• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Pustaka

5. Gaya Bahasa

Stilistika adalah ilmu yang meneliti gaya bahasa, akan tetapi pengertian mengenai gaya bahasa sangat beragam definisinya namun menunjukkan adanya persamaan, yakni gaya bahasa merupakan cara penyusunan bahasa guna mendapatkan sisi estetika.

commit to user

Menurut Gorys Keraf (2000:113) pengertian gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style itu sendiri merupakan kata Latin dari stilus yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Akan tetapi, pengertian mengenai gaya bahasa dapat dibatasi, yaitu gaya bahasa adalah cara pengungkapan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa kepribadian penulis atau pemakai bahasa.

Dalam kaitannya dengan gaya bahasa terdapat istilah-istilah lain yang mungkin muncul, di antaranya: seni bahasa, estetika bahasa, kualitas bahasa, ragam bahasa, gejala bahasa, dan rasa bahasa. Dua istilah pertama memiliki pengertian yang hampir sama yaitu bahasa dalam kaitannya dengan ciri-ciri keindahan sehingga identik dengan gaya bahasa itu sendiri. Kualitas bahasa berkaitan dengan nilai penggunaan bahasa secara umum, termasuk ilmu pengetahuan. Ragam bahasa adalah jenis, genre (jenis sastra). Gejala bahasa dalam pengertian sempit menyangkut perubahan (penghilangan, pertukaran) dalam sebuah kata, sedangkan dalam pengertian luas menyangkut berbagai bentuk perubahan bahasa baik lisan maupun tulis, majas termasuk dalam gejala bahasa yang paling khas. Rasa bahasa adalah perasaan yang timbul sesudah mendengarkan, menggunakan suatu ragam bahasa tertentu. (Nyoman Kutha Ratna, 2009:4). Gaya bahasa memiliki tujuan utama yaitu memunculkan aspek keindahan. Dalam karya sastra gaya bahasa memegang peranan penting, karena merupakan unsur pokok yang digunakan untuk mencapai berbagai bentuk keindahan. Dalam hubungannya dengan gaya bahasa, karya sastra sebagai salah satu genre hasil peradaban manusia dan merupakan hasil aktivitas pengarang,

commit to user

maka menggunakan bahasa sebagai media utama. Jadi gaya bahasa yang dimaksudkan pada suatu karya sastra berkaitan erat dengan tujuan dan pribadi pengarang.

Harimurti Kridalaksana (2001:63) memberikan pengertian mengenai gaya bahasa atau style adalah (1) pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis; (2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu; (3) keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra.

Gaya bahasa dapat ditinjau dari bermacam-macam sudut pandang. Pandangan terhadap gaya bahasa dapat dibedakan dari jenisnya dibagi menjadi dua segi yakni segi non bahasa dan segi bahasa. Guna melihat gaya secara luas, maka pembagian berdasarkan masalah non bahasa tetap diperlukan, namun gaya bahasa dilihat dari aspek kebahasaan lebih diperlukan.

Jenis-jenis gaya bahasa menurut Gorys Keraf (2000:115-145) adalah (a) gaya bahasa berdasarkan pilihan kata dibedakan menjadi gaya bahasa resmi, gaya bahasa tak resmi, dan gaya bahasa percakapan, (b) gaya bahasa berdasarkan nada terdiri dari gaya sederhana, gaya mulia dan bertenaga, dan gaya menengah, (c) gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat terdiri dari klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis, dan repetisi, (d) gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna terdiri dari gaya bahasa retoris meliputi aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis atau preterisio, apostrof, asidenton, polisidenton, kiasmus, elipsis, eufemismus, litotes, hysteron proteron, pleonasme dan tautologi, perifrasis, prolepsis, erotesis, silepsis dan zeugma, koreksio, hiperbol, paradoks, oksimoron; dan gaya bahasa kiasan meliputi metafora, simile, alegori, personifikasi, alusi,

commit to user

eponimi, epitet, sinekdoke, metonimia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme, dan sarkasme, satire, inuendo, antifrasis dan pun atau paronomasia.

Semua ragam gaya bahasa di atas, tidak semuanya yang tercantum ada dalam PPJAS. Maka penelitian ini hanya mengacu dan menitik beratkan pada pemakaian gaya bahasa yang terdapat dalam PPJAS yaitu gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna, (a) gaya bahasa retoris : anastrof, asidenton, pleonasme, erotesis, hiperbola, (b) gaya bahasa kiasan : simile, metafora, personifikasi, eponim. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut. Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna :

1. Gaya Bahasa Retoris

Gaya bahasa retoris termasuk dalam gaya bahasa yang maknanya harus diartikan menurut nilai lahirnya. Sehingga tidak akan timbul kesulitan dalam memahami kata, frasa atau kalimat apabila pilihan kata tepat. Gaya bahasa retoris sebagai berikut:

a. Anastrof yaitu gaya bahasa inversi atau pembalikan susunan kata-kata dalam sebuah kalimat, yang berbeda dari susunan biasa. Misalnya, mula lunga saka papan iki, nyawang solah bawane ora seneng ‘maka pergi dari tempat ini, melihat tingkah lakunya’. Dari contoh tersebut kalimat yang lebih tepat nyawang solah bawane ora seneng, mula lunga saka papan iki. b. Asindenton yaitu gaya bahasa yang padat dan mampat, berupa beberapa

kata yang sederajat berurutan atau kalusa-klausa yang sederajat, tidak dihubungkan dengan kata sambung. Biasanya dipisahkan dengan tanda koma. Misalnya, Sigra penganten ngadani adicara kacar-kucur, wujuding

commit to user

arta receh, beras, palawija, kacang kawak dhele kawak. ‘Segera pengantin mengadakan upacara kacar-kucur, wujudnya adalah uang koin, beras, palawija, biji kacang tua dan biji kedelai tua’. Dari contoh tersebut beberapa benda seperti uang koin, beras, palawija, kacang tua dan kedelai tua, tanpa menggunakan kata penghubung.

c. Pleonasme dan Tautologi adalah acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan suatu pikiran atau gagasan. Suatu acuan disebut pleonasme bila kata yang berlebihan itu dihilangkan dan acuan itu disebut tautologi kalau kata yang berlebihan itu sebenarnya mengandung perulangan dari sebuah kata yang lain. Misalnya,

… manah risang penganten kekalih, kapangeston para pinisepuh,

kasepuhan, sesepuh, kadang miwah sentana. ‘… hati pengantin berdua, direstui para orang tua, tetua, orang yang dianggap tua, saudara.’. Kata pinisepuh, kasepuhan, dan sesepuh sebenarnya memiliki arti yang sama yaitu orang atau pihak yang dianggap tua atau dituakan sehingga menjadi panutan bagi pihak lain. Begitu juga kadang bermakna sama dengan sentana yaitu saudara atau kerabat.

d. Erotesis atau pertanyaan retoris adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar dan sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban. Misalnya, Apa rakyat kang kudu nanggung kabeh utang negara ‘apakah rakyat yang harus

commit to user

menanggung hutang negara’. Selain kata apa ‘apa’, bisa juga

menggunakan kata ‘piye’ bagaimana.

e. Hiperbol adalah gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan berlebihan dengan membesar-besarkan sesuatu hal. Misalnya, Penganten kakung pancen baguse kalangkung langkung, ngganthenge sundhul

wuwung… ‘Pengantin pria memang tampan sekali, ketampanannya

melampaui atap rumah…’. Diskripsi yang diutarakan berlebihan karena ketampanann pengantin pria bisa melebihi atap rumah.

2. Gaya Bahasa Kiasan

a. Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Tidak langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Misalnya, mlakune kaya macan luwe ‘berjalannya seperti harimau yang tidak bertenaga’ (pelan-pelan).

b. Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Menurut Aminudin, (1995:242) kiasan yang metaforik, yakni kiasan yang bertumpu pada adanya kesejajaran ciri citraan antara sesuatu yang dianalogikan. Misalnya, Risang penganten sageda ndhedher kasaenan,… ‘Kedua pengantin dapat menumbuhkan kebaikan,…’. Ndhedher kasaenan bukan berarti ‘menumbuhkan atau menanam kebaikan’ (menanam dalam arti yang sesungguhnya), akan tetapi berarti berbuat kebaikan.

c. Personifikasi atau Propopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak

commit to user

bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Misalnya, watu segara tansah sabar narima nalika ombak segara kerep nesu ‘batu karang selalu sabar setiap kali gelombang laut marah’.

d. Eponim adalah suatu gaya bahasa menggunakan nama seseorang yang namanya sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu. Misalnya, Raden Gatotkaca satriya ing Pringgondani kang gagah prakasa otot kawat balung wesi ora tedhas tapak paluning pandhe ‘Gatotkaca yang gagah perkasa berotot kawat bertulang besi tidak mempan segalanya’. Gatotkaca sebagai simbol kekuatan dan keperkasaan.

Dokumen terkait