• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gaya Kognitif dan Kecakapan Empatik Keluarga

HASIL PENELITIAN KOMUNIKASI ANTARA ORANG TUA DAN ANAK

D. Gaya Kognitif dan Kecakapan Empatik Keluarga

Setiap individu memiliki cara tersendiri untuk berkomunikasi. Cara tersebut dapat mempengaruhinya dalam berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang lain. Cara atau gaya yang dimiliki seseorang disebut gaya kognitif. Untuk mengetahui gaya yang dimiliki dalam setiap individu dalam keluarga ini peneliti mengajukan beberapa pertanyaan kepada 4 keluarga tersebut, pertanyaan-pertanyaan itu antara lain: Apa yang anda ketahui tentang orang tua anda? Bagaimana cara pandangnya? Keras, tertutup atau terbuka? Pada masa apa dan dalam hal apa sajakah orang tua anda keras, tertutup dan terbuka terhadap anda? Dan hasil penelitian yang didapat adalah sebagai berikut:

1. Keluarga pertama

Baik ayah dan ibu A selalu mendogma anak-anaknya dalam hal agama termasuk juga A pada saat A balita. Di masa kanak-kanak pun orang tua A masih mendogma A dalam agama dan belajar. Berkembangnya pertumbuhan A menjadi remaja membuat orang tua A baik ayah dan ibu merubah cara pandanganya menjadi demokratis, misalnya mengajak A bicara apa yang ia mau dalam hal sekolah. Dan di masa mahasiswa orang tua A menjadi lebih demokratis dan lebih banyak mendengarkan apa yang A mau dalam segala hal, misalnya pendidikan dan pergaulan dengan alasan “sudah dewasa dan tahu apa yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.” Penjabaran tentang gaya kognitif dan kecakapan empatik keluarga pertama dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 9

Gaya Kognitif Keluarga A Perkembangan

Hubungan

Tertutup (dogmatis, otoriter)

Terbuka (empatik) Masa balita Dogmatis: agama

Masa anak-anak Dogmatis: agama dan belajar

Masa remaja Demokratis:

sekolah

Masa mahasiswa Demokratis: agama

dan sekolah

Dari tabel 5 di atas dapat dikatakan bahwa terjadinya perubahan cara pandang orang tua A dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan yang terjadi pada A sebagai anak. Masa balita yang selalu didogma dalam hal keagamaan, masa kanak-kanak yang masih harus didogma dalam hal keagamaan dan cara belajar berangsur berubah menjadi demokratis pada masa remaja A dalam pendidikan dan cara belajar. dan cara pandang itu masih tetap sama sampai A menginjak masa usia mahasiswa.

2. Keluarga kedua

Ayah yang mempunyai cara pandang keras membuat B tidak bisa mengutaran pendapatnya. Ayah lebih mendogma B tentang norma atau aturan-aturan yang ada dalam keluarga di saat B balita, begitu juga saat B kanak-kanak dan remaja, Ayah B mendogma B khususnya dalam hal agama seperti sholat dengan cara menghukum B jika tidak mengerjakan sholat dan mengaji, dengan alasan “karena sudah sekolah maka harus diajari agama.” Tetapi tidak dengan ibu B semenjak B berkembang ke masa remaja ibu B menjadi lebih demokratis karena menurut ibu “B sudah belajar di pondok pesantren, jadi tinggal membimbing dan mengarahkan saja.” Di usia mahasiswa cara pandang ayah B berangsur berubah dalam segala hal seperti pendidikan, agama dan norma. Penjabaran tentang gaya kognitif dalam keluarga kedua dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 10

Gaya Kognitif Keluarga B Perkembangan

Hubungan

Tertutup (dogmatis, otoriter)

Terbuka (empatik) Masa balita Dogmatis: norma dan

agama

Masa anak-anak Dogmatis: agama dan norma

Masa remaja Dogmatis: belajar, agama dan norma

Masa mahasiswa Demokratis: agama,

norma dan pergaulan Jika melihat pada tabel 6 di atas dapat dikatakan bahwa cara pandang orang tua B khususnya ayah terhadap B adalah dogmatis pada masa balita, kanak-kanak dan remaja B. Setelah B duduk di bangku kuliah cara pandang orang tua B berangsur berubah menjadi lebih demokratis. Ayah B menjadi demokratis apabila terjadi suatu kesalahpahaman di antara keduanya.

3. Keluarga ketiga

Keberadaan ayah C yang jarang di rumah membuat ibu bertanggung jawab atas keperluan, kebutuhan dan perhatian terhadap anak sepenuhnya. Jadi yang selalu menemani anak dalam perkembangannya adalah ibu. Pada masa balita C ibu mempunyai cara pandang yang dogmatis dalam hal keagamaan seperti sholat, mengaji dan berhemat uang karena menurut ibu C “orang Islam itu harus bisa sholat dan mengaji. Dan hemat itu pangkal kaya.” Begitu juga pada masa kanak-kanak yang seharusnya masih masa-masa untuk bermain ibu mempunyai cara pandang otoriter dalam hal belajar karena “C itu bandel dan gak mau belajar dan senangnya main.” Di masa remaja ayah dan ibu C mempunyai cara pandang yang otoriter dalam hal aturan waktu seperti batasan wilayah bermain anak dan waktu anak bermain dengan alasan “C jika bermain tidak tahu waktu.” Di masa mahasiswa orang tua C memberikan kebebasan dan tanggung jawab yang lebih luas terhadap C dalam hal agama, pendidikan dan kebebasan bergaul. Dari hasil lapangan yang telah dijabarkan di atas gaya kognitif dan kecakapan empatik yang ada pada diri orang tua terhadap C dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 11

Gaya Kognitif Keluarga C Perkembangan hubungan Tertutup (dogmatis,

otoriter)

Terbuka (empatik) Masa balita Dogmatis: agama dan

berhemat uang Masa anak-anak Otoriter: belajar

Masa remaja Otoriter: aturan waktu Demokratis: agama, kebebasan bergaul

Masa mahasiswa Lazier: agama,

kebebasan bergaul, pendidikan.

Dari tabel 7 di atas disebutkan bahwa orang tua C khususnya ibu empunyai cara pandang yang dogmatis terhadap C pada masa balita dan kanak-kanak. Berkembang ke masa remaja orang tua C lebih bisa terbuka dalam hal agama dan kebebasan bergaul dan sedikit otoriter hanya dalam hal waktu. Setelah C melanjutkan kuliahnya di Lombok cara pandang orang tua C mengalami perubahan yaitu menjadi tidak mau tahu apa yang terjadi pada diri C, karena itulah C menjaga jarak dengan orang tuanya.

4. Keluarga keempat

Ayah dalam keluarga keempat ini mempunyai cara pandang yang dogmatis apabila sudah menyangkut masalah agama seperti sholat, puasa dan sebagainya. Karena menurutnya “agama bukan untuk main-main, jadi harus benar-benar menjalaninya.” Apa yang dikatakan ayah dan ibu harus diikuti sewaktu D masih balita. Di usia anak-anak, setelah D masuk sekolah dasar (SD) baik ayah maupun ibu D merubah cara pandangnya menjadi terbuka, misalnya dalam hal belajar dan sekolah dengan alasan “seorang anak kalau belajar itu tidak bisa dipaksakan karena masa kanak-kanak yang masih butuh bermain, jadi terserah anak mau bersekolah di SD yang disukai dan waktu belajar malam yang dia sukai.” Karena masa remaja D di dalam pondok pesantren jadi cara pandang orang tua D kembali berubah menjadi otoriter dalam hal pergaulan dengan teman laki-laki, dengan alasan “karena belum tau kehidupan di luar pesantren, takut salah langkah.” Tetapi di masa mahasiswa cara pandang orang tua baik ayah maupun ibunya berangsur terbuka dalam segala hal seperti agama, belajar dan pergaulan denga teman laki-laki, dengan alasan “dia udah besar dan udah bisa memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang tidak baik buat dirinya. Kami sebagai

orang tua hanya mengarahkan saja.” Dari hasil wawancara di lapangan, maka gaya kognitif individu dan kecakapan empatik dalam keluarga keempat dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 12

Gaya Kognitif Keluarga D Perkembangan

Hubungan

Tertutup (dogmatis, otoriter)

Terbuka (empatik) Masa balita Dogmatis: agama

Masa anak-anak Dogmatis: agama Demokratis: cara belajar dan pemilihan sekolah. Masa remaja Otoriter: pergaulan Demokratis: cara belajar

dan pemilihan sekolah.

Masa mahasiswa Demokratis: agama, cara

belajar, pemilihan kampus dan jurusan serta pergaulan.

Dari tabel 8 di atas dapat dilihat bahwa selama hubungan orang tua dan D dalam keluarga keempat ini ayah maupun ibu D mempunyai cara pandang dogmatis pada masa balita dan anak-anak hanya dalam hal keagamaan dan otoriter pada masa remaja dalam hal pergaulan. Tapi cara pandangnya tersebut berangsur-angsur berubah setelah anaknya beranjak dewasa, yaitu masa mahasiswa (ketika mulai kuliah). Semua itu dikarena adanya saling keterbukaan dalam keluarga yang selalu menceritakan apa kegiatan yang dilakukan di luar rumah, yang disukai dan tidak disukai dari masing-masing individu.