• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

C. Gaya Bahasa

Gaya bahasa merupakan salah satu ciri penting di dalam teks sastra. Gaya bahasa banyak digunakan dalam teks sastra karena bermanfaat untuk menghidupkan makna, memberi citra yang khas, membuat gambaran yang lebih jelas, serta membuat kalimat-kalimat lebih dinamis dan hidup. Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna yang terdapat dalam PPJAS yaitu (a). gaya bahasa retoris : anastrof, asidenton, pleonasme, erotesis, hiperbola. (b). gaya bahasa kiasan : simile, metafora, personifikasi, eponim. Selanjutnya akan dijelaskan analisisnya sebagai berikut.

1. Gaya Bahasa Retoris a. Anastrof

Anastrof yaitu gaya bahasa inversi atau pembalikan susunan kata-kata dalam sebuah kalimat, yang berbeda dari susunan biasa. Di bawah ini merupakan data penggunaan gaya bahasa anastrof dalam PPJAS.

commit to user

ingkang tansah tut wuri handayani kinarya panutuping lampah…. (SS/02/15)

‘Di belakangnya rombongan putri domas berdiri orang tua pengantin dengan doa restunya (tut wuri handayani) sebagai penutup barisan….’

(171) Sawatawis dennya lelenggahan sri penganten ing sasana kursi rinengga, .… (SS/02/17)

‘Beberapa saat duduklah pengantin di kursi yang dihiasi, .…’

Pada data (176) susunan yang normal seharusnya, Ing sapungkuring putri dhomas, rama ibu ingkang jumeneng tansah tut wuri handayani kinarya petiting lampah….(K-S-P-K) ‘Di belakangnya rombongan putri domas orang tua pengantin berdiri dengan doa restunya (tut wuri handayani) sebagai penutup barisan….’. Data (1177) susunan yang normal seharusnya, sawatawis dennya sri penganten lelenggahan ing sasana rinengga, .… (K-S-P-K) ‘Beberapa saat pengantin duduk di kursi yang dihiasi, …’. Selain memberi efek yang lebih indah pada nada pengucapan, gaya inversi pada data (176) dan (177) berfungsi untuk memberi penekanan pada kata-kata yang menduduki fungsi P, sehingga posisinya didahulukan daripada S, yaitu kata-kata jumeneng ‘berdiri’ dan lelenggahan ‘duduk’. Kata-kata itu dianggap penting untuk diberi penekanan agar pesan yang ingin disampaikan kepada pendengar dapat ditangkap dengan jelas.

commit to user

Asindenton yaitu gaya bahasa yang padat dan mampat, berupa beberapa kata yang sederajat berurutan atau klausa yang sederajat, tidak dihubungkan dengan kata sambung. Di bawah ini merupakan data penggunaan gaya bahasa asidenton dalam PPJAS.

(172) … ana jejaka kalih ingkang kembar sakabehe, kembar busanane, kembar baguse, kembar dedege, kembar ngengrenge. (PAJL/85/80)

‘… ada pria dua yang sama semuanya, sama pakaiannya, sama tampanya, sama postur tubuhnya, sama gagahnya.’ (173) Jer ing galih maksih kogel, mangkel, asemu anyel.

(TKPP/05/99)

‘Rasanya di hati masih tak enak, sakit hati, mengarah ke marah’

(174) … pepaes awarna kresna, ireng, meles, menges, anjanges pantes. (TKPP/05/95)

‘… gambar di kening berwarna hitam, hitam, pekat, pekat, pekat sekali dan pantas.’

Data (178) dan (180) merupakan data yang mengandung gaya bahasa asidenton. Pada data (178) menyebutkan beberapa hal yaitu kembar busanane ‘sama pakaiannya’, kembar baguse ‘sama tampannya’, kembar dedege ‘sama postur tubuhnya’, kembar ngengrenge ‘sama gagahnya’, tanpa menggunakan kata penghubung. Pada data (179) menyebutkan beberapa perasaan yaitu kogel ‘tak enak’, mangkel ‘sakit hati’, asemu anyel ‘marah’. Begitu juga pada data (180) yang menyebutkan beberapa persamaan yaitu

commit to user

‘pekat sekali’. c. Pleonasme

Gaya bahasa pleonasme juga ditemukan dalam PPJAS, yaitu menggunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan.

(175) Swuh rep data pitana, hanenggih pundi ta nagari ingkang adi dasa purwa, eka marang sawiji, adi linuwih dasa sepuluh, purwa wiwitan. (SS/02/13)

‘Cerita berhenti sebentar berganti dengan cerita Negara yang tersohor sebagai awal cerita selanjutnya.’

Dalam data (181) terdapat gaya bahasa pleonasme/penggunaan kata- kata yang berlebihan yaitu kata eka berarti juga sawiji/siji ‘satu’, adi berarti dengan linuwih ‘lebih’, dasa berarti juga sepuluh ‘sepuluh’, dan purwa berarti juga kawiwitan ‘pertama’ atau ‘permulaan’.

d. Erotesis

Gaya erotesis atau pertanyaan retoris adalah mengajukan pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Pertanyaan semacam ini digunakan untuk menegaskan maksud atau kesangsian dan kadang-kadang mengandung ejekan. Dalam PPJAS terdapat penggunaan gaya bahasa erotesis dapat diperhatikan dalam sajian data berikut.

(176) …, “Suk kapan bisa dadi manten kaya dina iki ?” tansah gawang-gawang sih raketing katresnan. (SS/02/20)

commit to user

memberi gambaran sebuah cinta kasih yang merekat.’ (177) …, “Adhuh-adhuh putri kok endah-endahing warni, kapan

ya aku methik sawiji kaya sri penganten iki ?”. (SS/02/21) ‘…, “ Aduh-aduh wanita kok cantik-cantik sekali, kapan ya saya dapat memetik satu diantaranya seperti pengantin ini ?”.’

Pertanyaan-pertanyaan retoris pada data (182) dan data (183) memberikan efek yang lebih mendalam dan bersifat memberikan penekanan yang sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban. Pertanyaan retoris tersebut memberi sentuhan kepada para tamu undangan terutama bagi yang belum berkeluarga supaya cepat-cepat merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan kedua mempelai saat itu.

e. Hiperbola

Hiperbola (Huperbola; huper, di atas, melampaui, terlalu, ballo, melempar) adalah cara pengungkapan dengan melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan itu menjadi tidak masuk akal. Gaya bahasa hiperbola ini dipergunakan dalam PPJAS untuk menyangatkan atau menekankan suatu pernyataan, seperti pada data berikut.

(178) …busana ingkang endah ing warni pating galebyar, pating karelap sunare hangebaki salebeting wisma pawiwahan mubyar sumunar kadya sesotya tinaretes kang kinarya rerengganing busana. (SS/02/14)

commit to user

kerlap-kerlip cahayanya memenuhi ruangan pesta gemerlap sinarnya bagai permata yang menetes yang membuat indahnya pakaian.’

Data (184) dianggap berlebihan karena pancaran busana yang dipakai terlihat sangat gemerlap sampai bisa menerangi seluruh ruangan pesta yang diibaratkan seperti permata yang menetes.

(179) …, selute ngegla sadriji gedhene. (PJAL/85/81) ‘…, emasnya terlihat sejari besarnya.’

Data (185) dianggap berlebihan karena emas yang dikenakan pengantin di gambarkan sejari besarnya.

(180) …, putri dhomas putri 800 cacahe. (PAJL/85/83) ‘…, putridhomas wanita 800 jumlahnya.’

Data (186) dianggap berlebihan karena dikatakan bahwa putri dhomas 800 jumlahnya padahal dalam acara pernikahan jumlah putri dhomas hanyalah 6 atau 12 saja namun diterangkan dengan berlebihan yaitu 800.

2. Gaya Bahasa Kiasan a. Persamaan (simile)

Persamaan atau perumpamaan atau simile ialah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding. Simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Perbandingan eksplisit mempunyai maksud bahwa ia langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Simile banyak mempergunakan kata kadya, lir, kaya, pindha, dan sebagainya. Dalam PPJAS banyak

commit to user

berikut.

(181) … para putri dhomas yen cinandra kadi widodari…. (SS/02/16)

‘… para wanita pengiring pengantin jika diumpamakan seperti bidadari….’

(182) …, padha karepe kadi suruh lumah lawan kurepe, . (PAJL/85/85)

‘…, sama keingginannya seperti sirih terlentang dengan tengkurap, ….’

Pola bahasa figuratif dalam data (187) dan (188) ditandai dengan kata kadi ‘seperti’. Hal ini dinyatakan bahwa putri dhomas kadi widodari ‘pengiring pengantin seperti bidadari’ pada data (187). Ungkapan tersebut mengandung makna bahwa kecantikan para pengiring pengantin seperti kecantikan para bidadari. Pada data (188) padha karepe kadi ‘sama keingginannya seperti’. Mengandung maksud keingginannya sama seperti sirih tampak muka dan tampak belakang yang sama dan tidak ada bedanya.

(183) …, lengket-lengket kaya macan luwe nanging dadi lan pantese. (PAJL/85/80)

‘…, pelan-pelan jalannya seperti harimau lapar tetapi pantas.’

Kata kaya ‘seperti’ dalam data (189) merupakan kata-kata pembanding yang menandai adanya gaya bahasa simile. Dalam data (189) terdapat tuturan kaya macan luwe ‘seperti harimau lapar’. Maksud tuturan tersebut

commit to user

pelan.

(184) …, winimbuh ing kawibawan, lir jejering narendratama. (TKPP/05/88)

‘…, bertambah kewibawaannya, seperti raja utama.’ (185) …, temah anjegreg lir tugu sinukarta. (TKPP/05/89)

‘…, takdir tak bisa berubah seperti gapura.’

Kata lir ‘seperti’ dalam data (190) dan data (191) merupakan kata-kata pembanding yang menandai adanya gaya bahasa simile. Kata pembanding lir biasanya disebut setelah sesuatu yang akan dibandingkan dengan objeknya. Dalam data (190) disebutkan bahwa kewibawaan bertambah diibaratkan raja yang penuh wibawa. Dalam data (191) dinasehatkan bahwa takdir yang diberi Tuhan itu tidak bisa berubah seperti halnya jodoh yang sudah digariskan oleh Tuhan dan tidak dapat diubah.

(186) Pradangga munya angrangin, kadya asung puja asta dumatheng ingkang buja krama…. (RGen/10/1)

‘Suara gamelan menggema, seperti memberikan doa kepada pengantin berdua….’

(187) Gebyar-gebyar pating calorot busananing panganten sarimbit, cinandra kadya daru lelana. (TKPP/05/95)

‘Kerlap-kerlip memancarkan cahaya pakaian pengantin berdua, diumpamakan seperti bintang.’

Kata kadya ‘seperti’ dalam data (192) dan data (193) merupakan kata- kata pembanding yang menandai adanya gaya bahasa simile. Data (192)

commit to user

(193) dijelaskan bahwa pakaian pengantin bercahaya seperti bintang.

(188) …mrabu ateges pindha jejering narendra kebekan ing kawibawan luhur, .… (TKPP/05/85)

‘… menyerupai ratu artinya mirip ratu yang penuh kewibawaan, ….’

Simile juga ditandai dengan kata pembanding yaitu kata pindha ‘mirip’. Dalam data (194) untuk mengibaratkan pakaian yang dikenakan pengantin mirip dengan pakaiannya ratu yang apabila dikenakan akan penuh dengan wibawa.

(189) … Patah Temanten ingkang prasasat bathari Waruju…. (UMJGS/94/163)

‘… anak kecil pendamping pengantin bagai dewi Waruju….’

Kata prasasat ‘bagai’ dalam data (195) merupakan bahasa pembanding dalam bahasa figuratif simile. Dalam data di atas bahwa keadaan/kecantikan anak kecil pendamping pengantin dibandingkan dengan keadaan/kecantikan dewi Waruju.

b. Metafora

Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Kiasan yang metaforik, yakni kiasan yang bertumpu pada adanya kesejajaran ciri citraan antara analogon dengan sesuatu yang dianalogikan. Metafora bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata pembanding dan

commit to user

sesungguhnya tidak sama. Metafora adalah salah satu wujud kreatif bahasa di dalam penerapan makna. Artinya, berdasarkan kata-kata yang telah dikenalnya dan berdasarkan keserupaan atau kemiripan referen, pemakai bahasa dapat memberi lambang baru pada referen tertentu. Metafora dapat memberi kesegaran dalam berbahasa, menghidupkan sesuatu yang sebenarnya tak bernyawa, menjauhkan kebosanan atau ketunggalnadaan dan mengaktualkan sesuatu yang sebenarnya lumpuh. Dalam kasusastran Jawa, metafora hampir sama dengan gaya bahasa entar. Entar berarti pinjaman, bahasa entar berarti bahasa pinjaman, yaitu bahas yang tidak bisa diartikan secara utuh. Dengan kata lain bahasa entar memiliki arti kiasan. Berdasarkan beberapa uraian diatas metafora merupakan bahasa kiasan yang mirip bahasa perbandingan dengan menggunakan referen tertentu atau perbandingan yang dinyatakan secara eksplisit. Bentuk metafora dalam PPJAS dapat diperhatikan dalam data berikut.

(190) Lah punika ingkang nembe dadya raja sadina. (PAJL/85/81)

‘Ya itu yang baru menjadi raja sehari.’

Metafora dalam data (196) raja sadina ‘raja sehari’ untuk menggambarkan keagungan pengantin yang sedang melaksanakan upacara perkawinan, karena dalam sehari itu mereka berdandan ala seorang raja dan permaisuri serta diperlakukan layaknya raja atau ratu.

(191) Enget marang rama ingkang wus sembada angukir jiwa ragane .… (TKPP/05/90)

commit to user

Data (197) mengandung metafora pada frasa angukir jiwa ragane ‘mengukir jiwa raganya’, frasa tersebut bukanlah arti yang sebenarnya, akan tetapi berarti memberikan ajaran dan didikan sehingga mampu membentuk kepribadian seseorang.

c. Personifikasi

Kiasan ini mempersamakan benda mati dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir dan sebagainya seperti manusia. Personifikasi merupakan gambaran ide-ide abstrak yang diperlukan seperti manusia atau dibantu dengan atribut-atribut persona. Dalam PPJAS personifikasi dapat diperhatikan dalam data.

(192) …, mangambar-gambar gandanya wangi ngebaki jroning sasana pahargayan, .… (TKPP/05/83)

‘…, menyebar-nyebar aroma harum memenuhi ruangan perta, .…’

Pada data (198) dapat dikatakan mengandung gaya bahasa personifikasi karena dijelaskan bahwa aroma harum yang tidak kasat mata/abstrak, seakan-akan memenuhi ruangan pesta, dan diketahui bahwa yang dapat melakukan kegiatan memenuhi suatu tempat adalah manusia. d. Eponim

Eponim atau pepindhan adalah suatu gaya bahasa menggunakan seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat. Di bawah ini merupakan data penggunaan gaya bahasa eponim.

commit to user

Bathara Kamajaya miwah Bathari Ratih…. (SS/02/14) ‘Jika diumpamakan hilang sifat kemanusiaan seperti Dewa Kamajaya dan Dewi Ratih….’

Pada data (199) nama Bhatara Kamajaya ‘Dewa Kamajaya’ dan Bathara Ratih ‘Dewi Ratih’ terkenal dengan ketampanan dan kecantikannya, sehingga digunakan untuk menunjukan sifat pengantin berdua yang juga terlihat tampan dan cantik.

(194) Dene subamanggala yen cinandra kadi Ki Suwandageni.... (SS/02/22)

‘Sedangkan pemimpin jalannya kirab diumpamakan seperti Suwandageni….’

Data (200) Subamanggala ‘pemimpin jalannya kirab’ diibaratkan seperti Suwandageni, yaitu seorang tokoh yang memiliki kesaktian. Oleh karena itu, pemimpin kirab bisa dipercaya sebagai seorang penunjuk jalan kirab pengantin. Dengan kesaktian yang dimiliki maka dipercaya dapat melindungi pengantin dari ancaman yang berada di depan.

commit to user

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, penelitian ini dapat ditemukan tiga kesimpulan sejalan dengan permasalahan dan tujuan, sebagai berikut.

1. Pemanfaatan atau pemilihan bunyi-bunyi bahasa yang dipergunakan dalam PPJAS ditemukan adanya purwakanthi ‘persajakan’, yaitu purwakanthi swara ‘asonansi’ berupa vokal /a/, /O/, /i/, è/, /u/ yang paling produktif dalam bait PPJAS. Purwakanthi sastra ‘aliterasi’ yang produktif digunakan dalam PPJAS adalah bunyi konsonan /k/, /t/, /p/, /s/, /g/, /d/, /w/, /j/, /r/, /l/. Purwakanthi lumaksita yaitu pengulangan bunyi berdasarkan persamaan kata, suku kata akhir dengan suku kata awal yang bertuturan atau persamaan huruf akhir dengan huruf awal yang berurutan dalam suatu PPJAS untuk memberi kesan estetis. Bentuk pengulangan yang terdapat dalam PPJAS yaitu perulangan kata, perulangan suku kata, perulangan frasa.

2. Pemilihan dan pemakaian kosakata arkhais dalam PPJAS untuk menciptakan dan membangun bahasa yang indah dan estetis, sangat produktif yaitu digunakannya (1) tembung rangkep yang meliputi dwipurwa, dwilingga, dan dwilingga salin swara; (2) tembung garba ‘sandi’ yang berfungsi untuk menyingkat bunyi agar terkesan singkat dan lebih indah; (3) antonim agar lebih indah; (4) sinonim untuk memperkaya

commit to user

kosakata agar tidak monoton; (5) kata-kata Kawi; (6) Afiksasi Arkhais sebagai penambah unsur keindahan karya sastra.

3. Pemakaian gaya bahasa yang terdapat dalam PPJAS adalah gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna yaitu (a). gaya bahasa retoris : anastrof, asidenton, pleonasme, erotesis, hiperbola, (b). gaya bahasa kiasan : simile, metafora, personifikasi, eponim. Pemakaian gaya bahasa memberikan kesan yang lebih indah dan estetis.

B. Saran

Tinjauan stilistika terhadap Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta dalam skripsi ini merupakan penelitian tahap awal dan belum dikaji secara menyeluruh. Untuk itu dalam rangka pengembangan dan peningkatan penelitian bahasa Jawa dalam lingkup karya sastra Jawa perlu diadakan penelitian lanjutan secara komprehensif.

Penelitian ini hanya membahas wacana Panyandra adat Surakarta yang berada di beberapa buku dan sebagian panyandra yang masih digunakan dalam masyarakat ditinjau dari segi stilistika. Oleh karena itu, diharapkan perlu diadakan penelitian lebih lanjut dengan pendekatan wacana, semantik, sintaksis dan dengan pendekatan linguistik yang lain.

Dokumen terkait