BAB II. LANDASAN TEORI
A. Culture Shock
3. Gejala Culture Shock
Untuk bisa menghadapi culture shock yang dialami oleh seseorang,
maka perlu dikenali gejala-gejalanya. Gejala yang ditunjukkan antara lain
orang akan merasa memiliki masalah dalam berhubungan dengan
orang-orang di lingkungan budaya yang baru. Hal tersebut ditunjukkan dengan
menghindari kontak dengan orang-orang yang berasal dari lingkungannya
yang baru dan enggan berbicara dengan orang lain. Orang terlihat lebih
suka sendirian dan merasa takut untuk berinteraksi dengan berbagai alasan
(Pujiriyani & Rianty, 2010; Oberg (dalam Hooves) dalam Mulyana &
Rakhmat, 2009). Hal ini terjadi karena orang tersebut merasa tidak
nyaman untuk berinteraksi dengan orang lain. Orang tersebut merasa
kehilangan petunjuk untuk bisa digunakan dalam lingkungan pergaulannya
(Oberg (dalam Hooves) dalam Mulyana & Rakhmat, 2009).
Orang yang mengalami culture shock juga menunjukkan gejala
merasa tidak diperhatikan, diasingkan dan sendirian (Pujiriyani & Rianty,
2010). Keadaan ini muncul karena orang tersebut merasa hidup sendirian
di lingkungan barunya. Dirinya harus hidup terpisah dari orang-orang
terdekatnya dan mulai merasa kehilangan dukungan (Sandhu & Asrabadi
orang-orang dari budaya baru tidak sensitif (Gudykunst & Kim dalam
Samovar, Porter & McDaniel, 2010).
Gejala culture shock yang selanjutnya adalah mulai mengalami
gangguan makan, minum dan tidur yang berlebihan (Pujiriyani & Rianty,
2010; Oberg (dalam Hooves) dalam Mulyana & Rakhmat, 2009). Selain
itu, orang tersebut juga mengalami gangguan waktu tidur dan kebiasaan
buang air kecil yang berlebihan (Oberg (dalam Hooves) dalam Mulyana &
Rakhmat, 2009). Hal tersebut terjadi karena dalam budaya, kebiasaan
makan juga diatur (Porter & Samovar (dalam Porter & Samovar) dalam
Mulyana & Rakhmat, 2009).
Jadi, ketika seseorang memasuki budaya yang baru, orang tersebut
juga akan dihadapkan pada kebiasaan makan yang berbeda. Selain itu,
budaya juga berkaitan dengan perubahan gaya hidup. Hal ini berkaitan
dengan pekerjaan yang dimiliki, kondisi kehidupan, aktivitas sosial yang
diikuti dan perubahan tempat tinggal (Furnham & Bochner dalam Ward,
Bochner & Furnham, 2001). Perubahan yang dialami orang tersebut,
akhirnya mengganggu gaya hidup yang sudah dimiliki dalam budaya yang
sebelumnya.
Selanjutnya adalah mulai muncul perasaan tidak berdaya dalam
melakukan suatu hal, termasuk masalah yang sederhana (Pujiriyani &
Rianty, 2010; Oberg (dalam Hooves) dalam Mulyana & Rakhmat, 2009).
dari tempat yang sama (Oberg (dalam Hooves) dalam Mulyana &
Rakhmat, 2009).
Pertemuan antara budaya yang berbeda, dapat memunculkan suatu
persoalan. Dan terkadang persoalan tersebut belum pernah dialami
sebelumnya. Dalam penyelesaiannya, setiap orang akan bernegosiasi
dengan caranya masing-masing (Ward, Bochner & Furnham, 2001). Oleh
karena itu, saat seseorang menghadapi masalah di lingkungan budayanya
yang baru dan masih menggunakan model pemecahan masalah dari
budaya yang lama, maka masalah tersebut dirasa berat dan tidak dapat
diselesaikan.
Keadaan seperti ini pada akhirnya membuat orang tersebut ingin
tetap dekat dan bergantung pada orang dari budaya yang sama. Sebab
mereka saling memiliki pandangan yang sama dan dapat diajak
berkomunikasi dengan lebih dekat (Oberg (dalam Irwin); Guanipa dalam
Prasetya, 2008). Orang tersebut juga lebih suka bersahabat dengan orang
yang berasal dari budaya yang sama (Bochner et al. dalam Ward, Bochner
& Furnham, 2001).
Kesulitan untuk berkonsentrasi atau tidak bisa bekerja secara
efektif juga menjadi gejala culture shock (Pujiriyani & Rianty, 2010).
Seseorang yang mengalami gejala culture shock biasanya akan mengalami
gangguan pada kemampuannya dalam melakukan sesuatu hal. Dimana,
Keadaan tersebut muncul dikarenakan dalam diri orang tersebut sudah
muncul perasaan tidak berdaya atau tidak mampu melakukan sesuatu
(Pujiriyani & Rianty, 2010; Oberg (dalam Hooves) dalam Mulyana &
Rakhmat, 2009). Hal ini membuat pekerjaan yang sedang atau telah
dilakukan oleh orang tersebut kurang memuaskan.
Orang yang mengalami culture shock akan mengalami gejala
bermasalah dengan tempramen yang dimiliki. Ditunjukkan mudah marah,
tersinggung dan kesal. Selain itu, orang tersebut juga mudah merasa
lemah, depresi dan merasa menderita (Pujiriyani & Rianty, 2010; Oberg
(dalam Hooves) dalam Mulyana & Rakhmat, 2009). Tidak hanya itu,
orang juga mulai kehilangan selera humor yang dimiliki (Pujiriyani &
Rianty, 2010). Hal tersebut terjadi karena dalam diri orang tersebut diliputi
oleh respon-respon yang negatif akibat keberadaannya di lingkungan yang
baru (Oberg dalam Bochner, 1994; dalam Smith & Bond, 1993).
Keadaan ini membuat orang tersebut menjadi mudah marah untuk
menghadapi hal-hal yang dialaminya (Church dalam Heine, 2008).
Perasaan tersebut juga muncul karena seseorang mencoba untuk bisa
beradaptasi dengan budaya yang baru yang sangat berbeda. Padahal proses
transisi tersebut membutuhkan waktu dan tidak mudah untuk dilakukan
(Pujiriyani & Rianty, 2010). Didukung dengan penelitian bahwa orang
yang mengalami culture shock rentan mengalami kecemasan, depresi dan
mudahnya tempramen seseorang berubah-ubah pada saat mengalami suatu
hal.
Orang-orang yang mengalami culture shock juga akan mudah
bermasalah dengan kesehatan dan berlebihan dalam menghadapi
penyakit-penyakit yang dialami. Meskipun penyakit-penyakit yang dialami termasuk
penyakit yang sepele (Pujiriyani & Rianty, 2010; Oberg (dalam Hooves)
dalam Mulyana & Rakhmat, 2009). Orang tersebut juga mulai mengalami
sakit kepala dan sakit perut (Gudykunst & Kim dalam Samovar, Porter &
McDaniel, 2010).
Hal ini terjadi karena pada saat seseorang berada pada lingkungan
budaya yang berbeda, orang tersebut akan lebih banyak mengalami
distress dan membutuhkan konsultasi medis (Babiker, Cox & Miller dalam
Heine, 2008). Hal tersebut dilakukan karena orang tersebut merasa butuh
bantuan seseorang yang memahami tentang penyakit yang dialami. Oleh
karena itu, pada saat mengalami suatu penyakit yang ringan, orang
tersebut akan langsung melakukan pemeriksaan medis. Keadaan tersebut
juga mendukung munculnya gejala lain, yaitu obsesi terhadap kebersihan
diri dan lingkungannya yang menjadi berlebihan (Pujiriyani & Rianty,
2010).
Orang yang mengalami culture shock akan menunjukkan gejala
kehilangan identitas diri (Pujiriyani & Rianty, 2010). Hal tersebut terjadi
tersebut mampu mengubah identitas diri seseorang. Keadaan ini
disebabkan karena identitas dibentuk dan dipertahankan berdasarkan
konteks budaya, pengalaman dalam konteks budaya yang baru seringkali
memunculkan pertanyaan tentang identitas (Lysgaard dalam Martin &
Nakayama, 2004).
Perubahan identitas diri karena adanya perubahan pengalaman,
juga turut mempengaruhi rasa percaya diri seseorang (Pujiriyani & Rianty,
2010). Hal tersebut terjadi karena ketika seseorang masuk dalam
lingkungan budaya yang baru, orang tersebut akan berinteraksi dengan
keadaan yang ada di dalamnya. Pengalaman yang didapatkannya, mampu
membuat dirinya merasa identitas dirinya yang selama ini tidak sesuai
dengannya. Keadaan tersebut juga pada akhirnya mempengaruhi rasa
percaya diri orang tersebut. Dimana, orang tersebut mengalami
kekurangan rasa percaya diri (Pujiriyani & Rianty, 2010).
Gejala yang lain adalah perilaku seseorang yang
mengidentifikasikan budaya lama dan menganggapnya sebagai budaya
yang paling baik dan ideal (Pujiriyani & Rianty, 2010). Orang tersebut
seperti bermusuhan dengan lingkungan barunya (Gudykunst & Kim dalam
Samovar, Porter & McDaniel, 2010). Hal tersebut terjadi karena dalam
memberikan penilaian terhadap perilaku orang dengan budaya yang
ukurnya. Ini merupakan suatu kemestian yang harus diikuti (Mulyana
dalam Mulyana & Rakhmat, 2009).
Perilaku tersebut akhirnya berdampak pada penciptaan stereotype,
yaitu suatu generalisasi atau sekelompok orang, obyek atau peristiwa yang
secara luas dianut oleh suatu budaya terhadap budaya baru yang dimasuki
(Pujiriyani & Rianty, 2010; Mulyana dalam Mulyana & Rakhmat, 2009).
Hal ini terjadi karena orang yang ada di lingkungan budaya yang baru
melakukan sesuatu hal yang dirasa tidak sesuai dengan budaya yang orang
itu miliki. Oleh karena itu, orang itu memberikan gambaran yang negatif
terhadap orang di lingkungan yang baru tersebut.
Orang-orang yang mengalami culture shock juga akan merasakan
kerinduan yang sangat kuat terhadap orang-orang terdekat, seperti teman,
keluarga dan rumah (Pujiriyani & Rianty, 2010; Lysgaard dalam Heine,
2008). Hal ini terjadi karena orang tersebut merasa tidak nyaman dengan
lingkungan baru dan membuatnya merindukan lingkungan lamanya
(Church dalam Heine, 2008).
Orang yang mengalami culture shock menunjukkan juga gejala
terlalu berusaha untuk menyerap dan memahami segala hal yang ada di
budaya barunya (Pujiriyani & Rianty, 2010). Hal ini disebabkan individu
berada di tempat yang baru dan tidak dikenalnya (Oberg dalam Bochner,
1994). Keadaan ini membuat orang tersebut berusaha keras untuk bisa
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
gejala-gejala yang dialami oleh seseorang yang mengalami culture shock
adalah memiliki masalah dalam berhubungan dengan orang-orang di
lingkungan yang baru, antara lain menghindar dan suka sendirian. Muncul
juga perasaan tidak mendapat perhatian dan orang di lingkungan yang baru
tidak sensitif dan mengalami gangguan gaya hidup, seperti makan, minum
dan tidur. Selain itu, muncul perasaan tidak berdaya dalam melakukan
sesuatu dan sulit untuk berkonsentrasi dalam melakukan sesuatu.
Seseorang juga bermasalah dengan tempramen dan kesehatan yang
dimiliki, serta berlebihan dalam menghadapi penyakit-penyakit yang
dialami. Mulai merasa kehilangan identitas diri dan berkurangnya rasa
percaya diri. Lebih suka mengidentifikasikan budaya yang dimiliki
sebagai budaya yang paling baik dan ideal. Seseorang yang mengalami
culture shock juga merasakan kerinduan yang sangat kuat terhadap
orang-orang terdekatnya dan berusaha terlalu keras untuk mnyerap serta
memahami segala hal yang ada di budaya yang baru.