• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN STILISTIKA PANYANDRA PENGANTEN JAWA ADAT SURAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KAJIAN STILISTIKA PANYANDRA PENGANTEN JAWA ADAT SURAKARTA"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

iii

PANYANDRA PENGANTEN JAWA

ADAT SURAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh : ENY PUSPITOSARI

C0107019

JURUSAN SASTRA DAERAH

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

(3)

commit to user

(4)

commit to user

vi Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama : Eny Puspitosari

NIM : C 0107019

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Kajian Stilistika

Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta adalah betul-betul karya sendiri, bukan

plagiat dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam

skripsi ini tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima

sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi

tersebut.

Surakarta, April 2011

Yang membuat pernyataan

(5)

commit to user

vii

(6)

commit to user

viii

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan kepada

Ibu, Bapak, Mertua, Suamiku tercinta,

(7)

commit to user

ix

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena limpahan rahmat dan

karunia-Nya, sehingga penulis berhasil menyelesaikan skripsi dengan judul “Kajian

Stilistika Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta”. Skripsi ini disusun untuk

memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah,

Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai

pihak. Untuk itu, dengan penuh kerendahan dan ketulusan hati, penulis mengucapkan

terima kasih kepada

1. Drs. Sudarno, M.A. selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa beserta

stafnya yang telah memberi ijin dalam penulisan skripsi ini.

2. Drs. Imam Sutarjo, M.Hum selaku Ketua Jurusan Sastra Daerah Fakultas

Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah

berkenan memberikan semangat dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

3. Drs. Sujono, M.Hum, selaku Pembimbing I atas kesabaran, ketekunan,

kedisiplinan serta masukan diberikan kepada penulis.

4. Dra. Dyah Padmaningsih, M.Hum selaku Sekertaris Jurusan Sastra Daerah,

Ketua Koordinator Bidang Linguistik Jurusan Sastra Daerah, pembimbing

Akademik, serta Pembimbing II yang telah memberikan sumbang saran,

semangat serta masukan yang sangat berharga di dalam mengarahkan secara

intensif dalam penulisan skripsi ini.

5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen staf pengajar Jurusan Sastra Daerah yang telah

(8)

commit to user

x Sebelas Maret Surakarta.

6. Segenap staf Perpustakaan Pusat UNS serta para petugas Fakultas Sastra dan

Seni Rupa atas pelayanan yang telah diberikan.

7. Bapak, Ibu, Mertua dan Suamiku tercinta, yang telah membantu doa dan

berbagai pengorbanan serta kasih sayang di dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Teman-teman Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa semuanya

khususnya teman-teman angkatan 2007 atas kebersamaan, segala perhatian,

dorongan dan kerjasamanya.

9. Sahabat terbaikku Betha Ericka Ayu, E.B Taqwdaswintrani, dan Tina Subekti

atas dukungan dan semangat yang diberikan, tak lupa Dhagan Widyaloka

yang telah meminjami buku sampai penyelesaian skripsi ini.

Akhirnya, penulis sepenuhnya menyadari bahwa di dalam penelitian ini masih

ada kekurangan karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis. Oleh

karena itu, diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak

untuk sempurnanya skripsi ini.

Surakarta, April 2011

(9)

commit to user

ix

Halaman

JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN PENGUJI SKRIPSI ... iii

PERNYATAAN ... iv

DAFTAR TANDA, LAMBANG DAN SINGKATAN ... xiii

(10)

commit to user

G. Metode Penyajian Analisis Data ... 35

BAB IV HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 37

A. Aspek-aspek bunyi ... 37

1. Purwakanthi Swara ‘asonansi’ ... 37

2. Purwakanthi Sastra ‘aliterasi’... 40

3. Purwakanthi Lumaksita ‘pengulangan’ ... 45

(11)

commit to user

xi

b. Metafora ... 79

c. Personifikasi ... 81

d. Eponim ... 81

BAB V PENUTUP ... 83

1. Simpulan ... 83

2. Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 85

(12)

commit to user

xii

Halaman

(13)

commit to user

xiii DAFTAR TANDA

1. … : tuturan sebelumnya dan tuturan sesudahnya.

2. ‘…’ : arti dari suatu kata atau terjemahan.

3. (…) : pemerlengkap.

4. {…} : kurung kurawal untuk mengapit proses pembentukan.

5. / : atau.

6. : terbentuk dari.

7. + : dan.

8. >< : berlawanan dengan.

9. = : sama dengan.

LAMBANG

1. é : melambangkan bunyi vokal /é/, seperti édan ‘gila’.

(14)

commit to user

xiv 1. Aj : Adjektif (kata sifat)

2. BUL : Bagi Unsur Langsung

3. D : Dasar

4. N : Noun (kata benda)

5. PAJL : Perkawinan Adat Jawa Lengkap

6. PPJAS : Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta

7. RGen : Rekaman Geneng

8. RSad : Rekaman Sadaan

9. RTG : Rekaman Tegal Gede

10.SS : Sekar Semawur

11.TKPP : Tuntunan Kagem Panatacara tuwin Pamedhar Sabda

12.UMJGS : Upacara Mantu Jangkep Gagrak Surakarta

(15)

commit to user

xv

Eny Puspitosari. C0107019. 2011. Kajian Stilistika Panyandra Pengaten Jawa Adat Surakarta. Skripsi: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif mengenai Kajian Stilistika Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta. Masalah yang dikaji dalam penelitian ini: (1) Bagaimanakah penggunaan aspek-aspek bunyi dalam Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta?, (2) Bagaimanakah pilihan kata atau diksi dalam Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta?, (3) Bagaimanakah gaya bahasa dalam Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta?. Tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan aspek-aspek bunyi, pilihan kata atau diksi dan gaya bahasa dalam Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta.

Data dalam penelitian ini berupa data tulis yaitu kalimat panyandra dalam buku Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta dan data lisan yaitu kalimat panyandra dalam rekaman pernikahan yang menggunakan adat Surakarta. Sumber data berasal dari buku dan tuturan panyandra penganten Jawa adat Surakarta. Pengambilan sampel dengan menggunakan teknik purposive sampling. Penyediaan data dilakukan dengan teknik pustaka, teknik rekam dan teknik catat. Analisis data dengan menggunakan metode distribusional dan metode padan.

Metode distribusional digunakan untuk menganalisis aspek-aspek bunyi dan pilihan kata atau diksi dengan teknik dasar BUL (Bagi Unsur Langsung) dan teknik lanjutan berupa teknik interpretasi. Sedangkan metode padan digunakan untuk menganalisis gaya bahasa.

(16)

commit to user

(17)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap daerah memiliki adat dan budaya yang berbeda-beda. Upacara

perkawinan merupakan salah satu upacara yang sampai saat ini masih

dilaksanakan dan hidup di masyarakat. Perkawinan dengan rangkaian acara

merupakan salah satu peristiwa menarik untuk diamati.

Dalam budaya Jawa dikenal 3 M yaitu metu (lahir), manten (menikah),

mati (meninggal). Ketiga peristiwa tersebut merupakan manivestasi budaya Jawa

yang bersifat mistik dan religius. Dari ketiga peristiwa tersebut peneliti hanya

mengkaji tentang manten. Manten (menikah) adalah salah satu peristiwa penting

dalam kehidupan manusia. Begitu pentingnya hal tersebut, menyebabkan

masyarakat Jawa melaksanakannya dengan penuh perhitungan. Masyarakat Jawa

mengenal adanya tanggal, hari, dan bulan dalam kalender Jawa yang

diperbolehkan atau dihindari untuk melaksanakan sebuah upacara perkawinan.

Tanggal dan hari yang dihindari adalah tanggal dan hari yang merupakan waktu

kematian keluarga tertuanya sedangkan bulan yang tidak diperbolehkan atau

dihindari adalah bulan suro karena bulan tersebut dianggap sakral oleh

masyarakat.

Selain itu banyak tahapan yang harus dilalui dalam sebuah acara

perkawinan adat Jawa, yaitu nontoni, lamaran, paningset, gethak dina, pasang

tarub, siraman, paes, midodareni, ijab qobul yang menjadi inti acara pernikahan

(18)

commit to user

perkawinan, pambiwara menggambarkan keindahan suasana perkawinan, kedua

mempelai serta para pengiringnya dengan menggunakan bahasa yang indah atau

lebih dikenal dengan istilah panyandra.

Panyandra adalah cerita yang menggambarkan keindahan suatu bab atau

indahnya pesta, panyandra itu hanya pantas jika digunakan dalam suasana yang

penuh dengan kebahagiaan dan rasa suka, misalnya pada pesta pernikahan.

Panyandra berasal dari kata candra yang artinya cerita tentang sifat sesuatu

dengan perumpamaan, dicandra artinya diceritakan dengan perumpamaan (Retno

Purwandari, 2007:27). Panyandra ini akan mendominasi acara puncak perkawinan

yaitu upacara panggih yang dilakukan setelah upacara ijab qobul. Pelaksanaan

upacara panggih melalui berbagai tahapan, antara lain upacara balang gantal

(melempar sirih yang diikat dengan benang), mecah tigan (memecah telur), mijiki

samparan (membasuh kaki), sinduran (dipakaikan selendang dibahu pengantin),

jumenengan (penobatan sungkeman/penghormatan), kacar-kucur (memberi harta),

dhahar kembul walimahan (makan bersama), kirab.

Panyandra atau juga disebut rumpaka, janturan/ rerepan biasanya

dituturkan oleh seorang pranatacara “pembawa acara”. Panyandra/ wacana

panyandra merupakan rangkaian kisah penggambaran/pidato yang menjadi

ilustrasi dalam peristiwa perkawinan. Wacana panyandra termasuk dalam jenis

wacana monolog yang dituturkan untuk satu orang. Sebagai wacana monolog

yang digunakan dalam upacara perkawinan yang dianggap sakral, maka wacana

panyandra mempunyai ciri-ciri kosakata yang cenderung arkais dan struktur

(19)

commit to user

Wacana panyandra merupakan bentuk bahasa yang puitis, penuh dengan

ungkapan, baik klise maupun orisinil yang dianggap memancarkan

konotasi-konotasi keindahan. Wacana panyandra cenderung menggunakan kosakata bahasa

arkais, bahasa arkais selain digunakan dalam karya sastra juga digunakan dalam

percakapan bahasa sehari-hari yang memperhatikan kesopanan, tempat, suasana

serta lawan bicara. Bahasa panyandra termasuk bahasa rinengga/ bahasa indah.

Ciri bahasa indah bahasa Jawa adalah adanya bentuk-bentuk kawi atau arkais

yang merata pada unsur-unsur fonologi, morfologi, sintaksis maupun leksikon.

Contoh :

(1) Dhuh, dharahing budaya ingkang sampun kontab saidhenging rat

pramudita, lubering sih darma saking andika sadaya ingkang sampun kapareng

jumurung ing karsa suka pepuji mangastungkara, andayanana dhumateng anak

kula penganten kekalih, ingkang sampun widagda anambut guna talining

akrama, temah jumbuh ingkang sami ginayuh, sembada ing sami sinedya, lestari

ingkang sami kaesthi, hinaywan dening Gusti Ingkang Maha Hayu, umiring puji

miwah pangastuti hayu, hayu, rahayu, ring ulah ahayu.

‘Duh, keturunan orang berbudaya yang sudah terkenal di seluruh dunia,

tumpahnya kasih sayang dari Anda semua yang sudah bersedia untuk membantu

dan memberi doa restu agar memberi kekuatan kepada anak saya pengantin

berdua, yang sudah pandai menerima ikatan pernikahan sehingga tercapai apa

yang diharapkan, tercapai yang diinginkan, disetujui oleh Tuhan Yang Maha

Pemberi Selamat, diiringi doa dan restu selamat, selamat, selamat dalam segala

(20)

commit to user

Kata-kata yang sifatnya arkais adalah kata rat pramudita ‘bumi atau

dunia’. Hal ini juga berlaku pada bentuk morfologisnya yaitu penggunaan prefiks

(a-) seperti pada kata anambut ‘menerima’ dan infiks (-in-) seperti dalam ginayuh

‘diharapkan’ yang merupakan bentuk arkais yang menunjukan kelitereran dan

memiliki nilai rasa yang lebih dibanding dengan afiks yang lain. Struktur kalimat

dalam contoh (1) merupakan jenis kalimat majemuk yang terdiri dari beberapa

klausa.

Wacana panyandra merupakan bahasa yang banyak mengandung

pengulangan (rima). Contoh :

(2) Saya caket saya ngalela

‘Semakin dekat semakin terlihat jelas’

Contoh (2) merupakan kalimat yang mempunyai pengulangan bunyi vokal

atau asonansi yaitu pengulangan bunyi vokal /a/ yang terdapat pada bagian akhir

suku kata.

Cara-cara pengungkapan bahasa atau pemanfaatan bahasa dalam proses

kreatif berbahasa untuk menggambarkan suatu hal seperti panyandra, dapat dikaji

melalui teori pendekatan stilistika. Stilistika merupakan ilmu yang menyelidiki

bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra atau dapat dikatakan sebagai telaah

tentang variasi pemilihan dan penggunaan unsur-unsur bahasa sesuai dengan

situasi dan akibat bagi pembaca atau pendengar.

Panyandra Penganten dapat dianalisis secara stilistika mengingat bahasa

digunakan memerlukan pemilihan kata dan mengandung gaya bahasa. Alasan

(21)

commit to user

kebahasaan belum pernah dikaji, 2) bahasa panyandra penganten merupakan

bahasa yang indah dan unik untuk diteliti, 3) bahasa panyandra penganten

merupakan bahasa yang banyak menggunakan purwakanthi, pilihan kata yang

tidak asal-asalan serta gaya bahasa yang dapat menambah keindahan bahasa

panyandra penganten.

Karya sebelumnya yang menggunakan pendekatan stilistika adalah

1) Kajian Stilistika Bahasa Jawa dalam Lagu-Lagu Karya Koes Plus oleh Rani

Gutami tahun 2005. Penelitian tersebut mendeskripsikan bentuk lirik lagu

yang berupa parikan, wangsalan, kekhasan bentuk morfologi, dan pola rima.

Deskripsi makna berkaitan dengan gaya bahasa repetisi, aliterasi, asonansi,

dan makna yang tergantung dengan konteks sesuai dengan kenyataannya, serta

fungsi lirik lagu bahasa Jawa dalam lagu-lagu karya Koes Plus yakni fungsi

pendidikan, nilai bagi penguasa, nilai untuk kekayaan, dan nilai moral

pergaulan.

2) Serat Piwulang Warni-Warni Karya Mangkunagara IV (Suatu Tinjauan

Stilistika) oleh Priyanto tahun 2008. Penelitian ini berisi pembahasan tentang

pemilihan bunyi-bunyi bahasa, pemakaian kosakata arkhais dan gaya bahasa

yang dipergunakan dalam Serat Piwulang Warni-Warni Karya Mangkunegara

IV.

3) Kajian Kohesi Koherensi Wacana Pambiwara Berbahasa Jawa dalam Adat

Perkawinan Jawa oleh Enie Rochmini tahun 2000. Penelitian tersebut

(22)

commit to user

serta konteks situasi yang terdapat dalam Wacana Pambiwara Berbahasa

Jawa dalam Adat Perkawinan Jawa.

Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, menunjukkan bahwa penelitian

tentang stilistika yang terdapat dalam panyandra penganten belum pernah

dilakukan sehingga menarik untuk diteliti. Adapun penelitian ini diberi judul

“Kajian Stilistika Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta”.

B. Pembatasan Masalah

Pembatasan pada suatu masalah perlu dilakukan agar penelitian tidak

keluar dari sasaran yang akan dicapai. Masalah pada penelitian ini dibatasi pada

kajian stilistika. Stilistika tersebut meliputi aspek-aspek bunyi, diksi dan gaya

bahasa dalam wacana Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta.

C. Rumusan Masalah

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai

berikut:

1. Bagaimanakah penggunaan aspek-aspek bunyi (masalah ini perlu

dikaji untuk menjelaskan purwakanthi swara/ asonansi, purwakanthi

sastra/ alisterasi serta purwakanthi lumaksita) dalam Panyandra

Penganten Jawa Adat Surakarta?

2. Bagaimanakah pilihan kata atau diksi (masalah ini perlu dikaji untuk

menjelaskan reduplikasi, persandian, antonim, sinonim, kata-kata

(23)

commit to user

3. Bagaimanakah gaya bahasa (masalah ini perlu dikaji untuk

menjelaskan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna: gaya

bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan) dalam Panyandra Penganten

Jawa Adat Surakarta?

D. Tujuan

Dari perumusan masalah di atas dapat diperoleh tujuan penulisan sebagai

berikut :

1. Mendeskripsikan penggunaan aspek-aspek bunyi (purwakanthi

swara/asonansi, purwakanthi sastra/ alisterasi serta purwakanthi

lumaksita) dalam Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta.

2. Mendeskripsikan pilihan kata atau diksi (reduplikasi, persandian,

antonim, sinonim, kosakata kawi, dan afiksasi) dalam Panyandra

Penganten Jawa Adat Surakarta.

3. Mendeskripsikan gaya bahasa (gaya bahasa berdasarkan langsung

tidaknya makna: gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan) dalam

Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara teoretis

dan praktis.

(24)

commit to user

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan yang bermanfaat bagi perkembangan teori linguistik Jawa,

khususnya bidang stilistika.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh: (1) para

pambiwara atau peminat budaya Jawa dalam tugasnya di masyarakat; (2)

masyarakat umum, dapat menambah wawasan dalam memahami bentuk

panyandra dan karakteristik pemakaian gaya bahasa panyandra terutama

panyandra penganten; (3) peneliti selanjutnya dapat dipakai sebagai model

penelitian dan bahan acuan untuk penelitiannya; (4) guru untuk menambah materi

pengajaran bahasa Jawa.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini meliputi lima bab, yaitu:

Bab I. Pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan

masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan

sistematika penulisan.

Bab II. Landasan Teori, yang meliputi pengertian stilistika, pengertian

panyandra, pengertian aspek-aspek bunyi, pengertian diksi serta

pengertian gaya bahasa.

Bab III. Metode Penelitian, meliputi jenis penelitian, data dan sumber data, alat

penelitian, populasi dan sampel, metode pengumpulan data, metode

(25)

commit to user

Bab IV. Analisis data dan Pembahasan, mengenai aspek-aspek bunyi (asonansi/

purwakanthi swara, alisterasi/ purwakanthi sastra, purwakanthi

lumaksita), pilihan kata (dwipurwa, dwilingga, dwilingga salin swara,

tembung rangkep/ reduplikasi, tembung garba/ persandian, antonim,

sinonim, kosakata kawi, afiksasi) dan kajian gaya bahasa.

Bab V. Penutup, berisi simpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah

(26)

commit to user

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Pustaka

Penelitian terhadap bahasa dalam Panyandra Penganten Jawa Adat

Surakarta dengan menggunakan tinjauan stilistika belum pernah dilakukan.

Linguistik merupakan ilmu yang berupaya memerikan bahasa dan menunjukkan

bagaimana cara kerjanya, sedangkan stilistika merupakan kajian variasi linguistik

yaitu gaya yang mempunyai hubungan yang erat dengan konteks teks dan konteks

situasi (Sujono dkk, 1988:4). Dalam kajian pustaka ini dijelaskan tentang

pengertian stilistika, panyandra, aspek-aspek bunyi, pilihan kata dan gaya bahasa

dalam PPJAS.

1. Pengertian Stilistika

Pada masa ini style diartikan sebagai teknik serta bentuk gaya bahasa

seseorang dalam memaparkan gagasan sesuai ide dan norma yang digunakan

sebagaimana ciri pribadi pemakainya (Aminuddin, 1995:4). Stile, (style, gaya

bahasa), adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang

pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan (Burhan, 1995:276).

Stile ditandai ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat,

bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain. Makna stile

menurut (Leech, 1981 dalam Burhan 1995:277), suatu hal yang pada umumnya

tidak lagi mengandung sifat kontroversional, menyaran pada pengertian cara

penggunaan bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang tertentu untuk tujuan

(27)

commit to user

tertentu dan sebagainya. Gaya adalah cara berbahasa seseorang dalam

perpomansinya secara terencana maupun tidak, baik secara lisan maupun tertulis

(Soeparno, 2002:74).

Kata stilistika berhubungan dengan kata Style asal kata stilistics. Pada

perkembangan bahasa Latin kemudian muncul kata stylus dan memilki arti khusus

yang mendeskripsikan tentang penulisan, kritik terhadap kualitas sebuah tulisan.

Stilistika merupakan ilmu yang mengkaji wacana sastra dengan berorientasi

linguistik. Stilistika mengkaji bagaimana seorang pengarang itu memanipulasi

dalam arti memanfaatkan unsur dan sarana atau kaidah-kaidah kebahasaan, serta

mencari efek yang dapat ditimbulkan dari penggunaan bahasa dalam karya sastra.

Pada prinsipnya pusat perhatian stilistika adalah style atau gaya bahasa, yaitu cara

yang digunakan oleh seseorang untuk mengutarakan maksudnya dengan

menggunakan bahasa sebagai sarana ungkapnya (Panuti Sudjiman, 1993:2).

Stilistika (stilistics) adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan

gaya bahasa dalam karya sastra. Dapat dikatakan bahwa stilistika adalah proses

menganalisis karya sastra dengan melihat bagaimana unsur-unsur bahasa sebagai

medium karya sastra yang digunakan oleh sastrawan, sehingga terlihat bagaimana

sikap sastrawan dalam rangka menggunakan bahasa untuk menuangkan

gagasannya. Semua proses yang berhubungan dengan analisis bahasa karya sastra

dikerahkan untuk mengungkapkan aspek kebahasaan dalam karya sastra tersebut,

seperti diksi, penggunaan bahasa kias, bahasa figuratif, struktur kalimat,

(28)

commit to user

Stilistika tidak hanya merupakan studi gaya bahasa dalam kesusastraan

saja, melainkan juga studi gaya bahasa pada umumnya walaupun terdapat

penelitian khusus pada bahasa kesusastraan seperti hal-nya yang dikemukakan

oleh Turner. G.W : “Stylistics is that part of linguistics which concentrate on

variation in the use of language” (Stilistika adalah bagian dari linguistik yang

memusatkan diri pada variasi dalam penggunaan bahasa). (Turner. G.W dalam

Erry Pranawa, 2005:21)

Lapangan kajian stilistika dapat meliputi kata-kata, tanda baca, gambar

serta bentuk tanda lain yang dapat dianalogikan sebagai kata-kata (Aminuddin,

1995:44). Pada jaman modern stilistik seringkali memperlihatkan persamaan

dengan retorika, tetapi tanpa aspek normatifnya; stilistik, ilmu gaya bahasa, juga

diberi definisi yang bermacam-macam, tetapi pada prinsipnya selalu meneliti

pemakaian bahasa yang khas atau istimewa, yang merupakan ciri khas seorang

penulis, aliran sastra dan lain-lain atau pula yang menyimpang dari bahasa

sehari-hari atau dari bahasa yang dianggap normal, baku dan lain-lain (Teeuw, 1984:72).

Bahwa secara umum lapangan kajian stilistika meliputi pemakaian bahasa.

Sehingga dapat dilihat bagaimana bahasa yang digunakan dalam karya sastra dan

bagaimana pengarang menggunakan bahasa itu secara kreatif.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan stilistika merupakan

ilmu yang mengkaji karya sastra dengan berorientasi pada ciri-ciri formal

linguistik seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif,

penggunaan kohesi dan lain-lain. Adapun tujuan telaah kajian stilistika yaitu (a)

(29)

commit to user

mencari bukti-bukti linguistis, proses kajian berkisar pada deskripsi segi-segi

kebahasaan yang ada dalam karya sastra.

2. Panyandra

Panyandara yaiku pepindhan kang surasane nyandra utawa ngandakake

becike perangan badaning manungsa. Panyandra adalah perumpamaan yang

artinya menceritakan atau membicarakan tentang keindahan tubuh manusia’

(Subalidinata, 1986:35). Menurut Retno Purwandari (2007:27), panyandara

berasal dari kata candra yang artinya cerita tentang sifat sesuatu dengan

perumpamaan. Panyandra adalah cerita yang menggambarkan keindahan suatu

bab atau indahnya pesta. Struktur panyandara berbeda dengan strukstur pidato

perkawinan yang lain, karena panyandra bersifat mendeskripsikan upacara

perkawinan yang sedang berlangsung kepada tamu undangan sehingga seorang

pambiwara menuturkan apa yang sedang ia lihat dengan menggunakan

bahasa-bahasa yang indah agar lebih menarik. Struktur wacana panyandra tidak terbagi

atas bagian pendahuluan, bagian isi dan bagian penutup karena isi dari panyandra

tersebar di setiap wacana panyandra.

3. Aspek-aspek Bunyi

Aspek-aspek bunyi yang dimaksud dalam karya sastra bisa disebut dengan

perulangan bunyi. Adanya pengulangan bunyi akan lebih indah untuk dibaca.

(30)

commit to user

Purwakanthi merupakan hasil dari kesusastraan Jawa, berupa runtutan suara baik

vokal maupun konsonan dalam suatu kalimat atau wacana.

Purwakanthi: tembung purwa ateges wiwitan, ngarep. Dene tembung

kanthi ateges kanca gandheng karo nganggo. Purwakanthi yaiku gandhenging

suara kang mburi karo suara kang wis kacetha ing ngarep. ‘Purwakanthi berasal

dari kata purwa yang berarti permulaan. Sedangkan kanthi berarti teman

bergabung dan memakai/tautan. Purwakanthi artinya tautan bunyi setelahnya

dengan bunyi sebelumnya yang telah ada (Subalidinata 1986:57).

Purwakanthi ada tiga jenis sebagai berikut:

a. Purwakanthi swara adalah purwakanthi berdasarkan persamaan

suara/bunyi. Dalam bahasa Indonesia disebut asonansi yaitu sajak yang

berdasarkan perulangan bunyi bagian akhir suku kata/ perulangan vokal.

Asonansi berfungsi untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar

keindahan bunyi (Gorys Keraf, 2005:130).

Contohnya, Nadyan santana myang warga ‘Walaupun kerabat dan

saudara’ , Lamun durung mangsanipun ‘Kalau belum waktunya’.

Berdasarkan contoh tersebut adanya perulangan vokal a pada suku kata

pertama dan terakhir serta perulangan vokal u pada suku kata terakhir.

b. Purwakanthi sastra adalah purwakanthi berdasarkan persamaan sastra

atau huruf. Dalam bahasa Indonesia purwakanthi sastra identik dengan

sajak aliterasi yaitu sajak yang berdasarkan pada persamaan suku kata

bagian awal atau permulaan konsonan. Aliterasi adalah semacam gaya

(31)

commit to user

2005:130). Aliterasi adalah ulangan bunyi konsonan, pada awal kata yang

berurutan untuk mencapai efek kesedapan bunyi.

Misalnya;

Aling-aling kang ngalingi ‘Bayang-bayang yang menyelimuti’, Kidung

kadrêsaning kapti ‘Lagu kuatnya keinginan’. Berdasarkan contoh tersebut

adanya bentuk perulangan konsonan l pada suku kata tengah serta

perulangan konsonan k pada suku pertama.

c. Purwakanthi lumaksita adalah purwakanthi berdasarkan persamaan kata,

suku kata akhir dengan suku kata awal yang bertuturan atau persamaan

huruf akhir dengan huruf awal yang berturut-turut dalam suatu bait/baris

tembang. (Prasetya Adi Wisnu Wibawa, 2003:61).

Contohnya;

Pelag punapa kang abdi

abdi dalêm barang ngomyang

'Baik apanya hamba ini,

hamba mengamen dengan mulut’.

Berdasarkan contoh tersebut ditemukan adanya bentuk perulangan kata

abdi ‘hamba’.

4. Diksi

Diksi berasal dari bahasa latin dicere, dictum yang berarti to say

‘mengatakan’. Diksi berarti pemilihan dan penyusunan kata-kata dalam tuturan

atau penulisan (Scoot, 1980:170). Pengertian pilihan kata atau diksi lebih luas dari

(32)

commit to user

dipergunakan untuk menyatakan kata-kata yang dipakai untuk mengungkapkan

suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi persoalan fraseologis, gaya bahasa dan

ungkapan (Gorys Keraf, 2005:23).

Pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat

nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan

untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang

dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Pilihan kata yang tepat dan sesuai

hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosakata atau

perbendaharaan kata bahasa itu. Sedangkan perbendaharaan kata atau kosa kata

suatu bahasa adalah keseluruhan kata yang dimiliki oleh sebuah bahasa. (Gorys

Keraf, 2005:24).

Diksi atau pilihan kata memegang peranan penting dan utama dalam

mencapai efektivitas komunikasi. Memilih kata yang tepat untuk menyampaikan

gagasan memang bukan hal yang mudah. Banyak orang yang menggunakan kata

yang boros dan mewah, akan tetapi tidak ada isinya dan tidak dapat mewakili

perasaan sehingga orang yang diajak komunikasi pun tidak dapat menangkap

maksud dan tujuan dari perkataannya. Oleh karena itu, ketepatan memilih kata

sangatlah diperlukan dalam komunikasi agar gagasan yang disampaikan tepat dan

sesuai dengan maksud yang diharapkan. Hal-hal yang harus diperhatikan agar bisa

mencapai ketepatan pilihan kata menurut Gorys Keraf (2006:88) adalah sebagai

berikut:

1) membedakan secara cermat denotasi dan konotasi,

(33)

commit to user

3) membedakan kata-kata yang mirip ejaannya,

4) hindarilah kata-kata ciptaan sendiri,

5) waspadalah terhadap penggunaan akhiran asing, terutama kata-kata asing

yang mengandung akhiran tersebut,

6) kata kerja yang menggunakan kata depan harus digunakan secara idiomatik,

7) untuk menjamin ketepatan diksi, penulis atau pembicara harus mambedakan

kata umum dan kata khusus,

8) mempergunakan kata indria yang menunjukan presepsi yang khusus,

9) memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang sudah

dikenal,

10) memperhatikan kelangsungan pilihan kata.

Penggunaan diksi atau pemilihan kata yang akan dikaji dalam PPJAS

adalah (a). tembung rangkep/ reduplikasi, (b). tembung garba, (c). antonim, (d).

sinonim, (e). kosakata kawi, (f). afiksasi. Adapun penjelasannya sebagai berikut :

(a) Tembung rangkep ‘Reduplikasi’

Tembung rangkep disebut juga reduplikasi. Dalam bahasa Jawa

reduplikasi terdapat empat macam yaitu: (1) dwipurwa ‘pengulangan awal

suku kata’ (2) dwilingga ‘pengulangan kata’ (3) dwiwasana ‘pengulangan

akhir suku kata’ (4) dwilingga salin swara ‘perulangan kata berubah bunyi’.

Tembung dwipurwa, misalnya kata kekalih ‘berdua’ terbentuk dari {ka +

kalih} ‘berdua’. Tembung dwilingga, misalnya kata alon-alon ‘pelan-pelan’.

Tembung dwiwasana, misalnya kata cekakakan ‘terbahak-bahak’. Tembung

(34)

commit to user

(b) Tembung Garba ‘Persandian’

Tembung garba adalah meringkas atau menyambung satu dua kata

atau lebih menjadi satu kata. Dalam linguistik tradisional persandian identik

dengan tembung garba, tegese tembung kang kadadean saka gandhenge

tembung loro utawa luwih banjur luluh dadi siji ‘kata garba adalah kata yang

terjadi karena pertemuan dua kata atau lebih lalu lebur menjadi satu’

Persandian yaitu hubungan dua kata yang mengakibatkan perubahan bunyi.

Persandian ini terjadi apabila kata yang pertama berakhir dengan bunyi vokal

dan kata yang kedua berawal dengan bunyi vokal pula. Dengan adanya

persandian ini terjadilah pengurangan jumlah suku kata (Sujono dkk, 1988:

42). Misalnya kata tekèng ‘datang di’ berasal dari kata {teka + ing}, Murbeng

‘menguasai di’ berasal dari kata {murba + ing}, jayeng ‘menang akan’ berasal

dari kata {jaya + ing}; ketiganya merupakan pertemuan bunyi O dengan i

berubah menjadi è. Sireki ‘kamu ini’ berasal dari kata {sira + iki}, yeku ‘ya

itu’ berasal dari kata {ya + iku}, kedua sandi tersebut dapat dirumuskan a + i

= e, maksudya bahwa kata pertama berakhir dengan a dan kata kedua berawal

dengan i kemudian berubah menjadi e, begitu juga dengan kata dupyantuk

‘ketika mendapat’ berasal dari kata {dupi + antuk} kata dupyantuk merupakan

pertemuan bunyi i dengan a sehingga berubah menjadi y.

(c) Antonim

Antonim yaiku tembung, frasa, utawa ukara kang duwe teges walikan

karo tembung, frasa, utawa ukara liyane ‘antonim yaitu kata, frase, atau

(35)

commit to user

lainnya’ (Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, 2008:225). Menurut Gorys

Keraf (2005:39) Antonim adalah kata yang berlawanan atau sering disebut

lawan kata.

Parera (2004:70) memberikan pengertian mengenai antonim secara

singkat yaitu bahwa antonim adalah pertentangan makna. Pendapat yang

hampir sama dengan Parera adalah Aminuddin (2003:122) ia berpendapat

bahwa antonim adalah kata-kata yang maknanya bertentangan.

Antonim dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang

lain; satuan lingual yang maknanya berlawanan atau beroposisi dengan satuan

lingual yang lain. Antonim disebut juga oposisi makna. Pengertian oposisi

makna mencakup konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang

hanya kontras maknanya saja. Berdasarkan sifatnya, oposisi makna dapat

dibedakan menjadi lima macam, yaitu (1) oposisi mutlak yaitu pertentangan

makna secara mutlak, misalnya: urip >< mati ‘hidup >< mati’, obah ><

mandhek ‘bergerak >< diam’. (2) oposisi kutub yaitu oposisi makna yang

tidak bersifat mutlak, tetapi bersifat gradasi, misalnya: sugih >< mlarat ‘kaya

>< miskin’, dawa >< cendhak ‘panjang >< pendek’. (3) oposisi hubungan

yaitu oposisi makna yang bersifat melengkapi, masalnya: rama >< ibu ‘bapak

>< ibu’, guru >< murid ‘guru >< murid’. (4) oposisi hirarkial yaitu oposisi

makna yang menyatakan jenjang atau tingkatan, misalnya: SD >< SLTP ><

SMU >< PT, detik >< menit >< jam, hari >< minggu >< bulan >< tahun. (5)

(36)

commit to user

dari dua), misalnya: berlari >< berjalan >< melangkah >< berhenti. (

Sumarlam, 2009:40-44)

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa antonim

merupakan kata yang maknanya berlawanan antara kata yang satu dengan kata

yang lain.

(d) Sinonim

Sinonim yaiku rong tembung utawa luwih kang wujud lan panulise

beda, nanging duwe teges padha, utawa meh padha ‘sinonim yaitu dua kata

atau lebih yang wujud dan penulisannya berbeda, tetapi memiliki makna yang

sama, atau hampir sama’ (Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, 2008: 223).

Menurut Gorys Keraf (2005, 35-36), ada tiga faktor penyebab terjadinya

sinonim, yaitu proses penyerapan, tempat tinggal, makna emotif dan evaluatif.

Dua ujaran dalam bentuk morfem terikat, kata, frasa, atau kalimat yang

menunjukan kesamaan makna disebut sinonim (Parera, 2004:61). Sedangkan

menurut Harimurti Kridalaksana (2008:154) mengartikan sinonim sebagai

bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain; kesamaan

itu berlaku bagi kata, kelompok kata atau kalimat, walaupun yang dianggap

sinonim hanyalah kata-kata saja. Secara singkat Fatimah Djadjasudarma

(1993: 36) berpendapat bahwa sinonim adalah kesamaan arti.

Abdul Chaer (1990:85) memberikan pengertian mengenai sinonim

sebagai nama lain untuk benda atau hal yang sama; atau ungkapan yang

maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain. Berdasarkan wujud

(37)

commit to user

sinonim morfem (bebas) dengan morfem (terikat), misalnya: aku = …ku,

kamu = …mu. (2) sinonim kata dengan kata, misalnya: bayaran = gaji, putra =

siwi = atmaja = kulup = yoga ‘anak’. (3) sinonim kata dengan frase atau

sebaliknya, misalnya: hujan dan badai = musibah. (4) sinonim frasa dengan

frasa, missal: pandai bergaul = beradaptasi dengan baik. (5) sinonim klausa

dengan klausa, misalnya: memecahkan masalah tersebut = menyelesaikan

persoalan itu.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sinonim

adalah satu kata atau lebih yang memiliki makna yang sama.

(e) Kata-kata Kawi

Kata-kata kawi merupakan kata arkhais karena di dalam

penggunaannya dapat memancarkan keindahan. Kata-kata atau bahasa Kawi

dalam puisi tradisional Jawa memegang peranan penting karena kata-kata

tersebut dapat memancarkan kesan indah dalam puisi. Begitu pula bahasa

kawi yang terdapat dalam bahasa panyandra penganten, selain memancarkan

keindahan, penggunaan bahasa kawi dapat menambah kesakralan suatu

upacara perkawinan. Misalnya jalu ‘laki-laki’, driya ’hati’, amba ‘aku’.

Kata-kata tersebut berasal dari bahasa kawi/ Jawa kuna.

(f) Afiksasi

Afiksasi membuat bahasa dalam karya sastra menjadi indah dengan

adanya ater-ater ‘prefiks’, seselan ‘infiks’, panambang ‘akhiran’ dan imbuhan

bebarengan ‘konfiks’. Afiksasi yang menimbulkan keindahan meliputi prefiks

(38)

-commit to user

ipun)}; prefiks {ma-/maN-D}; prefiks {a-/aN-D atau ha-haN-D} dan sufiks

{-i –aken}; prefiks {sa-D} dan sufiks ing}; prefiks {pa-paN-D} dan sufiks

{-an, -a, -ing}; prefiks {pi-D} dan sufiks {-ipun, -ku}; prefiks {pra-D} dan

sufiks {ing} Seselan ‘infiks’ {-in-, -um-} dan konfiks yang meliputi (1)

{inD} dan sufiks {a, an, na}, (2) infiks {um{inD} dan sufiks {ing, ning, a,

-an, -na}; panambang ‘sufiks’ {-ing, -nya, ira}(Edi Subroto, 1991:55).

Konfiks (prefiks dan sufiks) misalnya konfiks {ka-D-an}, {ka-} guna

{+an}, kagunan ‘kelebihan’, {ka-} yuwana ‘selamat’ {+an}, kayuwanan

‘keselamatan’. Konfiks {ka-D-ing}, misalnya {ka-} sorot ‘sinar’ {-ing},

kasoroting, ‘terkena sinar’.

Infiks {-in-}, misalnya {-in-} surasa ‘terasa’, sinurasa ‘dirasakan’. {

-in-} buka, ‘buka’, binuka ‘dibuka’. {-um-} tata ‘tata’, tumata ‘kelihatan’. {

-um-} silih ‘ganti’, sumilih ‘berganti’. Nuansa keindahan terasa bila afiks yang

fungsi dan maknanya sama dibandingkan, misalnya infiks {-in-} dengan

{-di-} pada kata buka, buka dengan menggunakan infik {– in} ‘binuka’ terasa lebih

indah dibandingkan dengan kata buka yang menggunakan infiks {-di-}

‘dibuka’ terkesan biasa saja.

5. Gaya Bahasa

Stilistika adalah ilmu yang meneliti gaya bahasa, akan tetapi pengertian

mengenai gaya bahasa sangat beragam definisinya namun menunjukkan adanya

persamaan, yakni gaya bahasa merupakan cara penyusunan bahasa guna

(39)

commit to user

Menurut Gorys Keraf (2000:113) pengertian gaya atau khususnya gaya

bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style itu sendiri

merupakan kata Latin dari stilus yaitu semacam alat untuk menulis pada

lempengan lilin. Akan tetapi, pengertian mengenai gaya bahasa dapat dibatasi,

yaitu gaya bahasa adalah cara pengungkapan pikiran melalui bahasa secara khas

yang memperlihatkan jiwa kepribadian penulis atau pemakai bahasa.

Dalam kaitannya dengan gaya bahasa terdapat istilah-istilah lain yang

mungkin muncul, di antaranya: seni bahasa, estetika bahasa, kualitas bahasa,

ragam bahasa, gejala bahasa, dan rasa bahasa. Dua istilah pertama memiliki

pengertian yang hampir sama yaitu bahasa dalam kaitannya dengan ciri-ciri

keindahan sehingga identik dengan gaya bahasa itu sendiri. Kualitas bahasa

berkaitan dengan nilai penggunaan bahasa secara umum, termasuk ilmu

pengetahuan. Ragam bahasa adalah jenis, genre (jenis sastra). Gejala bahasa

dalam pengertian sempit menyangkut perubahan (penghilangan, pertukaran)

dalam sebuah kata, sedangkan dalam pengertian luas menyangkut berbagai bentuk

perubahan bahasa baik lisan maupun tulis, majas termasuk dalam gejala bahasa

yang paling khas. Rasa bahasa adalah perasaan yang timbul sesudah

mendengarkan, menggunakan suatu ragam bahasa tertentu. (Nyoman Kutha

Ratna, 2009:4). Gaya bahasa memiliki tujuan utama yaitu memunculkan aspek

keindahan. Dalam karya sastra gaya bahasa memegang peranan penting, karena

merupakan unsur pokok yang digunakan untuk mencapai berbagai bentuk

keindahan. Dalam hubungannya dengan gaya bahasa, karya sastra sebagai salah

(40)

commit to user

maka menggunakan bahasa sebagai media utama. Jadi gaya bahasa yang

dimaksudkan pada suatu karya sastra berkaitan erat dengan tujuan dan pribadi

pengarang.

Harimurti Kridalaksana (2001:63) memberikan pengertian mengenai gaya

bahasa atau style adalah (1) pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang

dalam bertutur atau menulis; (2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh

efek-efek tertentu; (3) keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra.

Gaya bahasa dapat ditinjau dari bermacam-macam sudut pandang.

Pandangan terhadap gaya bahasa dapat dibedakan dari jenisnya dibagi menjadi

dua segi yakni segi non bahasa dan segi bahasa. Guna melihat gaya secara luas,

maka pembagian berdasarkan masalah non bahasa tetap diperlukan, namun gaya

bahasa dilihat dari aspek kebahasaan lebih diperlukan.

Jenis-jenis gaya bahasa menurut Gorys Keraf (2000:115-145) adalah (a)

gaya bahasa berdasarkan pilihan kata dibedakan menjadi gaya bahasa resmi, gaya

bahasa tak resmi, dan gaya bahasa percakapan, (b) gaya bahasa berdasarkan nada

terdiri dari gaya sederhana, gaya mulia dan bertenaga, dan gaya menengah, (c)

gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat terdiri dari klimaks, antiklimaks,

paralelisme, antitesis, dan repetisi, (d) gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya

makna terdiri dari gaya bahasa retoris meliputi aliterasi, asonansi, anastrof,

apofasis atau preterisio, apostrof, asidenton, polisidenton, kiasmus, elipsis,

eufemismus, litotes, hysteron proteron, pleonasme dan tautologi, perifrasis,

prolepsis, erotesis, silepsis dan zeugma, koreksio, hiperbol, paradoks, oksimoron;

(41)

commit to user

eponimi, epitet, sinekdoke, metonimia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme, dan

sarkasme, satire, inuendo, antifrasis dan pun atau paronomasia.

Semua ragam gaya bahasa di atas, tidak semuanya yang tercantum ada

dalam PPJAS. Maka penelitian ini hanya mengacu dan menitik beratkan pada

pemakaian gaya bahasa yang terdapat dalam PPJAS yaitu gaya bahasa

berdasarkan langsung tidaknya makna, (a) gaya bahasa retoris : anastrof,

asidenton, pleonasme, erotesis, hiperbola, (b) gaya bahasa kiasan : simile,

metafora, personifikasi, eponim. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut.

Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna :

1. Gaya Bahasa Retoris

Gaya bahasa retoris termasuk dalam gaya bahasa yang maknanya harus

diartikan menurut nilai lahirnya. Sehingga tidak akan timbul kesulitan dalam

memahami kata, frasa atau kalimat apabila pilihan kata tepat. Gaya bahasa retoris

sebagai berikut:

a. Anastrof yaitu gaya bahasa inversi atau pembalikan susunan kata-kata

dalam sebuah kalimat, yang berbeda dari susunan biasa. Misalnya, mula

lunga saka papan iki, nyawang solah bawane ora seneng ‘maka pergi dari

tempat ini, melihat tingkah lakunya’. Dari contoh tersebut kalimat yang

lebih tepat nyawang solah bawane ora seneng, mula lunga saka papan iki.

b. Asindenton yaitu gaya bahasa yang padat dan mampat, berupa beberapa

kata yang sederajat berurutan atau kalusa-klausa yang sederajat, tidak

dihubungkan dengan kata sambung. Biasanya dipisahkan dengan tanda

(42)

commit to user

arta receh, beras, palawija, kacang kawak dhele kawak. ‘Segera pengantin

mengadakan upacara kacar-kucur, wujudnya adalah uang koin, beras,

palawija, biji kacang tua dan biji kedelai tua’. Dari contoh tersebut

beberapa benda seperti uang koin, beras, palawija, kacang tua dan kedelai

tua, tanpa menggunakan kata penghubung.

c. Pleonasme dan Tautologi adalah acuan yang mempergunakan kata-kata

lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan suatu pikiran

atau gagasan. Suatu acuan disebut pleonasme bila kata yang berlebihan itu

dihilangkan dan acuan itu disebut tautologi kalau kata yang berlebihan itu

sebenarnya mengandung perulangan dari sebuah kata yang lain. Misalnya,

… manah risang penganten kekalih, kapangeston para pinisepuh,

kasepuhan, sesepuh, kadang miwah sentana. ‘… hati pengantin berdua,

direstui para orang tua, tetua, orang yang dianggap tua, saudara.’. Kata

pinisepuh, kasepuhan, dan sesepuh sebenarnya memiliki arti yang sama

yaitu orang atau pihak yang dianggap tua atau dituakan sehingga menjadi

panutan bagi pihak lain. Begitu juga kadang bermakna sama dengan

sentana yaitu saudara atau kerabat.

d. Erotesis atau pertanyaan retoris adalah semacam pertanyaan yang

dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai

efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar dan sama sekali

tidak menghendaki adanya suatu jawaban. Misalnya, Apa rakyat kang

(43)

commit to user

menanggung hutang negara’. Selain kata apa ‘apa’, bisa juga

menggunakan kata ‘piye’ bagaimana.

e. Hiperbol adalah gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan

berlebihan dengan membesar-besarkan sesuatu hal. Misalnya, Penganten

kakung pancen baguse kalangkung langkung, ngganthenge sundhul

wuwung… ‘Pengantin pria memang tampan sekali, ketampanannya

melampaui atap rumah…’. Diskripsi yang diutarakan berlebihan karena

ketampanann pengantin pria bisa melebihi atap rumah.

2. Gaya Bahasa Kiasan

a. Persamaan atau simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Tidak

langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Misalnya,

mlakune kaya macan luwe ‘berjalannya seperti harimau yang tidak

bertenaga’ (pelan-pelan).

b. Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara

langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Menurut Aminudin,

(1995:242) kiasan yang metaforik, yakni kiasan yang bertumpu pada

adanya kesejajaran ciri citraan antara sesuatu yang dianalogikan.

Misalnya, Risang penganten sageda ndhedher kasaenan,… ‘Kedua

pengantin dapat menumbuhkan kebaikan,…’. Ndhedher kasaenan bukan

berarti ‘menumbuhkan atau menanam kebaikan’ (menanam dalam arti

yang sesungguhnya), akan tetapi berarti berbuat kebaikan.

c. Personifikasi atau Propopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang

(44)

commit to user

bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Misalnya, watu

segara tansah sabar narima nalika ombak segara kerep nesu ‘batu karang

selalu sabar setiap kali gelombang laut marah’.

d. Eponim adalah suatu gaya bahasa menggunakan nama seseorang yang

namanya sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu

dipakai untuk menyatakan sifat itu. Misalnya, Raden Gatotkaca satriya

ing Pringgondani kang gagah prakasa otot kawat balung wesi ora tedhas

tapak paluning pandhe ‘Gatotkaca yang gagah perkasa berotot kawat

bertulang besi tidak mempan segalanya’. Gatotkaca sebagai simbol

kekuatan dan keperkasaan.

B. Kerangka Pikir

Kerangka pikir dalam penelitian merupakan penggambaran pemikiran

peneliti dalam memahami masalah yang akan diteliti. Objek dari penelitian ini

adalah Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta. Dari panyandra ini peneliti

mengamati wujud pemakaian bahasanya. Berdasarkan landasan teori pemakaian

bahasa dalam karya sastra yang berbentuk tulisan ini merupakan objek dari kajian

stilistika. Wujud pemakaian bahasa tersebut kemudian ditelaah pada aspek bunyi

bahasa, pemilihan kata atau diksi, dan gaya bahasa. Untuk lebih jelasnya dapat

(45)
(46)

commit to user

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan cara, alat, prosedur dan teknik yang dipilih

dalam melakukan penelitian. Metode adalah cara untuk mengamati atau

menganalisis suatu fenomena, sedangkan metode penelitian mencakup kesatuan

dan serangkaian proses penentuan kerangka pikiran, perumusan masalah,

penentuan sampel data, teknik pengumpulan data dan analisis data (Edi Subroto,

1992:31). Dalam metode penelitian akan dijelaskan mengenai tujuh hal, yaitu (1)

jenis penelitian, (2) sumber data dan data, (3) alat penelitian, (4) populasi dan

sampel, (5) metode pengumpulan data, (6) metode hasil analisis data, (7) metode

penyajian hasil analisis data.

A. Jenis Penelitian

Jenis dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu penelitian yang

dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena

yang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya, sehingga menghasilkan

catatan berupa pemberian bahasa dan sifatnya seperti potret (Sudaryanto,

1992:62). Deskriptif adalah metode yang bertujuan membuat deskripsi,

maksudnya membuat gambaran, lukisan secara sistematis, faktual dan akurat

mengenai data, sifat-sifat serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti.

Dalam penelitian ini data yang terkumpul berbentuk daftar kata-kata. Penelitian

ini berusaha untuk mendeskripsikan data kebahasaan mengenai aspek bunyi, diksi

(47)

commit to user

angka.

B. Sumber Data dan Data

Sumber data merupakan bahan mentah data atau asal muasal data, bahan

mentah data yang dalam bentuk konkret tampak sebagai segenap tuturan apapun

yang dipilih oleh peneliti karena dipandang cukup mewakili, sumber data

merupakan penghasil atau pencipta data (Sudaryanto, 1990:33). Sumber data tulis

dalam penelitian ini berasal dari buku panyandra penganten Jawa adat Surakarta.

Sumber data lisan dalam penelitian ini berasal dari informan yang berupa tuturan

panyandra penganten Jawa adat Surakarta. Informan yang dimaksud adalah

pambiwara dalam perkawinan Jawa adat Surakarta yaitu Bp. Suharsono yaitu

pambiwara pada perkawinan di Sadaan pada tanggal 15 Juli 2010, Bp. Subari

yaitu pambiwara pada perkawinan di Geneng pada tanggal 26 September 2010,

serta Bp. Joko yaitu pambiwara pada perkawinan di Tegal Gede pada tanggal 25

Oktober 2010.

Data adalah bahan penelitian (Sudaryanto,1990:3). Data dalam penelitian

ada dua yaitu data tulis dan data lisan. Data tulis berupa teks panyandra dalam

buku panyandara penganten Jawa adat Surakarta, sedangkan data lisan berasal

dari rekaman langsung pernikahan yang menggunakan adat Surakarta. Data dalam

penelitian ini adalah kalimat panyandra penganten yang terdapat pada data tulis

atau buku panyandra penganten Jawa adat Surakarta maupun kalimat panyandra

penganten yang terdapat dalam rekaman pernikahan yang menggunakan adat

(48)

commit to user

Alat penelitian meliputi alat utama dan alat bantu. Disebut alat utama

karena alat tersebut yang paling dominan dalam penelitian, sedangkan alat bantu

berguna untuk membantu memperlancar jalanya penelitian. Alat utama dalam

penelitian ini adalah peneliti sendiri, sedangkan alat bantu adalah alat tulis, buku

catatan, computer, alat rekam, kertas HVS dan alat lainnya yang dapat membantu

jalannya penelitian ini.

D. Populasi dan Sampel

Populasi menurut Sudaryanto adalah keseluruhan pemakaian bahasa

tertentu, populasi merupakan tuturan yang dipilih sebagai sampel maupun tidak

sebagai kesatuan ( Sudaryanto, 1993:36). Populasi dalam penelitian ini adalah

semua kalimat panyandra yang terdapat pada buku panyandra penganten Jawa

adat Surakarta serta kalimat yang terdapat dalam rekaman panyandra penganten

Jawa adat Surakarta.

Sampel adalah sebagian dari populasi yang dijadikan objek penelitian

langsung (Sudaryanto, 1993:32). Penentuan sampel dalam penelitian ini

menggunakan teknik purposive sampling yaitu pengambilan data secara selektif

disesuaikan dengan kebutuhan (Sudaryanto, 1993:29). Sampel dalam penelitian

ini adalah kalimat panyandra penganten Jawa adat Surakarta yang mengandung

aspek-aspek bunyi, diksi dan gaya bahasa. Adapun sampel data tulis yang

dimaksud:

1. Buku ‘Tuntunan Kagem Para Pranata Cara Tuwin Pamedar Sabda„ karangan

(49)

commit to user

Respationo, terbit tahun 1994, penerbit Dahara Prize, Semarang.

3. Buku „Sekar Semawur’ karangan S. Rekso Panuntun, terbit tahun 2002,

penerbit Cendrawasih, Surakarta.

4. Buku „Perkawinan Adat Jawa Lengkap’ karangan Andjar Any, terbit tahun

1985, penerbit P.T Pabelan, Surakarta.

Sampel data lisan :

1. Panyandra pada resepsi pernikahan anak dari Bapak-Ibu Sawal Parto

Wirejo-Tukinem, di Sadaan Kidul Rt 03, Rw 03, Gumpang, Kartasura. Pada tanggal 15

Juli 2010.

2. Panyandra pada resepsi pernikahan anak dari Bapak-Ibu Panut karto

Suwito-Sumirah, di Sigran Kidul Rt 01, Rw 06, Geneng, Gatak, Sukoharjo. Pada

tanggal 26 September 2010.

3. Panyandra pada resepsi pernikahan anak dari Bapak-Ibu Dali

Hadiwiyono-Murtini, di Tegal Gede Rt 01, Rw 05, Mayang, Gatak, Sukoharjo. Pada tanggal

25 Oktober 2010.

E. Metode Pengumpulan Data

Metode merupakan cara mendekati, mengamati, menganalisis, dan

menjelaskan suatu fenomena (Harimurti Kridalaksana, 2001:136). Pengumpulan

data dalam penelitian ini menggunakan metode simak. Metode simak atau

penyimakan adalah metode pengumpulan data dengan menyimak penggunaan

bahasa (Sudaryanto, 1988:2) adapun teknik dasar yang dipakai dalam penelitian

(50)

commit to user

berupa teknik sadap serta teknik lanjutan adalah teknik rekam.

Teknik pustaka adalah peneliti berperan sebagai intrumen kunci

melakukan penyimakan secara cermat, terarah dan teliti terhadap sumber data

utama dalam rangka memperoleh data yang dibutuhkan. Hasil penyimakan

kemudian dicatat sebagai sumber data (Edi Subroto, 1992:42). Teknik tersebut

digunakan penulis untuk menggumpulkan data tulis.

Teknik rekam merupakan teknik pemerolehan data dengan cara merekam

bahasa lisan yang bersifat spontan dengan menggunakan alat perekam (Edi

Subroto, 1992:36). Kegunaan teknik ini untuk memperoleh data lisan yaitu

pelaksanaan resepsi pernikahan pada tanggal 15 Juli 2010, 26 September 2010,

dan 25 Oktober 2010.

F. Metode Analisis Data

Analisis merupakan upaya peneliti menangani langsung masalah yang

terkandung pada data (Sudaryanto, 1992:6). Analisis data bertujuan untuk

mengetahui masalah-masalah yang berhubungan dengan penggunaan bahasa

dalam Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta. Penulis menganalisis data

menggunakan metode distribusional dan metode padan.

1. Metode Distribusional

Metode distribusional yaitu metode analisis data yang alat penentunya

unsur dari bahasa itu sendiri (Sudaryanto, 1992:15). Teknik dasar yang digunakan

adalah teknik bagi unsur langsung (BUL). Teknik ini digunakan untuk membagi

(51)

commit to user

(Sudaryanto, 1992:13). Adapun teknik lanjutan yang dipakai adalah teknik

interpretasi. Sesuai dengan hakikatnya isi interpretasi adalah penafsiran.

Interpretasi adalah mengguraikan segala sesuatu yang ada dibalik data yang ada

(Nyoman Kutha Ratna, 2010:306). Teknik tersebut digunakan untuk menganalisis

rima dan diksi dalam Panyandra Penganten Jawa Adat Surakarta.

Adapun contoh penerapannya sebagai berikut.

(3) Ana ganda arum angambar angebaki jroning sasana pahargyan.

‘Ada aroma harum menyebar memenuhi tempat resepsi.’

Pada data (3) terdapat asonansi berupa perulangan bunyi vocal a yang

berada pada awal kata yaitu kata arum ‘harum’, angambar ‘menyebar’ dan

angebaki ‘memenuhi’. Perulangan vocal a berulang secara berurutan.

(4) Satuhu sampun kembar tresnane, kembar kekarepe, kembar cipta, rasa,

karsane.

‘Benar-benar sudah sama kasih sayangnya, sama keinginannya, sama cipta,

rasa serta karsanya.’

Pada data (4) terdapat alisterasi berupa perulangan bunyi konsonan k yang

berada pada awal kata yaitu kata kembar ‘sama’, kekarepe ‘keingginannya’ serta

kata karsane ‘karsanya’. Selain itu terdapat purwakanthi lumaksita berupa

perulangan kata kembar ‘sama’ secara berurutan dalam satu kalimat.

(5) Kawistara panganten kekalih wus jajar sumandhing aneng luhuring

pasangan linambaran roning pisang raja, pasemone nyata lamun dhaupira

wus pinasthi dadi pasanganira, kang agung kinudang-kudang bangkit

(52)

commit to user

pasangan dilapisi daun pisang raja, dengan kata lain nyata kalau pertemuannya

sudah pasti menjadi pasangannya, yang besar ditimang-timang supaya bangkit

mandiri pada dirinya sendiri, ditambah pada kewibawaan, seperti sejajar Ratu

utama’

Pada data (5) tersebut terdapat banyak pilihan kata, antara lain:

- Reduplikasi : - Dwipurwa pada kata : kekalih ‘keduanya’ ka + kalih.

- Tembung garba pada kata : aneng ‘di’ ana + ing dan

mandireng ‘mandiri pada’ mandiri + ing

- Sinonim pada kata jajar = sumandhing ‘berjajar’.

- Kosakata kawi pada kata kawistara ‘terlihat jelas’, narendratama ‘ratu

utama’.

- Struktur morfologi berupa afiksasi yaitu infiks {-in-} pada kata

linambaran ‘dilapisi’, winimbuh ‘menambah’, pinasthi ‘dipastikan’; sufiks

{-ira} pada kata dhaupira ‘bertemunya’, pasanganira ‘pasangannya’;

sufiks {-ing} pada kata jejering ‘sejajar’, luhuring ‘puncaknya’, roning

‘daun’ konfiks {ka-an} pada kata kawibawan‘kewibawaan’.

(4) Metode Padan

Metode padan adalah metode analisis data yang alat penentunya diluar,

terlepas dan tidak menjadi bagian yang bersangkutan (Sudaryanto, 1992:13).

Teknik yang digunakan dalam metode padan adalah teknik Pilah Unsur Penentu

(PUP). Adapun alat yang digunakan adalah daya pilah yang bersifat mental yang

dimiliki oleh peneliti. Daya pilah yang digunakan adalah daya pilah referensial

(53)

tulisan-commit to user

maksud. Penerapan metode padan adalah sebagai berikut.

(6) Weweging pranaja singset kapathet ing ageman, pindha cengkir gadhing

piningit, yayah anjebol-njebolna mekak madya ingkang minangka

setubandaning sarira.

‘Payudara ketat tertahan oleh busana, sehingga terlihat keluar ibarat buah

kelapa gading yang masih kecil/ kuning, laksana akan merobek robek kutang

sebagai penutup badan.’

Pada data (6) terdapat gaya bahasa simile yang ditandai dengan kata

pindha ‘ibarat’ pada pindha cengkir gadhing piningit ‘ibarat buah kelapa gading

yang masih kecil dikarantina’ dan yayah ‘laksana’ pada kalimat yayah

anjebol-njebolna mekak madya ‘laksana akan merobek robek kutang’. Selain itu terdapat

juga gaya bahasa hiperbola pada anjebol-njebolna mekak madya ingkang

minangka setubandaning sarira ‘merobek robek kutang sebagai penutup badan’,

penggunaan bahasa dianggap berlebih-lebihan karena dijelaskan bahwa payudara

seakan-akan merobek-robek kutang. Selain itu penggunaan gaya bahasa seperti di

atas akan menimbulkan suasana humor dan mengundang tawa pendengar.

G. Metode Penyajian Analisis Data

Metode penyajian hasil analisis data menggunakan metode formal dan

metode informal. Hasil analisis data dalam penelitian ini disajikan secara informal

yaitu metode penyajian hasil analisis data yang menggunakan kata-kata biasa atau

sederhana agar mudah dipahami. Analisis metode informal dalam penelitian ini

(54)

commit to user

(55)

commit to user

HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Deskripsi hasil analisis pada bab IV ini merupakan inti dari pengkajian

PPJAS (Suatu Tinjauan Stilistika), yang meliputi (i) aspek-aspek bunyi, (ii)

pilihan kata dan (iii) kajian gaya bahasa.

A. Aspek-aspek Bunyi

Dalam PPJAS bahasa yang digunakan adalah berbeda dengan bahasa

sehari-hari. Hal itu dilakukan oleh seorang pambiwara untuk menimbulkan nuansa

ekspresi estetis, rasa indah agar lebih menarik dibaca dan didengar. Bahasa

tersebut sering disebut basa rinengga ‘bahasa indah’. PPJAS banyak

menggunakan purwakanthi ‘pengulangan bunyi’. Dalam PPJAS ditemui ada tiga

kekhususan purwakanthi ‘pengulangan bunyi’, yaitu asonansi atau purwakathi

swara ‘pengulangan bunyi vokal’, purwakanthi sastra ‘pengulangan bunyi

konsonan’ dan purwakanthi lumaksita ‘pengulangan kata atau suku kata yang

telah digunakan pada bagian sebelumnya’.

1. Purwakanthi swara‘asonansi’

Jumlah vokal bahasa Jawa ada tujuh vokal, dengan perlambangan yang

dipakai adalah a, i, u, e, ê, o, dan O. Sandhangan swara atau aksara swara ‘vokal’

ada enam yaitu legena /a/, wulu (…i /i/ ), suku (…u /u/), taling ([… /é/),

(56)

commit to user

berikut.

(01) Panganten kakung angagem makutha awarna kresna….

(TKPP/05/95)

‘ Pengantin pria menggenakan penutup kepala berwarna hitam….’

Pada data (07) merupakan bentuk pengulangan bunyi vokal /a/. Perulangan

bunyi vokal /a/ pada suku kata awal dan suku kata tengah pada kata panganten

yang terjadi pada suku kata akhir saja terdapat pada kata wida ‘wewangian’.

(03) Sumirat ambabar teja maya, saya dangu saya cetha, .

(TKPP/05/84)

‘Terlihat banyak sorotan samar, semakin lama semakin jelas, ….’

(04) …, lulus raharja, sirna saliring rubeda. (TKPP/05/89) ‘…, berakhir dengan selamat, tanpa halangan.’

(05) …, saksana ambuka osiking driya denira sumengka pangawak

braja, …. (TKPP/05/91)

‘…, segera menggetahui gerak-gerik hatinya akan menambah

Gambar

figuratif

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis data yang ditemukan yaitu (1) pemanfaatan aspek bunyi dalam lirik lagu berbahasa Jawa karya Nur Bayan ditemukan asonansi (purwakanthi guru

Kemudian lirik lagu dan hasil transkripi dari data lisan yang di dalamnya mengandung aspek-aspek stilistika seperti aspek bunyi, diksi, gaya bahasa, dan

Metode distribusional digunakan adalah metode Baca Markah (BM) untuk menganalisis bentuk pronomina dan repetisi dalam wacana upacara pernikahan adat Jawa di Surakarta,

(2) kekhasan diksi atau pilihan kata dalam naskah sandiwara JS dan KK yaitu, kosakata bahasa Indonesia, sinonim, idiom/ungkapan, kata.. kasar/makian, tembung saroja, kata

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan (1) jenis pilihan kata; (2) jenis gaya bahasa; (3) jenis citraan; (4) bentuk nilai moral; dan (5) relevansi hasil temuan

Tujuan penelitiannya adalah (1) ingin mendeskripsikan wujud bahasa nonverbal yang digunakan dalam upacara adat perkawinan Jawa gaya Yogyakarta, dan (2) ingin mendeskripsikan

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh lirik lagu identitas daerah SUBOSUKAWONOSRATEN yang mengandung pemanfaatan aspek bunyi, diksi, gaya bahasa dan

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan gambaran penggunaan pilihan kata (diksi) dan gaya bahasa semiotik dalam album keseimbangan karya Iwan Fals berdasarkan