• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Struktur Biaya Usaha Tahu

Suatu kegiatan produksi berkaitan erat dengan biaya yang dikeluarkan selama pelaksanaan kegiatan produksi suatu usaha. Analisis pengaruh kenaikan harga kedelai pada usaha produksi tahu di Desa Leuweung Kolot dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kenaikan harga kedelai tersebut terhadap keuntungan dan nilai tambah yang dilihat dari struktur biaya usaha tahu tersebut. Biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi tahu meliputi pembelian kedelai, sioko, garam, bahan bakar, tenaga kerja, transportasi, listrik, sewa bangunan, dan biaya penyusutan peralatan produksi.

Biaya produksi adalah semua biaya yang dikeluarkan oleh industri tahu selama proses produksi berlangsung. Biaya produksi merupakan penjumlahan dari biaya variabel dan biaya tetap. Besarnya biaya produksi bergantung pada jumlah dan harga input yang digunakan oleh industri. Biaya variabel dan biaya tetap dapat dilihat dari jumlah alokasi biaya yang dibutuhkan selama proses produksi berlangsung.

31 Biaya Variabel Usaha Tahu

Biaya variabel usaha tahu bergantung pada jumlah produksi yang dihasilkan oleh industri tahu. Biaya ini meliputi biaya pembelian kedelai, sioko, garam, kunyit, sepuhan, bahan bakar, hingga tenaga kerja. Kenaikan harga kedelai menyebabkan harga kedelai meningkat dari Rp 7 368 per kilogram menjadi Rp 9 000 per kilogram. Kondisi ini juga berpengaruh terhadap beberapa biaya yang ikut berubah setelah adanya kenaikan harga kedelai.

Pada industri tahu di Desa Leuweung Kolot adanya kenaikan harga kedelai tidak mengurangi jumlah produksi mereka. Penggunaan input untuk pembuatan kedelai pun tidak mengalami perubahan saat sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai. Dengan kata lain, jumlah produksi yang dihasilkan oleh industri tahu di Desa Leuweung Kolot tetap. Industri tahu di desa penelitian memilih untuk berproduksi tetap karena adanya strategi yang telah dilakukan oleh industri tahu di desa tersebut. Strategi yang dilakukan berupa menaikkan harga jual tahu dan memperkecil ukuran tahu yang dihasilkan. Setelah adanya penerapan terhadap strategi tersebut, industri tahu di Desa Leuweung Kolot dapat mempertahankan usahanya dan tetap memperoleh keuntungan. Penggunaan input rata-rata per responden dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Rata-rata penggunaan input sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai industri tahu di Desa Leuweung Kolot

Biaya Variabel Satuan

Sebelum Kenaikan Harga Kedelai (Satuan/bulan) Setelah Kenaikan Harga Kedelai (Satuan/bulan) Kedelai Kg 2 875.2 2 875.2 Sioko Kg 82.2 82.2 Garam Kg 99 99 Solar Liter 71.4 71.4 Bensin Liter 10.2 10.2 Kayu Bakar M3 12.3 12.3 Kunyit Kg 20.4 20.4 Sepuhan Kg 6 6 Kemasan Pak 25,2 25,2

Tenaga Kerja Jam 1 212 1 212

Tepung Oncom Kg 4.5 4.5

Keuntungan yang diperoleh industri tahu di Desa Leuweung Kolot diperoleh dari pengurangan penerimaan dan total biaya yang dikeluarkan industri. Pada Tabel 10 dapat dilihat rata-rata biaya variabel yang dikeluarkan oleh masing- masing industri tahu sebelum dan setelah kenaikan harga.

Berdasarkan tabel tersebut biaya variabel yang tidak mengalami perubahan setelah kenaikan harga kedelai adalah sioko, garam, kayu bakar, kunyit, sepuhan, dan tepung oncom. Sedangkan biaya yang berubah akibat adanya kenaikan harga kedelai adalah berupa biaya pembelian kedelai, bahan bakar seperti solar dan bensin, dan kemasan dan tenaga kerja. Untuk komponen biaya bahan bakar, kenaikan biaya bahan bakar bukan disebabkan adanya kenaikan harga kedelai. Namun kenaikan harga kedelai hampir bersamaan dengan ketetapan pemerintah untuk menetapkan kenaikan harga BBM. Sehinngga biaya untuk input bahan bakar ikut meningkat. Biaya ini merupakan rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh tiap responden saat sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai selama satu bulan.

32

Biaya rata-rata yang dikeluarkan oleh tiap industri untuk pembelian kedelai meningkat sebesar 18.60 persen yaitu dari Rp21 063 600 menjadi Rp25 876 800. Biaya yang dikeluarkan disebabkan adanya perubahan harga kedelai yang hampir mencapai kenaikan sebesar Rp2 000, sehingga biaya yang dikeluarkan industri untuk membeli kedelai juga mengalami peningkatan.

Pada komponen biaya bahan bakar, industri tahu di tempat penelitian menggunakan solar dan bensin. Sebagian besar dari industri menggunakan solar sehingga biaya rata-rata yang dikeluarkan selama sebulan lebih besar dibanding bensin. Perubahan biaya yang dikeluarkan untuk solar adalah sebesar 22.48 persen setelah adanya kenaikan harga yaitu dari biaya Rp347 700 naik menjadi Rp448 500. Sedangkan penggunaan bensin sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai mengalami perubahan sebesar 25.52 persen. Penggunaan solar menurun terlihat dari berkurangnya biaya yang dikeluarkan setelah harga kedelai naik. Hal ini didasarkan pada kenaikan harga solar yang ditetapkan oleh pemerintah lebih rendah dibanding harga bensin yaitu sebesar Rp1 000 per liter. Sedangkan untuk bensin harganya naik sebesar Rp2 000 per liternya. Rata-rata biaya variabel sebelumd an setelah kenaikan harga kedelai dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Rata-rata biaya variabel sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai industri tahu di Desa Leuweung Kolot

Biaya Variabel Sebelum kenaikan harga kedelai (Rp/bulan)

Setelah kenaikan harga kedelai (Rp/bulan) Persentase Perubahan (%) Kedelai 21 063 600 25 876 800 18.60 Sioko 190 920 190 920 0.00 Garam 216 540 216 540 0.00 Solar 347 700 448 500 22.48 Bensin 53 400 71 700 25.52 Kayu Bakar 2 964 627.89 2 964 627.89 0.00 Kunyit 122 400 122 400 0.00 Sepuhan 15 600 15 600 0.00 Kemasan 181 200 241 200 24.88 Tenaga Kerja 5 544 000 5 604 000 1.07 Tepung Oncom 19 500 19 500 0.00

Total Biaya Variabel 30 719 487.89 35 771 787.89 14.12

Apabila dilihat dari data Tabel 10 di atas, komponen biaya terbesar yang dikeluarkan oleh industri tahu di Desa Leuweung Kolot adalah biaya tenaga kerja. Untuk sistem upah tenaga kerja dalam dan luar keluarga tidak ada perbedaan yang signifikan. Sistem upah pada industri tahu di Desa Leuweung Kolot menggunakan upah per hari sesuai jumlah produksinya. Upah industri tahu per hari berkisar antara Rp 15 000 hingga Rp 70 000 per orang. Adanya kenaikan harga kedelai tidak membuat semua industri tahu menaikkan upah tenaga kerja. Hanya beberapa responden saja yang memilih untuk menaikkan upah tenaga kerjanya. Hal ini terlihat dari sedikitnya perbedaan kenaikan biaya yang dikeluarkan untuk tenaga kerja saat sebelum dan setelah kenaikan harga. Sehingga biaya tenaga kerja yang dikeluarkan hanya berubah sebesar 1.07 persen yaitu dari Rp5 544 000 naik menjadi Rp5 604 000 per bulan.

Komponen biaya variabel selanjutnya adalah biaya kemasan. Biaya kemasan ini dikeluarkan oleh industri tahu yang menjual sendiri produknya di pasar atau berkeliling desa. Berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara dengan

33 responden, biaya kemasan termasuk pada salah satu biaya variabel yang berubah akibat adanya kenaikan harga kedelai. Rata-rata biaya kemasan yang dikeluarkan oleh industri mengalami perubahan sebesar 24.88 persen. Biaya kemasan termasuk pada biaya variabel karena jumlah tahu yang diproduksi berpengaruh pada jumlah pembelian kemasan yang dilakukan oleh industri tahu. Apabila tahu yang diproduksi lebih sedikit maka industri membeli kemasannya tidak terlalu banyak.

Berdasarkan komponen biaya variabel di atas dapat dinyatakan bahwa adanya kenaikan harga kedelai menyebabkan biaya variabel pun ikut meningkat sebesar 14.12 persen bagi tiap responden industri tahu dari Rp30 719 487.89 menjadi Rp35 771 787.89. Hal ini disebabkan adanya kenaikan jumlah biaya pembelian kedelai yang meningkat diikuti dengan komponen biaya-biaya lain yang berubah sesuai kondisi lapang. Kenaikan harga kedelai ini tidak menyebabkan penurunan produksi karena industri di Desa Leuweung Kolot memilih strategi untuk menaikkan harga jual tahu dan memperkecil ukuran tahu sehingga mereka tetap memproduksi tahu dengan jumlah kedelai yang sama.

Biaya Tetap Usaha Tahu

Biaya tetap merupakan biaya yang tidak bergantung pada jumlah produksi yang dihasilkan. Biaya tetap yang dikeluarkan oleh industri tahu terdiri dari biaya penyusutan peralatan produksi, biaya transportasi, biaya listrik, dan biaya sewa bangunan. Biaya tetap pada kenyataannya tidak semua dibayarkan secara tunai, namun tetap diperhitungkan dalam analisis biaya. Biaya yang diperhitungkan tersebut berupa biaya penyusutan alat dan biaya sewa bangunan.

Biaya transportasi termasuk dalam biaya tetap karena biaya transportasi di tempat penelitian tidak dipengaruhi oleh besarnya jumlah produksi tahu yang dihasilkan. Berikut data mengenai jumlah rata-rata biaya tetap yang dikeluarkan oleh industri tahu di Desa Leuweung Kolot dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Rata-rata biaya tetap industri tahu di Desa Leuweung Kolot

Biaya tetap Sebelum kenaikan harga kedelai (Rp/bulan) Setelah kenaikan harga kedelai (Rp/bulan) Persentase Perubahan (%) Biaya transportasi 867 000 1 172 400 26.05 Biaya listrik 65 000 65 000 0.00 Sewa bangunan 120 000 120 000 0.00

Biaya penyusutan peralatan 356 247.64 356 247.64 0.00

Total biaya tetap 1 408 247.64 1 713 647.64 17.82

Pada Tabel 11 dapat dilihat komponen biaya tetap rata-rata yang dikeluarkan oleh industri tahu di Desa Leuweung Kolot. Berdasarkan data tersebut biaya tetap yang dikeluarkan menjadi lebih tinggi setelah adanya kenaikan harga kedelai. Peningkatan biaya ini disebabkan adanya kenaikan biaya transportasi seiring dengan kenaikan harga kedelai.

Sebelum kenaikan harga kedelai, biaya transportasi yang dikeluarkan oleh industri tahu tiap bulannya sebesar Rp867 000. Biaya ini dikeluarkan oleh industri untuk menyewa angkutan mobil. Biaya transportasi tiap industri berbeda-beda didasarkan pada jarak tempuh dari tempat produksi ke tempat pemasaran. Pada

34

industri tahu yang memasarkan produknya dengan cara berkeliling tidak mengeluarkan biaya transportasi karena pemasarannya menggunakan kayu yang dipanggul keliling desa sehingga tidak menggunakan biaya untuk membeli bahan bakar. Setelah kenaikan harga kedelai, biaya transportasi yang dikeluarkan oleh industri pun meningkat karena adanya kenaikan harga BBM. Kenaikan ini berdampak pada biaya tetap yang dikeluarkan oleh industri yang meningkat. Biaya transportasi industri tahu setalah kenaikan harga kedelai naik menjadi Rp1 172 400 tiap bulannya. Selain itu, biaya listrik yang dikeluarkan oleh industri tahu digunakan untuk lampu, air, dan dinamo. Biaya ini tidak bergantung pada jumlah kedelai yang diproduksi sehingga meskipun ada penambahan atau pengurangan produksi. Rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh industri tahu untuk membayar listrik sebesar Rp65 000 per bulan.

Komponen biaya tetap selanjutnya adalah biaya sewa bangunan. Dari 25 responden industri tahu di Desa Leuweung Kolot, 24 diantaranya memiliki pabrik sendiri dan hanya 1 orang yang menyewa bangunan sebagai tempat pelaksanaan kegiatan produksinya. Sehingga rata-rata biaya sewa bangunan yang dikeluarkan oleh industri tiap bulannya sebesar Rp 120 000. Biaya penyusutan peralatan produksi tetap diperhitungkan pada struktur biaya tetap industri tahu. Rata-rata biaya penyusutan peralatan yang dikeluarkan oleh industri tahu adalah sebanyak Rp356 247.64. Sehingga total biaya tetap rata-rata yang dikeluarkan oleh industri tahu di Desa Leuweung Kolot adalah sebesar Rp1 408 247.64 sebelum kenaikan harga kedelai dan sebesar Rp1 713 647.64 setelah kenaikan harga kedelai dengan persentase perubahan sebesar 17.82 persen.

Biaya Total Usaha Tahu

Biaya produksi usaha tahu merupakan penjumlahan dari total biaya variabel dan total biaya tetap. Besaran biaya total yang dikeluarkan oleh industri tahu sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai dapat dilihat pada Tabel 12. Berdasarkan tabel tersebut, jumlah biaya total rata-rata yang dikeluarkan oleh industri selama sebulan sebelum kenaikan harga kedelai adalah sebesar Rp32 127 735.53. Setelah kenaikan harga kedelai, total biaya mengalami peningkatan menjadi Rp37 485 435.53. Total biaya produksi yang dikeluarkan industri tahu tersebut meningkat sebesar 14.29 persen. Kenaikan biaya ini dikarenakan adanya peningkatan pengeluaran pada biaya variabel seperti biaya kedelai, bahan bakar, kemasan, dan tenaga kerja. Biaya tetap juga mengalami peningkatan karena adanya kenaikan biaya transportasi sehingga total biaya produksi setelah kenaikan harga kedelai pun meningkat.

Tabel 12 Rata-rata total biaya produksi usaha tahu sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai di Desa Leuweung Kolot

Komponen biaya Sebelum kenaikan harga kedelai (Rp/bulan)

Setelah kenaikan harga kedelai (Rp/bulan) Persentase Perubahan (%) Biaya variabel 30 719 487.89 35 771 787.89 14.12 Biaya tetap 1 408 247.64 1 713 647.64 17.82

Total biaya produksi 32 127 735.53 37 485 435.53 14.29

35 Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa total biaya produksi yang dikeluarkan oleh industri tahu di Desa Leuweung Kolot mengalami peningkatan setelah adanya kenaikan harga kedelai. Apabila dibandingkan dengan penelitian terdahulu, penelitian Patmawaty (2009) menganalisis bahwa biaya total produksi yang dikeluarkan menurun karena jumlah produksi tahunya juga menurun. Penurunan produksi pada penelitian tersebut lebih besar dibanding peningkatan biaya pengeluaran untuk kedelai. Kondisi tersebut berbeda dengan penelitian ini karena biaya total produksi yang dikeluarkan meningkat disebabkan jumlah produksi yang tetap namun harganya meningkat meskipun tidak seluruh input mengalami kenaikan harga.

Penerimaan, Keuntungan dan R/C Rasio Usaha Tahu di Desa Leuweung Kolot

Penerimaan merupakan hasil perkalian antara jumlah output yang diproduksi dengan tingkat harga dari produk tersebut. Analisis penerimaan bertujuan untuk melihat keragaan dari usaha pembuatan tahu. Penerimaan yang diterima oleh industri tahu di tempat penelitian tidak hanya berupa hasil penjualan tahu tetapi penerimaannya juga didapat dari hasil penjualan oncom dan ampas yang berasal dari sisa pembuatan tahu. Dari 25 responden, hanya 6 orang responden yang memilih memanfaatkan ampas tahu untuk diolah menjadi oncom. Sedangkan 19 responden lainnya menjual ampas tahu sebagai residu dari pembuatan tahu. Industri tahu di Desa Leuweung Kolot yang membuat oncom hanya mengeluarkan biaya untuk pembelian tepung oncom. Mereka tidak mengeluarkan biaya untuk membeli ragi oncom karena ragi oncom tersebut mereka dapat dari oncom yang sudah dibuat yang kemudian diuraikan kembali menjadi ragi. Sehingga industri tidak mengeluarkan biaya untuk pembelian ragi oncom tersebut. Harga jual untuk satu oncom berkisar antara Rp500 hingga Rp2000 tergantung dari ukuran oncom yang dijual industri. Berdasarkan data penjualan oncom yang dilakukan oleh industri tahu di Desa Leuweung Kolot, maka rata-rata penerimaan oncom bagi industri tahu sebelum dan setelah kenaikan harga tidak mengalami perubahan yaitu sebesar Rp510 000 per bulan. Penerimaan oncom tidak mengalami perubahan karena biaya dari pembuatan oncom yaitu berupa tepung oncom tidak mengalami kenaikan harga dan produksi industri pun tidak berkurang sehingga penerimaan oncomnya tetap. Rata-rata penerimaan industri tahu sebelum dan setelah kenaikan harga keelai dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Rata-rata penerimaan industri tahu sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai di Desa Leuweung Kolot

Penerimaan Industri Tahu Output sebelum kenaikan harga kedelai(kg) Output setelah kenaikan harga kedelai(kg) Sebelum Kenaikan Harga Kedelai (Rp/bulan) Setelah Kenaikan Harga Kedelai (Rp/bulan) Persentase Perubahan (%) Tahu 310.22 310.56 36 497 335.20 45 642 616.80 20.04 Oncom 510 000 510 000 0.00 Ampas Tahu 1 587 000 1 587 000 0.00 Total Penerimaan 38 594 335.20 47 739 616.80 19.16

36

Ampas tahu yang dihasilkan oleh industri dijual sesuai dengan jumlah kedelai yang mereka gunakan per harinya. Sebagian industri ada yang menjual ampasnya dalam bentuk saringan seharga Rp3 500 – Rp6 000 per saringan. Namun ada juga yang menjual per karung dengan kisaran harga Rp10 000 hinga Rp20 000. Berdasarkan data pada Tabel 13, penerimaan industri untuk ampas tahu adalah sebesar Rp1 587 000 per bulan. Penerimaan ampas tahu juga tidak mengalami perubahan karena harga ampas tahu tidak dipengaruhi oleh kenaikan harga kedelai.

Respon industri tahu di Desa Leuweung Kolot terhadap kenaikan harga kedelai yaitu dengan menaikkan harga jual atau memperkecil ukuran tahu sehingga menyebabkan output yang dihasilkan industri tahu sebelum kenaikan harga kedelai sebesar 310.22 kg dan setelah kenaikan harga kdelai 310.56 kg tahu. Namun sebagian besar industri memilih untuk menaikkan harga jual karena dengan naiknya harga jual tahu, industri mampu menutupi biaya yang dikeluarkan yang bertambah akibat adanya kenaikan harga kedelai. Strategi yang dilakukan oleh industri tahu tersebut berdampak kepada penerimaan yang diterima oleh industri. Untuk ukuran tahu yang kecil, industri bisa menaikkan harga Rp 50 hingga Rp 100 per biji tahu. sedangkan untuk ukuran tahu yang lebih besar, beberapa industri bahkan bisa menaikkan harga Rp 200 sampai Rp 700 per biji tahu. Keputusan menaikkan harga dilakukan oleh industri sesuai dengan kesepakatan antar industri. Kenaikan harga jual ini membuat penerimaan tahu rata-rata industri saat sebelum kenaikan harga kedelai sebesar Rp36 497 335.20 berubah menjadi Rp45 642 616.80 setelah kenaikan harga kedelai. Sehingga total penerimaan rata-rata industri di Desa Leuweung Kolot mengalami perubahan sebesar 19.16 persen atau berubah dari Rp38 594 335.20 menjadi Rp47 739 616.80 per bulan.

Saat menghadapi kenaikan harga kedelai, industri tahu di Desa Leuweung Kolot tidak melakukan pengurangan dalam jumlah produksi tahunya. Namun mereka memilih untuk menaikkan harga jual atau memperkecil ukurannya dengan jumlah pembelian kedelai yang sama dengan saat sebelum kenaikan harga kedelai. Kondisi ini membuat penerimaan rata-rata industri tahu meningkat begitu pula dengan biaya total rata-rata yang dikeluarkan oleh industri tahu. Pada Tabel 14 dapat dilihat keuntungan yang diterima oleh industri tahu setelah adanya pengurangan dari total penerimaan yang diterima dengan biaya total yang dikeluarkan industri.

Tabel 14 Efisiensi rata-rata biaya industri tahu sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai di Desa Leuweung Kolot

Uraian Sebelum Kenaikan Harga

Kedelai (Rp/bulan)

Setelah Kenaikan Harga Kedelai (Rp/bulan) Persentase Perubahan (%) Total Penerimaan 38 594 335.20 47 739 616.80 19.16 Total Biaya 32 127 735.53 37 485 435.53 14.29 Keuntungan 6 466 599.67 10 254 181.27 36.94

R/C atas total biaya 1.31 1.41 7.09

Berdasarkan data tersebut, keuntungan rata-rata yang diterima oleh industri tahu di Desa Leuweung Kolot berubah sebesar 36.94 persen dari Rp6 466 599.67 menjadi Rp10 254 181.27 per bulan. Adanya strategi yang sudah dilakukan oleh

37 industri tahu saat kenaikan harga kedelai membuat keuntungan yang diterima oleh industri tersebut meningkat.

Selain adanya peningkatan keuntungan, keberhasilan usaha tahu di Desa Leuweung Kolot pun meningkat dapat dilihat dari analisis penerimaan atas total biaya yang dikeluarkan tiap industri responden berupa nilai R/C. R/C diperoleh dari hasil perbandingan antara rata-rata total penerimaan dengan total biaya yang dikeluarkan. Nilai R/C pada industri tahu di tempat penelitian ini dapat dikatakan efisien karena besaran R/C yang diperoleh lebih dari satu. Nilai rata-rata R/C rasio tersebut dapat dilihat pada Tabel 14 di atas. Dilihat dari nilai R/C sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai mengalami kanaikan sebesar 0.1. Saat sebelum kenaikan harga kedelai nilai R/C dari usaha tahu di Desa Leuweung Kolot adalah sebesar 1.31. Setelah kenaikan harga kedelai, nilai R/C usaha tahu pun meningkat menjadi 1.41. Peningkatan nilai R/C ini disebabkan karena adanya peningkatan dari penerimaan total yang diterima industri diikuti dengan peningkatan biaya total yang dikeluarkan oleh industri tahu dalam satu bulan produksi.

Nilai R/C sebelum kenaikan harga kedelai sebesar 1.31 memiliki arti bahwa jika industri tahu menambah biaya produksinya sebesar Rp131.00 maka penerimaan industri akan meningkat sebesar Rp131.00. Sedangkan setelah terjadi kenaikan harga kedelai industri memperoleh tambahan penerimaan sebesar Rp141.00. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa industri tahu di Desa Leuweung Kolot saat sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai adalah efisien dan layak untuk dijalankan.

Meningkatnya keuntungan industri tahu di Desa Leuweung Kolot ini sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Patmawaty (2009). Pada penelitian yang dilakukan pada industri tahu di Desa bojong Sempu Kecamatan Parung tersebut, keuntungan yang diterima oleh industri tahu meningkat hingga 60.54 persen. Peningkatan keuntungan pada penelitian Patmawaty lebih besar dibanding penelitian ini dimana persentase perubahannya keuntungannya hanya sebesar 36.03 persen. Pada penelitian terdahulu peningkatan keuntungan disebabkan adanya penurunan jumlah produksi untuk menutupi biaya yang dikeluarkan akibatnya kenaikan harga kedelai. Sedangkan pada penelitian penulis, peningkatan keuntungan didasarkan pada strategi yang dilakukan oleh industri responden berupa menaikkan harga jual tahu dan memperkecil ukuran tahu yang di produksi.

Analisis Uji Beda T-Paired

Analisis uji beda digunakan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang signifikan atau tidak terhadap rata-rata keuntungan dan R/C rasio pada industri tahu di Desa Leuweung Kolot saat sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai. Berdasarkan prosedur pengujian hipotesis, sebelumnya dilakukan uji normal untuk mengetahui apakah data dalam penelitian menyebar secara normal atau tidak. Hasil uji normal terhadap rata-rata keuntungan dan R/C rasio dari industri tahu di Desa Leuweung Kolot dinyatakan telah memenuhi asumsi menyebar normal. Hal ini terlihat dari hasil pengujian menggunakan SPSS 20 yang menunjukkan bahwa nilai asymp.sig (2-tailed) lebih besar dari taraf nyata (5

38

persen). Hal ini berarti bahwa distribusi populasi pada penelitian ini menyebar normal.

Pada data tersebut terlihat bahwa nilai asymp.sig (2-tailed) pada keuntungan sebelum kenaikan harga kedelai sebesar 0.497 dimana nilai ini lebih besar dari 0.05 sebagai taraf nyata pengujian. Ketika nilai asymp.sig (2-tailed) > α maka distribusi data tersebut dinyatakan menyebar normal sehingga dapat dilakukan pengujian selanjutnya. Nilai asymp.sig (2-tailed) pada keuntungan setelah kenaikan harga kedelai sebesar 0.538 > 0.05 yang juga memenuhi asumsi sebaran normal. Kondisi ini juga sama dengan data nilai R/C rasio dimana nilai asymp.sig (2-tailed) untuk nilai R/C rasio sebelum kenaikan harga kedelai sebesar 0.360 dan nilai asymp.sig (2-tailed) untuk nilai R/C rasio setelah kenaikan harga kedelai sebesar 0.275. Nilai asymp.sig (2-tailed) R/C rasio saat sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai memiliki nilai yang lebih besar dari taraf nyata (5 persen) sehingga data nilai R/C rasio tersebut dinyatakan memenuhi asumsi menyebar normal.

Setelah dilakukan uji normal pada data, selanjutnya dapat dilakukan uji t- paired. Hasil uji beda t-paired terhadap rata-rata keuntungan industri tahu dari masing-masing responden sebelum dan setelah kenaikan harga kedelai memperoleh hasil yang menunjukkan bahwa nilai t-hitung keuntungan kecil dibanding t-tabel yaitu 2.632 > 2.064. Selain itu pada perhitungan SPSS, nilai

sig.(2-tailed) sebesar 0.015 < 0.05. Nilai t-hitung yang lebih besar dari t-tabel dan nilai sig.(2-tailed) yang lebih kecil dari taraf nyata menyatakan bahwa hipotesis

Dokumen terkait