• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata Kunci: adaptasi, mahasiswa Pattani, culture shock.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kata Kunci: adaptasi, mahasiswa Pattani, culture shock."

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Adaptasi Mahasiswa Pattani di Banda Aceh dalam Upaya Menghadapi Culture Shock (Studi pada Komunikasi Antar Budaya)

Arief Fadhillah1), Taqwaddin2), Nur Anisah3)

1)Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Syiah Kuala

Abstrak. Mahasiswa Pattani yang menempuh pendidikan di Kota Banda Aceh mengalami culture shock akibat adanya perbedaan budaya. Untuk mengatasi culture shock, mereka melakukan adaptasi dengan budaya yang berlaku di Kota Banda Aceh. Strategi adaptasi yang dilakukan oleh mahasiswa Pattani ini merupakan obyek yang menarik untuk diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor apa saja yang membuat mereka tertarik untuk melanjutkan pendidikan di Kota Banda Aceh, untuk mengetahui gejala dan bentuk culture shock yang dialami oleh mahasiswa Pattani serta untuk mengetahui upaya yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jumlah subjek sebanyak sepuluh orang mahasiswa asal Pattani yang tinggal dan kuliah di Kota Banda Aceh serta tergabung dalam Persatuan Mahasiswa Islam Pattani Indonesia (PMIPI) Banda Aceh. Proses pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keseluruhan subjek mengalami gejala culture shock yang ditandai dengan adanya perasaan cemas, khawatir, merasa terisolasi, adanya penurunan kinerja, ketidakberdayaan, adanya permasalahan dalam berkomunikasi dan berinteraksi, serta timbulnya rasa rindu kepada kampung halaman. Strategi adaptasi yang dilakukan oleh para mahasiswa asal Pattani tersebut ialah dengan cara bergaul dengan sesama mahasiswa Pattani untuk mengurangi ketidaknyamanan terhadap budaya baru serta untuk mempermudah koordinasi dan komunikasi. Selain itu cara adaptasi yang dilakukan adalah dengan cara berinteraksi dan mengikuti kebiasaan masyarakat setempat.

Kata Kunci: adaptasi, mahasiswa Pattani, culture shock.

Abstract. Culture shock is one of the common issues that Pattani students encounter during their study in Banda Aceh. This research investigates Pattani students’ motivation to pursue their higher education in the city, symptoms and types of culture shock, and the ways they deal with them. The study applies qualitative methodology which involve ten Pattani scholars who are associated in Islamic Pattani students in Indonesia (PMIPI), Banda Aceh branch. Data were collected trough observations and interviews, and the result shows that the interviewees experience culture shock indications such as anxieties, isolated feelings, decreases in performance, helplessnesses, communication problems and home sicknesses. To overcome those challenges and ease their adjustment, they try to build better communication among themselves, interact with local people and adapt to local wisdom.

(2)

Key words: adaptation, Pattani students, culture shock PENDAHULUAN

Rich dan Dennis dalam buku Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya (Alo Liliweri, 2003:12) menyatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antar orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antara suku bangsa, etnik, ras, dan kelas sosial. Dalam menjalani proses komunikasi antarbudaya individu pasti akan mengalami suatu keterkejutan terhadap budaya yang berbeda dengan budaya asalnya, misalnya ketika seorang individu memasuki sebuah tempat baru yang memiliki bahasa yang berbeda dengan bahasa tempat asalnya maka individu tersebut akan merasa berbeda dengan individu lain yang berasal dari tempat yang yang dia masuki itu. Perasaan berbeda inilah yang dimaksud dengan keterkejutan seperti yang disebutkan sebelumnya.

Perasaan keterkejutan ini sering dirasakan oleh individu saat memasuki sebuah kehidupan baru dengan suasana, tempat, serta kebiasaan yang berbeda dari kehidupan sebelumnya. Hal ini merupakan hal yang lazim dialami oleh individu yang telah hidup lama disuatu tempat kemudian pindah ke tempat yang baru dengan budaya yang berbeda. Keterkejutan yang dialami individu inilah yang disebut dengan Culture Shock.

Culture shock paling sederhana yang dapat kita gunakan sebagai contoh

adalah multikulturalnya mahasiswa pada suatu universitas. Suatu universitas tentu memiliki jumlah mahasiswa yang banyak dan berasal dari latar belakang budaya yang beragam yang sesuai dengan daerah asal si mahasiswa tersebut. Terbukanya akses dan globalisasi juga menyebabkan mahasiswa yang kuliah di suatu universitas tidak hanya berasal dari dalam negeri, melainkan ada pula mahasiswa yang berasal dari negara luar.

Seperti yang terjadi di kota Banda Aceh, saat ini ada banyak mahasiswa yang berasal dari luar Indonesia seperti Malaysia, Turki, Turkmenistan, Kirgistan, Uzbekiztan, Sudan dan Thailand Selatan. Mereka yang berasal dari luar Indonesia tentu memiliki latar belakang budaya yang berbeda dengan kebudayaan di Aceh.

Perbedaan kebudayaan yang mereka rasakan akan menyebabkan mereka

mengalami Culture Shock, yang dimulai dari perbedaan bahasa dalam

berkomunikasi, norma sosial, dan jenis makanan. Semua itu tentu akan mereka rasakan dan mereka harus mampu beradaptasi agar dapat melanjutkan pendidikannya hingga selesai.

Dari sekian banyak mahasiswa asing yang ada di Banda Aceh, mahasiswa asal Pattani adalah kelompok mahasiswa asing yang menarik untuk diteliti mengenai Culture Shock. Mahasiswa asal Pattani adalah kelompok muslim yang menjadi minoritas di Thailand dan mengalami konflik, selain itu mereka juga harus bekerja terlebih dulu setelah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA) selama 3 hingga 4 tahun, kemudian barulah mereka dapat melanjutkan pendidikan di bangku kuliah. Selain itu mahasiswa asal Pattani memiliki keterbukaan yang lebih besar dibandingkan mahasiswa asing yang ada.

(3)

Keterbukaan yang dimiliki oleh mahasiswa asal Pattani diantaranya adalah tempat tinggal mereka yang mudah dijangkau, interaksi sosial mereka dengan warga sekitar yang cenderung lebih mampu berbaur dengan masyarakat sekitar, kegiatan rutin yang mereka laksanakan seperti pengajian dan diskusi juga mengajak warga sekitar untuk ikut serta, serta persebaran mahasiswanya yang terdapat di beberapa universitas di kota Banda Aceh, sehingga tidak terpusat pada satu universitas saja.

Tidak hanya berdasarkan aktivitas yang selama ini mereka kerjakan, mahasiswa asal Pattani juga memiliki kesamaan historis dengan Aceh, yaitu degan penggunaan nama Darussalam seperti yang pernah digunakan sebagai nama resmi provinsi Aceh yaitu Nanggroe Aceh Darusslam dan nama Kesultanan Aceh Darussalam pada masa lampau. Thailand Selatan juga pernah memiliki Kerajaan Pattani Darussalam yang hingga kini status peninggalan kerajaan Pattani Darussalam tersebut mendapatkan tekanan politik dari pemerintah Shiam yang berkuasa di Thailand sekarang.

Kegiatan dan unsur historis yang dimiliki oleh mahasiswa asal Pattani ini berbeda dengan kegiatan mahasiswa asing lainnya, seperti mahasiswa dari negara-negara Asia Barat dan Asia Tengah yang berasal dari Uzbezkiztan, Turkmenistan, Turki, dan Kirghistan. Mereka yang berasal dari negara-negara Asia Barat dan Asia Tengah ini terlihat lebih eksklusif. Pasalnya mereka datang ke Banda Aceh tidak hanya untuk kuliah saja, namun mereka juga bekerja di beberapa sektor pendidikan yang dikelola oleh sekolah Fatih di Aceh yang memiliki jaringan kerja sampai ke Jakarta. Sehingga banyak diantara mereka yang tidak lama menetap di Aceh, bahkan ada yang tidak sampai selesai kuliahnya. Mereka pun kurang mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia, sehingga jarang terlihat interaksi sosial mereka denga masyarakat Aceh.

Seperti yang telah tersebutkan sebelumnya, Pattani merupakan wilayah konflik, sebab muslim di sana merasa didiskriminasi oleh pemerintah pusat Thailand. Sebagian besar dari pemerintah di Thailand menganut agama Budha, dan sering disebut sebagai “penjajah shiam” oleh penduduk muslim Pattani. Jika ditarik sebuah garis linear, keadaan konflik yang sedang berlanjut di Pattani memiliki kesamaan dengan awal mula sejarah konflik Aceh pada masa Gubernur Jenderal Militer Aceh – Langkat dan Tanah Karo Tgk. Daud Beur’euh. Dengan kata lain, konflik yang terjadi di Pattani hampir sama dengan konflik di Aceh yaitu persamaan atas penuntutan hak terhadap pemerintah pusat yang berakhir dengan konflik.

Dari hal-hal itulah penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap mahasiswa dan mahasiswi Pattani di kota Banda Aceh mengenai adaptasi yang mereka lakukan untuk menghadapi culture shock yang mereka alami.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut; apa penyebab kedatangan mahasiswa Pattani ke Banda Aceh dan apa saja gejala dan bentuk culture shock yang mereka alami serta bagaimana proses adaptasi yang mereka lakukan untuk menghadapi

(4)

TINJAUAN PUSTAKA

Asumsi dasar adaptasi berkembang dari pemahaman yang bersifat

evolusionari yang senantiasa melihat manusia berusaha meneyesuaikan diri dengan

alam dan lingkungan disekitarnya, baik secara biologis/genetik maupun secara budaya. Proses adaptasi dalam evolusi melibatkan seleksi genetik dan varian budaya yang dianggap sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan. Adaptasi juga merupakan suatu proses yang dinamis karena baik organisme atau lingkungan itu sendiri tidak ada yang bersifat konstan/tetap.

Adaptasi juga akan menjadi akhir dari pembahasan penelitian ini. Adaptasi dalam penelitian ini adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh mahasiswa Asal Pattani yang kuliah di Banda Aceh untuk mengatasi culture shock yang telah mereka alami. Upaya-upaya yang mereka lakukan tentu akan menjadi kajian yang menarik untuk diteliti lebih lanjut mengingat perbedaan budaya antara negara asal mereka dengan budaya aceh. Jika mereka mampu beradaptasi dengan budaya di Aceh, tentu mereka akan telah melakukan suatu akulturasi yang mengarah ke asimilasi. Namun bisa saja para mahasiswa asal Pattani ini tidak mampu beradaptasi sehingga masih bertahan dengan budayanya sendiri.

Definisi komunikasi antarbudaya sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa ahli merujuk pada suatu komunikasi dengan latar belakang budaya yang berbeda. Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam Alo Liliweri (2003: 10) menyebutkan bahwa komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaa, misalnya antar suku bangsa, antar etnik dan ras, antar kelas sosial. Selain itu Charley H. Dood dalam buku yang sama juga mengungkapkan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta.

Alo Liliweri (2003: 35) menyatakan secara umum ada empat kategori fungsi utama komunikasi antarbudaya yaitu fungsi informasi, fungsi instruksi, persuasif dan fungsi menghibur. Apabila fungsi itu diperluas maka akan ditemukan dua fungsi lain, yaitu fungsi pribadi dan fungsi sosial. Fungsi pribadi komunikasi dirinci kedalam fungsi identitas sosial, interaksi sosial, kognitif dan fungsi melepaskan diri/jalan keluar. Sedangkan fungsi sosial terinci atas fungsi pengawasan, menghubungkan atau menjembatani, sosialisasi dan menghibur.

Culture Shock secara semantik berasal dari bahasa Inggris yaitu Culture

yang berarti budaya dan shock yang berarti guncangan atau kejutan. Culture Shock sering diartikan sebagai kejutan budaya atau guncangan budaya. Istilah Culture

Shock pertama kali diperkenalkan oleh antropolog bernama Kalvero Oberg pada

tahun 1960. Oberg (dalam Samovar, Porter, dan McDaniel, 2010:476) menjelaskan bahwa :

(5)

Kejutan budaya ditimbulkan oleh rasa gelisah sebagai akibat dari hilangnya semua tanda dan simbol yang biasa kita hadapi dalam hubungan sosial. Tanda dan penunjuk ini terdiri dari atas ribuan cara dimana kita mengorientasikanb diri kita sendiri dalam kehidupan sehari-hari: bagaimana membeli sesuatu, kapan dan dimana untuk tidak berespons. Petunjuk ini, dapat berupa kata-kata, gerakan, ekspresi wajah, kebiasaan atau norma, diperlakukan oleh kita semua dalam proses pertumbuhan dan menjadi bagian dari budaya kita sama halnya dengan bahasa yang kita ucapkan atau kepercayaan yang kita terima. Kita semua menginginkan ketenangan pikiran dan efisiensi ribuan petunjuk tersebut yang kebanyakan tidak kita sadari.

Dari pernyataan-pernyataan yang telah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa culture shock adalah kondisi keterkejutan yang menimbulkan stress atau frustasi bahkan sampai menimbulkan depresi yang dialami oleh seseorang dalam rangka penyesuaiannya di lingkungan baru yang memiliki kultural yang berbeda, dimana kebiasaan lama seolah tidak memiliki arti di lingkukang barunya sehingga dapat menurunkan kualitas hidup individu yang bersangkutan. Hal ini tentu juga disebabkan oleh perbandingan jumlah etnik yang lebih besar dari pada jumlah etnik di lingkungan barunya tersebut.

Penelitian ini akan membahas mengenai gejala culture shock yang dialami oleh mahasiswa asal Pattani yang tinggal dan kuliah di Banda Aceh serta upaya yang mereka lakukan untuk mengatasi culture shock tersebut. Gejala culture shock yang dialami biasanya muncul pada saat awal kedatangannya ke Banda Aceh. Selain itu gejala lain juga muncul saat aktivitas-aktivitas yang dilakukan ternyata memiliki prosedur atau model yang berbeda seperti makanan, bahasa dan norma sosial. Namun culture shock bisa saja muncul pada saat mahasiswa asal Pattani yang menjadi subjek penelitian ini telah tinggal lama di Banda Aceh dan telah melakukan proses adaptasi untuk mengatasi culture shock tersebut. Oleh karena itu penelitian ini akan membahas culture shock apa saja yang mereka alami.

Culture shock ini biasanya dialami oleh mahasiswa asal Pattani yang masih

berkategori mahasiswa baru, dimana mereka bereda dalam transisi budaya yang berbeda dan dituntut untuk harus benar-benar bisa beradaptasi dengan lingkungan dalam kondisi yang benar-benar baru, hanya saja tingkat culture shock ini berbeda-beda tergantung seberapa berbeda-bedanya sistem nilai yang dimiliki terhadap kebiasaan yang berlaku di lingkungan yang dia datangi. Bagi sebagian mahasiswa rantauan, masalah transisi ini dapat diatasi dengan baik setelah beberapa waktu. Mereka mampu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan kebudayaan yang baru ditemuinya, sehingga mereka dapat hidup normal. Ada juga sebagian lainnya tidak mampu menyesuaikan diri dengan baik, sehingga mempengaruhi kondisi mentalnya.

Mahasiswa asal Pattani ini pada dasarnya sama seperti mahasiswa perantauan. Rantauan secara harfiah berasal dari kata perantau yang dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan orang yang mencari penghidupan, ilmu dan lain sebagainya dinegara lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, 2008).

(6)

Menurut Peraturan Menteri nomor 25 Tahun 2005 mahasiswa didefinisikan sebagai individu yang telah menyelesaikan Sekolah Menengah Atas dan memasuki perguruan tinggi. Sedangkan mahasiswa asing didefinisikan warga negara asing yang mengikuti pendidikan pada perguruan tinggi di Indonesia. Mahasiswa Pattani termasuk dalam kategori mahasiswa asing karena merupakan warga negara Thailand yang menempuh pendidikan di Indonesia.

Mahasiswa Pattani adalah mahasiswa yang berasal dari daerah Thailand Selatan. Nama Pattani itu sendiri berasal dari nama Kerajaan Pattani Raya Darussalam yang pernah berdiri di daerah Thailand Selatan.

Pattani merupakan sebagian kawasan di Thailand yang berbatasan dengan Semenanjung Malaysia, dan terdiri dari 14 wilayah, diantaranya Wilayah Narathiwat, Wilayah Pattani, Wilayah Yala, Wilayah Songkhla dan Wilayah Satun. Mayoritas penduduk Pattani adalah orang Melayu dan beragama Islam tetapi Thailand diperintah oleh kerajaan Buddha. Mahasiswa Pattani yang kuliah di Banda Aceh terhimpun dalam suatu wadah resmi yang disebut Persatuan Mahasiswa Islam Pattani Indonesia (PMIPI).

Teori interaksionisme simbolik (symbolic interactinism) adalah pendekatan teoritis dalam memahami hubungan antar manusia dan masyarakat. Ide dasar teori interaksionisme simbolik adalah tindakan dan interaksi manusia hanya dapat dipahami melalui pertukaran simbolik atau komunikasi yang sarat makna.

Menurut Mufid (2009: 149-150) interaksionisme simbolik dapat di defenisikan sebagai cara individu menginterpretasikan dan memberi makna pada lingkungan disekitarnya melalui cara berintekrasi dengan orang lain. Teori ini memiliki fokus pada cara orang beriteraksi melalui simbol yang berupa kata, gerak tubuh, peraturan, norma dan peran.

Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan bagian sosial dinamis manusia. Menurut perspektif ini, individu itu bukanlah seseorang yang bersifat pasif, yang keseluruhan perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur-struktur lain yang ada diluar dirinya. Akan tetapi individu itu bersifat aktif, reflaktif dan kreatif, menampilkan prilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Oleh karena individu terus berubah, maka masyarakatpun akan berubah melalui interaksi itu. Struktur itu tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama (Mulyana, 2001: 59)

Esensi dari interaksi simbolik ini adalah bagaimana proses interaksi dalam suatu kelompok sosial memegang peran penting dalam mengubah situasi sosial. Teori ini mengganggap manusia sebagai suatu produk sosial. Dimana manusia dibentuk oleh situasi sosial dan interaksi mengubah perilaku mereka sesuai dengan tuntutan sosialnya.

METODELOGI PENELITIAN

Metode yang digunakan peneliti dalam melakukan penelitian ini dalah dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, dimana masalah yang diselidiki

(7)

akan dipecahkan dengan mengambarkan, menuliskan, memaparkan subjek penelitian seseorang atau lembaga masyarakat berdasarkan fakta-fakta yang tampak tanda mengarungi sebagaimana adanya (Arikunto,1998: 63).

Penelitian kualitatif tidak bertujuan untuk membuat generalisasi hasil penelitian. Hasil penelitian lebih bersifat kontekstual dan kasuistik, yang berlaku pada waktu dan tempat tertentu sewaktu penelitian dilakukan. Oleh karena itu, pada penelitian kualitatif tidak dikenal istilah sampel. Sampel pada penelitian kualitatif disebut informan atau subjek penelitian. Informan atau subjek yang dipilih untuk diwawancarai sesuai dengan tujuan penelitian (Kriyantono, 2007: 161).

Adapun kriteria yang dipakai untuk membentuk informan atau subjek dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mahasiswa aktif asal Pattani yang tinggal dan kuliah di Banda Aceh serta tergabung dalam Persatuan Mahasiswa Islam Pattani Indonesia (PMIPI) Banda Aceh.

2. Telah tinggal di Banda Aceh dalam kurun waktu 1-3 tahun (minimal 1 tahun

dan maksimal 3 tahun).

3. Belum pernah tinggal di Banda Aceh sebelumnya.

4. Mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia.

Berdasarkan kriteria-kriteria yang sudah ditetapkan, maka peneliti memilih 10 (sepuluh) orang mahasiswa dari asal dari Pattani yang tergabung dalam PMIPI Banda Aceh untuk mewakili mahasiswa lainnya untuk dijadikan informan atau subjek yang akan diwawancarai oleh peneliti.

Adapun yang menjadi objek dari penelitian ini adalah proses adaptasi dan

Culture Shock yang dialami mahasiswa asal dari Pattani yang kuliah di Banda Aceh.

Penelitian ini dilakukan di sekretariat Persatuan Mahasiswa Islam Pattani Indonesia (PMIPI) Banda Aceh yang beralamatkan di Jalan Lingkar Kampus Gampong Rukoh Banda Aceh. Sekretariat ini juga merupakan tempat tinggal bagi dua puluh mahasiswa asal Pattani yang ada di Banda Aceh. Sedangkan sisanya yaitu mahasiswi asal Pattani yang berjumlah lima puluh orang tinggal di dua rumah yang berbeda yang berdekatan dengan sekretarian PMIPI tersebut.

Dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan teknik pengumpulan data sebagai alat atau cara untuk mencapai tujuan penelitian. Untuk mengumpulkan data-data, keterangan-keterangan dan fakta-fakta yang diperlukan maka peneliti penggunakan teknik:

1. Wawancara mendalam (depth interview)

Wawancara mendalam (depth interview) merupakan teknik pengumpulan data dimana peneliti melakukan kegiatan wawancara tatap muka secara mendalam dan terus menerus untuk menggali informasi dari responden (Kriyantono, 2006: 63). Teknik ini dilakukan peneliti dengan terjun langsung kelapangan dan melakukan wawancara secara mendalam dengan beberapa mahasiswa asal Pattani yang tinggal dan kuliah di Banda Aceh serta tergabung dalam PMIPI Banda Aceh.

(8)

Metode observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian yang diamati oleh peneliti. Pengamatan dilakukan dengan cara sistematik, terencana dan dihubungkan dengan tujuan penelitian yang ditetapkan. Yang diobservasi adalah interaksi (perilaku) dan percakapan yang terjadi antara subjek yang diteliti (Kriyantono,2006 :108). Observasi ini dilakukan dengan tujuan untuk mengamati bagaimana informan berperilaku dalam lingkungan sosial di sekitarnya. Disini peneliti menggunakan metode observasi partisipan-membership, dimana peneliti adalah anggota dari kelompok yang diteliti (Kriyantono, 2006: 64).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Kedatangan mahasiswa dan mahasiswi Pattani dari Thailand Selatan ke Banda Aceh adalah bertujuan untuk kuliah di Universitas yang ada di Banda Aceh. Sugesti yang didapatkan oleh mahasiswa dan mahasiswi Pattani untuk kuliah di Banda Aceh mengacu kepada penetapan hukum Syari’at Islam yang diterapkan di Provinsi Aceh. Penerapan hukum Syari’at Islam di Aceh menjadi daya tarik tersendiri bagi mahasiswa dan mahasiswi Pattani untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas yang ada di Banda Aceh.

Kedatangan mahasiswa dan mahasiswi Pattani ke Banda Aceh dapat dikategorikan sebagai salah satu pelaku urbanisasi. Mereka melakukan urbanisasi dari Thailand Selatan ke Banda Aceh dengan alasan faktor daya tarik yang dimiliki oleh daerah tujuan yaitu penerapan hukum Syari’at Islam dan faktor konflik di daerah asal mereka. Oleh karena itu ekspektasi yang diinginkan oleh mahasiswa dan mahasiswi Pattani adalah dapat belajar dengan tenang di daerah yang bernuansa Islam sebagaimana keyakinan mereka sebagai muslim.

Selama tinggal di Kota Banda Aceh, para mahasiswa dan mahasiswi Pattani mengalami fase-fase culture shock yang terjadi secara bertahap. Fase-fase tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga fase, yaitu fase kegembiraan, fase kekecawaan atau fase krisis, dan fase resolusi awal.

Fase kegembiraan atau yang sering disebut fase euphoria, ditandai dengan rasa gembira, harapan, keinginan, dan ekspetasi menyenangkan dari individu. Fase ini didominasi oleh perasaan antusias, ketertarikan terhadap budaya asing, rasa ingin tahu, dan kesiapan untuk menerima situasi dalam lingkungan baru. Sebelum tiba di Kota Banda Aceh, mahasiswa dan mahasiswi Pattani merasa sangat antusias untuk melanjutkan pendidikan di Kota Banda Aceh karena ingin merasakan suasana belajar yang baru. Mereka memiliki anggapan dan pengetahuan sepintas bahwa Kota Banda Aceh terkenal dengan adat budaya Islam dan suasana perkuliahan yang aktif. Fase kegembiraan juga ditandai dengan adanya rasa ingin tahu yaitu ekspektasinya tentang kebudayaan Aceh dan suasana syariat islam di Aceh.

Tahap selanjutnya dari gejala culture shock adalah fase kekecewaan. Fase ini adalah fase kedua dan diidentifikasikan sebagai fase krisis dari culture shock. Fase krisis ini menggambarkan culture shock yang sebenarnya. Mahasiswa dan mahasiswi Pattani mengalami fase ini dengan level dan bentuk yang berbeda-beda.

(9)

Fase kekecewaan yang terjadi pada mahasiswa dan mahasiswi Pattani ditandai ketika masalah–masalah mulai muncul, seperti kualitas rasa makanan, kesulitan berkomunikasi dan perbedaan bahasa, banyaknya warga Kota Banda Aceh yang melanggar lalu lintas, dan rasa tidak nyaman lainnya yang dirasakan para informan. Pada fase kekecewaan ini, para mahasiswa dan mahasiswi Pattani merasa terkejut ketika mendapati bahwa kualitas tempat tinggal dan lingkungan mereka ternyata tidak sebaik yang dibayangkan. Selain tempat tinggal, salah satu masalah terbesar yang sering dialami keseluruhan informan adalah kendala dalam berbahasa. Bahasa merupakan unsur terpenting dalam suatu proses komunikasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa mahasiswa dan mahasiswi Pattani mengalami kendala dalam berbahasa. Mereka semua pernah mengalami kesalahpahaman dalam berkomunikasi dan mengartikan beberapa kata dalam bahasa Indonesia.

Kendala bahasa lain yang dirasakan oleh mahasiswa dan mahasiswi Pattani adalah kendala dalam berbahasa Aceh. Para informan sama sekali tidak mengerti bahasa Aceh, sehingga hal tersebut menyulitkan mereka dalam berkomunikasi dengan orang-orang yang menggunakan bahasa Aceh, seperti teman-teman di kampus, para dosen, dan orang-orang di sekitar lingkungan tempat tinggalnya. Terkait kendala bahasa, Herper (dalam Samovar, Porter dan McDaniel, 2010:480) menyebutkan bahwa keterbatasan bahasa merupakan budaya efektif, dimana kurangnya pengetahuan berkaitan mengenai cara berbicara kelompok tertentu akan mengurangi tingkat pemahaman individu dengan rekannya dalam berkomunikasi.

Furnham dan Bochner (dalam Manz, 2003) menyatakan bahwa hasil dan bentuk culture shock yang terjadi pada individu ditunjukan berdasarkan perbedaan antara budaya asal dengan budaya di lingkungan baru dimana individu tersebut tinggal. Dalam komunikasi antar budaya, perbedaan yang terjadi tidak hanya dalam bentuk bahasa verbal semata, tetapi juga bahasa non verbal. Bahasa non verbal adalah isyarat komunikasi yang dibentuk oleh budaya dan kebiasaan masyarakat setempat. Salah satu bentuk dari bahasa non verbal adalah cara berpakaian. Pakaian menunjukan identitas individu ketika berada dalam suatu lingkungan yang bukan lingkungan asalnya. Pernyataan ini sejalan dengan hasil pengamatan peneliti. Sebagian besar mahasiswi asal Pattani mudah diidentifikasi melalui pakaian yang dikenakannya karena mereka selalu menggunakan baju gamis, jilbab panjang, bahkan terkadang memakai cadar. Pakaian merupakan cerminan identitas mahasiswi Patani islam asal Pattani dan hal ini terlihat berbeda dengan gaya berpakaian sebagian besar mahasiswi di Kota Banda Aceh.

Selain cara berpakaian, perbedaan lain yang dirasakan oleh mahasiswa dan mahasiswi Pattani adalah cara bergaul dan berinteraksi masyarakat Kota Banda Aceh. Mahasiswa dan mahasiswi Pattani merasa bahwa ada perbedaan cara berinteraksi antara laki-laki dan perempuan yang mereka amati selama berada di Kota Banda Aceh dengan daerah asal mereka. Dewasa ini mengarah kepada perbedaan cara bersalaman antara laki-laki dan perempuan. Mahasiswa dan mahasiswi Pattani terbiasa dengan cara bersalaman antara lelaki dan perempuan tidak saling bersentuhan sebab dalam Islam laki-laki dan perempuan yang bukan

(10)

muhrim dilarang bersentuhan, termasuk ketika bersalaman. Mahasiswa dan

mahasiswi Pattani merasa bingung ketika cara bersalaman penduduk lokal yang dilihatnya juga berbeda dengan cara bersalaman di Pattani. Ketika bersalaman, penduduk lokal mendekapkan kedua tangannya di dadanya. Hal ini mirip dengan cara bersalaman pemeluk agama Buddha, sehingga tidak dilakukan oleh warga Pattani yang beragama Islam. Namun selama berada di Kota Banda Aceh, mahasiswa dan mahasiswi Pattani akhirnya mempraktekkan cara bersalaman dengan mendekapkan kedua tangannya di dada jika ingin bersalaman tanpa menyentuh lawan jenis.

Fase culture shock selanjutnya yang dirasakan oleh para informan adalah fase resolusi awal. Setelah mengalami fase kekecewaan dengan berbagai masalah terkait interaksi dengan lingkungan maupun masyarakat setempat, mahasiswa dan mahasiswi Pattani mulai terbiasa dengan keadaan sekelilingnya. Masalah–masalah yang timbul pada satu atau dua bulan pertama berangsur-angsur mulai berkurang. Kendala terbesar mereka adalah perbedaan bahasa di awal kedatangan mereka ke Banda Aceh. Upaya yang mereka lakukan adalah belajar bahasa Indonesia. Dalam hal ini mahasiswa dan mahasiswi Pattani dituntut secara alami untuk belajar berbahasa Indonesia agar dapat bertahan dan mampu menyelesaikan pendidikannya.

Individu yang terpapar dengan lingkungan baru dan budaya baru tentunya merasakan perbedaan–perbedaan antara budaya asalnya dengan budaya di lingkungan barunya. Perbedaan inilah yang menyebabkan culture shock. Demikian juga dengan mahasiswa dan mahasiswi Pattani yang datang dan menetap di Aceh. Penelitina dan pengamatan dalam penelitian ini juga menunjukan adanya perbedaan yang dirasakan. Perbedaan tersebut secara umum meliputi Bahasa, budaya dan kebiasaan dalam masyarakat.

Dalam peneltian ini tampak bahwa derajat perbedaan antara kebudayaan Pattani sebagai kebudayaan asal informan dan kebudayaan Aceh tidak terlalu signifikan. Akibatnya culture shock yang terjadi tidak terlalu berat dan fase krisis yang dialami oleh informan juga berlangsung relative tidak terlalu lama.

Hasil dari penelitian ini, diketahui bahwa gejala culture shock yang terjadi pada mahasiswa asal Pattani meliputi kecemasan dan kekhawatiran, perasaan terisolasi, penurunan kinerja dan ketidakberdayaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Marx (dalam Manz 2003) bahwa culture shock rata–rata terjadi sekitar tujuh minggu pertama disertai lima aspek seperti merasa terisolasi, kecemasan, kekhawatiran, penuruan kinerja dan ketidakberdayaan.

Salah satu cara mengatasi culture shock adalah menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa cara yang dilakukan oleh mahasiswa dan mahasiswi Pattani untuk mengatasi culture shock merupakan strategi adaptasi dengan lingkungan baru. Strategi itu mencakup membuat hubungan pribadi dengan budaya tuan rumah, mempelajari budaya tuan rumah dan berpartisipasi dalam kegiatan budaya (Samovar, Porter, dan McDaniel, 2010:482).

(11)

Hasil penelitian juga menunjukan bahwa para mahasiswa dan mahasiswi Pattani secara aktif melakukan interaksi sosial untuk menyesuaikan diri. Hal ini sesuai dengan teori interaksionisme simbolik yang dikemukakan oleh Mufid (2009: 149-150) bahwa interaksionisme simbolik dapat didefinisikan sebagai cara individu dalam menginterpretasikan dan memberi makna pada lingkungan disekitarnya melalui cara berintekrasi dengan orang lain. Teori ini berfokus pada cara individu beriteraksi melalui simbol-simbol yang berupa kata, gerak tubuh, peraturan, norma, dan peran. Hal ini menunjukan bahawa untuk mencapai suatu keseimbangan sosial, individu tidak bisa bersifat pasif, melainkan harus berperan aktif untuk dapat bertahan dalam suatu lingkungan social yang baru. Informan sebagai individu sosial dituntut untuk dapat menjalin interaksi sosial agar dapat mengubah kondisi sosial tersebut. Intensitas dan kualitas interaksi informan menjadi faktor penting unutuk melihat sejauh mana perubahan kondisi social yang dihadapi informan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya, berikut kesimpulan dari penelitian tentang culture shock pada mahasiswa Pattani di kota Banda Aceh.

1. Tujuan kedatangan mahasiswa Pattani ke Banda Aceh adalah untuk kuliah. Namun faktor penyebab mahasiswa Pattani memilih Banda Aceh sebagai tempat mereka kuliah adalah disebabkan faktor sugesti yang berupa saran dan rekomendasi yang didapatkan oleh mahasiswa Pattani. Rekomendasi yang didapatkan oleh mahasiswa Pattani berupa informasi tentang hukum Syari’at Islam yang berlaku di Aceh. Oleh karena itu syari’at Islam yang diterapkan di Aceh juga menjadi faktor pendukung ketertarikan mahasiswa Pattani untuk memilih Aceh sebagai tempat mereka kuliah.

2. Gejala culture shock yang terjadi pada mahasiswa Pattani di Banda Aceh meliputi kecemasan dan kekhawatiran, perasaan terisolasi, penurunan kinerja dan ketidakberdayaan. Sedangkan fase gejala yang terjadi meliputi fase kegembiraan, fase kekecewaan (fase krisis) dan fase resolusi awal. Fase krisis dari gejala culture shock tersebut ditandai saat timbulnya masalah interaksi maupun komunikasi, kualitas tempat tinggal maupun lingkungan tempat tinggal yang kurang nyaman dan juga ada kalanya pandangan akan peraturan lalu lintas di Banda Aceh yang tidak mematuhi aturan. Gejala culture shock yang terjadi pada Mahasiswa dan Mahasiswi Pattani tersebut menimbulkan reaksi berupa rindu kampung halaman.

3. Bentuk culture shock yang dialami mahasiswa Pattani di Banda Aceh lebih kepada perasaan tidak nyaman dan perasaan takut. Perasaan tidak nyaman lebih sering dialami oleh mahasiswi Pattani dikarenakan perbedaan busana antara pakaian mahasiswi Pattani yang sering memakai baju terusan panjang / gamis, sedangkan teman-teman wanita non Pattani di ruang lingkup mereka menggunakan busana yang berbeda dengan mereka namun lebih fashionable. Rasa tidak nyaman juga muncul karena ketidak mampuan mereka dalam

(12)

menggunakan bahasa Indonesia dan perbedaan selera rasa dalam hal makanan. Sedangkan rasa takut mucul karena mahasiswa Pattani merasa tidak mampu untuk beradaptasi.

4. Cara mengatasi culture shock yang dilakukan Mahasiswa dan Mahasiswi Pattani di Banda Aceh antara lain ; memilih untuk mengutamakan berinteraksi dan bergaul sesama Pattani, hal ini untuk meminimalisir ketidaknyamanan terhadap kontak dan budaya baru dan mempermudah koordinasi serta komunikasi. Sedangkan untuk mengatasi rasa takut, mahasiswa dan mahasiswi Pattani mencoba untuk mengikuti kebiasaan masyarakat setempat dan melakukan interaksi sosial dengan masyarakat setempat, seperti belajar bahasa Indonesia lebih dalam dan memasak masakan sendiri untuk mengatasi cita rasa yang sesuai dengan selera mereka sendiri.

5. Bentuk culture shock yang dialami mahasiswa dan mahasiswi Pattani di Banda Aceh tergolong kedalam level yang ringan dan mudah untuk ditangani. Hal ini disebabkan karena mahasiswa Pattani itu sendiri masih merupakan satu rumpun melayu yang beragam Islam dan negara yang berdekatan dengan Indonesia. Sehingga dalam penelitian ini tidak ditemukan hal-hal ekstrim yang mampu membuat mahasiswa Pattani di Banda Aceh mengalami culture shock yang hebat.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian, ada beberapa hal yang dapat disarankan oleh peneliti yaitu:

Saran Kepada Informan

Peneliti menyarankan kepada para informan agar lebih membuka diri dengan orang-orang di sekitarnya dan memperlancar kemampuan berbahasa Indonesianya untuk dapat mengurangi culture shock yang dirasakannya. Selain itu para informan juga dapat memperluas lingkungan pergaulannya dengan cara mengikuti kegiatan kemahasiswaan di kampusnya, atau bergabung dengan komunitas-komunitas di Kota Banda Aceh yang sesuai dengan minat dan bakatnya. Saran Kepada Mahasiswa Asing

Sebagai individu yang memasuki lingkungan baru, culture shock adalah hal yang tidak dapat dihindari. Penting bagi para mahasiswa asing yang melanjutkan kuliah di luar tempat asalnya untuk membekali diri dengan pemahaman bahasa yang digunakan oleh penduduk di negara tujuannya, memahami dan menghormati budaya masyarakat setempat, dan bergabung dengan organisasi paguyuban pelajar dari negaranya. Hal ini akan mempermudah mahasiswa asing dalam beradaptasi dengan lingkungan barunya.

(13)

Culture shock adalah satu kajian multidisipliner yang meliputi kajian

komunikasi, antropologi dan psikologi. Jika ingin meneliti tentang culture shock peneliti tidak hanya dituntut memiliki ilmu komunikasi saja tetapi juga pengetahuan tentang antropologi dan psikologi. Keterbatasan penelitian ini yaitu hanya mengkaji dari sudut pandang ilmu komunikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Rineka Cipta

2008. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan

Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Bungin, Burhan. 2011. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana

Jacobus, Ranjabar. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia (Suatu Pengantar). Bogor: Ghalia Indonesia

Joel, M. Charoon. 1995. Symbolic Interaksionism. New York: Prentice Hail. Liliweri, Alo. 2003. Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta : Pustaka

Pelajar.

Mufid, Muhammad. 2009. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Kencana. Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat. 2009. Komunikasi Antar Budaya

Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya.

Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Deddy. 2007. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Samovar, Larry A., Porter, Richard E., dan Eddwin R. McDaniel dan Carolyn Sexton Roy. 2010. Communication Between Cultures. Wadsworth: Boston Samovar, Larry A., Porter, Richard E., dan Eddwin R. McDaniel. 2010.

Komunikasi Lintas Budaya, Communication Between Cultures.

Terjemahan. Jakarta: Salemba Humanika.

Sihabuddin, Ahmad. 2011. Komunikasi Antar Budaya Suatu Perspektif

(14)

Skripsi dan Tesis

Siregar, Putri Arimbi. 2012. Culture Shock Dalam Komunikasi Antar Budaya

(Studi Kasus pada Mahasiswa asal Malaysia di IAIN Ar Raniry Banda Aceh). Skripsi. Banda Aceh: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Syiah Kuala.

Hardani, Marisa Putri. 2015. Culture Shock dalam Komunikasi Antar Budaya

(Studi terhadap Mahasiswa Universitas Syiah Kuala yang tergabung dalam Ikatan Pelajar Mahasiswa Minang Banda Aceh). Skripsi. Banda

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini tentu tidak sesuai dengan pernyataan Kraemer mengenai pluralisme, bagaimana mungkin seseorang yang berada di luar kekristenan dapat menjadi orang percaya

Norma adalah standar perilaku yang dapat diterima dengan baik dalam suatu kelompok dan digunakan oleh semua anggota dalam kelompok tersebut. Norma digunakan untuk

Sebagai pegangan kasar untuk menentukan diameter pipa pada berbagai debit dan panjang pipa dapat digunakan Tabel 17 yang didasarkan pada kecepatan aliran

Judul Skripsi : ISLAM DAN NEGARA (NEGARA PANCASILA MENURUT PEMIKIRAN MUNAWIR SJADZALI) Dengan ini kami menyatakan bahwa skripsi tersebut telah dapat diajukan ke

pokoknya menyatakan telah adanya Berita Acara Rapat Pleno Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kabupaten Mukomuko Nomor 116/BAWASLU-PROV.BE-07/XII/2015 tanggal 18 Desember 2015,

Kepala Bidang Pemberdayaan dan Par timas Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta, Abdul Chair mengatakan, jika dibandingkan dengan periode yang

Tujuan dari penelitian ini adalah mencari metode terbaik untuk mengklasifikasikan sel nukleus dan sel radang berdasarkan analisa teksur GLCM ( Gray Level

Menurut penelitian Ria Yuli, dkk (2013), penelitiannya yang berjudul “Pengaruh penerapan model pembelajaran Learning Cycle 5E terhadap hasil belajar siswa kelas XI