Abstrak
Pengembangan kedelai di tanah mineral dan mineral bergambut lahan marginal pasang surut dibatasi oleh tingginya Al dan Fe. Perbaikan lingkungan tumbuh dan penggunaan varietas dapat dilakukan untuk mengatasi cekaman lingkungan di lahan sub optimal. Penelitian ini bertujuan mendapatkan produktivitas kedelai pada berbagai jenis tanah dengan kedalaman muka air dan amelioran yang berbeda. Penelitian ini dilaksanakan di tanah mineral dan mineral bergambut tipe luapan B serta tanah mineral tipe luapan C lahan pasang surut Banyuasin, Sumatera Selatan. Penelitian berlangsung selama 5 bulan yang dimulai pada bulan April sampai September 2014. Metode yang digunakan menggunakan rancangan acak lengkap Split-split Plot dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah ketinggian muka air yakni: ketinggian muka air 10 cm dan ketinggian muka air 20 cm. Faktor ke-dua adalah varietas yakni: Tanggamus sebagai pembanding, Cikuray, Ceneng. Faktor ke-tiga adalah jenis amelioran yakni: air sungai air gambut dan air pasang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: pertumbuhan dan hasil kedelai terbaik berturut-turut pada tanah mineral tipe luapan C, mineral bergambut tipe luapan B, dan tanah mineral tipe luapan B. Kata kunci: amelioran, kedelai, mineral, mineral bergambut
Abstract
Soybean extensification on mineral and peaty mineral soils of tidal land are limited by Al and Fe toxicity. Modification of growing environment and the use of tolerant variety are the possible alternatives to overcome the limitation. An experiment was conducted with several objectives to compare the growth and yield soybean varities different conditions of soil in the tidal swamp. The experiment was held under mineral, peaty mineral soils with interaction types B and C of tidal swamp in Banyuasin, South Sumatera on May to August 2014. At each location, there was a three factor experiment was arranged in split-split design. The first factor was two water depth (10 and 20 cm), the second factor was three varieties (Tanggamus, Cikuray, Ceneng) and third factor was three different ameliorant (river water, peat water, high-tide water). The results demonstrated that, soybean growth and yield in a row on mineral soil C-type overflow, overflow B-type mineral peat and mineral soil overflow type B.
Pendahuluan
Kedelai merupakan tanaman pangan yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia karena berperan sebagai sumber protein nabati. Produksi kedelai pada tahun 2013 di Indonesia mencapai 780.16 ribu ton biji kering. Bila dibandingkan dengan produksi tahun 2012 sebesar 843.15 ribu ton biji kering mengalami penurunan 63 ribu ton biji kering (7.47%) (Dirjen Tanaman Pangan 2014). Menurut Departemen Pertanian (2009), produksi kedelai hitam dalam negeri hanya mampu mencukupi 30% dari kebutuhan dan sisanya diimpor. Kedelai hitam memiliki julukan sebagai rajanya protein tanaman. Kedelai hitam memiliki nutrisi yang tinggi, antioksidan dan sebagai bahan baku industri (Adie dan Krisnawati 2007). Selain itu kedelai hitam memiliki keunggulan yang lebih baik dibandingkan dengan kedelai kuning. Berdasarkan penelitian dari Takahashi
et al. (2005), kedelai hitam memiliki kandungan polyphenol yang lebih tinggi 29 ± 0.56 mg g-1dibandingkan dengan kedelai kuning 0.45 ± 0.02 mg g-1. Perbedaan ini terutama disebabkan karena kandungan antosianin pada kedelai hitam lebih tinggi dibandingkan pada kedelai kuning. Selain itu, menurut Cheng et al. (2011) mengemukakan bahwa nilai IC50 terhadap penghambatan DPPH pada fermentasi kedelai hitam sebesar 7.5 mg mL-1, memiliki nilai lebih kuat sebagai antioksidan dibandingkan dengan vitamin E (a-tocopherol; 17.4 mg/mL) dan serupa dengan vitamin C (ascorbic acid; 7.6 mg mL-1). Ginting dan Suprapto (2004) melaporkan bahwa kedelai hitam varietas Merapi mempunyai kandungan protein lebih tinggi (37.4%) dibanding kedelai kuning varietas Argomulyo (34.0%) dengan kadar lemak lebih rendah, sehingga kadar protein kecapnya juga lebih tinggi. Selanjutnya Adie dan Krisnawati (2007) melaporkan bahwa kecap yang dibuat dari kedelai hitam selain mempunyai aroma dan rasa kecap yang enak juga memiliki kandungan protein dan nutrisi yang lebih baik dibandingkan dengan kecap yang dihasilkan dari kedelai kuning.
Penelitian untuk pengembangan kedelai hitam tergolong masih minim. Minimnya pengembangan kedelai hitam mengakibatkan masih rendahnya produktivitas kedelai hitam di dalam negeri. Peningkatan produksi kedelai hitam dapat ditunjang dari peningkatan luas areal tanam hingga ke lahan-lahan marjinal (ekstensifikasi). Lahan pasang surut merupakan salah satu alternatif dalam mengatasi semakin menyusutnya lahan-lahan subur di pulau Jawa akibat konversi lahan. Luas lahan pasang surut di Indonesia diperkirakan sekitar 20.1 juta ha, dan sekitar 9.53 juta ha berpotensi untuk dijadikan sebagai lahan pertanian (Alihamsyah 2004).
Pengembangan budidaya tanaman di lahan pasang surut memiliki kendala tingginya kandungan Al dan Fe. Oksidasi pirit menyebabkan peningkatan ion H+. Nilai pH yang rendah menyebabkan penghancuran kisi-kisi mineral liat sehingga silikat dan Al3+ terlepas dari sulfat masam. Konsentrasi ion logam yang berlebihan dalam larutan akan menyebabkan keracunan tanaman. Pencegahan oksidasi pirit dapat dilakukan dengan pengelolaan air dan pemberian amelioran.
Salah satu usaha pengelolaan air dapat dilakukan dengan teknologi budidaya jenuh air yang merupakan penanaman dengan memberikan irigasi terus- menerus dan membuat kedalaman muka air tetap, sehingga lapisan di bawah permukaan tanah jenuh air. Kedalaman muka air tetap akan menghilangkan pengaruh negatif dari kelebihan air pada pertumbuhan tanaman, kemudian akan
63 beraklimatisasi dan selanjutnya tanaman memperbaiki pertumbuhannya. Budidaya jenuh air meningkatkan bobot kering akar dan bintil akar serta aktivitas bakteri penambat N bila dibandingkan cara irigasi biasa (Troedson
et al. 1983). Banyaknya bintil dan akar tanaman kedelai pada budidaya jenuh air akan meningkatkan serapan hara daun, sehingga meningkatkan hasil kedelai dibandingkan cara konvensional (Ghulamahdi et al. 2009).
Penggunaan amelioran bertujuan memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa amelioran berfungsi meningkatkan nilai pH (Kurniawan 2007; Raihan 2007), meningkatkan ketersediaan unsur hara, memperbaiki kandungan air dan permeabilitas tanah (Kurniawan 2007). Asam humat dapat digunakan sebagai bahan amelioran tanah mampu berinteraksi dengan ion logam sehingga dapat memperbaiki kualitas tanah. Hasil penelitian Ernawati (2009) menunjukkan bahwa penyiraman air gambut 2.4 liter/kg tanah dapat menurunkan Al-dd dan meningkatkan pH tanah masam. Selanjutnya pemberian senyawa humat dapat menurunkan Al-dd dari 5.99 me/100 g menjadi 5.33 me/100 g (Manfarizah 1999).
Penggunaan varietas kedelai hitam yang toleran dan penggunaan amelioran serta pengaturan tinggi muka air diharapkan meningkatkan produktivitas kedelai hitam di lahan pasang surut. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan: mendapatkan produktivitas kedelai pada tanah mineral tipe luapan C, tanah mineral bergambut tipe luapan B, dan tanah mineral tipe luapan B dengan kedalaman muka air dan amelioran yang berbeda.
Bahan dan Metode
Penelitian ini dilaksanakan pada 3 kondisi tanah (mineral tipe luapan C yang sudah pernah ditanami 6 kali kedelai, mineral tipe luapan B yang belum pernah ditanami kedelai, dan mineral bergambut tipe luapan B yang sudah pernah ditanami kedelai 2 kali) di lahan pasang surut Banyuasin, Sumatera Selatan. Tipe luapan B adalah lahan yang terluapi air pada saat pasang besar sedangkan tipe luapan C adalah lahan yang tidak pernah terluapi air pasang tetapi air pasang berpengaruh pada air tanah dan kedalaman muka air tanah kurang dari 50 cm. Penelitian berlangsung selama 5 bulan yang dimulai pada bulan Mei sampai Agustus 2014. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Metode yang digunakan menggunakan rancangan acak lengkap Split-split Plot 3 faktor dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah ketinggian muka air yakni: kedalaman muka air 10 cm dan kedalaman muka air 20 cm. Faktor ke-dua adalah varietas yakni: Tanggamus (sebagai pembanding), Cikuray dan Ceneng. Faktor ketiga adalah kondisi amelioran yakni: air sungai, air gambut, dan air pasang.
Kegiatan penelitian dimulai dengan pengolahan ringan tanah lapisan atas. Amelioran diberikan seminggu sekali dengan dosis 2.4 L kg-1 tanah. Amelioran air sungai berasal dari sungai di saluran primer lahan pasang surut, amelioran air gambut berasal dari air gambut lahan pasang surut tipe luapan B. Amelioran air pasang berasal dari sungai saluran tersier pada saat air pasang. Pupuk dasar diberikan 1 minggu sebelum tanam. Pupuk dasar terdiri atas: 100 kg KCl ha-1 dan 200 kg SP36 ha-1. Pupuk Urea diberikan melalui daun dengan dosis 10 g L-1 air diberikan pada umur 2 dan 4 minggu setelah tanam. Benih yang telah diberi inokulan Rhizobium sp (5 g Rhizobium sp kg-1 benih) dan Marshal (insektisida
berbahan aktif karbosulfon 25.53%) ditanam dengan jarak tanam 40 cm x 12.5 cm.
Selama penelitian ketinggian muka air dalam saluran dipertahankan 10 dan 20 cm sesuai perlakuan dengan memasukkan air dari saluran tersier ke dalam saluran. Bambu berskala dipasang pada setiap saluran air untuk membantu mengontrol kedalaman muka air.
Kegiatan pemeliharaan meliputi penyiangan gulma serta pengendalian hama dan penyakit. Kedelai hitam dipanen jika sudah menunjukkan masak fisiologis yang ditandai dengan menguningnya daun dan polong berwarna coklat kehitaman Pengamatan dilakukan terhadap karakter pertumbuhan dan hasil kedelai.
Data penelitian dianalisis dengan sidik ragam pada taraf 5% dan jika berpengaruh nyata dilanjutkan dengan DMRT. Perbandingan pertumbuhan dan hasil kedelai pada lokasi yang berbeda menggunakan uji t student.
Hasil dan Pembahasan Hasil
Hasil analisis tanah (Tabel 23) menunjukkan bahwa kondisi tanah yang berbeda mempengaruhi cekaman abiotik. Secara umum Al dan Fe merupakan faktor pembatas pertumbuhan tanaman di lahan pasang surut kecuali pada tanah mineral tipe luapan C. Kandungan Al dan Fe pada tanah mineral tipe luapan B tergolong tinggi dan sangat tinggi masing-masing sebesar 8.08 dan 69.85 00 ppm, sedangkan pada tanah Mineral tipe luapan Bergambut yang menjadi faktor pembatas adalah Fe yang tergolong tinggi sebesar 59.76 ppm.
Kandungan Fe pada tanah mineral tipe luapan C, mineral tipe luapan B dan mineral bergambut tipe luapan B masing-masing sebesar 11.74, 69.85 dan 59.76 ppm. Noya (2014) melaporkan bahwa cekaman ganda Al dan Fe menghasilkan penghambatan perpanjangan akar yang lebih tinggi dibandingkan cekaman tunggal Al atau Fe. Fe dan Al bukan merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan hasil tanaman pada mineral tipe luapan C tetapi yang menjadi fakor pembatas adalah tingginya kandungan Na sebesar 1.74 (me 100g-1). Pertumbuhan dan hasil kedelai pada tiga kondisi tanah menunjukkan perbedaan yang sangat nyata. Secara umum tanah mineral tipe luapan C menghasilkan pertumbuhan dan hasil yang nyata lebih tinggi dibandingkan mineral bergambut tipe luapan B dan mineral tipe luapan B. Pada mineral tipe luapan C bobot tajuk meningkat secara nyata sebesar 77.64 g, bobot akar 3.24 g, jumlah polong 95.74 dan produktivitas 4.60 ton ha-1 (Gambar 25). Pertumbuhan pertumbuhan tanaman pada tanah mineral tipe luapan C, tanah mineral bergambut tipe luapan B, dan tanah mineral tipe luapan B disajikan pada Gambar 26.
Produktivitas kedelai di lahan pasang surut beragam berdasarkan kondisi tanah dan tipe luapan. Tingkat kesuburan tanah dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai. Berdasarkan Tabel 23 pada tanah mineral tipe luapan C memiliki faktor pembatas pertumbuhan yang paling sedikit dibandingkan mineral bergambut tipe luapan B dan mineral tipe luapan B terutama kadar Al dan Fe yang rendah masing-masing sebesar 1.45 dan 2.5 me 100g-1.
65
Tabel 23 Hasil analisis tanah awal lahan mineral tipe luapan C, mineral tipe luapan B dan mineral bergambut tipe luapan B
Kriteria Mineral (tipe luapan C) Mineral (tipe luapan B) Mineral bergambut (tipe luapan B)
1. pH H2O 4.5 (masam) 4.3 (sangat masam) 4.2 (sangat masam)
2. pH KCl 3.7 (sangat masam) 3.5 (sangat masam) 3.3 (sangat masam)
3. C Organik (%) 3.4 (mineral) 5.4 (mineral) 38 (mineral bergambut)
4. N total (%) 0.22 (sedang) 0.34 (sedang) 1.85 (sangat tinggi)
5. P tersedia (ppm) 7.66 (sedang) 27.5 (sangat tinggi) 45.8 (sangat tinggi) 6. Ca (me 100g-1) 5.65 (sedang) 4.29 (sedang) 8.3 (sedang) 7. Mg (me 100g-1) 6.15 (tinggi) 2.3 (tinggi) 2.76 (tinggi) 8. K (me 100g-1) 0.32 (sedang) 0.67 (tinggi) 0.71 (tinggi)
9. Na (me 100g-1) 1.74 (sangat tinggi)
0.41 (sedang) 0.45 (sedang)
10. KTK (me 100g-1) 28.43 (tinggi)
27.89 (tinggi) 89.68 (sangat tinggi) 11. Al (me 100g-1) 1.45 (rendah)
8.09 (tinggi) 2.5 (rendah)
12. Mn (ppm) 19.05 (tinggi) 2.87 (sedang) 24.85 (sangat tinggi)
13. Fe (ppm) 11.74 (rendah) 69.85 (sangat tinggi) 59.76 (sangat tinggi)
14. KB (%) 48.75 (sedang) 27.5 (rendah) 13.6 (sangat rendah)
Sumber: Laboratorium Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB (2014) Kriteria: Badan penelitian dan pengembangan pertanian 2012
Irisan melintang tanah pada tanah mineral bergambut dan tanah mineral lahan pasang surut disajikan pada Gambar 24. Pada tanah mineral bergambut mempunyai lapisan bahan organik pada bagian permukaan tanah sedangkan pada tanah mineral tidak memiliki lapisan bahan organik.
Gambar 24 Irisan tanah mineral bergambut (kiri) dan tanah mineral (kanan) pada lahan pasang surut
Faktor pembatas pertumbuhan dan hasil tanaman menentukan produktivitas tanaman. Berdasarkan uji t student menunjukkan bahwa terdapat perbedaaan yang sangat nyata pada tanah mineral tipe luapan C, tanah mineral bergambut tipe luapan B, dan tanah mineral tipe luapan B. Produktivitas tertinggi berturut-turut dicapai pada tanah mineral tipe luapan C, tanah mineral bergambut tipe luapan B, dan tanah mineral tipe luapan B masing-masing sebesar 4.60, 3.65, dan 0.32 ton ha-1 (Gambar 25).
Gambar 25 Perbandingan pertumbuhan dan hasil kedelai pada tanah mineral tipe luapan C, mineral bergambut dan mineral tipe luapan B
Tanaman memiliki respon yang berbeda terhadap cekaman lingkungan. Pertumbuhan dan akar kedelai pada tanag mineral tipe luapan C, mineral bergambut tipe luapan B, dan tanah mineral tipe luapan B disajikan pada Gambar 26. Tanaman yang keracunan Al dan Fe menunjukkan respon morfologi yang berbeda. Perbedaan keracunan Al dan Fe ditunjukkan pada Gambar 27.
Gambar 26 Pertumbuhan dan akar kedelai pada tanah mineral tipe luapan C (kiri), mineral bergambut tipe luapan B (tengah) dan mineral tipe luapan B (kanan)
67
Gambar 27 Gejala cekaman Al (kiri) dan cekaman Fe (kanan) pada daun tanaman kedelai
Produktivitas kedelai mineral tipe luapan C pada kedalaman muka air 10 cm menunjukkan bahwa semua amelioran yang diberikan tidak berbeda pengaruhnya pada varietas Tanggamus, Cikuray dan Ceneng dengan amelioran air sungai menghasilkan produktivitas tertinggi masing-masing sebesar 2.06 dan 1.73 ton ha-1. Pada kedalaman muka air 20 cm, produktivitas Tanggamus tertinggi pada amelioran air pasang sebesar 5.95 ton ha-1 tetapi tidak berbeda dengan Cikuray dan Ceneng pada semua amelioran kecuali pada Ceneng dengan amelioran air pasang sebesar 3.07 ton ha-1. Produktivitas kedelai yang diperoleh pada BJA di penelitian ini lebih tinggi dari potensi hasil yang dimiliki pada varietas Tanggamus dan Cikuray masing-masing sebesar 1.22 ton ha-1 dan 1.70 ton ha-1 (Lampiran 5 dan 8).
Produktivitas kedelai mineral bergambut tipe luapan B kedalaman muka air 10 cm pada Tanggamus tertinggi dengan amelioran air gambut sebesar 3.04 ton ha-1 tetapi tidak berbeda dengan amelioran air pasang, Cikuray dan Ceneng pada semua amelioran tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Pada kedalaman muka air 20 cm, produktivitas Tanggamus tertinggi dengan amelioran air sungai, Cikuray dan Ceneng pada semua amelioran tidak menunjukkan perbedaan.
Produktivitas kedelai mineral tipe luapan B kedalaman 10 cm pada Tanggamus, Cikuray dan Ceneng tertinggi pada amelioran air gambut masing- masing sebesar 0.51 dan 0.49 ton ha-1 sebesar 0.51 ton ha-1 dan 0.49 ton ha-1. Pada kedalaman 20 cm, varietas dengan semua amelioran tidak menunjukkan produktivitas yang berbeda nyata (Tabel 24).
Tabel 24 Rata-rata produktivitas tanaman (ton ha-1) pada berbagai perlakuan kedalaman muka air dan amelioran yang berbeda
Var Mineral (tipe luapan C)
Mineral bergambut
(tipe luapan B) Mineral (tipe luapan B)
Air sungai Air gambut Air pasang Air sungai Air gambut Air pasang Air sungai Air gambut Air pasang Kedalaman muka air 10 cm
Ta 3.18 Aa 3.48 Aa 3.14 Aa 2.62 Ba 3.04 Aa 2.85 Aa 0.14 Ab 0.51 Aa 0.17 Ab Ci 2.06 Aa 1.86 Ba 1.79 Ba 2.79 Ba 3.06 Aa 4.57 Aa 0.22 Ab 0.49 Aa 0.20 Ab Ce 1.73 Aa 0.90 Ba 0.88 Ca 3.64 Aa 2.62 Ab 2.77 Aab 0.12 Aa 0.49 Aa 0.37 Aab Kedalaman muka air 20 cm
Ta 4.31 Aa 4.23 Aa 5.95 Aa 4.52 Aa 3.67 Ab 3.98 Ab 0.13 Aa 0.30 Aa 0.16 Aa Ci 4.72 Aa 4.52 Aa 5.35 Aa 4.27 Aa 3.74 Aa 3.31 Aa 0.34 Aa 0.58 Aa 0.40 Aab Ce 3.26 Aa 3.60 Aa 3.07 Ba 5.11 Aa 4.61 Aa 4.46 Aa 0.27 Aa 0.30 Aa 0.50 Aa Keterangan: huruf kapital di belakang angka membandingkan antar varietas dan hruf kecil di belakang angka
membandingkan amelioran. Ta = Tanggamus, Ci = Cikuray, Ce = Ceneng
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaaan yang sangat nyata pada tanah mineral tipe luapan C, tanah mineral bergambut tipe luapan B, dan tanah mineral tipe luapan B. Produktivitas tertinggi berturut-turut dicapai pada tanah mineral tipe luapan C, tanah mineral bergambut tipe luapan B, dan tanah mineral tipe luapan B masing-masing sebesar 4.60, 3.65, dan 0.32 ton ha-1 (Gambar 27). Perbedaan produktivitas tersebut disebabkan faktor pembatas yang berbeda pada setiap jenis tanah. Pada tanah mineral tipe luapan C, Al dan Fe termasuk rendah masing-masing sebesar 1.45 dan 11.74 ppm sehingga tidak menghambat pertumbuhan dan hasil tanaman. Pada tanah mineral bergambut tipe luapan B, Al sebesar 2.5 ppm termasuk rendah tetapi kadar Fe yangsangat tinggi sebesar 58.76 ppm merupakan faktor pembatas. Pada tanah mineral tipe luapan B, Al dan Fe merupakan faktor pembatas dengan kadanr Al dan Fe masing-masing sebesar 8.09 dan 69.5 ppm yang termasuk tinggi dan sangat tinggi.
Cekaman abiotik menyebabkan pertumbuhan tanaman berbeda. Morfologi tanaman ditunjukkan pada Gambar 26. Semakin tinggi cekaman akan semakin menghambat pertumbuhan tanaman. Cekaman Al dan Fe menunjukkan gejala yang berbeda pada daun tanaman (Gambar 27). Gejala keracunan Al yang umum ditemui pada tanaman adalah penghambatan pertumbuhan akar (Foy et al. 1978). Pengaruh Al terhadap penyerapan hara terjadi karena gangguan sistem perakaran, dan gangguan penyerapan hara juga terjadi karena pengaruh langsung interaksi Al dengan fosfor (P) sehingga P menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Kekahatan P sangat menghambat proses pembelahan sel dan fotosintesis (Marschner 2012) sehingga menjadi kendala dalam produksi tanaman di tanah masam (Kochian et al. 2004; Zheng 2010). Xiaobing et al. (2008), pemilihan genotipe merupakan langkah awal yang menentukan keberhasilan penanaman kedelai. Keracunan Fe menyebabkan terhambatnya pembentukan klorofil. Terhambatnya pembentukan klorofil karena dua atau tiga macam enzim yang mengkatalisis reaksi tertentu dalam sintesis klorofil tampaknya memerlukan Fe2+ (Salisbury dan Ross 1995).
69 Keracunan Al pada tanaman merupakan faktor pembatas utama bagi pertumbuhan tanaman di lahan masam (Basu et al. 1994; Jones dan Kochian 1995). Mekanisme keracunan Al diawali dengan sejumlah besar Al diserap di ujung akar. Al terikat pada inti ujung sel akar, dan segera berikatan dengan P pada DNA sehingga menyebabkan penghambatan pembelahan sel. Selain itu, pada kondisi tercekam Al protoplasma menjadi berukuran lebih kecil, abnormal, berkerut dan menebal. Pada daun, gejala yang tampak seperti kekurangan P yaitu kerdil, kecil, warna daun menjadi hijau tua, lambat matang, batang dan urat daun berwarna merah lembayung dan diikuti dengan mengering dan matinya ujung akar (Rout et al. 2001).
Kadar Al lebih rendah pada genotipe yang toleran dibandingkan peka. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Noya (2014) yang menunjukkan bahwa genotipe toleran memiliki kadar Al pada akar yang lebih rendah dibandingkan dengan genotipe peka. Mekanisme toleransi terhadap cekaman Al meliputi mekanisme internal (toleran) dan eksternal (penghindaran). Mekanisme internal merupakan suatu mekanisme yang menyebabkan tanaman memiliki daya toleransi mengakumulasi Al dalam sel meliputi detoksifikasi logam melalui pengikatan dalam sitosol atau dikompartementasikan ke vakuola (Siedlecka et al.
2001). Menurut Reddy dan DeLaune 2008, pada kondisi tanah sangat masam maka konsentrasi Al 3+ dan Fe3+ ini jauh melebihi H2PO4- (bentuk H2PO4- dominan terhadap pada tanah masam) sehingga membentuk lebih banyak fosfat yang tidak larut.
Perngaturan ketalaman muka air, amelioran dan genotipe akan menentukan pertumbuhan dan hasil tanaman. Produktivitas kedelai mineral tipe luapan C pada kedalaman muka air 10 cm, semua amelioran yang diberikan tidak berbeda pengaruhnya pada varietas Tanggamus, Cikuray dan Ceneng dengan amelioran air sungai menghasilkan produktivitas tertinggi masing-masing sebesar 2.06 dan 1.73 ton ha-1. Pada kedalaman muka air 20 cm, produktivitas Tanggamus tertinggi pada amelioran air pasang sebesar 5.95 ton ha-1 tetapi tidak berbeda dengan Cikuray dan Ceneng pada semua amelioran kecuali pada Ceneng dengan amelioran air pasang sebesar 3.07 ton ha-1. Produktivitas kedelai yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi dari potensi hasil yang dimiliki pada varietas Tanggamus dan Cikuray masing-masing sebesar 1.22 ton ha-1 dan 1.70 ton ha-1 (Lampiran 5 dan 8). Selanjutnya Bertham (2006) menunjukkan bahwa produktivitas Ceneng sebesar 3 ton ha-1.
Produktivitas kedelai mineral bergambut tipe luapan B kedalaman muka air 10 cm pada Tanggamus tertinggi dengan amelioran air gambut sebesar 3.04 ton ha-1 tetapi tidak berbeda dengan amelioran air pasang, Cikuray dan Ceneng pada semua amelioran tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Pada kedalaman muka air 20 cm, produktivitas Tanggamus tertinggi dengan amelioran air sungai, Cikuray dan Ceneng pada semua amelioran tidak menunjukkan perbedaan.
Produktivitas kedelai mineral tipe luapan B kedalaman 10 cm pada Tanggamus, Cikuray dan Ceneng tertinggi pada amelioran air gambut masing- masing sebesar 0.51 dan 0.49 ton ha-1 sebesar 0.51 ton ha-1, dan 0.49 ton ha-1. Pada kedalaman 20 cm, varietas dengan semua amelioran tidak menunjukkan produktivitas yang berbeda nyata (Tabel 24). Hasil ini lebih rendah daripada produktivitas kedelai nasional yang mencapai 1.3 ton ha-1.
Perbedaan produktivitas lahan disebabkan oleh kondisi cekaman yang berbeda dan lahan yang belum pernah ditanami kedelai (mineral tipe luapan B menghasilkan produktivitas yang rendah. Pada tanah mineral tipe luapan C yang sudah pernah ditanami kedelai sebanyak 6 kali mengakibatkan cekaman lingkungan tdak sebesar pada tanah mineral tipe lupan B.
Simpulan
Pertumbuhan dan hasil kedelai terbaik berturut-turut pada tanah mineral tipe luapan C, mineral bergambut tipe luapan B dengan produktivitas masing-masing sebesar 4.60, 3.65, dan 0.32 ton ha-1, dan tanah mineral tipe luapan B. Perbedaan pertumbuhan dan hasil pada ketiga kondisi lahan disebabkan oleh faktor pembatas yang berbeda. Semakin banyak cekaman lingkungan menyebabkan penghambatan pertumbuhan dan hasil tanaman yang lebih besar. Perngaturan kedalaman muka air, amelioran dan genotipe akan menentukan pertumbuhan dan hasil tanaman. Produktivitas kedelai mineral tipe luapan C pada kedalaman muka air 10 cm, semua amelioran yang diberikan tidak berbeda pengaruhnya pada varietas Tanggamus, Cikuray dan Ceneng dengan amelioran air sungai menghasilkan produktivitas tertinggi masing-masing sebesar 2.06 dan 1.73 ton ha-1. Pada kedalaman muka air 20 cm, produktivitas Tanggamus tertinggi pada amelioran air pasang sebesar 5.95 ton ha-1 tetapi tidak berbeda dengan Cikuray dan Ceneng pada semua amelioran kecuali pada Ceneng dengan amelioran air pasang sebesar