• Tidak ada hasil yang ditemukan

GEDI (Abelmoschus manihot L Medik ) SEBAGAI HEPATOPROTEKTOR

Pendahuluan

Beberapa zat aktif yang telah berhasil diisolasi dan terbukti memiliki aktivitas hepatoprotektor adalah kurkumin dari rimpang temulawak (Curcuma xanthorrhizol) dan kunyit (Curcuma domestica). Selain itu, filantin dari herba meniran (Phylanthus spp), silymarin dari biji widuran (Silybum marianum), aukobosida dari herba daun sendok (Plantago mayor), minyak atsiri dari bawang putih (Allium sativum), gingerol dari rimpang jahe (Zingiber officinalis), wedelolakton dari herba urang-aring (Eclipta alba), serta andrografolid dari herba sambiloto (Andrographis paniculata) juga telah berhasil diisolasi (Kumar et al. 2004). Dilihat dari strukturnya, senyawa yang bersifat hepatoprotektor meliputi senyawa golongan fenil propanoid, kumarin, lignan, minyak atsiri, terpenoid, saponin, flavonoid, alkaloid, dan xantin (Patrick-Iwuanyanwu dan Wegwu 2008). Kelemahan tanaman tersebut adalah waktu panen yang relatif lama, sehingga memerlukan waktu untuk memproduksi dalam jumlah yang besar.

Tanaman gedi (Abelmoschus manihot L. Medik) merupakan salah satu tanaman yang memiliki kandungan senyawa kimia yang berupa quercetin-3-o- robinobiosid, hyperin, isoquercetin, gossipetin-8-o-glukuronid, dan myricetin yang berfungsi sebagai antioksidan alami (Liu et al. 2006). Menurut Wu et al. (2007) senyawa aktif yang paling dominan di tanaman gedi adalah golongan flavonoid glikosida, dimana hasil penelitian yang dilakukan pada bunga tanaman gedi menunjukkan bahwa senyawa bioaktif hiperin dapat berfungsi sebagai hepatoprotektor.

Permasalahan dalam melakukan pengobatan secara oral dengan menggunakan ekstrak kasar adalah tingkat kelarutan yang masih rendah dalam darah (Mao et al. 2009). Oleh karena itu perlu dilakukan modifikasi terhadap sifat fisik bahan, agar memiliki kelarutan dan bioaviabilitas yang lebih baik (Ahmed et al. 2014). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan dosis nanoemulsi ekstrak etanol daun gedi yang terbaik sebagai senyawa yang dapat melindungi hati (hepatoprotektor) yang diujicobakan pada tikus Wistar dengan diinduksi parasetamol.

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah LC-MS-MS Acella Instrument (ThermoFisher Scientific, Bremen, Germany), Blood Analyser, kandang percobaan, reagen kit SGPT, SGOT, Total bilirubin, total albumin, , paracetamol 500 mg, etanol 96%, parafin, pewarna hematoksilin-Eosin (HE)

45

Metode Pembuatan Nanoemulsi Ekstrak Daun Gedi

Prosedur pembuatan nanoemulsi ekstrak daun gedi dilakukan seperti pada Bab 5, proses yang dipilih adalah kecepatan homogenisasi 20.000 rpm (G-force 2.912 × g) dengan lama waktu 10 menit.

Analisis Kandungan Flavonoid Nanoemulsi Ekstrak Daun Gedi

Analisis kandungan flavonoid dalam nanoemulsi dilakukan dengan menggunakan peralatan LC-MS-MS Acella Instrument (ThermoFisher Scientific, Bremen, Germany). Tahap preparasi sampel dilakukan dengan Accela Instrument Method, volume injeksi sebesar 5µl, volume pencucian 400 µ panjang jarum injeksi 2 mm, kecepatan flush 2 µl s-1, tipe injeksinya loop partial, dan dikontrol pada suhu 10oC. Sedangkan untuk analisis komponen flavonoid dilakukan dengan metode TSQ Quantum Instrument Method, tipe metodenya adalah reguler, lama waktu running selama 5 menit, sedangkan instrumen yang digunakan adalah Accela 1250 Pump, fase gerak yang digunakan adalah air dengan 0,1% asam formiat dan acetonitril dengan 0,1 asam formiat, instrumen disetting dengan Accela AS injection logic pada tekanan rendah (0..~7000 PSI).

Rancangan Percobaan

Metode pengujian nanoemulsi ekstrak daun gedi dilakukan secara in-vivo dengan menginduksi nanoemulsi ekstrak daun gedi kedalam tubuh tikus jenis jantan gaur Wistar seperti yang dilakukan oleh Santoso (2009) yang dimodifikasi. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 kelompok perlakuan dengan 6 ulangan, sehingga diperlukan 30 tikus putih jantan galur Wistar dengan umur 8-9 minggu. Pemeliharaan tikus percobaan dilakukan pada kandang pemiliharaan (bukan kandang metabolik) dengan pelaksanaan sebagai berikut :

1. Setiap tikus ditempatkan pada kandang terpisah

2. Pakan diberikan secara adlibitum (sampai kondisi kenyang), dilakukan 2 hari sekali (pagi jam 8-9, dan sore jam 16-17)

3. Pergantian sekam dilakukan setiap 2 hari sekali 4. Suhu ruangan berkisar 25 ± 1 oC

5. Penerangan ruangan menggunakan lampu dan jendela yang cukup 6. Air minum

Sedangkan pengelompokan perlakuan dilakukan sbagai berikut 1. Kelompok I, tikus diberikan ransum standard

2. Kelompok II, tikus diberi ransum standar dan diinduksi dengan parasetamol dosis 500 mg kg-1 bb hari-1

3. Kelompok III, tikus diberikan ransum standard dan larutan ekstrak daun gedi sebanyak 2 ml kg-1 bb hari-1secara sonde serta diinduksi dengan parasetamol

46

4. Kelompok IV, tikus diberi ransum standar dan larutan nanoemulsi ekstrak daun gedi sebanyak 2 ml kg-1 bb hari-1serta diinduksi dengan parasetaol dosis 500 mg/kgbb/hari

5. Kelompok V. Tikus diberi ransum standar dan larutan nanoemulsi ekstrak daun gedi sebanyak 1 ml kg-1 bb hari-1serta diinduksi dengan parasetamol dosis 500 mg kg-1 bb hari-1

Induksi Parasetamol

Induksi parasetamol dosis 500 mg kg-1 bb hari-1 dilakukan selama 7 hari berturut-turut melalui sonde. Pada hari ke 8 (24 jam setelah perlakuan terakhir) dilakukan pembiusan dan pembedahan untuk pengambilan darah dan pengangkatan hati. Pembedahan dimulai jam 8 pagi. Pembiusan dilakukan dengan menggunakan kloroform.

Pengukuran Fungsi Hati

Darah hasil pengambilan dari tikus Wistar disentrifugasi dengan kecepatan 3500 rpm selama 10 menit untuk mendapatkan serum kemudian dianalisis SGOT, SGPT (ALT), total billirubin dan albumin

Evaluasi Hispatologi

Organ hati dicuci dengan larutan fisiologis kemudian di fiksasi dengan larutan formalin 10% untuk persiapan pembuatan preparat histologi. Organ terfiksasi distoping point dengan alkohol 70% dan dilanjutkan dengan dehidrasi, penjernihan dengan silol, infiltrasi dan embedding dalam parafin. Setelah pemotongan dengan mikroton setelah 5 µm, sediaan diwarnai dengan pewarnaan hematoksilin-Eosin (HE) dan dianalisis secara kualitataif tingkat degenerasi sel yang terjadi dan dihitung jumlah sel-sel radang yang terakumulasi dalam jaringan hati tikus percobaan.

Analisis Data

Data SGOT, SGPT, dan aktivitas antioksidan serum dan jumlah sel-sel radang dalam jaringan hati dilakukan analisis dengan uji statistik ANOVA satu arah menggunakan model linier Yij = µ +Ai + ɛij. Apabila analisis ANOVA menunjukkan perlakuan memberikan pengaruh nyata (p < 0.05) atau sangat nyata (p < 0.01) terhadap respon pengamatan, maka perlu dilanjutkan dengan uji beda lanjut BNT. Tingkat degradasi sel-sel jaringan hati dianalisis secara kualitatif dengan membandingkan besar kecilnya tingkat degenerasi pada jaringan hati tikus.

Hasil dan Pembahasan Karakteristik Nanoemulsi Esktrak Etanol Daun Gedi

Berdasarkan pada hasil penelitian, nanoemulsi ekstrak etanol daun gedi yang dihasilkan memiliki ukuran partikel sebesar 100 ± 4 nm, sedangkan nilai konduktivitas dan pH sebesar 259,55 ± 0,59 µS cm-1 dan 6,73 ± 0,00. Kadar total flavonoid yang dihasilkan sebesar 0,396 ± 0,001 mg ml-1 dan aktivitas antioksidan IC50 sebesar 467,55 ± 0,36 µg ml-1. Hasil analisis dengan

47 menggunakan metode LC/MS/MS telah diidentifikasi beberapa senyawa flavonoid yang terdapat didalam nanomulsi ekstrak etanol daun gedi, diantaranya yang paling dominan adalah quercetin yang ditunjukkan dengan nilai berat molekul sebesar 301(m/z) (Gambar 13). Hal ini sesuai dengan yang telah diidentifikasi oleh Lai et al. 2009 dan Wang et al. 2004 bahwa senyawa dominan yang terdapat pada bunga tanaman gedi diantaranya adalah quercetin, hyperin, isoquercetin, quercetin-3-O-glucoside, hibifolin and myricetin. Menurut

Domitrović et al. (2012) senyawa quercetin mampu mengurangi aktivitas transaminase plasma dan memperbaiki histologis kerusakan hati tikus yang telah di induksi dengan CCl4. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Cheng et al. (2013) dalam hasil penelitiannya pada tikus yang telah dirusak hatinya dengan CCl4, quercetin dan hesperitin mampu memperbaiki kerusakan hati akut.

Gambar 13. Hasil spektrum ionisasi LC MS/MS nanoemulsi ekstrak daun gedi Evaluasi Biokimia

Parasetamol atau N-asetil-p-aminofenol merupakan obat yang berkhasiat analgetik antipiretik turunan para aminofenol. Parasetamol bersifat aman jika dikonsumsi pada dosis terapi, sedangkan pada dosis tinggi dapat menyebabkan nekrosis pada hati tikus, mencit, dan manusia. Parasetamol cepat diserap secara sempurna oleh saluran pencernaan dan tersebar ke seluruh cairan tubuh. Biotransformasi parasetamol akan terjadi di dalam hati. Sebagian besar akan terkonjugasi dengan asam glukoronat dan asam sulfat, sedangkan sisanya akan dioksidasi oleh sistem P-450 mikrosomal sehingga terbentuk metabolit N- asetil-p-benzokuinon (NAPKI). Senyawa ini merupakan bentuk peralihan yang bersifat reaktif dan toksik, serta mudah bereaksi dengan membran sel protein dan asam nukleat sehingga dapat merusak sel (Klaassen 2013). Dosis parasetamol untuk merusak hati tikus galur Wistar adalah 750 mg kg-1 bb (Murugesh et al. 2005), namun menurut Santoso (2009) dosis sebesar 500 mg kg-1 bb sudah mampu untuk merusak hati tikus galur Wistar.

Sel hati mengandung enzim-enzim intraseluler transaminase dalam jumlah besar. Jika sel hati mengalami kerusakan atau nekrosis, enzim- enzim tersebut akan keluar dari sel hati sehingga kadarnya akan meningkat di dalam darah. Enzim yang dapat dijadikan indikator kerusakan hati adalah alanin

48

merupakan indikator terbaik untuk mengidentifikasi kerusakan hati karena peningkatan kedua enzim ini terjadi lebih awal dan umumnya peningkatannya lebih drastis dari enzim lainnya (Fung et al. 2008).

Enzim ALT atau disebut juga serum glutamate piruvat transaminase (SGPT) terdapat dalam sel-sel jaringan tubuh tetapi enzim ini paling banyak ditemukan di sel-sel hati dan terikat dalam sitoplasma. Enzim ini berperan dalam

mengatalisis pemindahan gugus amino dari alanin ke asam α-ketoglutarat membentuk asam glutamat dan asam piruvat. Berdasarkan pada Tabel 15 kadar SGPT yang terdapat didalam tikus berkisar antara 41,17 ± 5,69 U ml-1 hingga 109,41 ± 9,60 U ml-1. Kadar SGPT terendah didapatkan pada kelompok I yaitu kelompok tikus yang hanya diberikan asupan standar (kontrol positif) dan kadar SGPT tertinggi didapatkan pada kelompok II (kontrol negatif) yaitu kelompok tikus yang diberikan asupan standar dan paracetamol dosis 500 mg kg-1 bb. Tabel 15 Pengaruh pemberian nanoemulsi ekstrak daun gedi dan parasetamol

pada parameter biokimia darah tikus Kelompok SGPT (U ml-1) SGOT (U ml-1) Total Billirubin (µg ml-1) Total Albumin (mg ml-1) I 41,17 ± 5,69d 55,72 ± 7,72d 60,3 ± 4,6c 14,7 ± 1,7a II 109,41 ± 9,60a 106,44 ± 4,33a 116,2 ± 4,9a 6,9 ± 0,3c III 83,05 ± 11,46b 91,43 ± 3,06b 94,5 ± 4,4a 11,1 ± 0,5b IV 60,87 ± 8,65c 76,16 ± 1,94c 67,3 ± 7,9c 15,9 ± 1,0a V 76,83 ± 4,03b 94,91 ± 3,42b 88,7 ± 4,6b 11,6 ± 0,6b Keterangan :

Data diekspresikan dalam rata-rata ± standart deviasi, huruf yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada P-value < 0,05. SGOT: Serum Glutamic

Oxaloacetic Transaminase; SGPT: Serum Glutamic Pyruvic Transaminase

Hasil analisis dengan menggunakan uji lanjut perbandingan Tukey menunjukkan bahwa kelompok tikus yang diberikan dosis 1 ml nanoemulsi ekstrak etanol daun gedi (kelompok IV) tidak berbeda nyata dengan kelompok tikus yang diberikan 2 ml ekstrak kasar daun gedi (kelompok III) dimana rata-rata nilai SGOT yang dihasilkan adalah sebesar 76,83 ± 4,03 U ml-1 dan 83,05 ± 11,46 U ml-1. Hal ini menunjukkan bahwa bioaviabilitas dari nanoemulsi ekstrak etanol daun gedi lebih baik jika dibandingkan dengan ekstrak kasar daun gedi dalam menjaga kerusakan hati. Nanoemulsi terbukti mampu meningkatkan kelarutan dan bioviabilitas dalam proses reaksi biokimia untuk pengobatan (Ahmed et al. 2014; Parveen et al. 2010). Enzim ALT merupakan indikator terbaik dalam melihat kerusakan hati karena bersifat khas dan spesifik (Kaplan dan Pesce 1996). Hal ini menunjukkan bahwa nanoemulsi esktrak daun gedi memiliki potensi sebagai hepatoprotektor.

Enzim AST atau disebut juga serum glutamate oksaloasetat transaminase (SGOT) merupakan enzim mitokondria yang berfungsi mengatalisis pemindahan bolak-balik gugus amino dari asam aspartat ke asam α- oksaloasetat membentuk asam glutamat dan oksaloasetat. Enzim AST tidak spesifik sebagai indikator disfungsi hati karena banyak ditemukan pada otot rangka, pankreas, jantung dan ginjal. Berdasarkan pada Tabel 15 kadar SGOT yang paling tinggi adalah pada perlakuan tikus yang diinduksi paracetamol

49 sebesar 500 mg kg-1 bb (106,44 ± 4,33 U ml-1), hal ini menunjukkan bahwa paracetamol telah menyebabkan kerusakan fungsi hati yang merangsang terbentuknya SGOT. Kadar SGOT akan meningkat apabila terjadi kerusakan sel yang akut seperti nekrosis hepatoseluler seperti gangguan fungsi hati dan saluran empedu, penyakit jantung dan pembuluh darah, serta gangguan fungsi ginjal dan pankreas (Kaplan dan Pesce 1996).

Hasil analisis uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa perlakuan kelompok V yang diberikan nanoemulsi 1 ml kg-1 bb tidak berbeda nyata dengan kelompok III yang diberikan 2 ml kg-1 bb dan larutan ekstrak kasar daun gedi. Hal ini menunjukkan bahwa parameter SGOT juga memberikan indikasi bahwa kelarutan dan bioaviabilitas dari nanoemulsi ekstrak daun gedi memiliki kinerja yang lebih baik jika dibandingkan dengan larutan ekstrak kasar daun gedi. Kelompok kontrol negatif juga berbeda nyata dengan kelompok perlakuan dengan larutan ekstrak etanol daun gedi, hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun gedi memiliki kemampuan sebagai hepatoprotektor.

Menurut Parveen et al. (2010) kerusakan fungsi hati tidak hanya ditandai dengan perubahan peningkatan serum SGOT maupun SGPT namun ada indikator lain yang dapat digunakan penanda, diantaranya adalah total bilirubin dan penurunan kadar albumin dalam darah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa total bilirubin pada tikus yang normal sebesar 6,03 ± 0,46 mg ml-1 (kelompok 1), setelah diinduksi dengan paracetamol 500 mg kg-1 bb mengalami peningkatan sebesar 11,62 ± 0,49 mg ml-1. Hasil uji lanjut Tukey pada P-value < 0,5 menunjukkan bahwa penggunaan 2 ml ekstrak kasar daun gedi memberikan hasil yang tidak berbeda nyata dengan kontrol negatif, namun penggunaan nanoemulsi ekstrak daun gedi sebesar 1 mg ml-1bb (Kelompok V) memberikan hasil berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa pada parameter total bilirubin ekstrak kasar daun gadi masih belum memiliki kemampuan sebagai hepatoprotektor.

Pada parameter total albumin peningkatan pemberian paracetamol akan menurunkan kadar total albumin, hal ini terjadi pada kelompok kontrol negatif (Kelompok II), dimana pemberian parasetamol sebesar 500 ml kg-1 bb mengakibatkan penurunan total albumin dari 14,7 ± 1,7 mg ml-1 (kontrol positif) menjadi 6,9 ± 0,3 mg ml-1 (kontrol negatif), namun dengan penambahan 2 ml ekstrak kasar daun gedi total albumin telah mampu mengalami peningkatan sebesar 11,1 ± 0,5 mg ml-1. Perlakuan terbaik pada parameter total albumin adalah pada konsentrasi 2 ml kg-1 bb larutan nanoemulsi ekstrak etanol daun gedi dengan kadar total albumin sebesar 15,9 ± 1,0 mg ml-1.

Evaluasi Hispatologi

Setiap lobus pada hati terdiri atas sekitar seratus ribu lobulus. Lobulus hampir menyerupai bentuk heksagonal dan terpisah oleh interlobular septum antara lobulus satu dan lobulus lainnya. Sel-sel hati, atau sering disebut hepatosit, tersusun rapi seperti melingkar menuju vena sentral. Batas antara tiga lobulus yang berdekatan membentuk triad portal yang terdiri atas arteri, cabang vena hepatik, dan empedu.

Hasil uji histopatologi menunjukkan adanya kerusakan pada jaringan hati tikus, terutama pada jaringan hati tikus kelompok II dan III. Gambaran histopatologi jaringan hati tikus kelompok IV dan V menunjukkan hasil yang

50

Hasil uji ini mendukung hasil uji SGPT, SGOPT, total bilirubin dan total albumin yang menunjukkan bahwa nanoemulsi ekstrak etanol memiliki kemampuan sebagai hepatoprotektor.

Gambar 14 Hispatologi hati tikus dari berbagai perlakuan, (I) kontrol positif yang hanya diberikan asupan rangsum, (II) kontrol negatif, diberikan parasetamol 500 mg kg-1 bb, (III) larutan ekstrak daun gedi 2 ml kg-1 bb, (IV) nanoemulsi ekstrak daun gedi 2 ml kg-1 bb, (V) nanoemulsi ekstrak daun gedi 1 ml kg-1 bb

Berdasarkan pada Gambar 14 jaringan hati tikus kelompok II terjadi proliferasi sel oval, fibrosis, infiltrasi sel radang, degenerasi hepatosit, dan mitosis hepatosit dengan pola acak (random). Begitu pula dengan kelompok III dan V, kecuali mitosis hepatosit, semua parameter kerusakan terjadi dengan pola midzonal (terjadi di tengah-tengah lobus). Proliferasi sel oval akan terjadi jika terjadi kerusakan pada hepatosit. Sel oval merupakan prekursor hepatosit sehingga

II I

III IV

51 akan menjadi lebih banyak ketika adanya sinyal kerusakan hati. Fibrosis terjadi ketika adanya peradangan atau luka pada hepatosit akibat virus, konsumsi alkohol berlebihan, trauma, dan zat yang bersifat hepatotoksik. Pada hepatosit normal tidak terdapat jaringan ikat (fibrosa), namun jika terjadi luka pada hepatosit, jaringan ikat akan mengganti sel-sel yang rusak dan bersifat irreversible. Pada sel hati normal, sintesis fibrosa (fibrogenesis) dan penghancuran fibrosa (fibrolisis) terjadi secara seimbang. Fibrosis terjadi jika pembentukan fibrosa lebih cepat dibandingkan proses penghancuran dan pembuangannya dari hati

Simpulan dan Saran Simpulan

Berdasarkan pada hasil evaluasi biokimia dan histopatologi, menunjukkan bahwa nanoemulsi mampu meningkatkan bioaviabilitas ekstrak daun gedi sebagai hepatoprotektor. Dimana perlakuan terbaik sebagai hepatoprotektor adalah larutan nanoemulsi ekstrak etanol daun gedi yang diberikan sebanyak 2 ml kg-1 bb, dan nilai SGPT, SGOT, total bilirubin dan total albumin masing-masing sebesar 60,87 ± 8,65 U ml-1, 76,16 ± 1,94 U ml-1, 67,3 ± 07,9 µg ml-1, 15,9 ± 1,0 mg ml-1.

Saran

Perlu dilakukan uji toksisitas akut untuk menentukan seberapa besar konsentrasi nanoemulsi ekstrak daun gedi bersifat toksik, sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam pemanfaatan daun gedi sebagai hepatoprotektor yang aman dikonsumsi.

52

7

PEMBAHASAN UMUM

Tanaman gedi merupakan salah satu tanaman obat yang belum banyak dikenal oleh masyarakat luas, hal ini dibuktikan dengan belum masuknya tanaman gedi sebagai salah satu tanaman obat yang telah diketahui standarisasinya (Depkes 2009). Padahal tanaman ini telah dimanfaatkan secara tradisional sebagai salah satu tanaman obat bagi masyarakat Mamahit et al. (2010). Potensi tanaman gedi sebagai salah satu sumber tanaman obat, perlu di eksplorasi dan digali lebih mendalam. Beberapa tahapan yang perlu dilakukan, diantaranya adalah (1) karakterisasi simplisia, (2) uji fitokimia, (3) teknologi ekstraksi, (4) modifikasi produk, (5) uji pra klinik serta (6) uji klinik (Depkes 2013).

Berdasarkan pada tahapan tersebut, penelitian ini dilakukan mulai dari karakterisasi simplisia hingga pada tahap uji pra klinis. Kegiatan dari masing- masing tahapan telah disampaikan dari BAB III hingga BAB VI. Tahap pertama yang dilakukan adalah melakukan uji determinasi terhadap tanaman gedi, uji determinasi tanaman gedi dilakukan di Kebun Raya Purwodadi Pasuruan, dan dinyatakan bahwa tanaman tersebut adalah memiliki nama ilmiah Abelmoschus manihot L. Medik. Uji determinasi penting untuk dilakukan, agar standarisasi senyawa aktif dalam tumbuhan tersebut dapat dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya.

Penelitian ini diawali dengan melakukan karakterisasi simplisia dan ekstrak tanaman gedi (BAB III) dengan maksud untuk mengetahui beberapa senyawa makro maupun mikro yang terdapat didalam daun gedi. Karakterisasi dilakukan sesuai dengan Kepmenkes No. 261/MENKES/SK/IV/2009 tentang Farmakope Herbal Indonesia, berdasarkan pada peraturan tersebut, yang dimaksud dengan sediaan obat adalah ekstrak tumbuhan obat baik yang berupa bahan kering maupun cairan yang didapatkan dari simplisia. Lebih lanjut dijelaskan bahwa, setiap tumbuhan obat yang akan digunakan sebagai sediaan obat, harus dilakukan standariasi, dengan tujuan untuk mengetahui kandungan senyawa aktif yang terdapat didalam tanaman obat. Hal ini dilakukan untuk memudahkan dalam menentukan takaran (dosis) yang sesuai dengan kondisi pasien yang akan ditangani.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa simplisia tanaman gedi sebagian besar telah memenuhi standar MMI untuk tanaman obat, namun pada parameter uji kadar sari larut air nilai yang didapatkan sebesar 12,80 ± 0,20 %bk, masih berada dibawah standar MMI (≥ 18,00 %bk). Hal ini memberikan kesimpulan bahwa simplisia tanaman gedi tidak sesuai untuk sediaan obat secara infusia, karena rendemen senyawa aktif yang didapatkan kurang maksimal. Kondisi ini diduga disebabkan oleh pengaruh kondisi lingkungan serta umur tanaman, menurut Trisilawati dan Pitono (2012) kondisi cekaman dan umur tanaman sangat mempengaruhi pembentukan bahan aktif dalam tanaman, dalam hasil penelitiannya tanaman purwoceng yang paling baik untuk menghasilkan senyawa aktif adalah pada umur 5 bulan. Disisi lain, nilai uji kadar sari larut etanol adalah sebesar 17,44 ± 0,16 %bk, yang berada jauh diatas standar yang dipersyaratkan MMI (≥ 6,00 %bk). Kondisi ini dapat disimpulkan bahwa simplisia daun gedi, lebih sesuai digunakan sebagai ekstrak etanol dibandingkan sebagai ekstrak infusia.

53 Karakterisasi ekstrak daun gedi dilakukan pada parameter spesifik dan non spesifik. Pada tahap ini, dilakukan pemilihan konsentrasi pelarut yang terbaik dalam menghasilkan flavonoid total dan aktivitas antioksidan. Hasil karakteriasi terhadap parameter standarisasi spesifik menunjukkan bahwa secara organoleptik kedua ekstrak yang dihasilkan tidak berbeda yaitu berwarna hijau kehitaman (Gambar 15), berbau khas daun gedi, berasa sepat dan berbentuk kental. Namun untuk parameter senyawa yang larut dalam air maupun etanol, rendemen yang dihasilkan berbeda, dimana rendeman yang terbesar didapatkan pada ekstrak daun gedi yang menggunakan pelarut 96%. Ini menunjukkan bahwa pelarut 96% memiliki efektivitas yang lebih baik dalam mengekstrak senyawa aktif simplisia daun gedi jika dibandingkan dengan pelarut 70%.

Gambar 15 Ekstrak etanol simplisia daun gedi

Hasil terhadap uji fitokimia menunjukkan bahwa, senyawa aktif yang terdapat dalam ekstrak daun gedi adalah flavonoid, alkaloid dan tannin. Hal ini mengindikasikan bahwa secara kualitatif ekstrak daun gedi memiliki potensi sebagai sumber antioksidan alami. Senyawa flavonoid merupakan senyawa yang berpotensi sebagai antioksidan, karena senyawa ini memiliki gugus -OH untuk menyeimbangkan radikal bebas dalam tubuh. Senyawa flavonoid berperan sebagai amulititude dalam aktivitas biologis, sehingga mampu berperan sebagai anti peradangan, anti alergi dan anti bakteri (Rice-Evans et al. 1996). Hasil analisis parameter non spesifik yang meliputi kadar air, kadar abu total, kada abu tidak larut asam, bobot jenis ekstrak, total cemaran bakteri, kapang dan total cemaran logam berat, telah memenuhi standar Perka BPOM No 12. Tahun 2014 tentang persyaratan mutu sediaan obat. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak daun gedi dapat digunakan sebagai bahan baku untuk memproduksi obat herbal.

Potensi ekstrak daun gedi sebagai bahan baku sediaan obat, tentu akan dinilai secara ekonomis dari rendemen ekstrak yang dihasilkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan optimasi proses ekstraksi untuk menghasilkan rendemen ekstrak dan senyawa aktif yang optimal. Metode ekstraksi senyawa aktif dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya adalah maserasi, perkolasi dan soxlet (Vongsak et al. 2013). Bahkan ada beberapa metode baru yang banyak dikembangkan diantaranya adalah CO –superkritis (Bimakr 2011) dan mikrofluidisasi dinamis

54

tekanan tinggi (Huang et al. 2010). Pemilihan metode ekstrakasi mengacu pada dua hal yaitu efisiensi dan efisasi. Efisiensi mengacu pada rendemen ekstraksi, sedangkan efisasi mengacu pada keampuhan (besarnya bioaktivitas / kapasitas untuk menghasilkan efek) dari ekstrak. Untuk melakukan isolasi komponen biologis, terutama komponen flavonoid glikosida, ekstraksi yang bersumber dari tanaman merupakan salah satu pendekatan yang lebih berkelanjutan (Jadhav et al., 2009). Pada penelitian ini metode ekstraksi yang dipilih adalah ekstraksi maserasi dinamis, karena metode ini tidak menghasilkan panas dan tekanan yang tinggi yang berpotensi untuk menurukan rendemen dari flavonoid total (Tacon dan Freitas 2013).

Untuk mendapatkan flavonoid total yang optimal, rancangan penelitian

Dokumen terkait