HUBUNGAN ANTARA CULTURE SHOCK DAN PRESTASI AKADEMIK PADA MAHASISWA ASAL PAPUA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Maria Fransiska Ansiga 089114020
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i
HUBUNGAN ANTARA CULTURE SHOCK DAN PRESTASI AKADEMIK PADA MAHASISWA ASAL PAPUA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Maria Fransiska Ansiga 089114020
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2012
iv
Motto:
Manusia hanya berusaha dan berdoa,
Hasil akhirnya, kita pasrahkan kepada Tuhan
Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang
dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu
-1 Tesalonika 5 : 18-
Dengan perilaku dan hati yang baik, kita tidak harus
menjadi jiwa yang harus meminta. Karena seluruh hidup
kita sudah merupakan doa dan ikhlas setelah itu tutup
doa kita dengan kata AMIN.
-Mario Teguh-
Keberhasilan adalah kemampuan untuk melewati dan
mengatasi setiap kegagalan, tanpa kehilangan semangat.
-Winston Chuchill-
Pendidikan memunyai akar yang pahit, tetapi buahnya
manis
v
SKRIPSI ini kupersembahkan untuk, Tuhan Yesus Kristus,
yang selalu setia menemani dan menjadi penolongku yang terbaik.
Juga bagi orang-orang yang sangat berharga dan motivator utama dalam hidupku,
(Alm.) Papaku, Mamaku
vii
HUBUNGAN ANTARA CULTURE SHOCK DAN PRESTASI AKADEMIK PADA MAHASISWA ASAL PAPUA
Maria Fransiska Ansiga
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara culture shock dan prestasi akademik pada mahasiswa asal Papua. Hipotesis dalam penelitian ini yaitu adanya hubungan negatif antara culture shock dan prestasi akademik. Artinya, semakin tinggi nilai culture shocknya maka nilai prestasi akademiknya akan semakin rendah, begitu pula sebaliknya. Subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswa asli asal Papua angkatan 2010 yang berjumlah 70 orang. Penelitian ini menggunakan teknik korelasi product moment, untuk mengetahui hubungan antara kedua variabel. Data culture shock diperoleh dengan mengedarkan skala dan prestasi akademik dilihat dari nilai Indeks Prestasi (IP) semester 3. Nilai koefisien reliabilitas dalam penelitian ini adalah 0.875. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara culture shock
dan prestasi akademik. Hal ini terjadi karena data yang diperoleh tidak linear (p = 0.691). Akibatnya, hipotesis dalam penelitian ini ditolak.
viii
THE CORRELATION BETWEEN CULTURE SHOCK AND ACADEMIC ACHIVEMENT ON STUDENT FROM PAPUA
Maria Fransiska Ansiga
ABSTRACT
This research is to know about relation between culture shock and academic achievement on student from Papua. Hypothesis from this research is there are negative relation between culture shock and academic achievement. Thats mean as higher as culture shock values that make
reduction from academic achievement‟s values and otherwise. The subject from this research is 70 Papuans student from 2010 class. This research use „product moment‟ correlation technic to know
about relation between two variables. Culture shock‟s data is gotten from spreading the questionnaire and academic achievement is looked from performance index (IP) from third
semester. Reliability coefisien values in this research is 0,875. This research show that there isn‟t
relation between culture shock and academic achievement. This things is because data from this research is not linear (p = 0.691). That‟s make hypotesis from this research is rejected.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur dan ucapan terima kasih kepada Tuhan Yesus atas segala
rahmat dan berkat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan
judul “Hubungan antara Culture Shock dan Prestasi Akademik pada Mahasiswa
Asal Papua” dengan sangat baik.
Dalam proses mengerjakan Skripsi ini, hadir banyak orang yang
membantu penulis dengan cara yang berbeda-beda, sehingga Skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis ingin
mengucapkan kepada:
1. Dr. Christina Siwi., H., M. Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma dan Dosen Pembimbing Akademik.
2. Ibu Titik Kristiyani., S. Psi., M. Psi., selaku Kepala Program Studi
Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
3. Bapak Drs. H. Wahyudi., M. Si., selaku Dosen Pembimbing Skripsi.
Terima kasih atas segala bantuan yang telah bapak berikan dan
kesediaan membimbing saya dalam mengerjakan skripsi ini sampai
akhir.
4. Bapak Y. Agung Santosa., M.A., dan Bapak Y. Heri Widodo., S. Psi.,
M. Psi., terima kasih untuk masukan-masukan statistiknya.
5. Seluruh dosen-dosen yang ada di Fakultas Psikologi Universitas
Sanata Dharma. Terima kasih telah membagikan ilmu-limunya selama
xi
6. Staf sekretariat Fakultas Psikologi, Ibu Nanik, Pak Gie dan Mas
Gandung. Terima kasih untuk kebersamaannya, selama menjalani
aktivitas perkuliahan dan pada saat menjadi pengawas ujian.
7. Staf laboratorium Fakultas Psikologi, Mas Muji dan Mas Doni. Terima
kasih untuk bantuannya dan keramahannya.
8. Kedua orang tuaku yang selalu ada dan menjadi motivator buatku.
Untuk (Alm.) Papa, meskipun ragamu tidak bersamaku, tetapi kutahu
kau selalu ada di dekatku memberikan bantuan, doa dan semangat.
Untuk Mamaku, terima kasih, ma. Usaha, pengorbanan dan doamu
adalah hal yang paling berharga dalam hidupku. You‟re is a miracle in
my life. Love you so much.
9. Kedua orang adikku tersayang, Vinsen Ansiga dan Victor Ansiga.
Kehadiran kalian selalu membuatku untuk berusaha menjadi seseorang
yang lebih baik. Dan mengajarkanku untuk bisa menjadi kakak dan
sahabat yang baik.
10.Teman dekat dan terbaikku, Ditya. Terima kasih atas semua bantuan,
semangat dan masukan-masukannya buatku selama mengerjakan
skripsi ini.
11.Sahabat seperjuangan dan terbaikku, Katharina Wineke Rumlus,
Sefriana Ermelinda, Anik Sulistyowati dan Eka Tandhi Lembang.
Terima kasih untuk kebersamaannya. Ayo kita selesaikan tugas ini.
xii
12.Temen-temen terbaikku, Nita, Martha, Desi, Nindi, Agnes, Nopai dan
Rina. Terima kasih untuk kebersamaan dan bantuannya selama 4 tahun
ini ya….
13.Teman-teman yang membantu mengedarkan angket, Agus (P-Mat
‟10), Hengki (APMD ‟08), Amos (APMD „08), Alan (UPN „08),
Carolina (IPPAK ‟08), Kak Sammy (Asrama Fak-Fak) dan Yosepina
(UTY ‟08). Terima kasih ya….
14.Temen-temen Psikologi, Paulin, Meili, Skolas, Kika, Anis, Anggun,
Risa, Ines, Vicke, Budi, Henri, Vinsen, Putri, Mitha, Dian, Ayu, Dewi,
Mila, Wawan, Aik, Agung, Puput, Chelly, Adit dan seluruh
teman-teman angkatan 2008. Terima kasih atas bantuan dan kebersamaannya.
15.Teman-teman seperjuangan dan senasibku, Tiwi dan Stanley. Tetap
semangat ya, teman. Kita pasti bisa!!
16.Teman-teman KKNku (yang terbaik deh), Putri (Psi), Novi (Farm),
Vinsen (Psi), Ria (Farm), Tiwi (Farm), Pandu (Farm), Dewi (Farm)
dan Vita (SaSing). Pengalaman tinggal bersama kalian selama 1 bulan,
akan selalu jadi kenangan manis buatku. Hidup Brayut-Dungsari!
17.Teman-teman Kos Griya Amada, Elya, Mbak Kia, Eki dan Sepen.
Tidak lupa untuk Bapak dan Ibu kos, terima kasih atas kebaikannya
selama 4 tahun tinggal bersama kalian.
18.Temen-temenku yang terpisah jarak, Priskila, Putri, Ira dan Mario.
xiii
19.Semua pihak yang telah ikut membantu dan tidak dapat disebutkan
satu persatu.
Dengan penuh kesadaran diri, penulis menyadari bahwa Skripsi ini bisa
berjalan berkat bantuan kalian. Penulis mengucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya untuk semua bantuannya. Kritik dan saran yang membangun sangat
penulis harapkan untuk menyempurnakan Skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap
semoga Skripsi sederhana ini dapat bermanfaat untuk semua pihak.
Yogyakarta, Agustus 2012
Penulis
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……… ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiv
DAFTAR TABEL ... xviii
DAFTAR GAMBAR ... xix
DAFTAR LAMPIRAN ... xx
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
xv
BAB II. LANDASAN TEORI ... 9
A. Culture Shock ... 9
1. Pengertian Culture Shock ... 9
2. Tahap Terjadinya Culture Shock... 17
3. Gejala Culture Shock ... 21
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Culture Shock ... 28
B. Prestasi Akademik ... 31
1. Pengertian Prestasi Akademik ... 31
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Akademik ... 32
C. Mahasiswa ... 36
1. Pengertian Mahasiswa ... 36
2. Pengertian Mahasiswa Asal Papua ... 37
3. Kebiasaan Mahasiswa Papua ... 38
D. Dinamika Hubungan Antara Culture Shock dan Prestasi Akademik Pada Mahasiswa Asal Papua ... 39
E. Hipotesis Penelitian ... 46
BAB III. METODE PENELITIAN ... 47
A. Jenis Penelitian ... 47
B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 47
C. Definisi Operasional ... 47
1. Prestasi Akademik ... 47
xvi
D. Sampel dan Subyek Penelitian ... 48
E. Metode Pengumpulan Data ... 50
F. Validitas Dan Reliabilitas Alat Ukur ... 52
1. Validitas ... 52
2. Seleksi Item ... 52
3. Reliabilitas ... 57
G. Metode Analisis Data ... 58
1. Uji Asumsi ... 58
a. Uji Normalitas ... 58
b. Uji Linearitas ... 59
2. Uji Hipotesis ... 59
BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 60
A. Pelaksanaan Tryout ... 60
B. Pelaksanaan Penelitian ... 60
C. Analisis Data ... 60
1. Uji Normalitas ... 61
2. Uji Linearitas ... 62
3. Uji Hipotesis ... 63
D. Deskripsi Subyek Penelitian ... 64
1. Indeks Prestasi Semester ... 64
2. Tempat Tinggal ... 65
xvii
4. Kelengkapan Orang Tua ... 66
5. Jenis Kelamin ... 66
E. Deskripsi Data Penelitian ... 66
F. Pembahasan ... 68
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 73
A. Kesimpulan ... 73
B. Keterbatasan Penelitian ... 73
C. Saran ... 74
1. Bagi Subyek Penelitian ... 74
2. Bagi Bidang Ilmu Pengetahuan ... 74
3. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 74
DAFTAR PUSTAKA ... 75
xviii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Penilaian hasil belajar mahasiswa per semester ... 32
Tabel 2. Blueprint skala “culture shock” ... 51
Tabel 3. Blueprint skala “culture shock”sebelum uji coba ... 54
Tabel 4. Blueprint skala “culture shock”setelah uji coba ... 55
Tabel 5. Blueprint skala “culture shock”setelah dilakukan penyusunan ulang. 57 Tabel 6. Hasil uji normalitas ... 61
Tabel 7. Hasil uji linearitas ... 62
Tabel 8. Deskripsi perolehan indeks prestasi semester ... 64
Tabel 9. Deskripsi berdasarkan tempat tinggal ... 65
Tabel 10. Deskripsi berdasarkan kelompok lingkungan tempat tinggal ... 65
Tabel 11. Deskripsi berdasarkan kelengkapan orang tua ... 66
Tabel 12. Deskripsi berdasarkan jenis kelamin ... 66
xix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Bagan Kerangka Berpikir ... 45
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Skala culture shock ... 82
Lampiran 2. Reliabilitas skala uji coba culture shock ... 87
Lampiran 3. Reliabilitas skala culture shock setelah dilakukan seleksi item .. 90
Lampiran 4. Uji Normalitas ... 92
Lampiran 5. Uji Linearitas ... 92
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setelah menyelesaikan pendidikan di bangku Sekolah Menengah Atas,
banyak remaja yang memutuskan untuk melanjutkan pendidikan mereka ke
jenjang yang lebih tinggi, yaitu perguruan tinggi. Para remaja tersebut
berusaha untuk memilih perguruan tinggi dengan kualitas yang baik untuk
menunjang masa depan mereka. Di Indonesia sendiri, perguruan tinggi yang
memiliki kualifikasi tersebut paling banyak berada di Pulau Jawa (Hidajat,
dkk dalam Niam, 2008).
Keadaan tersebut membuat remaja dari daerah lain, salah satunya dari
Papua, memutuskan untuk melanjutkan pendidikan mereka ke Pulau Jawa.
Remaja asal Papua dipilih karena cukup banyak remaja asal timur Indonesia
ini, yang memilih pulau Jawa untuk melanjutkan pendidikan mereka. Terlihat
dari jumlah mahasiswa asal Papua yang ada di Yogyakarta saja, mencapai
kurang lebih 7.500 orang. Jumlah ini terdiri atas mahasiswa yang sedang
menempuh pendidikan di jenjang S1, S2 dan S3 (Aliansi Mahasiswa Papua
Jogja, 2011). Jumlah ini jika dibandingkan dengan mahasiswa yang berasal
dari daerah lain tergolong banyak. Misalnya, dibandingkan dengan jumlah
mahasiswa dari daerah Sulawesi Selatan berjumlah sekitar 200 orang
Keadaan tersebut didukung oleh suatu studi survei yang dilakukan
Boveington (2007), kepada 26 orang mahasiswa asal Papua yang kuliah di
beberapa perguruan tinggi di Jawa Timur. Berdasarkan survei tersebut,
diketahui alasan mereka kuliah di Pulau Jawa, karena mereka merasa mutu
pendidikan di Papua masih kurang baik. Selain itu, para mahasiswa lebih
percaya akan mendapatkan manfaat yang lebih besar jika melanjutkan
pendidikan ke perguruan tinggi di Pulau Jawa.
Berdasarkan penelitian Boveington (2007) tersebut, ditemukan
beberapa hal yang menunjukkan bahwa pendidikan yang ada di Papua masih
kurang baik, antara lain kemampuan yang dosen miliki kurang seimbang
dengan materi perkuliahan yang diberikan. Sarana dan prasarana untuk
mendukung kegiatan belajar juga masih kurang lengkap. Mutu dari
jurusan-jurusan yang adapun masih mereka anggap kurang baik. Tidak hanya itu,
berdasarkan wawancara dengan seorang mahasiswa dari Papua, diketahui
bahwa nilai yang diperoleh selama studi dapat dinegosiasikan.
Keputusan mahasiswa asal Papua tersebut dikarenakan mereka ingin
memperoleh pendidikan yang lebih baik. Ini dilakukan sebab mereka ingin
membangun Papua. Hal tersebut sesuai dengan cita-cita yang dimiliki oleh
para mahasiswa. Bagi mahasiswa asal Papua dengan mendapatkan pendidikan
yang lebih baik, mahasiswa tersebut ingin memperbaiki ketertinggalan dan
membagikan ilmu yang mereka miliki. Mereka menyebutkan ingin “Papua yang maju” sebagai impian mereka (Boveington, 2007).
Perilaku mahasiswa asal Papua yang belajar ke Pulau Jawa dan setelah
selesai studi kembali ke kampung halaman, membuat mereka dapat
digolongkan ke dalam sojourner. Menurut Ady, Klineberg & Hull (dalam
Ward, Bochner & Furnham, 2001) sojourner adalah orang-orang yang datang
sementara waktu di tempat yang baru dan setelah tujuan tercapai akan kembali
ke tempat asal. Keadaan tersebut membuat mahasiswa asal Papua yang ada di
Pulau Jawa rentan mengalami culture shock.
Hal tersebut didukung oleh Irwin (2007) yang mengatakan bahwa
menjadi seorang sojourner merupakan aspek penting dalam kehidupan
seorang antropologi. Oleh karena itu, antropolog beresiko mengalami culture
shock. Penelitian Pyvis & Chapman (2005) juga menunjukkan bahwa
meskipun mahasiswa belajar di negerinya sendiri, tetapi diajar oleh pengajar
dari budaya yang berbeda juga dapat mengalami culture shock.
Culture shock merupakan suatu gejala yang dialami oleh seseorang
sebagai bagian dari pengalamannya setelah pindah ke lingkungan budaya yang
berbeda. Hal ini muncul akibat ketidakmampuan orang tersebut menggunakan
pengetahuan dan referensi budaya yang dimiliki untuk hidup di tempat baru
(Cameron & Kirkman, 2010). Keadaan tersebut memunculkan perasaan cemas
dan ketidaktahuan untuk melakukan sesuatu hal yang dinilai pantas atau tidak
hampir setiap orang saat berada dalam lingkungan budaya yang baru
(Lysgaard dalam Martin & Nakayama, 2004).
Bagi mahasiswa asal Papua yang memutuskan untuk belajar di Pulau
jawa, rentan mengalami culture shock. Hal ini disebabkan mahasiswa yang
datang dari Papua masih memiliki pola pikir yang primitif. Mahasiswa yang
berasal dari Papua masih dibesarkan dengan cara-cara yang konvensional oleh
orang tua mereka. Misalnya, ada beberapa orang tua yang mengajarkan
kepada anak mereka bahwa pendidikan itu tidak penting, sebab belajar di
rumah saja sudah cukup. Hal ini dibenarkan oleh salah seorang mahasiswa
asal Papua.
Dampak culture shock paling rentan dan kuat terjadi pada kalangan
mahasiswa, sebab mahasiswa sedang berada pada proses pengembangan diri
dan masa peralihan dari remaja menuju dewasa awal. Selain itu, mahasiswa
juga harus menghadapi masa transisi untuk memasuki perguruan tinggi
(Furnham & Bochner dalam Ward, Bochner & Furnham, 2001). Keadaan
tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Thomson, Rosenthal &
Russell (2006) yang menunjukkan bahwa remaja mudah digoncang oleh
perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Apalagi perubahan yang berkaitan
dengan adanya perubahan budaya yang mudah menimbulkan culture shock.
Biasanya orang yang mengalami culture shock akan menunjukkan
gejala-gejala, seperti keenganan berinteraksi dengan orang lain, mudah
yang mengalami gejala culture shock merasa kerinduan yang sangat kuat
kepada orang-orang terdekatnya, seperti teman dan keluarga (Lysgaard dalam
Heine, 2008).
Bagi mahasiswa asal Papua yang belajar di Pulau Jawa, memiliki
peluang untuk mengalami culture shock berkaitan dengan pendidikan yang
sedang dijalani. Hal ini dikarenakan ada perbedaan budaya antara lingkungan
di Papua dan Jawa. Adanya perbedaan budaya tersebut perlu diperhatikan
karena budaya merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari
pendidikan. Pendidikan dipengaruhi oleh budaya. Cara seseorang dalam
belajar akan ditentukan dari budaya yang membesarkan orang tersebut. Tidak
hanya itu, perbedaan budaya juga berpengaruh pada tujuan, harapan dan gaya
berkomunikasi di dalam kelas (Powell & Anderson, dalam Ward, Bochner &
Furnham, 2001; Samovar, Porter & McDaniel, 2010).
Hal tersebut didukung dengan penelitian Novera (2004) kepada 25
orang mahasiswa Indonesia di Australia. Diketahui bahwa persoalan beda
budaya mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri untuk
berinteraksi di dalam kelas dan menjalin hubungan dengan pengajar atau
dosen. Perbedaan gaya belajar berpengaruh pada kemajuan pendidikan
mahasiswa. Penelitian Poedjiastutie (tanpa tahun) kepada 10 orang mahasiswa
luar negeri yang belajar di Malang, ditemukan bahwa culture shock yang
dialami oleh mahasiswa mempengaruhi akademik mereka selama belajar.
yang belajar di sebuah universitas di Australia, menunjukkan bahwa
mahasiswa yang mengalami culture shock mengalami masalah dengan metode
pengajaran yang mempengaruhi gaya belajar mereka.
Keadaan tersebut didukung oleh pendapat Lese & Robbins (dalam
Ward, Bochner & Furnham, 2001) yang mengatakan bahwa culture shock
mempengaruhi kemampuan mahasiswa berkaitan dengan perolehan prestasi
akademik dan penyesuaian sekolah. Chataway & Berry (dalam Ward, Bochner
& Furnham, 2001) juga mendukung pendapat tersebut. Mereka mengatakan
bahwa masalah akademik merupakan masalah yang paling menonjol dirasakan
oleh mahasiswa perantau.
Penelitian yang dilakukan oleh Amponsah (2010) kepada 329
mahasiswa non UK yang sedang menempuh gelar sarjana di UK juga
menunjukkan bahwa akademik merupakan masalah yang paling membuat
stres. Mahasiswa non UK mengalami tuntutan yang lebih dalam pekerjaannya
dan cemas menghadapi rencana masa depan akademik mereka. Penelitian lain
yang dilakukan oleh Petrides, Chamorro-Premuzic, Frederickson dan Furnham
(2005) kepada 901 pelajar di Inggris, menemukan hal yang sama. Dalam
penelitian tersebut ditemukan bahwa pelajar yang memiliki kepribadian (1)
extraversion: sikap pendiam, tidak ramah dan suka menyendiri; (2) psycotism:
agresif, bermusuhan, mengalami gangguan kejiwaan; dan (3) neuroticism:
cemas, emosional, suka murung dan mudah tersinggung, berpengaruh negatif
Prestasi akademik merupakan suatu hal yang penting bagi mahasiswa,
karena mencerminkan pengetahuan yang dimiliki selama mengikuti kegiatan
belajar (Kauseri & Suprananto, 2012). Prestasi yang diperoleh mahasiswa
dapat menunjukkan tingkat keberhasilan individu tersebut dalam belajarnya
(Buku Peraturan Akademik Universitas Sanata Dharma, 2010). Prestasi yang
diperoleh akan membantu mahasiswa dalam menggapai cita-citanya dan masa
depan yang lebih baik.
Mahasiswa juga diharapkan mampu bekerja lebih keras dari
sebelumnya untuk menghadapi tugas akademik. Hal ini terjadi karena pada
saat masuk dan belajar di perguruan tinggi, mahasiswa akan menghadapi
suasana persaingan yang relatif lebih ketat dibanding di masa SMA.
Tugas-tugasnya juga relatif lebih berat dan bervariasi dan mahasiswa juga dituntut
untuk mampu belajar secara mandiri (Shohib, 2005). Tidak hanya itu,
kemampuan mahasiswa dalam bekerja sama dan motivasi yang dimiliki dalam
belajar turut mempengaruhi kemampuan mahasiswa dalam memperoleh
prestasi (Chen, Irvine & York, Shade & New, Thomas dalam Ward, Bochner
& Furnham, 2001). Keadaan ini mampu mengakibatkan mahasiswa merasa
stress dengan akademiknya (Furnham & Bochner dalam Furnham, 2004).
Berdasarkan hasil uraian tersebut, maka peneliti ingin mengetahui
lebih dalam mengenai hubungan antara culture shock dan prestasi akademik
B. Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara culture shock dan prestasi akademik pada
mahasiswa asal Papua?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis
hubungan antara culture shock dan prestasi akademik pada mahasiswa asal
Papua.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritik:
Penelitian ini dapat menambah literatur pengetahuan dan riset
penelitian di Indonesia mengenai culture shock, sebab penelitian mengenai
culture shock di Indonesia masih sangat minim. Mengingat Indonesia
merupakan negara yang kaya akan ragam budaya. Selain itu, penelitian ini
juga ingin memberikan sumbangan pengetahuan di bidang antropologi dan
psikologi, khususnya psikologi budaya.
2. Manfaat Praktis:
Bagi subyek penelitian, dari hasil penelitian ini dapat dijadikan
sebagai bahan untuk mengevaluasi diri dari pengalaman culture shock dan
9
BAB II
LANDASAN TEORI A. Culture shock
1. Pengertian Culture Shock
Istilah culture shock diperkenalkan pertama kali pada tahun 1960
oleh seorang antopolog bernama Kalvero Oberg dalam sebuah artikel. Dia
menggambarkan culture shock sebagai reaksi orang setelah menyadari
bahwa dirinya berada pada suatu tempat baru, aneh dan tidak dikenal
(Bochner dalam Lonner & Malpass, 1994). Reaksi yang muncul ketika
seseorang mengalami culture shock adalah respon-respon yang negatif,
seperti perasaan depresi, frustrasi dan disorientasi karena berada dalam
lingkungan yang baru dan berbeda budaya (Oberg dalam Smith & Bond,
1993).
Oberg (dalam Yusuf, 1991) menjelaskan beberapa aspek yang
terdapat dalam culture shock, yaitu:
a. Ketegangan sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan adaptasi
psikologis.
Budaya merupakan hal yang berkaitan dengan cara hidup
seseorang, seperti berpikir, merasa dan berperilaku (Porter &
Samovar (dalam Samovar & Porter, 1982) dalam Mulyana &
Rakhmat, 2009). Selain itu, budaya juga mempengaruhi kondisi
masalah, belajar dan kebiasaan yang dimiliki (Kroeber &
Kluckhohn dalam Berry, Poortinga, Segall & Dasen, 1999).
Ketika seseorang masuk dalam lingkungan budaya yang
baru, orang tersebut berusaha untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan sekitarnya. Dalam proses menyesuaikan diri dengan
lingkungan baru, orang harus beradaptasi secara fisik dan juga
psikologis. Secara fisik, orang mungkin akan jauh lebih mudah
beradaptasi, misalnya dengan makanan, pemandangan di
lingkungan sekitar atau iklim (Ariestanty & Andri, 2007).
Sedangkan secara psikologis, orang terkadang lebih sulit
untuk beradaptasi. Hal ini dikarenakan orang tersebut telah
memiliki sifat dasar bawaan sebagai hasil bentukan budayanya
(Yusuf, 1991). Oleh karena itu, ketika seseorang yang berada
dalam lingkungan budaya yang baru, sering mengalami ketegangan
dalam dirinya sebagai usaha untuk beradaptasi secara psikologis.
b. Merasa kehilangan dan adanya perampasan perhatian yang didapat
dari teman-teman, status, profesi dan hak milik.
Pada saat seseorang menyadari keberadaannya dalam suatu
lingkungan budaya yang berbeda, akan mulai muncul respon
negatif, seperti rasa cemas dan tidak berdaya di dalam dirinya
orang tersebut merasa sendirian di dalam lingkungannya yang
baru. Keadaan ini muncul karena orang tersebut mulai hidup
terpisah dengan orang-orang terdekatnya dan mulai merasa
kehilangan dukungan (Sandhu & Asrabadi dalam Furnham, 2004).
Selain itu, muncul perasaan bahwa orang-orang yang ada di
sekitarnya, seperti teman barunya tidak menunjukkan sikap sensitif
kepada mereka (Pujiriyani & Rianty, 2010).
Pada saat orang tersebut mulai berinteraksi dengan
orang-orang baru yang ada di lingkungannya, orang-orang tersebut juga akan
memiliki status yang baru sebagai hasilnya. Keadaan ini muncul
karena hubungan dengan orang-orang tertentu akan memunculkan
label tertentu yang kemudian dijadikan status mereka dalam
lingkungan tersebut (Santrock, 2002).
c. Merasa ditolak dan, atau dibuang oleh anggota-anggota
kebudayaan baru.
Cara orang dalam berkomunikasi, kondisi yang dialami
dalam berkomunikasi, bahasa dan gaya bahasa yang digunakan,
serta perilaku-perilaku nonverbal yang muncul, semuanya itu
merupakan respon seseorang terhadap budayanya dan fungsi
budayanya. Hal tersebut berdampak pada kemampuan seseorang
dalam berkomunikasi dengan orang lain sangat penting.
Komunikasi membuat orang dapat saling mengerti, memahami dan
menerima keberadaan orang lain (Porter & Samovar (dalam
Samovar & Porter, 1982) dalam Mulyana & Rakhmat, 2009).
Pada saat seseorang berada dalam lingkungan budaya yang
baru, orang tersebut harus bisa beradaptasi dengan cara
berkomunikasi dalam kebudayaan tersebut. Hal ini harus dilakukan
karena ketika seseorang tidak mampu berkomunikasi dengan baik,
maka akan muncul kesalahpahaman dalam memaknai informasi
yang disampaikan (Porter & Samovar (dalam Samovar & Porter,
1982) dalam Mulyana & Rakhmat, 2009). Berdampak pula pada
perasaan diterima dalam lingkungan tersebut.
Selain itu, perbedaan struktur makna budaya yang dimiliki
oleh masing-masing orang juga turut mempengaruhi kemampuan
dalam menerima. Jika terjadi kesalahpahaman dalam
berkomunikasi, maka akan timbul perasaan tidak diterima
(Noesjirwan (dalam Zainnu‟ddin, 1986) dalam Mulyana &
d. Bingung dalam peran, harapan peran, nilai-nilai, rasa, dan identitas
diri.
Setiap budaya memiliki sistem-sistem nilai yang
berbeda-beda satu sama lain. Dimana, sistem nilai yang ada tersebut
digunakan untuk mengatur perilaku anggotanya. Selain itu, setiap
budaya juga memiliki bahasa, aturan dan norma yang berbeda-beda
dan berpengaruh pada cara seseorang dalam berkomunikasi dengan
orang lain. Tidak hanya itu, setiap budaya juga memiliki harapan
yang berbeda untuk setiap anggotanya (Mulyana dalam Mulyana &
Rakhmat, 2009).
Perbedaan-perbedaan yang ada tersebut, akhirnya
berdampak pada kebingungan yang dialami oleh orang yang masuk
ke lingkungan budaya yang baru. Dimana, orang tersebut harus
berperilaku sesuai dengan budaya yang ada di lingkungannya yang
baru. Padahal orang tersebut sudah terbiasa hidup dengan
budayanya yang lama. Hal ini tentunya akan mengganggu orang
tersebut untuk bisa menjalankan perannya dengan baik (Mulyana
dalam Mulyana & Rakhmat, 2009).
Di samping itu, perbedaan tersebut juga berpengaruh pada
identitas diri seseorang. Dimana, saat seseorang mengalami suatu
pengalaman yang baru, maka identitas dirinya juga akan ikut
pada saat berinteraksi dengan orang baru, identitas diri seseorang
juga akan ikut berubah. Hal tersebut disebabkan karena orang
tersebut harus menyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan sosial
tempat interaksi terjadi (Kluckholn dalam Samovar, Porter &
McDaniel, 2007). Keadaan seperti itu tentu juga dialami oleh orang
yang berada dalam lingkungan budaya yang baru dan berbeda.
e. Terkejut, cemas, bahkan benci dan marah setelah menyadari
perbedaan kebudayaan.
Pada saat seseorang menyadari bahwa dirinya berada dalam
lingkungan budaya yang berbeda, akan mulai muncul
respon-respon negatif dalam diri orang tersebut. Respon-respon-respon negatif
tersebut biasanya muncul dalam bentuk perasaan cemas, tidak
berdaya dan mudah marah (Church dalam Heine, 2008). Perasaan
tersebut muncul karena setiap budaya memiliki pola-pola bahasa
dan bentuk-bentuk kegiatan serta perilaku yang dilakukan. Hal
tersebut berfungsi sebagai model bagi tindakan penyesuaian diri
dan gaya komunikasi yang memungkinkan seseorang tinggal
dalam suatu lingkungan tertentu (Porter & Samovar (dalam Porter
& Samovar) dalam Mulyana & Rakhmat, 2009).
Keadaan ini pada akhirnya membuat orang yang berada
merasa berbeda dengan lingkungannya. Selain itu, kecenderungan
orang yang menggunakan budaya yang dimiliki sebagai suatu hal
yang harus diikuti, juga dapat memunculkan masalah. Dimana,
ketika seseorang ada yang tidak mengikuti, maka akan muncul
ketidakharmonisan dalam hubungan (Mulyana dalam Mulyana &
Rakhmat, 2009).
Hal ini dapat memunculkan perasaan marah dan benci
karena merasa budaya yang ada di lingkungannya yang baru aneh
dan tidak masuk akal (Oberg (dalam Irwin); Guanipa dalam
Prasetya, 2008).
f. Merasa memiliki ketidakmampuan untuk menanggulangi sesuatu
dengan kebudayaan yang baru.
Setiap budaya memiliki aturannya masing-masing dan
berbeda satu sama lain. Hal tersebut mempengaruhi cara orang
dalam bertindak, berkomunikasi dan merespon hal-hal yang
dialami dalam hidup (Porter & Samovar (dalam Samovar & Porter,
1982) dalam Mulyana & Rakhmat, 2009). Selain itu, perbedaan
budaya juga mempengaruhi timbulnya perbedaan dalam struktur
makna budaya, yaitu aturan dan nilai yang dimiliki dalam
(Noesjirwan (dalam Zainnu‟ddin, 1986) dalam Mulyana &
Rakhmat, 2009).
Setiap budaya memiliki aturan dan nilai tersendiri dalam
bertindak dan mengatasi situasi-situasi yang sulit dan
menegangkan. Aturan dan nilai yang dimiliki suatu budaya, belum
tentu cocok jika digunakan dalam budaya yang lain (Noesjirwan
(dalam Zainnu‟ddin, 1986) dalam Mulyana & Rakhmat, 2009).
Oleh karena itu, pada saat seseorang berada di lingkungan
budaya yang baru, orang tersebut harus mampu menyesuaikan diri
dengan aturan dan nilai setempat. Hal tersebut perlu dilakukan
karena dapat mempengaruhi kemampuan orang tersebut untuk
menyelesaikan masalahnya di lingkungan yang baru. Pada saat
orang tersebut mengalami masalah dan tetap menggunakan struktur
makna budayanya, tanpa memperhatikan struktur makna budaya
setempat, maka yang terjadi masalah itu semakin besar
(Noesjirwan (dalam Zainnu‟ddin, 1986) dalam Mulyana &
Rakhmat, 2009). Pada akhirnya, orang tersebut merasa tidak
mampu untuk mengatasi masalahnya sendiri. Meskipun masalah
yang dihadapi tersebut, baginya hanya masalah yang sederhana.
Culture shock merupakan suatu keadaan yang dihadapi oleh hampir
dalam Martin & Nakayama, 2004). Meskipun orang tersebut hanya tinggal
dalam kurun waktu yang singkat. Hal ini terjadi karena orang tersebut
merasa tidak nyaman dan mengalami disorientasi saat berada di
lingkungan yang baru, ditambah petunjuk-petunjuk yang ada di
lingkungan baru tersebut tidak dapat dikenali (Martin & Nakayama, 2004).
Petunjuk-petunjuk tersebut merupakan tanda-tanda yang berkaitan
dengan seribu satu cara yang dimiliki oleh seseorang, untuk
mengendalikan diri dalam hidup sehari-hari. Selain itu, tanda-tanda
tersebut juga digunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain (Oberg
(dalam Hooves) dalam Mulyana & Rakhmat, 2009). Seseorang yang
kehilangan petunjuk dalam hidup dan merasakan suatu ketidaknyamanan
saat berada di lingkungan yang baru, juga dapat menimbulkan perasaan
negatif dalam dirinya. Biasanya orang tersebut akan mengalami perasaan
cemas, tidak berdaya dan lekas marah. Orang tersebut juga merasakan
rindu pada lingkungannya yang lama (Church dalam Heine, 2008).
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
culture shock merupakan reaksi negatif yang dialami oleh seseorang, yang
muncul pada saat memasuki lingkungan yang baru dan asing.
2. Tahap Terjadinya Culture Shock
Terdapat menjelaskan empat tahap-tahap reaksi emosional yang
a. Tahap Honeymoon
Tahap ini lebih ditekankan pada reaksi-reaksi senang dan
bahagia pada awal kedatangan. Muncul juga perasaan terpesona,
daya tarik yang kuat dan memiliki semangat yang besar (Oberg
dalam Ward, Bochner & Furnham, 2001). Selain itu, muncul juga
perasaan yang positif karena memiliki pengalaman yang baru, bisa
bertemu dengan orang-orang baru dan dapat mencoba
makanan-makanan baru.
Pada tahap ini, individu menikmati kemampuannya dapat
berkomunikasi dengan bahasa setempat dan gembira dapat
berpartisipasi dengan lingkungannya yang baru dan asing
(Lysgaard dalam Heine, 2008). Tahap ini terjadi selama beberapa
hari atau minggu hingga enam bulan, bergantung pada kegiatan
yang akan dihabiskan oleh orang tersebut selama berada di
lingkungan yang baru (Oberg (dalam Hooves) dalam Mulyana &
Rakhmat, 2009). Ada pula individu yang menjalaninya selama satu
tahun. Selama bulan-bulan pertama ini, biasanya merupakan waktu
yang sangat baik. Sebab waktu tersebut merupakan proses pertama
mengenal hal-hal baru dapat dilakukan dengan baik (Pujiriyani &
Rianty, 2010).
Di tahap ini, individu sedang berusaha untuk bisa
sedang belajar untuk mengenali lingkungannya. Baginya seluruh
keadaan baru yang dialami merupakan suatu hal yang unik dan
masih menyenangkan. Dalam melewati tahap honeymoon ini, ada
individu yang kurang mampu untuk mengenali lingkungannya
dengan baik. Individu yang kurang mampu tersebut akan
memasuki tahap yang selanjutnya, yaitu crisis atau culture shock
(Pujiriyani & Rianty, 2010).
b. Tahap Crisis atau Culture Shock
Tahap ini dikarakteristikan dengan munculnya perasaan
ketidakcakapan, merasa kecewa, cemas dan marah (Oberg dalam
Ward, Bochner & Furnham, 2001). Muncul juga perasaan tidak
puas, tidak sabar, sedih, khawatir dan tidak mampu. Perasaan
tersebut muncul karena pengalaman-pengalaman negatif yang
dirasakan oleh individu dan keinginan untuk mencoba beradaptasi
dengan budaya yang baru. Pengalaman menggetarkan yang
individu rasakan di awal kedatangan karena memiliki pengalaman
yang baru dan asing hilang.
Pada tahap ini, individu seringkali menyadari bahwa
kemampuan berbahasa individu tidak cukup baik untuk
membantunya di lingkungan yang baru. Selain itu, individu mulai
jenis-jenis olahraga yang populer, atau makanan aneh yang mereka
makan pada waktu libur festival. Tahap ini berlangsung selama 6
sampai 18 bulan setelah melewati tahap honeymoon (Lysgaard
dalam Heine, 2008).
c. Tahap Recovery
Tahap ini meliputi kemampuan individu memecahkan krisis
yang dimiliki dan mempelajari budaya yang ada di lingkungan
barunya (Oberg dalam Ward, Bochner & Furnham, 2001).
d. Tahap Adjustment
Tahap ini menggambarkan perasaan senang dan telah
memiliki kemampuan fungsional yang baik dalam lingkungan
barunya (Oberg dalam Ward, Bochner & Furnham, 2001). Dimana,
individu mulai merasa terbiasa dan mulai menikmati pengalaman
yang dimiliki. Kemampuan berbahasa individu juga mulai
meningkat dan dapat mengikuti pola kehidupan sehari-hari.
Individu juga lebih mampu untuk bersahabat dengan orang-orang
lokal dan dapat beradaptasi dengan hal-hal di lingkungan yang
baru. Individu sudah tidak merasa aneh di lingkungan barunya.
Kemampuan individu dalam berpikir juga sudah bisa
Keadaan ini dapat bertahan selama beberapa tahun lamanya
(Lysgaard dalam Heine, 2008).
3. Gejala Culture Shock
Untuk bisa menghadapi culture shock yang dialami oleh seseorang,
maka perlu dikenali gejala-gejalanya. Gejala yang ditunjukkan antara lain
orang akan merasa memiliki masalah dalam berhubungan dengan
orang-orang di lingkungan budaya yang baru. Hal tersebut ditunjukkan dengan
menghindari kontak dengan orang-orang yang berasal dari lingkungannya
yang baru dan enggan berbicara dengan orang lain. Orang terlihat lebih
suka sendirian dan merasa takut untuk berinteraksi dengan berbagai alasan
(Pujiriyani & Rianty, 2010; Oberg (dalam Hooves) dalam Mulyana &
Rakhmat, 2009). Hal ini terjadi karena orang tersebut merasa tidak
nyaman untuk berinteraksi dengan orang lain. Orang tersebut merasa
kehilangan petunjuk untuk bisa digunakan dalam lingkungan pergaulannya
(Oberg (dalam Hooves) dalam Mulyana & Rakhmat, 2009).
Orang yang mengalami culture shock juga menunjukkan gejala
merasa tidak diperhatikan, diasingkan dan sendirian (Pujiriyani & Rianty,
2010). Keadaan ini muncul karena orang tersebut merasa hidup sendirian
di lingkungan barunya. Dirinya harus hidup terpisah dari orang-orang
terdekatnya dan mulai merasa kehilangan dukungan (Sandhu & Asrabadi
orang-orang dari budaya baru tidak sensitif (Gudykunst & Kim dalam
Samovar, Porter & McDaniel, 2010).
Gejala culture shock yang selanjutnya adalah mulai mengalami
gangguan makan, minum dan tidur yang berlebihan (Pujiriyani & Rianty,
2010; Oberg (dalam Hooves) dalam Mulyana & Rakhmat, 2009). Selain
itu, orang tersebut juga mengalami gangguan waktu tidur dan kebiasaan
buang air kecil yang berlebihan (Oberg (dalam Hooves) dalam Mulyana &
Rakhmat, 2009). Hal tersebut terjadi karena dalam budaya, kebiasaan
makan juga diatur (Porter & Samovar (dalam Porter & Samovar) dalam
Mulyana & Rakhmat, 2009).
Jadi, ketika seseorang memasuki budaya yang baru, orang tersebut
juga akan dihadapkan pada kebiasaan makan yang berbeda. Selain itu,
budaya juga berkaitan dengan perubahan gaya hidup. Hal ini berkaitan
dengan pekerjaan yang dimiliki, kondisi kehidupan, aktivitas sosial yang
diikuti dan perubahan tempat tinggal (Furnham & Bochner dalam Ward,
Bochner & Furnham, 2001). Perubahan yang dialami orang tersebut,
akhirnya mengganggu gaya hidup yang sudah dimiliki dalam budaya yang
sebelumnya.
Selanjutnya adalah mulai muncul perasaan tidak berdaya dalam
melakukan suatu hal, termasuk masalah yang sederhana (Pujiriyani &
Rianty, 2010; Oberg (dalam Hooves) dalam Mulyana & Rakhmat, 2009).
dari tempat yang sama (Oberg (dalam Hooves) dalam Mulyana &
Rakhmat, 2009).
Pertemuan antara budaya yang berbeda, dapat memunculkan suatu
persoalan. Dan terkadang persoalan tersebut belum pernah dialami
sebelumnya. Dalam penyelesaiannya, setiap orang akan bernegosiasi
dengan caranya masing-masing (Ward, Bochner & Furnham, 2001). Oleh
karena itu, saat seseorang menghadapi masalah di lingkungan budayanya
yang baru dan masih menggunakan model pemecahan masalah dari
budaya yang lama, maka masalah tersebut dirasa berat dan tidak dapat
diselesaikan.
Keadaan seperti ini pada akhirnya membuat orang tersebut ingin
tetap dekat dan bergantung pada orang dari budaya yang sama. Sebab
mereka saling memiliki pandangan yang sama dan dapat diajak
berkomunikasi dengan lebih dekat (Oberg (dalam Irwin); Guanipa dalam
Prasetya, 2008). Orang tersebut juga lebih suka bersahabat dengan orang
yang berasal dari budaya yang sama (Bochner et al. dalam Ward, Bochner
& Furnham, 2001).
Kesulitan untuk berkonsentrasi atau tidak bisa bekerja secara
efektif juga menjadi gejala culture shock (Pujiriyani & Rianty, 2010).
Seseorang yang mengalami gejala culture shock biasanya akan mengalami
gangguan pada kemampuannya dalam melakukan sesuatu hal. Dimana,
Keadaan tersebut muncul dikarenakan dalam diri orang tersebut sudah
muncul perasaan tidak berdaya atau tidak mampu melakukan sesuatu
(Pujiriyani & Rianty, 2010; Oberg (dalam Hooves) dalam Mulyana &
Rakhmat, 2009). Hal ini membuat pekerjaan yang sedang atau telah
dilakukan oleh orang tersebut kurang memuaskan.
Orang yang mengalami culture shock akan mengalami gejala
bermasalah dengan tempramen yang dimiliki. Ditunjukkan mudah marah,
tersinggung dan kesal. Selain itu, orang tersebut juga mudah merasa
lemah, depresi dan merasa menderita (Pujiriyani & Rianty, 2010; Oberg
(dalam Hooves) dalam Mulyana & Rakhmat, 2009). Tidak hanya itu,
orang juga mulai kehilangan selera humor yang dimiliki (Pujiriyani &
Rianty, 2010). Hal tersebut terjadi karena dalam diri orang tersebut diliputi
oleh respon-respon yang negatif akibat keberadaannya di lingkungan yang
baru (Oberg dalam Bochner, 1994; dalam Smith & Bond, 1993).
Keadaan ini membuat orang tersebut menjadi mudah marah untuk
menghadapi hal-hal yang dialaminya (Church dalam Heine, 2008).
Perasaan tersebut juga muncul karena seseorang mencoba untuk bisa
beradaptasi dengan budaya yang baru yang sangat berbeda. Padahal proses
transisi tersebut membutuhkan waktu dan tidak mudah untuk dilakukan
(Pujiriyani & Rianty, 2010). Didukung dengan penelitian bahwa orang
yang mengalami culture shock rentan mengalami kecemasan, depresi dan
mudahnya tempramen seseorang berubah-ubah pada saat mengalami suatu
hal.
Orang-orang yang mengalami culture shock juga akan mudah
bermasalah dengan kesehatan dan berlebihan dalam menghadapi
penyakit-penyakit yang dialami. Meskipun penyakit-penyakit yang dialami termasuk
penyakit yang sepele (Pujiriyani & Rianty, 2010; Oberg (dalam Hooves)
dalam Mulyana & Rakhmat, 2009). Orang tersebut juga mulai mengalami
sakit kepala dan sakit perut (Gudykunst & Kim dalam Samovar, Porter &
McDaniel, 2010).
Hal ini terjadi karena pada saat seseorang berada pada lingkungan
budaya yang berbeda, orang tersebut akan lebih banyak mengalami
distress dan membutuhkan konsultasi medis (Babiker, Cox & Miller dalam
Heine, 2008). Hal tersebut dilakukan karena orang tersebut merasa butuh
bantuan seseorang yang memahami tentang penyakit yang dialami. Oleh
karena itu, pada saat mengalami suatu penyakit yang ringan, orang
tersebut akan langsung melakukan pemeriksaan medis. Keadaan tersebut
juga mendukung munculnya gejala lain, yaitu obsesi terhadap kebersihan
diri dan lingkungannya yang menjadi berlebihan (Pujiriyani & Rianty,
2010).
Orang yang mengalami culture shock akan menunjukkan gejala
kehilangan identitas diri (Pujiriyani & Rianty, 2010). Hal tersebut terjadi
tersebut mampu mengubah identitas diri seseorang. Keadaan ini
disebabkan karena identitas dibentuk dan dipertahankan berdasarkan
konteks budaya, pengalaman dalam konteks budaya yang baru seringkali
memunculkan pertanyaan tentang identitas (Lysgaard dalam Martin &
Nakayama, 2004).
Perubahan identitas diri karena adanya perubahan pengalaman,
juga turut mempengaruhi rasa percaya diri seseorang (Pujiriyani & Rianty,
2010). Hal tersebut terjadi karena ketika seseorang masuk dalam
lingkungan budaya yang baru, orang tersebut akan berinteraksi dengan
keadaan yang ada di dalamnya. Pengalaman yang didapatkannya, mampu
membuat dirinya merasa identitas dirinya yang selama ini tidak sesuai
dengannya. Keadaan tersebut juga pada akhirnya mempengaruhi rasa
percaya diri orang tersebut. Dimana, orang tersebut mengalami
kekurangan rasa percaya diri (Pujiriyani & Rianty, 2010).
Gejala yang lain adalah perilaku seseorang yang
mengidentifikasikan budaya lama dan menganggapnya sebagai budaya
yang paling baik dan ideal (Pujiriyani & Rianty, 2010). Orang tersebut
seperti bermusuhan dengan lingkungan barunya (Gudykunst & Kim dalam
Samovar, Porter & McDaniel, 2010). Hal tersebut terjadi karena dalam
memberikan penilaian terhadap perilaku orang dengan budaya yang
ukurnya. Ini merupakan suatu kemestian yang harus diikuti (Mulyana
dalam Mulyana & Rakhmat, 2009).
Perilaku tersebut akhirnya berdampak pada penciptaan stereotype,
yaitu suatu generalisasi atau sekelompok orang, obyek atau peristiwa yang
secara luas dianut oleh suatu budaya terhadap budaya baru yang dimasuki
(Pujiriyani & Rianty, 2010; Mulyana dalam Mulyana & Rakhmat, 2009).
Hal ini terjadi karena orang yang ada di lingkungan budaya yang baru
melakukan sesuatu hal yang dirasa tidak sesuai dengan budaya yang orang
itu miliki. Oleh karena itu, orang itu memberikan gambaran yang negatif
terhadap orang di lingkungan yang baru tersebut.
Orang-orang yang mengalami culture shock juga akan merasakan
kerinduan yang sangat kuat terhadap orang-orang terdekat, seperti teman,
keluarga dan rumah (Pujiriyani & Rianty, 2010; Lysgaard dalam Heine,
2008). Hal ini terjadi karena orang tersebut merasa tidak nyaman dengan
lingkungan baru dan membuatnya merindukan lingkungan lamanya
(Church dalam Heine, 2008).
Orang yang mengalami culture shock menunjukkan juga gejala
terlalu berusaha untuk menyerap dan memahami segala hal yang ada di
budaya barunya (Pujiriyani & Rianty, 2010). Hal ini disebabkan individu
berada di tempat yang baru dan tidak dikenalnya (Oberg dalam Bochner,
1994). Keadaan ini membuat orang tersebut berusaha keras untuk bisa
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
gejala-gejala yang dialami oleh seseorang yang mengalami culture shock
adalah memiliki masalah dalam berhubungan dengan orang-orang di
lingkungan yang baru, antara lain menghindar dan suka sendirian. Muncul
juga perasaan tidak mendapat perhatian dan orang di lingkungan yang baru
tidak sensitif dan mengalami gangguan gaya hidup, seperti makan, minum
dan tidur. Selain itu, muncul perasaan tidak berdaya dalam melakukan
sesuatu dan sulit untuk berkonsentrasi dalam melakukan sesuatu.
Seseorang juga bermasalah dengan tempramen dan kesehatan yang
dimiliki, serta berlebihan dalam menghadapi penyakit-penyakit yang
dialami. Mulai merasa kehilangan identitas diri dan berkurangnya rasa
percaya diri. Lebih suka mengidentifikasikan budaya yang dimiliki
sebagai budaya yang paling baik dan ideal. Seseorang yang mengalami
culture shock juga merasakan kerinduan yang sangat kuat terhadap
orang-orang terdekatnya dan berusaha terlalu keras untuk mnyerap serta
memahami segala hal yang ada di budaya yang baru.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Culture Shock
Culture shock (gegar budaya) disebabkan adanya kecemasan akibat
kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang yang dimiliki dalam
pergaulan di dunia sosial, meliputi seribu satu cara yang digunakan untuk
mengenai kapan harus berjabat tangan dan kalimat apa yang harus
dikatakan, serta kapan harus menerima atau menolak undangan seseorang.
Selain itu, kapan seseorang harus bisa berbicara dengan serius dan
bercanda (Oberg (dalam Hooves) dalam Mulyana & Rakhmat, 2009).
Menurut Bochner (dalam Lonner & Malpass, 1994) ada beberapa
faktor yang mendorong terjadinya culture shock pada individu, antara lain:
a. Berpindah dari hal yang umum ke hal yang spesifik, yang
berhubungan dengan fisik dan lingkungan baru yang tidak dikenal.
Seseorang harus berusaha keras untuk memahami semua arti dan
memikirkan tentang serangan yang mungkin datang. Harus
berusaha memberikan umpan balik kepada orang lain, serta
ketidapahaman mengenai apakah hal yang dikerjakan sudah benar
atau belum.
b. Merasa butuh pertolongan dan keraguan terhadap diri mengenai
apakah mereka mampu menguasai sesuatu hal dengan baik atau
tidak.
c. Lebih khusus, kebingungan terhadap peran, mengenai apa yang
dapat orang lain lakukan untukmu dan dirimu untuk mereka,
profesionalisme dan kehidupan sosial dalam hidup individu.
d. Mempelajari lebih banyak tentang budaya, perbedaan antara
Selain itu, Sandhu dan Asrabadi (dalam Furnham, 2004) juga
menjelaskan bahwa munculnya culture shock dipengaruhi oleh dua faktor,
yaitu faktor interpersonal dan intrapersonal. Yang pertama adalah faktor
interpersonal, meliputi kemampuan seseorang dalam berkomunikasi,
seperti kecakapan bahasa dan kemampuan sosial. Ada pula kesulitan
seseorang untuk membentuk pertemanan dan membangun dukungan sosial
dengan orang-orang di lingkungan pergaulan yang baru. Perasaan
seseorang yang kehilangan dukungan sosial dari orang-orang terdekat,
terutama keluarga. Selain itu, adanya perbedaan harapan dan norma-norma
sosial antara lingkungan lama dan baru. Lalu muncul pula masalah dalam
pendidikan yang sedang dijalani dan kesulitan imigrasi.
Yang kedua adalah faktor intrapersonal, meliputi munculnya
perasaan kehilangan yang mendalam terhadap keluarga dan teman. Selain
itu, muncul pula perasaan inferioritas dan ketidaktentuan karena seseorang
berada dalam lingkungan pergaulan yang baru.
Berdasarkan penjelasan mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi culture shock yang dialami oleh seseorang yang berada
dalam lingkungan yang baru, maka dapat disimpulkan bahwa faktor yang
paling mempengaruhi culture shock adalah kemampuan seseorang untuk
bisa memahami dan menyesuaikan diri dengan lingkungan budaya yang
B. Prestasi Akademik
1. Pengertian Prestasi Akademik
Prestasi akademik merupakan hasil yang dicapai oleh mahasiswa
selama mereka belajar di perguruan tinggi atau universitas. Di perguruan
tinggi, prestasi akademik mahasiswa dilihat dari IP (Indeks Prestasi), yaitu
tingkat keberhasilan belajar mahasiswa dinyatakan dengan bilangan dan
ditulis sampai dengan dua angka di belakang koma (Buku Peraturan
Akademik Universitas Sanata Dharma (Pasal 27), 2010). Prestasi yang
didapatkan oleh mahasiswa tersebut, merupakan cerminan dari
pengetahuan yang didapatkan setelah melalui proses belajar (Kauseri &
Suprananta, 2012).
Tingkat keberhasilan belajar mahasiswa dalam suatu semester
dinyatakan dengan menggunakan bilangan yang disebut Indeks Prestasi
Semester (IPS), yang ditulis sampai dengan dua angka di belakang koma.
Nilai-nilai keberhasilan mahasiswa dinyatakan dengan huruf (disebut
Huruf Mutu): A, B, C, D atau E, yang bobotnya dikuantitatifkannya
(disebut Angka Mutu) berturut-turut adalah: 4, 3, 2, 1 atau 0. Arti huruf
mutu tersebut (Buku Pedoman Program Studi Psikologi: Fakultas
Tabel 1. Penilaian hasil belajar mahasiswa per semester
IPS Huruf Arti
3,00 – 4,00 A Amat baik 2,50 – 2,99 B Baik 2,00 – 2,49 C Cukup 1,50 – 1,99 D Kurang 1,00 – 1,49 E Jelek Kurang dari 1,00 F Kosong
Keterangan: Diadaptasi dari Buku Pedoman Program Studi Psikologi: Fakultas
Psikologi, 2008.
Simbol-simbol angka tersebut digunakan untuk menunjukkan
perolehan nilai yang didapat oleh mahasiswa selama belajar. Dengan skala
interval yang lebih pendek untuk menetapkan indeks prestasi (IP)
mahasiswa, baik untuk setiap semester maupun akhir menyelesaikan studi
(Syah, 2002).
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Akademik
Prestasi akademik akan menunjukkan hasil yang baik, apabila
proses belajar yang dilakukan juga baik. Syah (2002) membedakan
faktor-faktor tersebut dalam tiga macam, yaitu:
a. Faktor Internal
1) Aspek fisiologis, meliputi kondisi jasmaniah orang tersebut.
tegangan otot yang menandai kebugaran organ-organ dan
sendi-sendi tubuh. Hal ini dapat mempengaruhi semangat
dan intensitas seseorang dalam mengikuti proses belajar.
Selain itu, berkaitan juga dengan kondisi khusus orang
tersebut. Meliputi tingkat kesehatan panca indera, terutama
indera pendengar dan penglihat yang mempengaruhi
kemampuan seseorang dalam menyerap informasi dan
pengetahuan, khususnya saat belajar di kelas.
2) Aspek psikologis, dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor
intelektif dan non intelektif (Ahmadi & Supriyono, 1991).
Faktor intelektif berkaitan dengan kemampuan intelektual,
meliputi potensi dan kecakapan nyata. Potensi berkaitan
dengan kecerdasan/ intelegensi dan bakat yang dimiliki.
Kecerdasan/ intelegensi meliputi kemampuan psiko-fisik
untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara
yang tepat (Reber dalam Syah, 2002). Bakat meliputi
kemampuan potensial yang dimiliki oleh seseorang yang
dalam mengerjakan sesuatu tidak terlalu banyak bergantung
pada belajar. Bakat berpengaruh pada tinggi-rendahnya
prestasi seseorang untuk bidang tertentu. Lalu, kecakapan
nyata berkaitan dengan prestasi yang telah dimiliki oleh
Sedangkan faktor non intelektif berkaitan dengan
unsur-unsur kepribadian seseorang. Unsur-unsur tersebut
meliputi sikap, minat dan motivasi seseorang dalam belajar.
Tidak hanya itu, kebiasaan dan kebutuhan juga termasuk di
dalamnya (Ahmadi & Supriyono, 1991). Sikap berkaitan
dengan kecenderungan seseorang untuk merespon sesuatu
hal dengan cara yang relatif tetap. Lalu, minat berkaitan
dengan keinginan seseorang yang relatif besar akan sesuatu
hal. Motivasi berkaitan dengan keadaan dari dalam diri
seseorang untuk melakukan sesuatu hal. Motivasi dibagi
menjadi dua macam, yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Intrinsik
adalah motivasi yang berasal dari dalam diri orang tersebut
yang dapat mendorongnya untuk belajar. Ekstrinsik adalah
motivasi yang datang dari luar orang tersebut.
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal terbagi atas dua macam, yaitu
lingkungan sosial dan lingkungan non sosial.
1) Lingkungan sosial, terbagi atas lingkungan sosial sekolah,
sosial pelajar/ mahasiswa serta orang tua dan keluarga.
Lingkungan sosial sekolah berkaitan dengan guru, teman
menunjukkan sikap yang baik dan rajin, dapat mendorong
seseorang untuk belajar. Lingkungan sosial pelajar/
mahasiswa berkaitan dengan masyarakat dan tetangga serta
teman sepermainan. Kondisi lingkungan sosial yang baik,
akan memberikan dampak yang baik pula bagi seseorang
untuk bisa belajar dengan baik. Sedangkan lingkungan
orang tua dan keluarga yang berkaitan dengan keadaan
keluarga, sifat orang tua dan kondisi tempat tinggal.
2) Lingkungan nonsosial, berkaitan dengan kondisi fisik,
seperti gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinggal
pelajar/ mahasiswa dan letaknya, dan alat pendukung
belajar. Selain itu, ada pula cuaca dan waktu belajar yang
digunakan. Semakin baik fasilitas dan waktu yang
digunakan, akan membantu seseorang untuk bisa belajar
dengan baik dan mendapatkan prestasi yang baik.
c. Faktor Pendekatan Belajar
Pendekatan belajar dipahami sebagai cara atau strategi
yang digunakan seseorang untuk menunjang efektivitas dan
efisiensi proses belajar untuk hal tertentu. Strategi dipahami
memecahkan masalah atau mencapai tujuan belajar tertentu
(Lawson dalam Syah, 2002).
Berdasarkan penjelasan yang dijabarkan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat 3 faktor yang mempengaruhi prestasi
akademik mahasiswa, yaitu faktor internal (kondisi fisik dan psikologis
mahasiswa), faktor eksternal (lingkungan sosial dan lingkungan non sosial
mahasiswa) dan faktor pendekatan belajar (strategi dalam belajar).
C. Mahasiswa
1. Pengertian Mahasiswa
Mahasiswa merupakan sebuah status yang diberikan kepada
seseorang yang belajar di perguruan tinggi. Dalam bahasa Inggris, orang
yang belajar di perguruan tinggi juga disebut sebagai student, yang artinya
“seseorang yang berusaha keras”. Julukan tersebut memang sangat cocok
diberikan kepada mahasiswa. Hal tersebut dikarenakan mahasiswa bukan
hanya merupakan status, melainkan orang yang memiliki tugas untuk
bekerja keras dalam studinya (Bertens, 2005).
Mahasiswa digambarkan sebagai orang muda, berpendidikan,
memiliki motivasi yang tinggi, memiliki kemampuan beradaptasi dan
Mahasiswa termasuk dalam kalangan orang yang berada pada masa
transisi dari masa remaja menuju masa dewasa. Dimana, pada masa
tersebut kehidupan ekonomi dan pribadinya masih bersifat sementara.
Biasanya digunakan istilah youthuntuk menjelaskannya (Kenniston dalam
Santrock, 2007). Untuk memasuki masa dewasanya, yaitu untuk
memasuki dunia kerja, mahasiswa memilih untuk belajar terlebih dahulu
di institut atau pendidikan sarjana/ professional. Sebab dunia kerja yang
kompleks menuntut persiapan karir yang spesifik (Santrock, 2007).
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
mahasiswa adalah orang muda yang memilih untuk belajar di institut atau
pendidikan sarjana dan memiliki motivasi yang tinggi, sehingga orang
tersebut akan berusaha dengan keras untuk studinya. Selain itu, orang
tersebut juga memiliki kemampuan beradaptasi yang baik.
2. Pengertian Mahasiswa Asal Papua
Orang Papua adalah mereka yang berasal dari suku asli Papua,
yaitu mereka yang berasal dari salah satu kelompok Suku Melanesia,
seperti suku Aitinyono, Aefak, Asmat, Agast, Dani, Ayamatu, Mandaca,
Biak dan Serui (Albarra dalam Kompasiana, 2011). Orang-orang muda
tersebut memiliki ciri-ciri fisik, seperti berambut keriting, berkulit hitam
Berdasarkan penjelasan mahasiswa di atas, diketahui mahasiswa
asal Papua merupakan status yang dimiliki oleh orang muda yang berasal
dari suku asli Papua. Dimana orang muda tersebut memilih untuk belajar
terlebih dahulu di sebuah institut atau pendidikan sarjana/ professional,
sebelum memasuki dunia kerja yang kompleks yang menuntut persiapan
karir yang spesifik.
3. Kebiasaan Mahasiswa Papua
Setiap daerah di wilayah Indonesia memiliki kebudayaannya
masing-masing dan terdiri dari suku bangsa serta ras yang berbeda-beda
pula (Mulyana dalam Mulyana & Rakhmat, 2009). Budaya yang
berbeda-beda tersebut menyebabkan munculnya perberbeda-bedaan cara hidup yang
berkaitan dengan kebiasaan yang dimiliki setiap anggotanya (Porter &
Samovar (dalam Porter & Samovar) dalam Mulyana & Rakhmat, 2009).
Mahasiswa asal Papua memiliki kebiasaan yang berbeda dengan
mahasiswa dari budaya lain di Indonesia, yaitu kebiasaan untuk memakan
pinang dan sirih. Selain itu, ada juga perilaku mahasiswa asal Papua yang
suka minum minuman keras lalu membuat keributan dan melakukan seks
bebas (Albarra dalam Kompasiana, 2011).
Seorang pelajar asal Papua membenarkan keadaan tersebut. Dia
mengatakan bahwa kebiasaan mahasiswa asal Papua yang suka minum
orang Papua itu kasar dan keras kepala. Hal ini pada akhirnya membuat
mahasiswa Papua kurang dapat diterima dengan baik dan membuat
mereka merasa tidak nyaman berada di wilayah orang lain.
Kebiasaan lain yang dimiliki oleh beberapa mahasiswa asal Papua
yang dapat menyebabkan mereka mengalami culture shock adalah sikap
individualitas yang tinggi, khusunya mereka yang berasal dari daerah
Pantai Utara, Papua. Hal ini menyebabkan mereka tidak mampu untuk bisa
bekerja sama dan menerima kehadiran orang lain (Koentjaraningrat,
2002). Sedangkan pada saat memasuki bangku kuliah, mahasiswa juga
diharapkan mampu untuk bekerja sama dengan mahasiswa yang lainnya
(Chen, Irvine & York, Shade & New, Thomas dalam Ward, Bochner &
Furnham, 2001).
D. Dinamika Hubungan Antara Culture Shock dan Prestasi Akademik Pada Mahasiswa Asal Papua
Pada saat seseorang berada dalam suatu lingkungan budaya yang baru,
orang tersebut akan mengalami culture shock karena merasa tidak nyaman dan
mengalami perasaan disorientasi. Hal tersebut didukung karena seseorang
tidak dapat mengenali petunjuk-petunjuk yang ada (Martin & Nakayama,
2004). Dimana, petunjuk-petunjuk tersebut berkaitan dengan seribu satu cara
yang dimiliki oleh seseorang untuk mengendalikan dirinya dalam hidup