• Tidak ada hasil yang ditemukan

commit to user

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Pustaka

Penelitian terhadap bahasa dalam Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta dengan menggunakan tinjauan stilistika belum pernah dilakukan. Linguistik merupakan ilmu yang berupaya memerikan bahasa dan menunjukkan bagaimana cara kerjanya, sedangkan stilistika merupakan kajian variasi linguistik yaitu gaya yang mempunyai hubungan yang erat dengan konteks teks dan konteks situasi (Sujono dkk, 1988:4). Dalam kajian pustaka ini dijelaskan tentang pengertian stilistika, panyandra, aspek-aspek bunyi, pilihan kata dan gaya bahasa dalam PPJAS.

1. Pengertian Stilistika

Pada masa ini style diartikan sebagai teknik serta bentuk gaya bahasa seseorang dalam memaparkan gagasan sesuai ide dan norma yang digunakan sebagaimana ciri pribadi pemakainya (Aminuddin, 1995:4). Stile, (style, gaya bahasa), adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan (Burhan, 1995:276). Stile ditandai ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain. Makna stile menurut (Leech, 1981 dalam Burhan 1995:277), suatu hal yang pada umumnya tidak lagi mengandung sifat kontroversional, menyaran pada pengertian cara penggunaan bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang tertentu untuk tujuan

commit to user

tertentu dan sebagainya. Gaya adalah cara berbahasa seseorang dalam perpomansinya secara terencana maupun tidak, baik secara lisan maupun tertulis (Soeparno, 2002:74).

Kata stilistika berhubungan dengan kata Style asal kata stilistics. Pada perkembangan bahasa Latin kemudian muncul kata stylus dan memilki arti khusus yang mendeskripsikan tentang penulisan, kritik terhadap kualitas sebuah tulisan. Stilistika merupakan ilmu yang mengkaji wacana sastra dengan berorientasi linguistik. Stilistika mengkaji bagaimana seorang pengarang itu memanipulasi dalam arti memanfaatkan unsur dan sarana atau kaidah-kaidah kebahasaan, serta mencari efek yang dapat ditimbulkan dari penggunaan bahasa dalam karya sastra. Pada prinsipnya pusat perhatian stilistika adalah style atau gaya bahasa, yaitu cara yang digunakan oleh seseorang untuk mengutarakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana ungkapnya (Panuti Sudjiman, 1993:2).

Stilistika (stilistics) adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa dalam karya sastra. Dapat dikatakan bahwa stilistika adalah proses menganalisis karya sastra dengan melihat bagaimana unsur-unsur bahasa sebagai medium karya sastra yang digunakan oleh sastrawan, sehingga terlihat bagaimana sikap sastrawan dalam rangka menggunakan bahasa untuk menuangkan gagasannya. Semua proses yang berhubungan dengan analisis bahasa karya sastra dikerahkan untuk mengungkapkan aspek kebahasaan dalam karya sastra tersebut, seperti diksi, penggunaan bahasa kias, bahasa figuratif, struktur kalimat, bentuk-bentuk wacana dan sarana retorika lainnya (Edi Subroto dkk, 1997:26).

commit to user

Stilistika tidak hanya merupakan studi gaya bahasa dalam kesusastraan saja, melainkan juga studi gaya bahasa pada umumnya walaupun terdapat penelitian khusus pada bahasa kesusastraan seperti hal-nya yang dikemukakan oleh Turner. G.W : “Stylistics is that part of linguistics which concentrate on variation in the use of language” (Stilistika adalah bagian dari linguistik yang memusatkan diri pada variasi dalam penggunaan bahasa). (Turner. G.W dalam Erry Pranawa, 2005:21)

Lapangan kajian stilistika dapat meliputi kata-kata, tanda baca, gambar serta bentuk tanda lain yang dapat dianalogikan sebagai kata-kata (Aminuddin, 1995:44). Pada jaman modern stilistik seringkali memperlihatkan persamaan dengan retorika, tetapi tanpa aspek normatifnya; stilistik, ilmu gaya bahasa, juga diberi definisi yang bermacam-macam, tetapi pada prinsipnya selalu meneliti pemakaian bahasa yang khas atau istimewa, yang merupakan ciri khas seorang penulis, aliran sastra dan lain-lain atau pula yang menyimpang dari bahasa sehari-hari atau dari bahasa yang dianggap normal, baku dan lain-lain (Teeuw, 1984:72). Bahwa secara umum lapangan kajian stilistika meliputi pemakaian bahasa. Sehingga dapat dilihat bagaimana bahasa yang digunakan dalam karya sastra dan bagaimana pengarang menggunakan bahasa itu secara kreatif.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan stilistika merupakan ilmu yang mengkaji karya sastra dengan berorientasi pada ciri-ciri formal linguistik seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain. Adapun tujuan telaah kajian stilistika yaitu (a) mencari fungsi estetik karya sastra dan (b) mencari bukti-bukti linguistik. Untuk

commit to user

mencari bukti-bukti linguistis, proses kajian berkisar pada deskripsi segi-segi kebahasaan yang ada dalam karya sastra.

2. Panyandra

Panyandara yaiku pepindhan kang surasane nyandra utawa ngandakake becike perangan badaning manungsa. Panyandra adalah perumpamaan yang artinya menceritakan atau membicarakan tentang keindahan tubuh manusia’ (Subalidinata, 1986:35). Menurut Retno Purwandari (2007:27), panyandara berasal dari kata candra yang artinya cerita tentang sifat sesuatu dengan perumpamaan. Panyandra adalah cerita yang menggambarkan keindahan suatu bab atau indahnya pesta. Struktur panyandara berbeda dengan strukstur pidato perkawinan yang lain, karena panyandra bersifat mendeskripsikan upacara perkawinan yang sedang berlangsung kepada tamu undangan sehingga seorang pambiwara menuturkan apa yang sedang ia lihat dengan menggunakan bahasa-bahasa yang indah agar lebih menarik. Struktur wacana panyandra tidak terbagi atas bagian pendahuluan, bagian isi dan bagian penutup karena isi dari panyandra tersebar di setiap wacana panyandra.

3. Aspek-aspek Bunyi

Aspek-aspek bunyi yang dimaksud dalam karya sastra bisa disebut dengan perulangan bunyi. Adanya pengulangan bunyi akan lebih indah untuk dibaca. Istilah Jawa yang sepadan dengan perulangan bunyi adalah purwakanthi.

commit to user

Purwakanthi merupakan hasil dari kesusastraan Jawa, berupa runtutan suara baik vokal maupun konsonan dalam suatu kalimat atau wacana.

Purwakanthi: tembung purwa ateges wiwitan, ngarep. Dene tembung kanthi ateges kanca gandheng karo nganggo. Purwakanthi yaiku gandhenging suara kang mburi karo suara kang wis kacetha ing ngarep. ‘Purwakanthi berasal dari kata purwa yang berarti permulaan. Sedangkan kanthi berarti teman bergabung dan memakai/tautan. Purwakanthi artinya tautan bunyi setelahnya dengan bunyi sebelumnya yang telah ada (Subalidinata 1986:57).

Purwakanthi ada tiga jenis sebagai berikut:

a. Purwakanthi swara adalah purwakanthi berdasarkan persamaan suara/bunyi. Dalam bahasa Indonesia disebut asonansi yaitu sajak yang berdasarkan perulangan bunyi bagian akhir suku kata/ perulangan vokal. Asonansi berfungsi untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan bunyi (Gorys Keraf, 2005:130).

Contohnya, Nadyan santana myang warga ‘Walaupun kerabat dan

saudara’ , Lamun durung mangsanipun ‘Kalau belum waktunya’.

Berdasarkan contoh tersebut adanya perulangan vokal a pada suku kata pertama dan terakhir serta perulangan vokal u pada suku kata terakhir. b. Purwakanthi sastra adalah purwakanthi berdasarkan persamaan sastra

atau huruf. Dalam bahasa Indonesia purwakanthi sastra identik dengan sajak aliterasi yaitu sajak yang berdasarkan pada persamaan suku kata bagian awal atau permulaan konsonan. Aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama (Gorys Keraf,

commit to user

2005:130). Aliterasi adalah ulangan bunyi konsonan, pada awal kata yang berurutan untuk mencapai efek kesedapan bunyi.

Misalnya;

Aling-aling kang ngalingi ‘Bayang-bayang yang menyelimuti’, Kidung kadrêsaning kapti ‘Lagu kuatnya keinginan’. Berdasarkan contoh tersebut adanya bentuk perulangan konsonan l pada suku kata tengah serta perulangan konsonan k pada suku pertama.

c. Purwakanthi lumaksita adalah purwakanthi berdasarkan persamaan kata, suku kata akhir dengan suku kata awal yang bertuturan atau persamaan huruf akhir dengan huruf awal yang berturut-turut dalam suatu bait/baris tembang. (Prasetya Adi Wisnu Wibawa, 2003:61).

Contohnya;

Pelag punapa kang abdi abdi dalêm barang ngomyang 'Baik apanya hamba ini,

hamba mengamen dengan mulut’.

Berdasarkan contoh tersebut ditemukan adanya bentuk perulangan kata abdi ‘hamba’.

4. Diksi

Diksi berasal dari bahasa latin dicere, dictum yang berarti to say ‘mengatakan’. Diksi berarti pemilihan dan penyusunan kata-kata dalam tuturan atau penulisan (Scoot, 1980:170). Pengertian pilihan kata atau diksi lebih luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan kata-kata itu. Istilah ini bukan saja

commit to user

dipergunakan untuk menyatakan kata-kata yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi persoalan fraseologis, gaya bahasa dan ungkapan (Gorys Keraf, 2005:23).

Pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosakata atau perbendaharaan kata bahasa itu. Sedangkan perbendaharaan kata atau kosa kata suatu bahasa adalah keseluruhan kata yang dimiliki oleh sebuah bahasa. (Gorys Keraf, 2005:24).

Diksi atau pilihan kata memegang peranan penting dan utama dalam mencapai efektivitas komunikasi. Memilih kata yang tepat untuk menyampaikan gagasan memang bukan hal yang mudah. Banyak orang yang menggunakan kata yang boros dan mewah, akan tetapi tidak ada isinya dan tidak dapat mewakili perasaan sehingga orang yang diajak komunikasi pun tidak dapat menangkap maksud dan tujuan dari perkataannya. Oleh karena itu, ketepatan memilih kata sangatlah diperlukan dalam komunikasi agar gagasan yang disampaikan tepat dan sesuai dengan maksud yang diharapkan. Hal-hal yang harus diperhatikan agar bisa mencapai ketepatan pilihan kata menurut Gorys Keraf (2006:88) adalah sebagai berikut:

1) membedakan secara cermat denotasi dan konotasi,

commit to user

3) membedakan kata-kata yang mirip ejaannya, 4) hindarilah kata-kata ciptaan sendiri,

5) waspadalah terhadap penggunaan akhiran asing, terutama kata-kata asing yang mengandung akhiran tersebut,

6) kata kerja yang menggunakan kata depan harus digunakan secara idiomatik, 7) untuk menjamin ketepatan diksi, penulis atau pembicara harus mambedakan

kata umum dan kata khusus,

8) mempergunakan kata indria yang menunjukan presepsi yang khusus,

9) memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang sudah dikenal,

10) memperhatikan kelangsungan pilihan kata.

Penggunaan diksi atau pemilihan kata yang akan dikaji dalam PPJAS adalah (a). tembung rangkep/ reduplikasi, (b). tembung garba, (c). antonim, (d). sinonim, (e). kosakata kawi, (f). afiksasi. Adapun penjelasannya sebagai berikut : (a) Tembung rangkep ‘Reduplikasi’

Tembung rangkep disebut juga reduplikasi. Dalam bahasa Jawa reduplikasi terdapat empat macam yaitu: (1) dwipurwa ‘pengulangan awal suku kata’ (2) dwilingga ‘pengulangan kata’ (3) dwiwasana ‘pengulangan akhir suku kata’ (4) dwilingga salin swara ‘perulangan kata berubah bunyi’. Tembung dwipurwa, misalnya kata kekalih ‘berdua’ terbentuk dari {ka + kalih} ‘berdua’. Tembung dwilingga, misalnya kata alon-alon ‘pelan-pelan’. Tembung dwiwasana, misalnya kata cekakakan ‘terbahak-bahak’. Tembung dwilingga salin swara, misalnya grumat-grumut ‘berjalan pelan-pelan’.

commit to user

(b) Tembung Garba ‘Persandian’

Tembung garba adalah meringkas atau menyambung satu dua kata atau lebih menjadi satu kata. Dalam linguistik tradisional persandian identik dengan tembung garba, tegese tembung kang kadadean saka gandhenge tembung loro utawa luwih banjur luluh dadi siji ‘kata garba adalah kata yang terjadi karena pertemuan dua kata atau lebih lalu lebur menjadi satu’ Persandian yaitu hubungan dua kata yang mengakibatkan perubahan bunyi. Persandian ini terjadi apabila kata yang pertama berakhir dengan bunyi vokal dan kata yang kedua berawal dengan bunyi vokal pula. Dengan adanya persandian ini terjadilah pengurangan jumlah suku kata (Sujono dkk, 1988: 42). Misalnya kata tekèng ‘datang di’ berasal dari kata {teka + ing}, Murbeng ‘menguasai di’ berasal dari kata {murba + ing}, jayeng ‘menang akan’ berasal dari kata {jaya + ing}; ketiganya merupakan pertemuan bunyi O dengan i berubah menjadi è. Sireki ‘kamu ini’ berasal dari kata {sira + iki}, yeku ‘ya itu’ berasal dari kata {ya + iku}, kedua sandi tersebut dapat dirumuskan a + i = e, maksudya bahwa kata pertama berakhir dengan a dan kata kedua berawal dengan i kemudian berubah menjadi e, begitu juga dengan kata dupyantuk ‘ketika mendapat’ berasal dari kata {dupi + antuk} kata dupyantuk merupakan pertemuan bunyi i dengan a sehingga berubah menjadi y.

(c) Antonim

Antonim yaiku tembung, frasa, utawa ukara kang duwe teges walikan karo tembung, frasa, utawa ukara liyane ‘antonim yaitu kata, frase, atau kalimat yang memiliki makna berlawanan dengan kata, frase, atau kalimat

commit to user

lainnya’ (Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, 2008:225). Menurut Gorys Keraf (2005:39) Antonim adalah kata yang berlawanan atau sering disebut lawan kata.

Parera (2004:70) memberikan pengertian mengenai antonim secara singkat yaitu bahwa antonim adalah pertentangan makna. Pendapat yang hampir sama dengan Parera adalah Aminuddin (2003:122) ia berpendapat bahwa antonim adalah kata-kata yang maknanya bertentangan.

Antonim dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang lain; satuan lingual yang maknanya berlawanan atau beroposisi dengan satuan lingual yang lain. Antonim disebut juga oposisi makna. Pengertian oposisi makna mencakup konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang hanya kontras maknanya saja. Berdasarkan sifatnya, oposisi makna dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu (1) oposisi mutlak yaitu pertentangan makna secara mutlak, misalnya: urip >< mati ‘hidup >< mati’, obah >< mandhek ‘bergerak >< diam’. (2) oposisi kutub yaitu oposisi makna yang tidak bersifat mutlak, tetapi bersifat gradasi, misalnya: sugih >< mlarat ‘kaya >< miskin’, dawa >< cendhak ‘panjang >< pendek’. (3) oposisi hubungan yaitu oposisi makna yang bersifat melengkapi, masalnya: rama >< ibu ‘bapak >< ibu’, guru >< murid ‘guru >< murid’. (4) oposisi hirarkial yaitu oposisi makna yang menyatakan jenjang atau tingkatan, misalnya: SD >< SLTP >< SMU >< PT, detik >< menit >< jam, hari >< minggu >< bulan >< tahun. (5) oposisi majemuk yaitu oposisi makna yang terjadi pada beberapa kata (lebih

commit to user

dari dua), misalnya: berlari >< berjalan >< melangkah >< berhenti. ( Sumarlam, 2009:40-44)

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa antonim merupakan kata yang maknanya berlawanan antara kata yang satu dengan kata yang lain.

(d) Sinonim

Sinonim yaiku rong tembung utawa luwih kang wujud lan panulise beda, nanging duwe teges padha, utawa meh padha ‘sinonim yaitu dua kata atau lebih yang wujud dan penulisannya berbeda, tetapi memiliki makna yang sama, atau hampir sama’ (Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, 2008: 223). Menurut Gorys Keraf (2005, 35-36), ada tiga faktor penyebab terjadinya sinonim, yaitu proses penyerapan, tempat tinggal, makna emotif dan evaluatif.

Dua ujaran dalam bentuk morfem terikat, kata, frasa, atau kalimat yang menunjukan kesamaan makna disebut sinonim (Parera, 2004:61). Sedangkan menurut Harimurti Kridalaksana (2008:154) mengartikan sinonim sebagai bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain; kesamaan itu berlaku bagi kata, kelompok kata atau kalimat, walaupun yang dianggap sinonim hanyalah kata-kata saja. Secara singkat Fatimah Djadjasudarma (1993: 36) berpendapat bahwa sinonim adalah kesamaan arti.

Abdul Chaer (1990:85) memberikan pengertian mengenai sinonim sebagai nama lain untuk benda atau hal yang sama; atau ungkapan yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain. Berdasarkan wujud satuan lingualnya sinonim dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu (1)

commit to user

sinonim morfem (bebas) dengan morfem (terikat), misalnya: aku = …ku, kamu = …mu. (2) sinonim kata dengan kata, misalnya: bayaran = gaji, putra = siwi = atmaja = kulup = yoga ‘anak’. (3) sinonim kata dengan frase atau sebaliknya, misalnya: hujan dan badai = musibah. (4) sinonim frasa dengan frasa, missal: pandai bergaul = beradaptasi dengan baik. (5) sinonim klausa dengan klausa, misalnya: memecahkan masalah tersebut = menyelesaikan persoalan itu.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sinonim adalah satu kata atau lebih yang memiliki makna yang sama.

(e) Kata-kata Kawi

Kata-kata kawi merupakan kata arkhais karena di dalam penggunaannya dapat memancarkan keindahan. Kata-kata atau bahasa Kawi dalam puisi tradisional Jawa memegang peranan penting karena kata-kata tersebut dapat memancarkan kesan indah dalam puisi. Begitu pula bahasa kawi yang terdapat dalam bahasa panyandra penganten, selain memancarkan keindahan, penggunaan bahasa kawi dapat menambah kesakralan suatu upacara perkawinan. Misalnya jalu ‘laki-laki’, driya ’hati’, amba ‘aku’. Kata-kata tersebut berasal dari bahasa kawi/ Jawa kuna.

(f) Afiksasi

Afiksasi membuat bahasa dalam karya sastra menjadi indah dengan adanya ater-ater ‘prefiks’, seselan ‘infiks’, panambang ‘akhiran’ dan imbuhan bebarengan ‘konfiks’. Afiksasi yang menimbulkan keindahan meliputi prefiks dan konfiks, yaitu prefiks {kaD} dan konfiks {(kaD) (an, ing, aken,

-commit to user

ipun)}; prefiks {ma-/maN-D}; prefiks {a-/aN-D atau ha-haN-D} dan sufiks {-i –aken}; prefiks {sa-D} dan sufiks ing}; prefiks {pa-paN-D} dan sufiks {-an, -a, -ing}; prefiks {pi-D} dan sufiks {-ipun, -ku}; prefiks {pra-D} dan sufiks {ing} Seselan ‘infiks’ {-in-, -um-} dan konfiks yang meliputi (1) {inD} dan sufiks {a, an, na}, (2) infiks {um{inD} dan sufiks {ing, ning, a, -an, -na}; panambang ‘sufiks’ {-ing, -nya, ira}(Edi Subroto, 1991:55).

Konfiks (prefiks dan sufiks) misalnya konfiks {ka-D-an}, {ka-} guna {+an}, kagunan ‘kelebihan’, {ka-} yuwana ‘selamat’ {+an}, kayuwanan ‘keselamatan’. Konfiks {ka-D-ing}, misalnya {ka-} sorot ‘sinar’ {-ing}, kasoroting, ‘terkena sinar’.

Infiks {-in-}, misalnya {-in-} surasa ‘terasa’, sinurasa ‘dirasakan’. { -in-} buka, ‘buka’, binuka ‘dibuka’. {-um-} tata ‘tata’, tumata ‘kelihatan’. { -um-} silih ‘ganti’, sumilih ‘berganti’. Nuansa keindahan terasa bila afiks yang fungsi dan maknanya sama dibandingkan, misalnya infiks {-in-} dengan {-di-} pada kata buka, buka dengan menggunakan infik {– in} ‘binuka’ terasa lebih indah dibandingkan dengan kata buka yang menggunakan infiks {-di-} ‘dibuka’ terkesan biasa saja.

5. Gaya Bahasa

Stilistika adalah ilmu yang meneliti gaya bahasa, akan tetapi pengertian mengenai gaya bahasa sangat beragam definisinya namun menunjukkan adanya persamaan, yakni gaya bahasa merupakan cara penyusunan bahasa guna mendapatkan sisi estetika.

commit to user

Menurut Gorys Keraf (2000:113) pengertian gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style itu sendiri merupakan kata Latin dari stilus yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Akan tetapi, pengertian mengenai gaya bahasa dapat dibatasi, yaitu gaya bahasa adalah cara pengungkapan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa kepribadian penulis atau pemakai bahasa.

Dalam kaitannya dengan gaya bahasa terdapat istilah-istilah lain yang mungkin muncul, di antaranya: seni bahasa, estetika bahasa, kualitas bahasa, ragam bahasa, gejala bahasa, dan rasa bahasa. Dua istilah pertama memiliki pengertian yang hampir sama yaitu bahasa dalam kaitannya dengan ciri-ciri keindahan sehingga identik dengan gaya bahasa itu sendiri. Kualitas bahasa berkaitan dengan nilai penggunaan bahasa secara umum, termasuk ilmu pengetahuan. Ragam bahasa adalah jenis, genre (jenis sastra). Gejala bahasa dalam pengertian sempit menyangkut perubahan (penghilangan, pertukaran) dalam sebuah kata, sedangkan dalam pengertian luas menyangkut berbagai bentuk perubahan bahasa baik lisan maupun tulis, majas termasuk dalam gejala bahasa yang paling khas. Rasa bahasa adalah perasaan yang timbul sesudah mendengarkan, menggunakan suatu ragam bahasa tertentu. (Nyoman Kutha Ratna, 2009:4). Gaya bahasa memiliki tujuan utama yaitu memunculkan aspek keindahan. Dalam karya sastra gaya bahasa memegang peranan penting, karena merupakan unsur pokok yang digunakan untuk mencapai berbagai bentuk keindahan. Dalam hubungannya dengan gaya bahasa, karya sastra sebagai salah satu genre hasil peradaban manusia dan merupakan hasil aktivitas pengarang,

commit to user

maka menggunakan bahasa sebagai media utama. Jadi gaya bahasa yang dimaksudkan pada suatu karya sastra berkaitan erat dengan tujuan dan pribadi pengarang.

Harimurti Kridalaksana (2001:63) memberikan pengertian mengenai gaya bahasa atau style adalah (1) pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis; (2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu; (3) keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra.

Gaya bahasa dapat ditinjau dari bermacam-macam sudut pandang. Pandangan terhadap gaya bahasa dapat dibedakan dari jenisnya dibagi menjadi dua segi yakni segi non bahasa dan segi bahasa. Guna melihat gaya secara luas, maka pembagian berdasarkan masalah non bahasa tetap diperlukan, namun gaya bahasa dilihat dari aspek kebahasaan lebih diperlukan.

Jenis-jenis gaya bahasa menurut Gorys Keraf (2000:115-145) adalah (a) gaya bahasa berdasarkan pilihan kata dibedakan menjadi gaya bahasa resmi, gaya bahasa tak resmi, dan gaya bahasa percakapan, (b) gaya bahasa berdasarkan nada terdiri dari gaya sederhana, gaya mulia dan bertenaga, dan gaya menengah, (c) gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat terdiri dari klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis, dan repetisi, (d) gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna terdiri dari gaya bahasa retoris meliputi aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis atau preterisio, apostrof, asidenton, polisidenton, kiasmus, elipsis, eufemismus, litotes, hysteron proteron, pleonasme dan tautologi, perifrasis, prolepsis, erotesis, silepsis dan zeugma, koreksio, hiperbol, paradoks, oksimoron; dan gaya bahasa kiasan meliputi metafora, simile, alegori, personifikasi, alusi,

commit to user

eponimi, epitet, sinekdoke, metonimia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme, dan sarkasme, satire, inuendo, antifrasis dan pun atau paronomasia.

Semua ragam gaya bahasa di atas, tidak semuanya yang tercantum ada dalam PPJAS. Maka penelitian ini hanya mengacu dan menitik beratkan pada pemakaian gaya bahasa yang terdapat dalam PPJAS yaitu gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna, (a) gaya bahasa retoris : anastrof, asidenton, pleonasme, erotesis, hiperbola, (b) gaya bahasa kiasan : simile, metafora, personifikasi, eponim. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut.

Dokumen terkait