• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 ADAPTASI KEDELAI HITAM TERHADAP CEKAMAN GANDA ALUMINIUM DAN BES

Evaluasi 7 Genotipe Kedelai terhadap Cekaman Al dan Fe

Indeks sensifititas panjang akar dapat digunakan untuk seleksi tanaman terhadap cekaman Al dan Fe. Hasil analisis indeks sensitifitas (S) panjang akar menunjukkan nilai beragam. Umumnya nilai S meningkat berdasarkan peningkatan konsentrasi cekaman. Penelusuran nilai tersebut pada setiap perlakuan cekaman dilakukan untuk memperoleh ambang konsentrasi toleransi (Threshold) kedelai terhadap cekaman Al. Kriteria toleransi dikelompokkan menjadi 3 yaitu: toleran jika S < 0.5, agak toleran jika 0.5 < S ≤ 1, dan peka jika S ≥ 1. Indeks sensitifitas kedelai hitam dan Tanggamus sebagai pembanding disajikan pada Gambar 8 dan rekapitulasi indeks sensitifitas panjang akar pada berbagai konsentrasi cekaman Al dan Fe disajikan pada Tabel 1.

Hasil analisis indeks sensitifitas menunjukkan nilai yang beragam. Umumnya indeks sensifitas meningkat dengan meningkatnya cekaman Al dan Fe. Penelusuran nilai tersebut pada setiap kombinasi perlakuan Al dan Fe dilakukan untuk memperoleh batas toleransi (threshold) kedelai terhadap cekaman ganda Al dan Fe.

Batas toleransi (threshold) cekaman Al pada Tanggamus, Cikuray, dan Lokal Malang adalah 0.7 mM Al. Batas toleransi (threshold) cekaman Fe pada Tanggamus 0.3 mM Fe, Cikuray dan Detam 1 0.2 mM Fe. Batas toleransi (threshold) cekaman Al + Fe pada Tanggamus dan Cikuray 0.5 + 0.2 mM dan Lokal Malang 0.9 + 0.1 mM (Gambar 8).

Cekaman tunggal 0.5 mM Al menunjukkan bahwa Tanggamus, Cikuray dan Lokal Malang tergolong toleran dengan nilai S berkisar 0.24-0.39, sedangkan

Ceneng, Malika, Detam 1 dan Detam 2 tergolong peka dengan nilai S berkisar 1.34-1.69. Cekaman 0.7 mM Al menyebabkan Tanggamus, Cikuray dan Lokal Malang menjadi moderat dengan nilai S berkisr 0.59-0.89. Cekaman 0.9 mM Al menyebabkan Cikuray menjadi peka dengan nilai S sebesar 1.03.

Gambar 8 Indeks sensitifitas panjang akar pada berbagai taraf konsentrasi cekaman Al dan Fe

Tabel 1 Rekapitulasi indeks sensitifitas panjang akar pada berbagai taraf konsentrasi cekaman Al dan Fe

Genotipe Cekaman Fe Cekaman Al Cekaman Al+Fe

T M P T M P T M P Tanggamus 0.2 0.5 0.5+0.1 Cikuray 0.1 0.5 0.5+0.1 Lokal malang 0.1 0.5 0.5+0.1 Ceneng 0.1 0.5 0.5+0.1 Malika 0.1 0.5 0.5+0.1 Detam 1 0.1 0.5 0.5+0.1 Detam 2 0.1 0.5 0.5+0.1

21 Cekaman tunggal 0.1 mM Fe menunjukkan bahwa Tanggamus dan Cikuray tergolong toleran dengan nilai S sebesar 0.30 dan 0.13, Lokal Malang, Ceneng, dan Detam 1 tergolong moderat dengan nilai S berkisar 0.61-0.88, sedangkan Malika dan Detam 2 tergolong peka dengan nilai S sebesar 2.46 dan 1.56. Cekaman 0.2 mM Fe menunjukkan Tanggamus tergolong toleran dengan nilai S sebesar 0.33, Cikuray, Lokal Malang menunjukkan Tanggamus tergolong toleran dengan nilai S sebesar 0.33, Cikuray, Lokal Malang dan Ceneng tergolong moderat dengan nilai S berkisar 0.65-0.92, sedangkan Malika, 0.65-0.92, sedangkan Malika, Detam 1 dan Detam 2 tergolong peka dengan Detam 1 dan Detam 2 tergolong peka dengan nilai S berkisar berkisar antara 1.18-1.71. Cekaman 0.3 mM Fe menunjukkan Tanggamus, Lokal Malang dan Ceneng tergolong moderat dengan nilai S berkisar 0.75-0.91, sedangkan Cikuray, Malika, Detam 1 dan Detam 2 tergolong peka dengan nilai S berkisar 1.06-1.21.

Pada cekaman ganda 0.5 mM Al + 0.1 mM Fe ditunjukkan bahwa Tanggamus dan Cikuray tergolong toleran dengan nilai S sebesar 0.27 dan 0.41, peningkatan cekaman menjadi 0.5 mM Al + 0.2 mM Fe menyebabkan toleransi kedua genotipe tersebut menjadi moderat. Cekaman ganda Al dan Fe pada semua konsentrasi cekaman yang diberikan menyebabkan peka pada genotipe Ceneng, Malika, Detam, 1 dan Detam 2 dengan nilai S berkisar antara 1.01 sampai 1.69.

Berdasarkan rata-rata panjang akar menunjukkan bahwa varietas toleran memiliki akar yang lebih panjang dibandingkan varietas peka. Semakin tinggi konsentrasi cekaman Al dan Fe maka semakin menurunkan panjang akar, baik pada varietas toleran maupun peka (Gambar 9).

Gambar 9 Rata-rata panjang akar 14 HST pada berbagai konsentrasi cekaman dan genotipe

Pemberian cekaman ganda Al dan Fe memberikan pengaruh nyata terhadap bobot kering tajuk, bobot kering akar dan bobot kering tajuk + akar. Berdasarkan konsentrasi cekaman Al dan Fe menunjukkan bahwa cekaman ganda Al + Fe lebih menurunkan bobot kering tajuk, bobot kering akar, dan bobot kering total (Tabel 2). Genotipe Cikuray memiliki bobot kering tajuk dan bobot kering

tajuk + akar yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe Ceneng (Tabel 3).

Cekaman Al dan Fe menghasilkan respon yang berbeda pada tanaman. Akar merupakan bagian yang dapat digunakan untuk mendeteksi cekaman. Perakaran yang mendapat cekaman menyebabkan akar tidak berkembang dengan baik. Gejala toksisitas Al, Fe dan cekaman ganda Al dan Fe ditunjukkan pada Gambar 10, 11 dan 12.

Tabel 2 Pengaruh konsentrasi cekaman Al dan Fe terhadap bobot kering tajuk, bobot kering akar dan bobot kering total

Al dan Fe ( konsentrasi mM) Bobot kering tajuk (g) Bobot kering akar (g) Bobot kering total (g) 0.0 + 0.0 0.349 a 0.091 ab 0.440 a 0.0 + 0.1 0.319 ab 0.095 ab 0.414 ab 0.0 + 0.2 0.309 abc 0.093 ab 0.402 abcd 0.0 + 0.3 0.316 ab 0.093 ab 0.410 abc 0.5 + 0.0 0.299 bcd 0.086 ab 0.385 abcd 0.5 + 0.1 0.291 bcd 0.084 ab 0.375 abcde 0.5 + 0.2 0.259 def 0.077 b 0.336 de 0.5 + 0.3 0.261cdef 0.080 b 0.341 cde 0.7 + 0.0 0.286 bcde 0.081 b 0.367 bcde 0.7 + 0.1 0.257 def 0.078 b 0.335 de 0.7 + 0.2 0.265 cdef 0.078 b 0.342 cde 0.7 + 0.3 0.263 cdef 0.088 ab 0.350 bcde 0.9 + 0.0 0.237 ef 0.119 a 0.356 bcde 0.9 + 0.1 0.262 cdef 0.080 b 0.341 cde 0.9 + 0.2 0.235 f 0.076 b 0.310 e 0.9 + 0.3 0.262 cdef 0.083 b 0.344 cde

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%

Tabel 3 Bobot kering tajuk, bobot kering akar, bobot kering tajuk dan akar pada varietas yang berbeda

Varietas Bobot kering tajuk (g) Bobot kering akar (g) Bobot kering total (g) Tanggamus 0.266 bc 0.085 ab 0.350 bc Cikuray 0.282 b 0.100 a 0.382 b Lokal Malang 0.187 d 0.068 b 0.255 d Ceneng 0.246 c 0.079 ab 0.326 c Malika 0.272 bc 0.086 ab 0.359 bc Detam 1 0.356 a 0.090 a 0.446 a Detam 2 0.347 a 0.096 a 0.442 a

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%

23

A: Tanggamus B: Cikuray C: Ceneng

Gambar 10 Cekaman 0.5 mM Al genotipe toleran (A dan B) dan genotipe peka (C) dibandingkan dengan tanpa Al (kiri) umur 14 HST

Gambar 10 menunjukkan perbedaan respon akar tanaman yang mendapat cekaman 0.5 mM Al. Ceneng pertumbuhan akarnya lebih terhambat dibandingkan dengan Tanggamus dan Cikuray. Gambar 8 menunjukkan bahwa Tanggamus dan Cikuray merupakan genotipe peka terhadap cekaman 0.5 mM Al sedangkan Ceneng merupakan genotipe peka. Cekaman Al menyebabkan perakaran tanaman terhambat pertumbuhannya.

A (Tanggamus) B (Cikuray) C (Ceneng)

Gambar 11 Cekaman terhadap Fe pada akar kedelai: genotipe toleran (A dan B) dan genotipe moderat (C) umur 14 HST

Gambar 11 menunjukkan cekaman 0.2 mM Fe pada genotipe Tanggamus, Cikuray dan Ceneng. Gambar 8 menunjukkan bahwa cekaman 0.2 mM menyebabkan Tanggamus merupakan genotipe toleran terhadap 0.2 mM Fe serta Cikuray dan Ceneng tergolong moderat.

A (Tanggamus) B (Cikuray) C (Ceneng)

Gambar 12 Cekaman 0.5 mM Al + 0.1 mM Fe pada akar kedelai: genotipe toleran (A dan B) dan genotipe peka (C) umur 14 HST

Cekaman ganda 0.5 mM Al + 0.1 mM Fe ditunjukkan pada Gambar 12. Perakaran kedelai pada cekaman ganda lebih terhambat dibandingan dengan cekaman tunggal Al dan Fe. Gambar 8 menunjukkan bahwa cekaman 0.5 mM Al + 0.1 mM Fe menyebabkan Tanggamus dan Cikuray termasuk genotipe toleran dan Ceneng genotipe peka.

Distribusi Al dan Fe dapat ditunjukkan pada 2 mm dari ujung akar. Pewarnaan hemaktosilin untuk mendeteksi cekaman Al dan pewarnaan 2.2 bipiridyn untuk mendeteksi cekaman Fe. Gambar penampang melintang akar dengan pewarnaan hemaktosilin (Gambar 13) menunjukkan tidak terdapat warna biru pada perlakuan tanpa cekaman (tanpa cekaman) mengindikasikan tidak adanya aluminium. Cekaman 0.5 mM pada Tanggamus menahan Al pada epidermis akar (warna biru gelap) dan sebagian kecil mencapai korteks namun jaringan pembuluh masih berwarna terang. Semakin pekat warna biru menunjukkan cekaman Al semakin besar. Genotipe Ceneng (peka) dengan pelakuan 0.5, 0.7 dan 0.9 mM Al berwarna biru gelap yang menunjukkan Al lebih banyak dan masuk sampai xylem.

Gambar 14 menunjukkan penampang melintang akar kedelai yang diberi cekaman ganda Al + Fe. Cekaman ganda menyebabkan distribusi Al yang lebih banyak dibandingkan cekaman tunggal Al (Gambar 13). Semakin banyak warna biru pada jaringan mengindikasikan Al yang semakin banyak.

25

Gambar 13 Distribusi Al pada akar 3 genotipe kedelai: A (Tanggamus), B (Cikuray), C (Ceneng) dengan pewarnaan hemaktosilin

Tanpa cekaman (tanpa Al)

0.5 mM Al

0.7 mM

0.9 mM Al

Al 0.5 + Fe 0.2

A Al 0.9 + Fe 0.3

B C

Gambar 14 Distribusi Al + Fe pada akar 3 genotipe kedelai: A (Tanggamus), B (Cikuray), C (Ceneng) dengan pewarnaan hemaktosilin

0.1 mM Fe

0.2 mM Fe

0.3 mM Fe

A B C

Gambar 15 Distribusi Fe pada akar 3 genotipe kedelai: A (Tanggamus), B (Cikuray), C (Ceneng) dengan pewarnaan bipiridyn

27 Distribusi Fe pada akar kedelai dengan pewarnaan bipiridyn pada cekaman tunggal Fe dan cekaman ganda Al dan Fe ditunjukkan Gambar 15 dan 16. Distribusi Fe lebih banyak pada cekaman ganda dibandingkan dengan cekaman tunggal Fe. Semakin banyak warna orange mengindikasikan semakin banyak Fe pada jaringan akar.

Al 0.5 + Fe 0.2

Al 0.9 + Fe 0.3

Tanggamus Cikuray Ceneng

Gambar 16 Distribusi Al + Fe pada akar 3 genotipe kedelai: A (Tanggamus), B (Cikuray), C (Ceneng) dengan pewarnaan bipiridyn

Sekresi Asam Organik

Produksi asam organik merupakan salah satu mekanisme adaptasi tanaman dalam menghadapi cekaman. Akumulasi asam organik diamati pada 3 genotipe kedelai: Tanggamus (toleran), Cikuray (toleran), dan Ceneng (peka) terhadap cekaman ganda 0.5 mM Al + 0.1 mM Fe (Gambar 8 dan Tabel 1). Gambar 17 menunjukkan bahwa pada akar tiga genotipe memproduksi asam oksalat yang tidak berbeda nyata pada cekaman tunggal Al, cekaman tunggal Fe serta cekaman ganda Al dan Fe dibandingkan dengan tanpa cekaman.

Gambar 17 Akumulasi asam oksalat pada akar tiga genotipe kedelai dan taraf konsentrasi cekaman yang berbeda

Cikuray (toleran) mampu memproduksi asam sitrat yang berbeda nyata dibandingkan tanpa cekaman (Gambar 18). Cekaman 0.5 mM Al + 0.1 mM Fe memproduksi asam sitrat yang nyata lebih tinggi sebesar 594.69 ppm dibandingkan tanpa cekaman sebesar 308.05 ppm. Akumulasi asam sitrat pada Cikuray nyata lebih rendah dibandingkan cekaman tunggal Al dan Fe.

Gambar 18 Akumulasi asam sitrat pada akar tiga genotipe kedelai dan taraf konsentrasi cekaman yang berbeda

Akumulasi asam malat pada Cikuray nyata lebih tinggi pada cekaman 0.5 mM Al + 0.1 mM Fe sebesar 708.87 ppm dibandingkan tanpa cekaman sebesar 270.37 ppm. Cekaman 0.2 mM Fe dan 0.7 mM Al mengakumulasi asam malat yang tidak berbeda nyata dibandingkan tanpa cekaman masing-masing sebesar 213.68 ppm dan 360.25 ppm. Cekaman ganda Al dan Fe nyata mengakumulasi asam malat yang lebih tinggi dibandingkan cekaman tunggal Al dan Fe. Pada genotipe Ceneg (peka) tidak mampu mengakulumasi asam malat yang lebih tinggi dibandingkan tanpa cekaman (Gambar 19).

Gambar 19 Akumulasi asam malat pada akar tiga genotipe kedelai dan taraf konsentrasi cekaman yang berbeda

Berdasarkan uji t student yang membandingkan antara pH tanpa cekaman dan pH larutan yang diberi cekaman 0.5 mM Al + 0.2 mM Fe menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara larutan yang tidak diberi cekaman dan diberi cekaman pada semua genotipe (Gambar 20).

29

Gambar 20 Perubahan pH larutan

Pembahasan

Indeks sensitifitas panjang akar dapat digunakan untuk menyeleksi genotipe yang toleran, moderat dan peka terhadap cekaman Al dan Fe (Gambar 8 dan Tabel 1). Setiap genotipe mempunyai respon yang berbeda terhadap cekaman Al, Fe, serta Al + Fe. Evaluasi 7 genotipe kedelai menunjukkan bahwa Cekaman Fe menyebabkan Tanggamus dan Cikuray menjadi genotipe yang toleran (0.2 dan 0.1 mM Fe), Lokal Malang, Ceneng, Detam 1 menjadi genotipe moderat (0.1 mM Fe), Malika dan Detam 2 menjadi genotipe yang peka (0.1 mM Fe). Cekaman Al genotipe Tanggamus, Cikuray, Lokal Malang menjadi genotipe toleran (0.5 mM Al), Ceneng, Malika, Detam 1, Detam 2 menjadi genotipe peka (0.5 mM Al). Cekaman Al + Fe menyebabkan Tanggamus dan Cikuray menjadi genotipe toleran (0.5 mM Al + 0.1 mM Fe), Lokal Malang merupakan genotipe moderat (0.5 mM Al + 0.1 mM Fe), Ceneng, Malika, Detam 1, Detam 2 menjadi goenotipe peka (0.5 mM Al + 0.1 mM Fe).

Pemberian cekaman ganda Al dan Fe memberikan pengaruh nyata terhadap bobot kering tajuk, bobot kering akar dan bobot kering tajuk + akar. Berdasarkan konsentrasi cekaman Al dan Fe menunjukkan bahwa cekaman ganda Al + Fe lebih menurunkan bobot kering tajuk, bobot kering akar, dan bobot kering total dibandingkan cekaman tunggalnya (Tabel 2). Berdasarkan rata-rata panjang akar menunjukkan bahwa varietas toleran memiliki akar yang lebih panjang dibandingkan varietas peka. Semakin tinggi konsentrasi cekaman Al dan Fe maka semakin menurunkan panjang akar, baik pada varietas toleran maupun peka (Gambar 9).

Cekaman Al dan Fe menyebabkan penghambatan pertumbuhan akar seperti ditunjukkan pada Gambar 10, 11 dan 12. Berdasarkan indeks sensitivitas (Gambar 8 dan Tabel 1) menunjukkan bahwa Tanggamus dan Cikuray termasuk toleran dan Ceneng peka terhadap cekaman 0.5 mM Al. Gambar 10 menunjukkan penampilan akar tanaman setelah 14 hari di larutan hara yang diberi cekaman Al 0.5 mM dibandingkan dengan tanpa cekaman. Tanaman yang toleran (Tanggamus dan Cikuray) memperlihatkan penampilan panjang akar yang lebih panjang dibandingkan dengan tanaman yang peka (Ceneng). Tanaman yang peka menunjukkan gejala penghambatan pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Hal ini terlihat di daerah perakaran yang terhambat pertumbuhannya. Gejala pertama yang tampak dari keracunan Al adalah sistem perakaran yang tidak berkembang (pendek dan tebal) sebagai akibat penghambatan perpanjangan sel.

Beberapa pengaruh buruk keberadaan Al tersebut antara lain: terjadi gangguan penyerapan hara dan menghambat pembelahan sel (Marchner 1992). Gejala keracunan Al yang umum ditemui pada tanaman adalah penghambatan pertumbuhan akar (Foy et al. 1978). Menurut Ryan et al. (1993) dan Sasaki et al. (1995), Al menghambat pertumbuhan hanya pada bagian ujung (meristem) akar. Beberapa karakter fisiologi toleransi tanaman terhadap Al menunjukkan bahwa sifat tanaman yang lebih toleran terhadap cekaman Al mampu: 1) mengakumulasi Al lebih sedikit sehingga toksisitas Al relatif kecil (Sasaki et al. 1994; Delhaize dan Ryan 1995; Lazof et al. 1994; 2) menginduksi pH rizosfir lebih tinggi mendekati pH optimal untuk pertumbuhan tanaman (Miyasaka et al. 1998); mensintesis senyawa-senyawa asam dekarboksilat seperti malat, oksalat, sitrat, dan fulfat serta fenil propanoat seperti kaffeat sebagai pengkelat Al sehingga toksisitasnya rendaah (Sopandie et al. 1995; Ma et al. 1998) 3) meningkatkan aktivitas pompa proton H+-ATPase, yang mengatur keseimbangan ion proton antara di dalam dan di luar plasma membran sehingga terjadi depolarisasi di plasma membran secara berantai mempengaruhi aktivitas metabolism turunannya seperti aktivitas K-chanel dan Ca-transporter yang masing-masing berperan di dalam proses detoksifikasi Al (Kasai et al. 1993; Kinraide et al. 1994; Sasaki et al. 1995; Huang et al. 1996; Larsen et al. 1998; Maathuis, 1998); 4) mensintesis protein spesifik pada membran (Basu et al. 1994) dan protein tertentu dari ujung akar (Marzuki 1997) yang tidak ditemukan pada genotipe peka; serta 5) meningkatkan aktivitas enzim tertentu seperti nitrat reduktase (Anwar et al. 1996). Kemampuan Tanggamus dan Cikuray untuk menahan Al di akar diduga berhubungan dengan derajat imobilisasi Al dalam sel. Tanggamus dan Cikuray mampu menahan Al masuk ke dalam akar. Dugaan ini terbukti melalui penelusuran distribusi Al dengan pewarnaan Hemaktosilin. Distribusi Al akar kedelai dengan perlakuan perendaman Al pada konsentrasi Al 0.5, 0.7 dan 0.9 mM dilihat pada Gambar 13. Distribusi Al pada Ceneng (peka) terlihat merata sampai ke bagian tengah akar yang memiliki intensitas pewarnaaan yang lebih pekat (ungu kehitaman). Sementara Tanggamus dan Cikuray (toleran) mampu menghalangi masuknya Al sampai ke tengah akar dan hanya mengakumulasi Al pada bagiaan epidermis akar. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sopandie et al. (2000) yang menunjukkan perbedaan daya toleransi terhadap Al pada tanaman kedelai. Genotipe peka mengakumulasi Al lebih banyak pada bagian ujung akar daripada genotipe peka sehingga mudah terwarnai. Genotipe toleran diduga memiliki kemampuan untuk mencegah Al agar tidak menyeberangi membran plasma dan masuk ke simplas serta tempat lain yang peka terhadap Al di sitoplasma akar (Kochian 1995). Dalam keadaan tercekam Al, kandungan Al apoplas kedelai toleran lebih rendah diduga akibat kapasitas tukar kation (KTK) akar lebih rendah dibandingkan genotipe peka. Rendahnya jumlah muatan negatif dari dinding sel genotipe toleran menyebabkan interaksi Al dengan dinding sel genotipe toleran lebih rendah dibandingkan genotipe peka (Kochian et al. 2004) sehingga konsentrasi Al di akar genotipe toleran juga lebih rendah.

Cekaman Fe menyebabkan hambatan pertumbuhan akar. Gambar 11 menunjukkan cekaman 0.2 mM Fe pada genotipe toleran (Tanggamus dan Cikuray) dan genotipe moderat (Ceneng). Ceneng lebih terhambat pertumbuhannya dibandingkan Tanggamus dan Cikuray. Distribusi Fe pada akar kedelai dengan konsentrasi Fe yang berbeda ditunjukkan pada gambar 15.

31 Semakin banyak distribusi warna orange menunjukkan bahwa Fe pada akar semakin tinggi. Secara visual cekaman Fe terdapat plak pada akar. Menurut Asch

et al. (2005), kadar Fe dalam larutan yang menyebabkan keracunan bervariasi sangat luas berkisar antara 10-500 ppm Fe. Hasil penelitian Majerus et al. (2007) dan Mehraban et al. (2008) menunjukkan kadar Fe dalam larutan hara 250 500 ppm dengan pH 4.56 meningkatkan secara nyata kadar Fe dalam jaringan tanaman dan menunjukkan gejala keracunan Fe pada tanaman yang peka. Hasil penelitian Dorlodot et al. (2005) pada konsentrasi Fe dalam larutan hara >250 ppm menunjukkan gejala keracunan besi dan menurunnya pertumbuhan tanaman. Sementara penelitian Lubis dan Noor (2010) menunjukkan peningkatan cekaman Fe dari konsentrasi Fe 143 ppm menjadi 325 ppm Fe meningkatkan gejala keracunan besi. Briat et al. (2007) dalam Galatro dan Puntarullo (2011) menyatakan mekanisme yang terdapat dalam tanaman untuk menghindari toksisitas Fe terdiri dari penglarutan (solubilization) dan transport jarak jauh Fe antar organ dan jaringan yang meliputi kompartementasi subselular dan remobilisasi, melibatkan kelasi dan oksidasi reduksi, aktivitas transport dan protein dapat larut. Selanjutnya menurut Wang dan Poverly (1999) dan Liang et al. (2006) mekanisme lain adalah terbentuknya plak di akar tanaman.

Cekaman ganda Al + Fe secara bersama-sama mengakibatkan hambatan pertumbuhan yang lebih tinggi (Gambar 12) dibandingkan cekaman tunggalnya (Gambar 10 dan 11). Distribusi Al dan Fe pada akar lebih banyak pada cekaman ganda (Gambar 14 dan 16) dibandingkan cekaman tunggalnya (13 dan 15). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian cekaman ganda Al dan Fe pada kedelai kuning yang dilakukan Noya (2014) menunjukkan bahwa cekaman ganda Al dan Fe diperoleh genotipe Anjasmoro dan Yellow biloxi adalah genotipe toleran pada batas cekaman tertinggi 0.5 mM Al + 0.2 mM Fe sedangkan Tanggamus dan Lawit adalah genotipe peka. Shamsai et al. (2008) menunjukkan bahwa cekaman ganda Al dan Cr pada tanaman kedelai menyebabkan pengaruh yang lebih besar (sinergis aditif) terhadap pertumbuhan kedelai. Sedangkan pada tanaman Barley pemberian cekaman Al dan Cr menyebabkan cekaman oksidatif yang lebih besar dibandingkan dengan cekaman tunggal keduanya pada pH 4 (Ali et al. 2011).

Penelusuran mekanisme adaptasi tanaman terhadap cekaman Al dan Fe dilakukan dengan mengamati akumulasi asam oksalat, asam sitrat dan asam malat pada genotipe yang toleran dan peka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa genotipe toleran (Cikuray) mampu mengakumulasi asam sitrat dan asam malat yang nyata lebih tinggi pada cekaman 0.5 mM Al + 0.1 mM Fe dibandingkan tanpa cekaman (tanpa cekaman) (Gambar 17 dan 18) sedangkan genotipe peka (Ceneng) tidak mampu mengakumulasi asam malat yang lebih tinggi dibandingkan tanpa cekaman. Asam organik berperan dalam penolakan Al melalui pelepasannnya dari akar dan detoksifikasi Al dalam simplas, dimana asam organik seperti asam sitrat dapat mengkelat Al dan mereduksi atau mencegah pengaruh racunnya pada tingkat seluler. Penelitian Ika et al. (2013) menunjukkan bahwa tanaman Eucalyptus yang toleran terhadap Al mengakumulasi asam sitrat yang nyata lebih tinggi pada konsentrasi 0.1 – 0.5 mM Al dibandingkan tanpa cekaman. Sedangkan menurut Prasetiyono dan Tasliah (2003) menunjukkan bahwa beberapa senyawa organik yang dihasilkan tanaman dan dapat mengkelat Al antara lain asam malat, asam sitrat, asam oksalat, asam fulfat, asam humat dan fenolat. Penelitian ini menunjukkan bahwa mekanisme adaptasi tanaman terhadap

cekaman Al dan Fe ditunjukkan dengan akumulasi asam organik yang lebih yang nyata pada genotipe toleran dibandingkan peka, sedangkan mekanisme adaptasi tanaman tidak ditunjukkan oleh perubahan pH larutan (Gambar 20).

Simpulan

Evaluasi 7 genotipe kedelai menunjukkan bahwa Cekaman Fe menyebabkan Tanggamus dan Cikuray menjadi genotipe yang toleran (0.2 dan 0.1 mM Fe), Lokal Malang, Ceneng, Detam 1 menjadi genotipe moderat (0.1 mM Fe), Malika dan Detam 2 menjadi genotipe yang peka (0.1 mM Fe). Cekaman Al genotipe Tanggamus, Cikuray, Lokal Malang menjadi genotipe toleran (0.5 mM Al), Ceneng, Malika, Detam 1, Detam 2 menjadi genotipe peka (0.5 mM Al). Cekaman Al + Fe menyebabkan Tanggamus dan Cikuray menjadi genotipe toleran (0.5 mM Al + 0.1 mM Fe), Lokal Malang merupakan genotipe moderat (0.5 mM Al + 0.1 mM Fe), Ceneng, Malika, Detam 1, Detam 2 menjadi goenotipe peka (0.5 mM Al + 0.1 mM Fe). Batas toleransi (threshold) cekaman Al pada Tanggamus, Cikuray dan Lokal Malang adalah 0.7 mM Al. Batas toleransi cekaman Fe pada Tanggamus 0.3 mM Fe, Cikuray dan Detam 1 0.2 mM Fe. Batas toleransi cekaman Al + Fe pada Tanggamus dan Cikuray 0.5 + 0.2 mM dan Lokal Malang 0.9 + 0.1 mM.

Cekaman ganda Al + Fe menyebabkan penghambatan pertumbuhan yang lebih tinggi dan kerusakan akar yang lebih besar dibandingkan cekaman tunggalnya. Mekanisme adaptasi terhadap cekaman Al dan Fe ditunjukkan dengan pengamatan akumulasi asam organik pada genotipe toleran dan peka. Genotipe toleran (Cikuray) mengakumulasi asam sitrat dan asam malat yang nyata lebih tinggi pada cekaman 0.5 mM Al + 0.1 mM Fe dibandingkan tanpa cekaman.

Saran

Perlu penelitian lanjutan dengan mengggunkan 3 genotipe untuk percobaan di lapangan yang terdiri 1 genotipe kedelai hitam yang toleran dan 1 genotipe peka terhadap cekaman Al dan Fe serta Tanggamus sebagai genotipe pembanding.

4

BUDIDAYA JENUH AIR DAN AMELIORAN