sebesar Rp4 792 000 per unitnya. Masa pakai dari mesin berbeda-beda tergantung mesinnya baru atau bekas. Namun rata- rata penggunaan mesin biasanya tahan hingga 218 bulan atau sekitar 18 tahun hingga mesin benar-benar rusak atau tidak terpakai lagi.

Peralatan produksi selanjutnya adalah tahang dan saringan. Tahang memiliki fungsi yang sama dengan saringan untuk menampung bubur kedelai. Nilai pembelian rata-rata untuk tahang adalah sebesar Rp456 000 per unitnya dengan total pembelian kurang lebih 3 unit. Tahang memiliki umur ekonomis selama 77 bulan. Untuk nilai pembelian saringan Rp 25 080 dengan pembelian rata-rata 4 unit. Saringan yang digunakan merupakan kain berwarna putih yang memiliki rongga-rongga rapat yang mampu menyaring bubur kedelai agar terpisah dari sarinya. Karena saringan terbuat dari kain, maka umur ekonomisnya pun lebih kecil yaitu 4 bulan.

30

Ember dan jirigen merupakan alat yang digunakan oleh industri untuk memasarkan tahunya. Alat ini digunakan untuk membawa tahu yang sudah jadi ke pasar atau digunakan untuk berkeliling. Industri rata-rata memiliki 5 ember dan 13 jirigen. Harga rata-rata untuk pembelian ember sebesar Rp13 640 per unit sedangkan untuk jirigen industri rata-rata mebeli dengan harga Rp22 380 per unitnya. Untuk umur ekonomisnya, ember dan jirigen memiliki masa pakai yang tidak berbeda jauh. Ember memiliki umur ekonomis bulan 6 sedangkan jirigen umur ekonomisnya adalah 10 bulan.

Peralatan produksi untuk drum, tidak digunakan oleh semua industri karena industri lebih memilih untuk menggunakan ember atau jirigen yang bisa dibeli dengan harga yang murah walaupun umur ekonomisnya lebih kecil. Harga rata- rata drum adalah sebesar Rp42 000 per unitnya dimana tiap industri hanya memiliki 1 unit drum dengan masa pakai drum sekitar 7 bulan.

Peralatan lainnya seperti ebek, cetakan, siantai adalah alat yang terbuat dari kayu atau bambu yang sering digunakan industri dalam memproduksi tahu. Ebek yang terbuat dari bambu digunakan untuk meletakkan tahu yang akan dikeringkan sehingga masa pakainya tidak lama sekitar 14 bulan. Di Desa Leuweung Kolot, industri memiliki 24 unit ebek dengan harga pembelian per unit sebesar Rp26 620. Untuk siantai, industri biasanya hanya menggunakan 1 siantai selama produksi. Mereka membeli siantai ini dengan harga Rp152 800 tiap unitnya dan dapat digunakan kurang lebih selama 30 bulan. Sedangkan untuk cetakan industri rata- rata membeli dengan harga Rp167 800 dengan masing-masing memiliki sebanyak 10 unit. Cetakan ini biasanya dapat digunakan rata-rata sekitar 15 bulan masa pakai. Peralatan selanjutnya adalah kuali. Kuali yang dibeli oleh industri memiliki masa pakai selama 27 bulan. Industri memiliki 2 unit kuali dengan harga pembelian Rp201 000 tiap unitnya. Kebutuhan peralatan produksi untuk industri tahu di Desa Leuweung Kolot dapat dilihat pada Lampiran 1.

Dokumen terkait