• Tidak ada hasil yang ditemukan

LOKASI PENELITIAN

4. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

5.3. Bentuk Pertukaran Sosial di Pedesaan Subang 1 Gantangan di Subang Utara

5.3.3. Gantangan di Subang Selatan a Gintingan

Salah satu pengaruh dari luar tonggoh yang saat ini eksis di tengah desa pegunungan ini adalah Gintingan, yang tidak lain adalah sebutan untuk tradisi Gantangan. Gintingan ini diakui warga Cimenteng sebagai pengaruh dari luar sebab dulunya tidak pernah ada. Dahulu, gotong royong masyarakat dalam saling membantu satu-sama lain sangat kuat dan tanpa pamrih. Misalnya jika ada salah satu warga yang sedang membangun rumah, maka warga desa lainnya akan berduyun-duyun dan bergantian membantu mendirikan rumah tersebut. Tradisi ini mereka sebut sebagai liliuran. Bahkan sampai hari ini beberapa dusun masih melakukan hal yang sama, meskipun tidak sebanyak dan seramai dahulu. Tetapi hari ini, dirasakan oleh masyarakat (diwakili partisipan wawancara kelompok terfokus) bahwa setiap orang semakin perhitungan dalam segala hal, termasuk dalam tradisi nyumbang (Gintingan) ini.

Gintingan di desa Cimenteng (dan mungkin Subang Selatan pada umumnya) sudah serupa dengan Gantangan di Subang Utara dan Tengah, yaitu menggunakan sistem pencatatan terbuka dan menjadikan sumbangan sebagai hutang-piutang (kewajiban). Warga desa

Cimenteng menyebut Gintingan sebagai pertukaran beras dan uang

antar warga satu kampung dan luar kampung yang dibayarkan ketika dilangsungkan pesta hajatan. Di luar gintingan tersebut, mereka juga melakukan pertukaran beras dan uang serta iuran lain-lain antar warga satu kampung yang disebut sebagai persatuan atau satuan. Adanya bermacam-macam kegiatan kolektif semacam itu selain menunjukkan

kentalnya kehidupan komunal, juga menunjukkan bahwasanya setiap rumah tangga sangat menggantungkan kehidupannya kepada rumah tangga lainnya (interdependensi).

Secara historis, menurut penuturan beberapa informan, sampai dengan tahun 1960-an, belum ada sistem pencatatan sumbangan hajatan itu. “masing-masing ge emut, dicatet di hate” (setiap orang ingat dan dicatat didalam hati). Barangkali karena jumlah penduduk yang masih belum sebanyak sekarang dan hubungan yang masih

sangat dekat. Pada tahun 1964, mulai banyak orang yang lupa, “seeur

nu hilap”, sehingga masing-masing rumah tangga mulai mencatat sumbangan yang diterimanya, agar ketika mengembalikan tidak lupa. Akan tetapi pencatatan ini dilakukan diam-diam, tidak secara kolektif, catatan pribadi. Akhirnya pada tahun 1985-an, mulai muncul penggunaan sabun colek dan rokok sebagai undangan hajatan. Konon ini pengaruh dari utara, “pengaruh ti kaler”, yaitu saudara-saudara atau kenalan mereka yang tinggal di desa-desa utara (Kec. Pagaden) mengundang mereka dengan cara seperti itu. Dinilai praktis, pada akhirnya cara tersebut mulai ditiru dan meluas penggunannya.

Ingatan warga merujuk pada Ceu Rohimah, sebagai orang yang

pertama kali mengajak dan mengenalkan hajatan gintingan secara utuh pada saat hajatannya di tahun 1995. Mulai dari situ, kemudian pola pesta hajatan dan tradisi nyumbang di Cimenteng ini serupa dengan desa di utara, yaitu ada juru tulis Gintingan, ada batas minimal gintingan, dan kewajiban-kewajiban dalam pengembalian gintingan. Hingga hari ini, minimal gintingan untuk beras adalah 5 liter (1/2 gantang) dan maksimal 50 kg (1/2 Kw). Pembatasan jumlah gintingan inilah yang unik dan membedakan daerah tonggoh dengan di utara. Nampaknya, mereka tahu benar terhadap kemampuan mereka, baik secara ekonomi atau ekologi, bahwa hasil panen padi mereka tidaklah sebagus dan sebanyak di dataran rendah (banyak hama). Sehingga

mereka merasa perlu membatasi gintingan agar tetap pada batas kemampuan mereka untuk membayar.

Sumber : diolah dari buku catatan Gantangan

Gambar 35. Hasil Gintingan

Untung rugi dalam pesta hajatan, nampaknya juga bukan hal yang tabu menjadi bahan perbincangan masyarakat. Menurut warga, “hajatan teh kumaha perbuatan. Saha nu rajin nyimpen ya loba hasilna, saha nu kedul nyimpen ya teu kabayar modal, moal kenging artos” (untung/ruginya hajatan itu tergantung pada perbuatan seseorang, barang siapa rajin datang dan menyimpan ke orang lain maka akan banyak menuai hasil gintingan, sebaliknya yang malas menyimpan yang mungkin tidak akan terbayar modalnya/rugi, tidak akan mendapat kelebihan uang). Perbedaan lain di daerah tonggoh ini adalah frekuensi hajatan setiap musim yang tidak terlalu memberatkan/sering. Rata-rata hanya 6-7 kali panggung dalam setiap

musimnya (6 bulan). Biasanya hajatan ramai di bulan Raya Agung, di

r = beras, m = uang

Gambar 36. Pola Gintingan di Subang Selatan sama dengan pola Telitian (Subang Utara) dan Talitihan (Subang Tengah)

Keterlibatan dalam pertukaran gintingan ini adalah sukarela, tidak ada paksaan. Banyak juga warga yang tidak mengikuti sistem ini, artinya dia hanya menyumbang seikhlasnya dan tidak dicatat dalam buku gintingan (tidak wajib dikembalikan). Toleransi terhadap mereka yang belum bisa membayar hutang (mengembalikan gintingan) juga masih cukup besar, yaitu ditunggu sampai mampu membayar. Bahkan mereka yang pindah domisili pun tidak menjadi masalah berarti, sepanjang di domisilinya yang baru masih terjangkau dan bersedia datang jika diundang. Contohnya adalah Bu Nane, seorang Bidan yang pernah bertugas di Cimenteng. Suatu ketika ia pindah dinas ke Indramayu, warga pun tetap mengantarkan undangannya ke ibu Nane, sebaliknya, Bidan tersebut juga tetap berkomitmen dengan membayar hutang/simpanan warga ketika ia hajatan dahulu.

Tabel 12. Ciri Pola Pertukaran Sosial Gantangan TIPE CIRI-CIRI TIPE A (Nyambungan) TIPE B (Gintingan) TIPE C (Golongan) Norma resiprositas r + m B C A r + m r + m

Mengikat V v v

Memaksa v v

Sanksi tegas v

Volume pertukaran pasti v

Waktu pengembalian terjadwal v

Jaringan

Antar keluarga dan Tetangga dekat V v v

Satu desa V v v

Luar desa v v

Ikatan antar aktor yang kuat v

Kepercayaan (trust)

Ditagih v v

Dicatat Sendiri v v

Dicatat Juru Tulis (panitia hajat) v v

Tabel 13. Perbandingan Pola Pertukaran Sosial Gantangan di Tiga (3) Desa Lokasi Penelitian (2012)

Subang Utara Subang Tengah Subang Selatan

Karakteristik Komunitas

Masyarakat pesisir, petani/petambak, buruh tani, nelayan, jasa dan perdagangan

Terbuka, miskin = tidak memiliki lahan

Masyarakat sekitar perkebunan karet dan tebu, buruh tebas, petani dan buruh pabrik

Terbuka, miskin = sumberdaya minim

Masyarakat sekitar hutan, petani, peladang, dan peternak.

Terisolir, miskin = minim akses

Istilah Modal Sosial Telitian Talitihan atau Gantangan Gintingan

Sejarah Mulainya Gantangan

Pengaruh/meniru dari Karawang dan Indramayu

Pengaruh/meniru dari Subang Utara Pengaruh/meniru dari Subang Tengah dan Utara

Penyebaran Melalui perkawinan, perpindahan penduduk dan jaringan pertemanan

Melalui perkawinan, perpindahan penduduk dan jaringan pertemanan

Melalui jaringan pertemanan,

perpindahan penduduk dan perkawinan

Pola resiprositas dan pertukaran

Pola A. Pemberian beras < 5 liter, tidak dicatat, tidak wajib dikembalikan, mulai menghilang.

Pola B. Menyimpan beras 5-10 liter, uang > Rp. 15.000, dan sembako lainnya, dicatat, wajib dikembalikan, masih eksis tapi mulai menurun karena ketidakjujuran dan frekuensi hajatan yang tidak diatur (21 kali setahun hajatan rame-rame ditambah hajatan tanpa hiburan yang tidak tercatat)

Pola C. Menyimpan beras dalam sebuah kelompok mirip arisan sebanyak @50 kg, uang Rp. 50.000, daging sapi, daging ayam, dan sembako lainnya yang dikelola oleh Ketua Golongan, dicatat, wajib dibayarkan, jumlah anggota 45 orang, waktu pengembalian/hajatan dibatasi 4 kali setahun

Pola A. Pemberian beras < 5 liter, tidak dicatat, tidak wajib dikembalikan, mulai menghilang.

Pola B. Menyimpan beras 5-10 liter, uang > Rp. 10.000, dan sembako lainnya, dicatat, wajib dikembalikan, masih eksis tapi mulai menurun karena frekuensi hajatan yang tidak diatur (19 kali setahun) dan kesulitan ekonomi

Pola C. Menyimpan beras dalam sebuah kelompok mirip arisan sebanyak @10 liter, uang Rp. 20.000, dan sembako lainnya yang dikelola oleh Ketua Rombol, dicatat, wajib dibayarkan, jumlah anggota 40

orang/kelompok, waktu pengembalian/hajatan tidak/belum dibatasi/diatur.

Pola A. Pemberian beras < 5 liter, tidak dicatat, tidak wajib dikembalikan, mulai menghilang.

Pola B. Menyimpan beras minimum 5 liter dan maksimum 50 kg, uang > Rp. 10.000, dan sembako lainnya, dicatat, wajib dikembalikan, masih eksis dengan frekuensi hajatan relatif rendah (7-8 kali setahun)

Bandar Hajatan Memiliki power sentral dalam pertukaran Memiliki pengaruh kuat dalam pertukaran Belum terlalu memiliki pengaruh/power

Waktu hajatan Musim panen, pernikahan, khitanan, kelahiran, naik haji, membangun/merehab rumah, dan kebutuhan mendesak lainnya

Musim panen, Pernikahan, khitanan, kelahiran, naik haji, membangun/merehab rumah, dan kebutuhan mendesak lainnya

Musim panen, Pernikahan, khitanan, kelahiran

Kesan terhadap gantangan

 Perempuan : (1) Bayar (2) Makan (3) Beras

 Laki-laki : (1) Bayar (2) Utang (3) Pusing

 Perempuan: (1) Hutang (2) Uang (3) Beras

 Laki-laki : (1) Hutang (2) Pusing (3) Bayar

 P: (1) Simpanan (2) Usaha (3) Hutang

 L : (1) Hutang (2) Simpanan (3) Pusing