• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Gaya Hidup Anak Muda

1. Gaya hidup konsumtif

Gaya hidup konsumtif adalah pola hidup seseorang yang dinyatakan dalam kegiatan, minat dan pendapatnya dalam membelanjakan uangnya secara

berlebihan atau boros dan lebih mendahulukan keinginan daripada kebutuhan yang lebih penting.

Dengan adanya pola konsumtif di dalam masyarakat tentunya akan memberikan dampak sosial bagi masyarakat tersebut. Menurut Soedjatmoko, Haryanto (2008: 51-83), dampak tersebut dapat dilihat memalui lima ranah tematis kehidupan sosial, yaitu ruang dan tempat, teknologi, mode atau fashion, musik pop, dan olahraga. Lima ranah tersebut masing-masing dijelaskan sebagai berikut:

a. Mengonsumsi ruang dan tempat

Konsumsi ruang dan tenpat adalah tempat hiburan yang sering dikunjungi sebagai tempat pelepas lelah. Kebudayaan kontemporer telah mengalami ”deteritorialisasi”, yakni, bahwa dengan perkembangan komunikasi massa dan jaringan hiburan, yang berdasar pada kota metropolitan dan yang menyebarkan budaya konsumen, yang muncul ialah homogenitas budaya yang meliputi pelbagai ruang dan tempat. Salah satu bentuk dari budaya ruang dan tempat ini adalah pusat perbelanjaan (Mall).

Pusat perbelanjaan, dapat dikatakan merupakan surga bagi konsumerisme (a temple of consmerism) di mana, secara sadar, pengalaman berbelanja berlanjut hingga masuk wilayah hiburan. Mall tidak hanya merupakan tempat di mana konsumen bebas memiliki dan juga merupakan pusat ekonomi pasar, melaikan secara aktif membentuk imaji mengenai kehidupan yang seharusnya, dan imaji itu disebut konsumerisme. Mall di

masa sekarang lebih berpengaruh secara sosial. Konsumerisme telah memaksakan suatu perilaku sosial yang dikendalikan oleh para pengembang dari pada para konsumen itu sendiri. Mall tampak memenuhi seluruh pemuasan langsung konsumerisme, tetapi pada saat yang sama menyembunyikan keharusan sosial yang tersembunyi. Mall selain sebagai tempat perbelanjaan, mall juga berfungsi sebagai tempat tongkrongan anak muda jaman sekarang.

b. Mengonsumsi teknologi

Perkembangan teknologi telah membawa akibat yang signifikan bagi bentuk konsumsi masyarakat Indonesia. Teknologi informasi dan komunikasi hadir sebagai komponen pokok budaya konsumsi rumah tangga. Dalam arti tertentu, dampak teknologi pada masyarakat kontemporer, dan secara spesifik bagi para konsumen, mampu memenuhi standar ”jerat-jerat” konsumerisme yang mempesona sekaligus tak terelakan. Ada transformasi kehidupan sosial yang radikal (hal yang prinsip) sebagai dampak berbagai kemajuan sains dan teknologi.

Kemajuan ini meliputi empat hal. Yang pertama adalah adanya perubahan tekanan dari produksi barang menjadi penyediaan jasa. Berikutnya adalah perencanaan inovasi teknologi yang diprioritaskan pada sains, teknologi, dan ekonomi yang meningkat melalui penelitian. Aspek ketiga ialah adanya kelas profesional dan teknisi yang berperan sebagai penguasa baru dalam masyarakat. Sedangkan yang terakhir ialah peran fundamental pengetahuan

teoritis yang semula sebagai prasyarat inovasi dan kebijaksanaan (policy) kepada kenyataan bahwa pengetahuan teoritis muncul sebagai prinsip dasar bagi masyarakat pasca industri. Singkat kata, teknologi perlu dikaitkan dengan revolusi budaya sebagai refrensi konteks sosial dan politis. Teknologi telah berperan dalam membuat konsumen yang jinak (pacfication of the consumer).

c. Mengonsumsi mode (fashion)

Mode merupakan pola konsumsi yang mana di jadikan sebagai sebuah cara hidup, selain itu mode mencirikan pengalaman hidup sosial. Salah satu ciri alam modern belakangan ini adalah dengan perubahan tanpa henti, dan mode merupakan salah satu akibat perubahan tanpa henti tersebut.

Lebih jauh, mode memiliki fungsi sebagai penolong yang memastikan bahwa masyarakat mengadaptasikan kehidupan modern yang kompleks. Sebagai produk pembeda kelas, mode tidak hanya mengidentifikasi individu sebagai anggota kelas partikular (kelompok sendiri), melainkan juga membuktikan bahwa mode bukanlah anggota kelompok alternatif. Dengan demikian, mode dapat dikatakan sebagai produk kebutuhan sosial. Dalam konteks ini, uang berperan penting di dalam analisisnya.

Sesuatu dapat dikatakan fashionabel jika memenuhi tiga hal utama, yakni: pertama, barang tersebut tersosiasi dengan kategori-kategori kultural. Transisi dari dunia yang bersifat kultural menuju barang yang aktual menjamin adanya transisi menuju sistem mode. Sedangkan hal kedua,

terkait dengan pemaknaan budaya yang dibentuk oleh kelompok elite sosial maupun pandangan pemimpin tertentu, seperti para tokoh terkenal populer (pop stars). Tentu saja, konsumen yang memiliki pengaruh kurang akan mengimitasi pekmanaan tersebut. Akhirnya, ketiga, sistem mode yang secara radikal membentuk kembali pemaknaan kultural di dalam benda-benda.

Industri mode tampak secara terus menerus mengabadikan sitem baru yang bergantung pada harapan memperoleh trend mode yang baru. Mode, secara tidak diragukan, merupakan produk perusahaan kapitalis dan sekaligus ekspresi kultural perusahaan tersebut. Mode hadir sebagai norma hidup sehari-hari dan melalui busana dapat ditentukan parameter lingkungan hidup seseorang.

d. Mengonsumsi musik pop

Musik populer atau musik pop adalah nama bagi aliran-aliran musik yang didengar luas oleh pendengarnya dan kebanyak bersifat komersial. Musik populer pertama kali berkembang di Amerika Serikat pada tahun 1920 di mana rekaman pertama kali dibuat berdasarkan penemuan Thomas Edison, dibedakan dengan Musik Klasik, Musik Jazz, Musik Tradisional, Musik Blues, kemudian juga berkembang ke negara-negara lain sedunia.

Musik adalah sebuah industri raksasa milliaran dollar, bukan hanya pada produksi musik, melainkan dalam investasi sejumlah dana bagi perangkat keras (hardware) musik tersebut ke seluruh dunia. Industri musik

internasional merupakan pemain utama di dalam proses globalisasi. Industrialisasi musik tidak hanya meliputi kejadian pada musik saja namun secara aktual sebagai sebentuk komunikasi dari apa yang ditentukan oleh lagu, penyanyi, dan pelaku. Dengan kata lain, para pelaku tidak begitu saja secara independen menjadi produk dari proses industri. Perkembangan terpenting selanjutnya adalah munculnya video pop yang memiliki kekuasaan lebih pada perusahaan rekaman. Musik yang memiliki nilai tonton baik (good pop television) adalah yang memiliki nilai jual. Terjadilah estetika pop universal pada musik pop.

Lebih lanjut, proses ini menunjukkan pengaruh ideologi konsumerisme sebagai cara hidup. Sebagai akibatnya, konsumsi menawari konsumen sebuah kerangka di mana mereka dapat mengonstruksikan identitas yang secara meluas dipengaruhi oleh media atau advertensi. Seorang konsumen muda, misalnya, haruslah mengonsumsi apa yang dapat diterima sebagai musik oleh kelompoknya.

Melalui wacana di atas, seorang individu dapat menginvestasikan sejumlah hal di dalam sebuah lagu pop. Misalnya saja, sebagai sumber relaksasi ataupun menguatkan identitasnya dengan menjadi pengikut (fans) musik beraliran metal. Lebih lanjut, sebagai pengikut musik pop, secara prduktif terjadi proses identifikasi, di satu sisi, dan komunikasi satu sama lain, di sisi lain, sebagai para pengikut (fans) yang sama. Dengan demikian, musik dapat mengkreatifkan konsumsi di dalam lima hal, yakni mendengarkan

dan membeli, melakukan rekaman lokal (home taping), menginterpretasi suara, gerak (dance), dan akhirnya menginterpretasi lagu dan simbol. Dalam hal ini, pemilikan alat pemutar musik secara personal memainkan peran utama di dalam konstruksi bidang suara (soundscape) personal.

e. Mengonsumsi olahraga (sport)

Olahraga merupakan ranah kehidupan sosial kontemporer yang secara mendalam telah diubah oleh dampak konsumerisme sebagai sebuah cara hidup. Adapun proses yang terasosiasi bersama komersialisasi olahraga tampak meningkatkan profil olahraga sebagai pengalihan aktualitas dan tekanan hidup sepanjang hari. Perkembangan yang ada memiliki implikasi- implikasi ideologis bagi dampak konsumerisme yang lebih luas pada kehidupan modern.

Salah satu faktor yang paling berpengaruh di dalam komodifikasi olahraga ialah televisi. Perusahaan-perusahaan televisi menginvestasikan sejumlah uang dalam jumlah amat besar dengan pemahaman bahwa hal ini merupakan cara yang dipastikan akan menarik penonton, dan dengan demikian, membenarkan adanya biaya advertensi yang tinggi.

Dokumen terkait