PENINGKATAN DAYA ADAPTASI BEBERAPA GENOTIPE
KEDELAI HITAM (
Glycine soja
) DENGAN PEMBERIAN
AMELIORAN AIR PADA TANAH MINERAL BERGAMBUT
LAHAN PASANG SURUT
HESTI PUJIWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Peningkatan Daya Adaptasi Beberapa Genotipe Kedelai Hitam (Glycine soja) dengan Pemberian Amelioran Air pada Tanah Mineral Bergambut Lahan Pasang Surut adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, April 2016
Hesti Pujiwati
RINGKASAN
HESTI PUJIWATI. Peningkatan Daya Adaptasi Beberapa Genotipe Kedelai Hitam (Glycine soja) dengan Pemberian Amelioran Air pada Tanah Mineral Bergambut Lahan Pasang Surut. Dibimbing oleh MUNIF GHULAMAHDI, SUDIRMAN YAHYA, SANDRA ARIFIN AZIZ dan OTENG HARIDJAJA.
Pengembangan kedelai hitam di lahan pasang surut dihadapkan pada kendala tingginya cekaman Al dan Fe yang dapat mengganggu pertumbuhan dan hasil tanaman. Penelitian secara umum bertujuan untuk mendapatkan mekanisme toleransi kedelai hitam pada kondisi cekaman Al dan Fe serta mendapatkan amelioran yang tepat dalam upaya pengembangan kedelai hitam di tanah mineral bergambut pasang surut pada budidaya jenuh air (BJA).
Penelitian ini difokuskan pada studi fisiologi mekanisme toleransi kedelai hitam terhadap cekaman Al dan Fe yang umum terjadi di lahan pasang surut. Percobaan 1 merupakan percobaan kultur hara untuk mendapatkan mekanisme adaptasi kedelai hitam terhadap Al dan Fe sebagai acuan ilmiah informasi strategi tanaman untuk dapat bertahan pada lahan mineral bergambut. Percobaan 2 merupakan percobaan di rumah kaca untuk mendapatkan jenis amelioran yang tepat dalam mengurangi cekaman Al dan Fe. Selanjutnya penelitian 3 merupakan percobaan lapangan untuk mendapatkan produktivitas kedelai di tanah mineral bergambut tipe luapan B yang dibandingkan dengan tanah mineral tipe luapan B dan C.
Penentuan genotipe kedelai yang toleran dan peka terhadap cekaman Al dan Fe ditentukan oleh indeks sensitifitas panjang akar. Berdasarkan indeks sensitifitas panjang akar menunjukkan bahwa cekaman Fe menyebabkan Tanggamus dan Cikuray menjadi genotipe yang toleran (0.2 dan 0.1 mM Fe), Lokal Malang, Ceneng, Detam 1 menjadi genotipe moderat (0.1 mM Fe), Malika dan Detam 2 menjadi genotipe yang peka (0.1 mM Fe). Cekaman Al genotipe Tanggamus, Cikuray, Lokal Malang menjadi genotipe toleran (0.5 mM Al), Ceneng, Malika, Detam 1, Detam 2 menjadi genotipe peka (0.5 mM Al). Cekaman Al + Fe menyebabkan Tanggamus dan Cikuray menjadi genotipe toleran (0.5 mM Al + 0.1 mM Fe), Lokal Malang merupakan genotipe moderat (0.5 mM Al + 0.1 mM Fe), Ceneng, Malika, Detam 1, Detam 2 menjadi goenotipe peka (0.5 mM Al + 0.1 mM Fe). Mekanisme adaptasi terhadap cekaman Al dan Fe melalui pengamatan akumulasi asam organik pada genotipe toleran dan peka. Genotipe toleran (Cikuray) mengakumulasi asam sitrat dan asam malat yang nyata lebih tinggi pada cekaman 0.5 mM Al + 0.1 mM Fe dibandingkan kontrol. Cekaman ganda Al + Fe menyebabkan penghambatan pertumbuhan yang lebih tinggi dan kerusakan akar yang lebih besar dibandingkan cekaman tunggalnya.
Teknologi BJA mampu meningkatkan pertumbuhan dan hasil kedelai hitam dibandingkan dengan budidaya kering. BJA nyata meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang, panjang akar, bobot kering tajuk, jumlah polong dan bobot biji per tanaman dibandingkan dengan budidaya kering. Amelioran air gambut nyata meningkatkan jumlah polong dan bobot biji per tanaman.
kedalaman muka air dan genotipe. Kedalaman muka air 20 cm dengan genotipe Ceneng nyata meningkatkan produktivitas kedelai di tanah mineral bergambut tipe luapan B dan perlakuan amelioran tidak berbeda nyata.
Penerapan BJA dan pemberian amelioran pada tanah mineral tipe luapan B yang memiliki cekaman ganda Al dan Fe menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara kedalaman muka air, amelioran dan genotipe. Tingginya cekaman Al dan Fe pada tanah mineral tipe luapan B menyebabkan pengaruh pengaturan kedalaman muka air 10 dan 20 cm belum dapat meningkatkan produksi. Air gambut mampu meningkatkan bobot biji per tanaman dan bobot biji petak panen. Kandungan asam humat dan asam fulfat pada air gambut dapat mengurangi cekaman Al dan Fe. Asam-asam organik tersebut dapat membentuk ikatan kompleks dengan Al dan Fe.
SUMMARY
HESTI PUJIWATI. Improving Black Soybean (Glycine soja) Genotype Adaptation with Water Ameliorant on Tidal Swamp Peaty Mineral Soil. Supervised by MUNIF GHULAMAHDI, SUDIRMAN YAHYA, SANDRA ARIFIN AZIZ and OTENG HARIDJAJA
Black soybean development in tidal swamp with the constraints of the high stress of Al and Fe could interfere with the growth and yield. This research aims to find black soybean tolerance mechanisms in Al and Fe stress conditions as well as getting the right ameliorant in the development of black soybean cultivation in peaty mineral soil on saturated soil culture.
The research focused on the study of the physiology of black soybean tolerance mechanisms to Al and Fe stress are common in tidal swamp area. Experiment 1 is a nutrient culture experiments to find black soybean adaptation mechanism to Al and Fe as a scientific reference information the strategy of plant to survive on peaty mineral soil. Experiment 2 was design in green house to find the right kind of ameliorant to out come Al and Fe toxicities. Fieldwork carried out as a calibration in greenhouse experiment. Further research 3 is a field trial to obtain soybean productivity in peaty mineral soil overflow type B are compared with mineral soil overflow type B and C.
Determining of the tolerant and sensitive soybean genotypes to Al and Fe stress are demonstrated by the length of root sensitivity index. Evaluation of seven soybean genotypes showed that Fe stress led Tanggamus and Cikuray grouped into tolerant genotypes (0.2 and 0.1 mM Fe), Local Malang, Ceneng, Detam 1 to moderate genotypes (0.1 mM Fe), and Malika and Detam 2 to sensitive genotype (0.1 mM Fe). In other hand, Al stress showed the grouping of Tanggamus, Cikuray, Local Malang genotype into tolerant genotypes (0.5 mM Al), Ceneng, Malika, Detam 1, Detam 2 determined into sensitive genotype (0.5 mM Al). Stress of Al + Fe caused Tanggamus and Cikuray grouped into tolerant genotypes (0.5 mM Al + 0.1 mM Fe), Local Malang is determined as moderate genotype (0.5 mM Al + 0.1 mM Fe), Ceneng, Malika, Detam 1, Detam 2 becomes sensitive genotype (0.5 mM Al + 0.1 mM Fe). The mechanism of adaptation Al and Fe stress was done by observing the accumulation of organic acids in tolerant and susceptible genotypes. Tolerant genotypes (Cikuray) accumulated citric acid and malic acid significantly higher at 0.5 mM Al + 0.1 mM Fe than controls. Al + Fe double stresses caused inhibition of plant growth and the root damage greater than the only one stress.
Saturated soil culture technology enhances growth and yield of black soybean compared to dry-land cultivation. Saturated soil culture real increase plant height, leaf number, number of branches, root length, shoot dry weight, number of pods and seed weight per plant compared to dry-land cultivation. Ameliorant of peat water significantly increased the number of pods and weight of seed per plant.
between the depth of water surface and genotype. The water depth of 20 cm and using Ceneng genotype was significantly increasing soybean productivity in peat-mineral soil with submerged area B types and the ameliorant treatments were not significantly different.
Implementation of saturated soil culture and substitution of ameliorant on mineral soils with submerged area type B which has a double stress of Al and Fe showed that there is no interaction between the depth of the water surface, ameliorant and genotype. The intensive stress of Al and Fe in mineral soil with submerged area type caused the effect of the water surface depth management between level of 10 cm and 20 cm in peat area was different. The acid water in peat area is able to increase the weight of seeds per plant and real seed weight per plot. Humic acid content and acid in peat water reduces the stress caused by high Al and Fe. Organic acids can form complex bonds with Al and Fe.
The best plant growth and productivity of soybean was on mineral soil with submerged area C types, peat-mineral soil with submerged area B type and mineral soil with submerged area B type, respectively 4.60, 3.65 and 0.32 tons ha-1. The difference between growth and productivity in those land conditions caused by the constraint. The greater following environmental stress causes significant higher inhibition of the growth and yield level.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura
PENINGKATAN DAYA ADAPTASI BEBERAPA GENOTIPE
KEDELAI HITAM (
Glycine soja
) DENGAN PEMBERIAN
AMELIORAN AIR PADA TANAH MINERAL BERGAMBUT
LAHAN PASANG SURUT
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2016
Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Prof Dr Ir Didy Sopandie, MAgr 2. Ir Atang Sutandi MSi PhD
k2kKt<a4[c+a<t %4T<T8J+d+Tt+p+t2+Ye+a<t4Z.+8+<t 4TXe<Y4t424L+<t=e+Qt 24T8+Tt%4Q.4[A+TtQ4M<X[+TtA[tY+2+t'+T+;t !>T4Z+Mt4\8,Q.kdt,/+Tt%+a,T8t&kZmdt
#,Q+t #"t
t 4ad<t%kE<o+d<t
t t
"fR<5t !&t 4cn+t
%ZX6t\t&+t 2\+t[<7Tt !&t W88Xd+t
4hk+t%ZX:+Qt&dl2?t8ZXTXQBt 3+TtXZcCJkMgmZ+t
"&1t
?a4^mFk<tXM4;t
X_<b<t%4Q.<`.<T8t
<J4g+;kAtXN4;t
+T88+Mt)I<+Tt't4ZgmhmYt t tt4.[n+jDtt
(-88+Mt&<2+T8t%[XSXa<t tYiDN t
%]X5Zt&l2<UV+Tt "&0t
T88Xg+t
Zt "&1t
T88Xd+t
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga Disertasi ini berhasil diselesaikan. Penelitian berjudul Peningkatan Daya Adaptasi Berbagai Genotipe Kedelai Hitam (Glycine soja) dengan Pemberian Amelioran Air pada Tanah Mineral Bergambut Lahan Pasang Surut.
Disertasi ini disusun berdasarkan 3 (tiga) kegiatan penelitian yang dilaksanakan secara terpadu. Ketiga penelitian ini merupakan kesatuan penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan kedelai yang memiliki daya adaptasi tinggi pada kondisi cekaman Al dan Fe di lahan pasang surut. Pendekatan “from lab to
land” pada penelitian ini merupakan pertimbangan penerapan teknologi
pengelolaan kedelai pada lahan mineral bergambut berdasarkan rangkaian percobaan.
Penelitian pertama merupakan penelitian kultur hara dengan menggunakan 6 genotipe kedelai hitam dan 1 genotipe kedelai kuning (sebagai pembanding). Tujuan penelitian adalah mengevaluasi 7 genotipe kedelai terhadap cekaman Al dan Fe serta mendapatkan mekanisme 3 genotipe kedelai terhadap cekaman Al dan Fe.
Penelitian kedua merupakan penelitian yang dilakukan di green house yang bertujuan mendapatkan cara untuk mengatasi cekaman Al dan Fe. Amelioran dan sistem budidaya yang tepat dapat mengatasi cekaman Al dan Fe serta dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil kedelai di tanah mineral bergambut.
Penelitian ketiga merupakan penelitian lapangan yang bertujuan untuk mendapatkan amalioran, kedalaman muka air, dan genotipe yang tepat dalam mengatasi cekaman Al dan Fe serta menghasilkan pertumbuhan dan hasil terbaik di tanah mineral bergambut tipe luapan B. Penelitian juga dilakukan pada tanah mineral tipe luapan B dan C untuk membandingkan pertumbuhan dan hasil kedelai pada kondisi tanah yang berbeda di lahan pasang surut
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan disertasi ini tidak mungkin diselesaikan sendiri tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu dengan penuh keikhlasan dan penghargaan yang tulus kepada:
1. Prof Dr Ir Munif Ghulamahdi, MS, Prof Dr Ir Sudirman Yahya, MSc, Prof Dr Ir Sandra Arifin Aziz, MS dan Dr Ir Oteng Haridjaja, MSc, selaku komisi pembimbing atas semua saran, arahan dan bimbingan dalam penyusunan konsep penelitian sampai selesainya penulisan disertasi
2. Dr Maya Melati, MS MSc dan Dr Desta Wirnas, MSi sebagai penguji ujian prelim lisan atas semua saran dan masukan dalam penulisan disertasi
3. Prof Dr Ir Didy Sopandie, MAgr dan Ir Atang Sutandi MSi PhD sebagai penguji luar komisi ujian tertutup serta Prof Dr Ir Didy Sopandie, MAgr dan Dr Ir Dedi Nursyamsi, MAgr sebagai anggota luar komisi sidang promosi atas semua saran dan koreksi kontruktif yang memperkaya penulisan disertasi ini
5. Rekan-rekan Sekolah Pascasarjana IPB S2 dan S3 AGH angkatan 2012 dan 2013 khususnya S3 AGH angkatan 2012 (Farida MSc, Melati, MSi, Dwiwanti, MSi, Yulinda Tanari, MSi, Inanpi Hidayati, MSi, dan Sugito Loso, MSi) yang telah memberikan dukungan dan kerjasama selama melaksanakan pendidikan
6. Rekan-rekan Tim Peneliti Kedelai di lahan pasang surut Palembang (Safina MSi, Aulia Wika Pratama SP, Daner Sagala, SP MSi, Bahtiar, SP MSi) yang telah bekerjasama dan membantu selama pelaksanaan penelitian berlangsung 7. Rekan-rekan Dosen Universitas Bengkulu yang sedang studi di IPB (Ir
Marlin MSc, Mimi Sutrawati, SP MSi, Erniwati, MSc, Suharyanto, MSi, Jarulis MSi, Nurmeliasari, MSc, Wahyudi, MSi, Deddy Bahtiar, MSi) atas dukungan, bantuan dan perhatian selama pendidikan
8. Kedua orang tua Drs. Agus Supadang (alm) dan khususnya Ibunda tercinta Dra. Suriyam, MPd yang tidak hentinya mendoakan keberhasilan penulis dan mendampingi penulis selama pendidikan S3
9. Ibu mertua Daryati dan Bapak Mertua Parno yang telah memberikan perhatian dan kasih sayang
10. Suami tercinta Edi Susilo, SP MSi atas segala kesabaran, ketabahan, pengertian, pengorbanan dan doanya, serta anak-anak tersayang Arman Wibowo Susilo dan Fahmida Ifra Susilowati yang dengan penuh kesabaran mendampingi dan menginspirasi penulis untuk tetap bersemangat selama menempuh pendidikan S3 di IPB
11. Seluruh keluarga besar khususnya keluarga besar Djuwarman, SAg, Suprihadi, SPd MPd, Sumarsih, SPd, Surahman, Mayor Suryono, Suryanto, Sertu Didik Riyadi, dan Wiwik Widayati, Amd atas segala doa, motivasi, dan perhatiannya
12. Kepada semua pihak yang telah berperan dalam penelitian dan penulisan disertasi yang tidak dapat ditulis satu persatu, penulis ucapkan terima kasih.
Akhirnya penulis persembahkan karya ilmiah ini untuk kemajuan ilmu pengetahuan khususnya pengembangan kedelai di lahan pasang surut yang memiliki cekaman Al dan Fe.
Bogor, April 2015
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xvi
DAFTAR LAMPIRAN xvii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 3
Hipotesis 5
Manfaat Penelitian 5
Ruang Lingkup Penelitian 5
Kebaharuan/Novelty 5
2 TINJAUAN PUSTAKA 7
Karakteristik Lahan Pasang Surut 7
Proses Oksidasi dan Reduksi Pirit 7
Cekaman Al dan Fe 8
Penggunaan Amelioran 9
Budidaya Jenuh Air 11
3 ADAPTASI KEDELAI HITAM TERHADAP CEKAMAN GANDA
ALUMINIUM DAN BESI 13
Pendahuluan 14
Bahan dan Metode 16
Hasil dan Pembahasan 19
Simpulan 32
Saran 32
4 BUDIDAYA JENUH AIR DAN AMELIORAN MENINGKATKAN
PRODUKSI KEDELAI HITAM DI TANAH MINERAL
BERGAMBUT 33
Pendahuluan 33
Bahan dan Merode 34
Hasil dan Pembahasan 35
Simpulan 40
Saran 40
5 PRODUKTIVITAS KEDELAI HITAM (Glycine soja) PADA SISTEM BUDIDAYA JENUH AIR DENGAN PENGGUNAAN AMELIORAN DAN KEDALAMAN MUKA AIR PADA TANAH MINERAL
BERGAMBUT LAHAN PASANG SURUT 41
Pendahuluan 42
Bahan dan Metode 43
Hasil dan Pembahasan 44
Simpulan 49
Saran 50
6 AIR GAMBUT MEMPERBAIKI DAYA ADAPTASI KEDELAI HITAM (Glycine soja) TERHADAP CEKAMAN Al DAN FE PADA
Pendahuluan 52
Bahan dan Metode 53
Hasil dan pembahasan 54
Simpulan 60
Saran 60
7 PENINGKATAN HASIL TIGA GENOTIPE KEDELAI DENGAN
PENAMBAHAN AMELIORAN DAN PENGATURAN
KEDALAMAN MUKA AIR PADA TIGA KONDISI TANAH DI
LAHAN PASANG SURUT 61
Pendahuluan 62
Bahan dan Metode 63
Hasil dan Pembahasan 64
Simpulan 70
Saran 70
8 PEMBAHASAN UMUM 71
9 SIMPULAN DAN SARAN UMUM 77
DAFTAR PUSTAKA 79
LAMPIRAN 87
DAFTAR TABEL
1 Rekapitulasi indeks sensitifitas panjang akar pada berbagai taraf
konsentrasi cekaman Al dan Fe 20
2 Pengaruh konsentrasi cekaman Al dan Fe terhadap bobot kering tajuk,
bobot kering akar dan bobot kering total 22
3 Bobot kering tajuk, bobot kering akar, bobot kering tajuk dan akar pada
varietas yang berbeda 22
4 Analisis kandungan amelioran 36
5 Rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun, dan jumlah cabang kedelai terhadap ameliorasi pada tanah mineral bergambut 36 6 Rata-rata bobot basah akar, bobot basah bintil, bobot kering akar dan
panjang akar kedelai terhadap ameliorasi pada tanah mineral bergambut 37 7 Rata-rata bobot basah tajuk dan bobot kering akar kedelai terhadap
ameliorasi pada tanah mineral bergambut 38
8 Rata-rata jumlah polong dan bobot biji per tanaman kedelai terhadap
ameliorasi pada tanah mineral bergambut 38
9 Hasil analisis tanah awal lahan mineral bergambut tipe luapan B 44
10 Analisis kandungan amelioran 45
11 Rata-rata tinggi tanaman dan jumlah daun tanaman kedelai pada
kedalaman muka air yang berbeda 45
12 Rata-rata petak panen dan produktivitas tanaman kedelai pada
kedalaman muka air yang berbeda 46
13 Rata-rata jumlah daun, jumlah cabang, jumlah polong, petak panen dan produktivitas pada amelioran yang berbeda yang berbeda 46
14 Kandungan N, P dan K (%) pada daun 8 MST 47
15 Hasil analisis tanah awal lahan mineral tipe luapan B 54
16 Analisis kandungan amelioran 55
17 Rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang pada
berbagai perlakuan kedalaman muka air 55
18 Rata-rata bobot biji per tanaman dan bobot biji per petak pada berbagai
perlakuan kedalaman muka air 56
19 Rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang pada
berbagai perlakuan amelioran 56
20 Rata-rata bobot biji per tanaman dan bobot biji per petak pada berbagai
perlakuan amelioran 57
21 Rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang pada
berbagai perlakuan genotipe 57
22 Rata-rata bobot biji per tanaman dan bobot biji per petak pada berbagai
perlakuan genotipe 57
23 Hasil analisis tanah awal lahan mineral tipe luapan C, mineral tipe
luapan B dan mineral bergambut tipe luapan B 65
24 Rata-rata produktivitas tanaman (ton ha-1) pada berbagai perlakuan
DAFTAR GAMBAR
1 Bagan kerangka pemikiran 4
2 Bagan alir penelitian 6
3 Dua tipe pengkelatan (Tan 1993) 10
4 Model struktur asam humus (Stevenson 1982) 11
5 Perbedaan distribusi akar tanaman kedelai yang tidak tergenang (kiri) dan yang tergenang (kanan) (Morita et al. 2004) 12 6 Perbedaan akar adventif genotipe kedelai yang toleran (kiri) dan peka
terhadap genangan (kanan) (Lee et al. 2004) 12
7 Penanaman kedelai dalam larutan hara 17
8 Indeks sensitifitas panjang akar pada berbagai taraf konsentrasi
cekaman Al dan Fe 20
9 Rata-rata panjang akar 14 HST pada berbagai konsentrasi cekaman dan
genotipe 21
10 Cekaman 0.5 mM Al genotipe toleran (A dan B) dan genotipe peka (C) dibandingkan dengan tanpa Al (kiri) umur 14 HST 23 11 Cekaman terhadap Fe pada akar kedelai: genotipe toleran (A dan B) dan
genotipe moderat (C) umur 14 HST 23
12 Cekaman 0.5 mM Al + 0.1 mM Fe pada akar kedelai: genotipe toleran
(A dan B) dan genotipe peka (C) umur 14 HST 24
13 Distribusi Al pada akar 3 genotipe kedelai: A (Tanggamus), B (Cikuray), C (Ceneng) dengan pewarnaan hemaktosilin 25 14 Distribusi Al + Fe pada akar 3 genotipe kedelai: A (Tanggamus), B
(Cikuray), C (Ceneng) dengan pewarnaan hemaktosilin 26 15 Distribusi Fe pada akar 3 genotipe kedelai: A (Tanggamus), B
(Cikuray), C (Ceneng) dengan pewarnaan bipiridyn 26 16 Distribusi Al + Fe pada akar 3 genotipe kedelai: A (Tanggamus), B
(Cikuray), C (Ceneng) dengan pewarnaan bipiridyn 27 17 Akumulasi asam oksalat pada akar tiga genotipe kedelai dan taraf
konsentrasi cekaman yang berbeda 27
18 Akumulasi asam sitrat pada akar tiga genotipe kedelai dan taraf
konsentrasi cekaman yang berbeda 28
19 Akumulasi asam malat pada akar tiga genotipe kedelai dan taraf
konsentrasi cekaman yang berbeda 28
20 Perubahan pH larutan 29
21 Perbedaan pertumbuhan tanaman kedelai sistem kering (kiri) dan
sistem budidaya jenuh air (kanan) 37
22 Aklimatisasi pada BJA 46
23 Kadar Al pada akar kedelai 8 MST 58
24 Irisan tanah mineral bergambut (kiri) dan tanah mineral (kanan) pada
lahan pasang surut 65
25 Perbandingan pertumbuhan dan hasil kedelai pada tanah mineral tipe luapan C, mineral bergambut dan mineral tipe luapan B 66 26 Pertumbuhan dan akar kedelai pada tanah mineral tipe luapan C (kiri),
mineral bergambut tipe luapan B (tengah) dan mineral tipe luapan B
27 Gejala cekaman Al (kiri) dan cekaman Fe (kanan) pada daun tanaman
kedelai 67
DAFTAR LAMPIRAN
1 Data curah hujan (mm/bulan) di Banyuasin Sumatera Selatan 88 2 Data suhu (oC) di Banyuasin Sumatera Selatan 89 3 Data kelembaban nisbi (%) di Banyuasin Sumatera Selatan 90 4 Data intensitas penyinaran matahari (%) di Banyuasin Sumatera Selatan 91
5 Deskripsi kedelai varietas Tanggamus 92
6 Deskripsi kedelai varietas Detam 1 93
7 Deskripsi kedelai varietas Detam 2 94
8 Deskripsi kedelai varietas Cikuray 95
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kedelai yang dibudidayakan terdiri dari dua spesies yaitu Glycine max, atau sering disebut sebagai kedelai putih yang bijinya berwarna kuning dan
Glicyne soja atau sering disebut kedelai hitam. Kedelai hitam memiliki keunggulan dibandingkan kedelai kuning diantaranya adalah: 1) harga jual lebih tinggi, 2) memiliki antosianin lebih tinggi dan 3) memiliki kandungan protein yang lebih tinggi. Ginting dan Suprapto (2004) melaporkan bahwa kedelai hitam genotipe Merapi mempunyai kandungan protein lebih tinggi (37.4%) dibanding kedelai kuning genotipe Argomulyo (34.0%) dengan kadar lemak lebih rendah, sehingga kadar protein kecapnya juga lebih tinggi. Selanjutnya Adie dan Krisnawati (2007) melaporkan bahwa kecap yang dibuat dari kedelai hitam selain mempunyai aroma dan rasa kecap yang enak juga memiliki kandungan protein dan gizi yang lebih baik dibandingkan dengan kecap yang dihasilkan dari kedelai kuning.
Kebutuhan kedelai masyarakat semakin meningkat tetapi produksi belum mencukupi. Produksi kedelai Indonesia pada tahun 2013 hanya 851 647 ton biji kering dan produktivitas 1.3 ton ha-1, sementara kebutuhan kedelai nasional sebanyak 2.3 juta ton. Kekurangan kebutuhan kedelai nasional dipasok melalui impor dari Amerika Serikat dan Brazil sebanyak 1.4 juta ton (BPS 2014). Berdasarkan data Kemenperin (2012), kebutuhan kecap Indonesia disuplai dari impor dengan peningkatan konsumsi sebesar 43.22% dari tahun 2008 hingga tahun 2012.
Peningkatan produksi kedelai hitam dapat ditunjang dari peningkatan luas areal tanam hingga ke lahan-lahan sub optimal (ekstensifikasi). Lahan pasang surut merupakan salah satu alternatif dalam mengatasi semakin menyusutnya lahan-lahan subur di Pulau Jawa akibat konversi lahan. Luas lahan pasang surut di Indonesia diperkirakan sekitar 20.1 juta ha dan sekitar 9.53 juta ha berpotensi untuk dijadikan sebagai lahan pertanian (Alihamsyah 2004).
Berdasarkan jangkauan air pasang, lahan pasang surut dibagi berdasarkan tipe luapan yaitu: 1) tipe luapan A, terluapi air pasang baik pasang besar maupun kecil, 2) tipe luapan B, hanya terluapi air pada pasang besar saja, 3) tipe luapan C, tidak terluapi air pasang tapi kedalaman air tanahnya < 50 cm, 4) tipe luapan D, tidak terluapi air kedalaman air tanahnya > 50 cm. Berdasarkan tipologinya dari 20.1 juta lahan pasang surut terdiri dari lahan gambut 10.9 juta ha, kemudian diikuti lahan sulfat masam (6.7 juta ha), lahan potensial (2.1 juta ha) dan lahan salin 0.4 juta ha (Widjaya 1986; Alihamsyah 2004). Selanjutnya Haridjaja dan Herudjito (1978) mengklasifikasikan tanah berdasarkan kandungan C-organik menjadi 3 kelompok yaitu: mineral organik < 18%), mineral bergambut (C-organik 18-38%), dan gambut (C-(C-organik > 38%).
keracunan tanaman. Pencegahan oksidasi pirit dapat dilakukan dengan pengelolaan air dan pemberian amelioran.
Pengelolaan air dapat dilakukan dengan budidaya jenuh air (BJA) yang merupakan penanaman dengan memberikan irigasi terus-menerus dan membuat kedalaman muka air tetap, sehingga lapisan di bawah permukaan tanah jenuh air. Penelitian BJA pada tanah mineral bergambut tipe luapan B menghasilkan produktivitas 1.5 ton ha-1 (Prakasa 2014). Produktivitas BJA pada tanah mineral bergambut tipe luapan B lebih rendah jika dibandingkan dengan produktivitas BJA pada tanah mineral tipe luapan C. Hasil penelitian BJA pada tanah mineral tipe luapan C yang dilakukan Sagala et al. (2010), Sahuri (2010), Welly (2013), Prakasa (2014) dan Noya (2014) yang berturut-turut menghasilkan 4.63 ton ha-1, 4.15 ton ha-1, 4.13 ton ha-1, 3.76 ton ha-1 dan 4.40 ha-1. Perbedaan produktivitas pada tanah mineral bergambut tipe luapan B dan tanah mineral tipe luapan C disebabkan oleh faktor pambatas pertumbuhan yang berbeda. Ameliorasi lahan pada tanah mineral bergambut tipe luapan B merupakan teknologi budidaya yang dapat diterapkan.
Penggunaan amelioran bertujuan memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa amelioran berfungsi meningkatkan nilai pH (Kurniawan 2007; Raihan 2007), meningkatkan ketersediaan unsur hara, memperbaiki kandungan air dan permeabilitas tanah (Kurniawan 2007). Bahan amelioran adalah bahan yang dapat digunakan untuk memperbaiki sifat-sifat tanah sehingga dapat menunjang pertumbuhan dan produktivitas dari lahan yang diusahakan.
Air gambut merupakan salah satu amelioran yang murah dan mudah diperoleh di lahan pasang surut. Asam humat yang digunakan sebagai bahan amelioran tanah mampu berinteraksi dengan ion logam sehingga dapat memperbaiki kualitas tanah. Hasil penelitian Ernawati (2009) pada kultur hara menunjukkan bahwa pemberian derivat asam fenolat dan karboksilat tidak berpengaruh terhadap Al-dd larutan akan tetapi memperbaiki pH larutan dari 2.99 menjadi 3.20. Selanjutnya pemberian senyawa humat dapat menurunkan Al-dd dari 5.99 me/100 g menjadi 5.33 me/100 g (Manfarizah 1999).
Pendekatan penting untuk mengatasi toksisitas Al dan Fe pada lahan mineral bergambut adalah menanam genotipe kedelai hitam yang toleran. Menurut Fernandez (1992) genotipe toleran dapat diperoleh dengan seleksi berdasarkan nilai stress tolerancy index (STI, indeks toleransi terhadap stress) yakni dengan membandingkan hasil pada kondisi cekaman terhadap hasil rata-rata pada kondisi normal.
3 Penelitian Lubis dan Noor (2010) pada padi menunjukkan peningkatan cekaman Fe dari konsentrasi Fe 143 ppm menjadi 325 ppm Fe meningkatkan gejala keracunan besi. Cekaman Al dan Fe secara bersama-sama menghasilkan penghambatan panjang akar yang lebih besar dibandingkan cekaman tunggal setiap unsur (Noya 2014).
Penanaman kedelai di lahan pasang surut biasanya dilakukan setelah penanaman padi. Penggunaan genotipe kedelai hitam yang toleran dan penggunaan amelioran serta pengaturan tinggi muka air diharapkan meningkatkan daya adaptasi dan akhirnya meningkatkan produktivitas kedelai hitam di lahan pasang surut.
Perumusan Masalah
Pengembangan budidaya tanaman di tanah mineral bergambut memiliki kendala cekaman Al dan Fe yang menjadi faktor pembatas pertumbuhan dan hasil tanaman. Lahan mineral bergambut pasang surut merupakan lahan yang memiliki tingkat kesuburan tanah yang rendah dengan kandungan C-organik 18-38 % serta oksidasi pirit menyebabkan peningkatan ion H+. Nilai pH yang rendah menyebabkan penghancuran kisi-kisi mineral liat sehingga silikat dan Al3+ terlepas dari sulfat masam. Konsentrasi ion logam yang berlebihan dalam larutan akan menyebabkan keracunan tanaman. Keberadaan asam organik di lapisan atas lahan mineral bergambut yang belum terdekomposisi sempurna tidak mampu menekan pengaruh cekaman Al dan Fe.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian adaptasi tanaman kedelai hitam yang toleran Al dan Fe melalui evaluasi genotipe kedelai yang toleran dan peka serta mempelajari mekanisme adaptasi terhadap cekaman Al dan Fe diperlukan untuk pengembangan teknologi produksi guna meningkatkan produktivitas tanaman. Perbaikan adaptasi kedelai hitam dapat dilakukan dengan sistem budidaya yang sesuai dan penggunaan amelioran yang tepat. Pemberian amelioran bertujuan untuk memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah. Pemilihan air gambut, air pasang dan air sungai didasarkan pada pertimbangan ketersediaan amelioran tersebut dekat dengan lokasi lahan mineral bergambut sehingga mudah dalam aplikasinya. Selain itu penggunaan amelioran tersebut diharapkan dapat menekan cekaman Al dan Fe serta dapat meningkatkan kandungan unsur hara pada lahan mineral bergambut. Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan toleransi terhadap cekaman Al dan Fe serta sistem budidaya dan amelioran terpilih yang dapat meningkatkan produktivitas kedelai hitam di lahan mineral bergambut pasang surut (Gambar 1).
Tujuan Penelitian
mineral bergambut tipe luapan B dengan tanah mineral tipe luapan B dan C pada kedalaman muka air, amelioran, dan genotipe yang berbeda
Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran
PERMASALAHAN LAHAN MINERAL BERGAMBUT MEMILIKI CEKAMAN Al dan Fe PADA TANAMAN KEDELAI
Evaluasi 7 genotipe kedelai hitam terhadap cekaman Al
dan Fe
Kedelai hitam yang toleran dan peka terhadap cekaman
Al dan Fe
Adaptasi tanaman kedelai hitam toleran Al dan Fe
Pemilihanamelioran
Amelioran yang tepat dalam mengatasi Al dan Fe di tanah
mineral bergambut
Perbaikan adaptasi melalui teknologi BJA dan penggunaan amelioran
5
Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah (1) kedelai hitam memiliki mekanisme adaptasi tertentu agar dapat bertahan hidup pada kondisi cekaman Al dan Fe di lahan pasang surut (2) sistem budidaya dan amelioran dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil kedelai yang berperan dalam memperbaiki daya adaptasi terhadap cekaman Al dan Fe (3) kedalaman muka air, amelioran, dan genotipe yang sesuai dapat meningkatkan daya adaptasi kedelai hitam di tanah mineral bergambut pasang surut, 4) terdapat perbedaan pertumbuhan dan hasil yang berbeda pada kondisi tanah yang berbeda di lahan pasang surut
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan tentang toleransi kedelai hitam terhadap cekaman Al dan Fe serta mendapatkan kedalaman muka air, amelioran dan genotipe yang tepat dalam upaya pengembangan kedelai hitam di tanah mineral bergambut pasang surut.
Ruang Lingkup Penelitian
Serangkaian percobaan dilakukan untuk menjawab tujuan penelitian yang merupakan satu kesatuan melalui tahapan sistematis. Penelitian ini difokuskan pada studi toleransi kedelai hitam terhadap cekaman Al dan Fe yang umum terjadi di lahan pasang surut. Percobaan 1 merupakan percobaan kultur hara untuk mengevaluasi 7 genotipe kedelai terhadap cekaman Al dan Fe dan mendapatkan mekanisme adaptasi terhadap cekaman Al dan Fe. Percobaan 2 merupakan percobaan di rumah kaca untuk mendapatkan sistem budidaya dan amelioran yang tepat dalam mengkelat Al dan Fe. Percobaan 3 merupakan percobaan lapangan sebagai kalibrasi percobaan rumah kaca. Bagan alir penelitian disajikan pada Gambar 2.
Kebaharuan/Novelty
1. Diperoleh informasi toleransi kedelai hitam terhadap cekaman Al dan Fe 2. Budidaya jenuh air meningkatkan daya adaptasi kedelai hitam di tanah
mineral bergambut lahan pasang surut
3. Ditemukan amelioran air gambut yang dapat mengatasi cekaman Al dan Fe
4. Diperoleh lahan mineral bergambut pasang surut yang mampu menghasilkan
Gambar 2. Bagan alir penelitian
Output
1b. Mekanisme adapasi 3 genotipe kedelai terhadap cekaman Al dan Fe
3a. Pertumbuhan dan hasil kedelai pada tanah mineral bergambut tipe luapan B
3b. Pertumbuhan dan hasil kedelai pada tanah mineral tipe luapan B 3c. Perbandingan pertumbuhan dan
hasil kedelai pada tanah mineral bergambut tipe luapan B, tanah mineral tipe luapan B, dan tanah mineral tipe luapan C
2. Pertumbuhan dan hasil kedelai hitam pada sistem budidaya dan amelioran yang berbeda pada tanah mineral bergambut
1a. Evaluasi 7 genotipe kedelai terhadap cekaman Al dan Fe
1 Perc. Kultur hara
2. Perc. pot (rumah plastik)
3. Perc. Lapangan
Cekaman Al dan Fe pada Tanah Mineral
Bergambut
1.Diperoleh 2 genotipe toleran, 3 genotipe moderat, dan 2 genotipe peka terhadap cekaman Fe
2.Diperoleh 3 genotipe toleran dan 4 genotipe peka terhadap cekaman Al 3.Diperoleh 2 genotipe toleran, 1
genotipe moderat, dan 4 genotipe peka terhadap cekaman Al + Fe
Asam organik mempengaruhi daya adaptasi kedelai
terhadap cekaman Al + Fe
Diperoleh sistem budidaya dan amelioran yang terbaik pada tanah mineral bergambut
1. Diperoleh sistem budidaya, kedalaman muka air, dan genotipe yang terbaik pada tanah mineral bergambut tipe luapan B
2. Diperoleh sistem budidaya, kedalaman muka air, dan genotipe yang terbaik pada tanah mineral tipe luapan B
2
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Lahan Pasang Surut
Lahan pasang surut adalah lahan yang rezim airnya dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut atau sungai. Berdasarkan sifat kimia air pasangnya, lahan pasang surut dibagi menjadi dua zona yaitu zona air pasang surut salin dan pasang surut tawar. Berdasarkan jangkauan air pasang, lahan pasang surut dibagi berdasarkan luapannya yaitu: 1) tipe luapan A, terluapi air pasang baik pasang besar maupun kecil, 2) tipe luapan B, hanya terluapi air pada pasang besar saja, 3) tipe luapan C, tidak terluapi air pasang tapi kedalaman air tanahnya < 50 cm, 4) tipe luapan D, tidak terluapi air kedalaman air tanahnya > 50 cm. Berdasarkan tipologi lahannya, dibagi menurut macam dan tingkat masalah fisiko kimianya, yaitu 1) lahan potensial, kedalaman lapisan pirit > 50 cm dari permukaasn tanah, 2) lahan sulfat masam (sulfat masam potensial dan sulfat masam aktual), bila kedalaman lapisan pirit (FeS2 > 2%) < 50 cm dari permukaan tanah, 3) lahan gambut, mengandung sisa-sisa tanaman yang sudah lapuk secara alami, dan 4) lahan salin, dipengaruhi oleh intrusi air laut selama lebih 3 bulan dalam setahunnya. Berdasarkan tipeloginya, lahan gambut merupakan tipe lahan pasang surut yang terluas (10.9 juta ha), kemudian diikuti lahan sulfat masam (6.7 juta ha), lahan potensial (2.1 juta ha) dan salin 0.4 juta ha (Widjaya 1986).
Masalah fisiko-kimia lahan untuk pengembangan tanaman pangan di lahan pasang surut meliputi antara lain genangan air dan kondisi fisik lahan, kemasaman tanah dan asam organik pada lahan gambut tinggi, mengandung zat beracun dan intrusi air garam, kesuburan alami tanah rendah dan keragaman kondisi lahan tinggi (Adimiharja et al. 1998; Sarwani et al. 1994). Menurut Haridjaja dan Herudjito (1978) mengklasifikasikan tanah berdasarkan kandungan C-organik menjadi 3 kelompok yaitu: mineral organik < 18%), mineral bergambut (C-organik 18-38%) dan gambut (C-(C-organik > 38%).
Tanah-tanah mineral di wilayah pasang surut terbentuk dari bahan endapan marin, yang proses pengendapannya di dalam lingkungan laut (marin). Pada wilayah agak pedalaman, pengaruh sungai relatif kuat, sehingga tanah bagian atas terbentuk dari endapan sungai, sedangkan pada bagian bawah terdapat bahan sulfidik (pirit), proses pengendapan lumpur bahan tanah didominasi oleh aktivitas air laut (Widjaya et al. 2000).
Proses Oksidasi dan Reduksi Pirit
Dalam keadaan anaerob, pirit stabil dan tidak berbahaya, sebaliknya dalam keadaan aerob, pirit mudah mengalami oksidasi melepaskan asam sulfat. Oksidasi pirit pada lahan rawa disebabkan drainase yang berlebihan mengakibatkan tanah menjadi sangat masam, karena menghasilkan ion besi, sulfat, dan hidrogen, yang akan meracuni tanaman.
Menurut Anwar (2002), reaksi oksidasi dan reduksi pada tanah dipengaruhi berbagai aspek, baik kimia, biologi maupun fisika tanah. Ditinjau dari aspek biologi, maka kecepatan oksidasi senyawa pirit sangat ditentukan oleh peran dari bakteri pengoksidasi pirit yang disebut Thiobacillus sp. Dalam kondisi reduksi, pembentukan pirit atau H2S sangat ditentukan olek aktivtas bakteri pereduksi sulfat Desulfovibro sp. Bakteri pengoksidasi yang toleran terhadap kemasaman adalah Thiobacillus ferrooxidans, Thiobacillus thiooxidans
pada pH 2-3, dan Thiobacillus acidophilus pada pH 1.4. Singer dan Stumm (1969) dalam Nordstorm (1979) mengungkapkan bahwa pirit teroksidasi dengan cepat oleh ion ferri dalam keadaan tanpa oksigen dan nilai pH rendah. Berikut reaksi oksidasi pirit oleh ion ferri:
FeS2(s) + 14 Fe3+ + 8H2O → 15 Fe2+ + 2SO42- + 16 H+
Penggenangan tanah akan menyebabkan terjadinya serangkaian proses fisik, kimia dan biokimia tanah. Dalam keadaan tergenang dan tanpa oksigen mikroba anaerob akan menggunakan komponen yang mudah teroksidasi seperti nitrat, oksida mangan, oksida feri, sulfat, fosfat dan hasil penguraian bahan organik sebagai penerima electron dalam pemanasan.
Reduksi sulfat masam biasanya disertai dengan meningkatnya konsentrasi CO2, Fe2+ dan kation yang dapat ditukarkan seperti Ca2+ (Dent 1986). Reduksi tanah sulfat masam juga menurunkan kemasaman tanah karena adanya pemakainan ion H+ seperti pada reaksi berikut ini:
Fe (OH)3 + 2H+ + 1/4CH2O Fe2+ + 11/4H2O + 1/4CO2
Pada tanah sulfat masam pengaruh penggenangan sangat bervariasi bila dibandingkan dengan tanah jenis lain. Kecepatan reduksi pada tanah sulfat masam dihambat oleh tingkat kemasaman yang sangat tinggi, rendahnya status hara, rendahnya bahan organik yang mudah didekomposisi dan beberapa kombinasi dari kondisi yang tidak menguntungkan bagi kehidupan mikroba anaerob (Dent 1986).
Cekaman Al dan Fe
Al dan Fe merupakan salah satu faktor pembatas dalam produktivitas tanah mineral bergambut lahan pasang surut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada gandum konsentrasi Al 50 ppm telah menghambat pertumbuhan akar (Rincon dan Gonzales 1992), pada kedelai konsentrasi Al pada 8 ppm telah menghambat pertumbuhan akar kultivar rentan (Sapra et al. 1982). Keracunan Al pada tanaman merupakan faktor pembatas utama bagi pertumbuhan tanaman di lahan asam (Basu et al. 1994; Jones dan Kochian 1995). Gejala keracunan Al yang umum ditemui pada tanaman adalah penghambatan pertumbuhan akar (Foy
et al. 1978). Menurut Ryan et al. (1993) dan Sasaki et al. (1995), Al menghambat pertumbuhan hanya pada bagian ujung (meristem) akar.
9 menginduksi pH rizosfir lebih tinggi mendekati pH optimal untuk pertumbuhan tanaman (Miyasaka et al. 1998); 3) mensintesis senyawa-senyawa asam dekarboksilat seperti malat, oksalat, sitrat, dan fulfat serta fenil propanoat seperti kafeat sebagai pengkelat Al sehingga toksisitasnya rendah (Ryan et al. 1993; Sopandie et al. 1995; Ma dan Miyasaka 1998; dan Ma et al. 1998); 4) meningkatkan aktivitas pompa proton H+-ATPase, yang mengatur keseimbangan ion proton antara di dalam dan di luar plasma membran sehingga terjadi depolarisasi di plasma membran secara berantai mempengaruhi aktivitas metabolism turunannya seperti aktivitas K-channel dan Ca-transporter yang masing-masing berperan di dalam proses detoksifikasi Al (Kasai et al. 1993; Kinraide et al. 1994; Sasaki et al. 1995; Huang et al. 1996; Larsen et al. 1998; Maathuis 1998); 5) mensintesis protein spesifik pada membran (Basu et al. 1994) dan protein tertentu dari ujung akar (Marzuki 1997) yang tidak ditemukan pada genotipe peka; serta 6) meningkatkan aktivitas enzim tertentu seperti nitrat reduktase (Anwar et al. 1996).
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan kadar Fe dalam larutan yang menyebabkan keracunan Fe pada tanaman sangat beragam. Menurut Asch et al.
(2005), kadar Fe dalam larutan yang menyebabkan keracunan bervariasi sangat luas berkisar antara 10-500 ppm Fe. Hasil penelitian Majerus et al. (2007) dan Mehraban et al. (2008) menunjukkan kadar Fe dalam larutan hara 250 500 ppm dengan pH 4.56 meningkatkan secara nyata kadar Fe dalam jaringan tanaman dan menunjukkan gejala keracunan Fe pada tanaman yang peka. Hasil penelitian Dorlodot et al. (2005) pada konsentrasi Fe dalam larutan hara >250 ppm menunjukkan gejala keracunan besi dan menurunnya pertumbuhan tanaman. Sedangkan penelitian Lubis dan Noor (2010) pada padi menunjukkan peningkatan cekaman Fe dari konsentrasi Fe 143 ppm menjadi 325 ppm Fe meningkatkan gejala keracunan besi.
Briat el al. (2007) dalam Galatro dan Puntarullo (2011) menyatakan mekanisme yang terdapat dalam tanaman untuk menghindari toksisitas Fe terdiri dari penglarutan (solubilization) dan transpor jarak jauh Fe antar organ dan jaringan yang meliputi kompartementasi subselular dan remobilisasi, melibatkan kelasi dan oksidasi reduksi, aktivitas transport dan protein dapat larut. Selanjutnya menurut Wang dan Poverly (1999) dan Liang et al. (2006) mekanisme lain adalah terbentuknya plak pada akar tanaman.
Penggunaan Amelioran
meracuni tanaman dapat diperkecil. Derivat asam fenolat dan karboksilat mempunyai gugus fungsional mengandung oksigen yang merupakan tapak seaktif dalam mengikat logam sehingga ion Al dan Fe yang meracuni tanaman menjadi berkurang (Gerke 1993). Penelitian Ernawati (2009) pada kultur hara menunjukkan bahwa pemberian derivat asam fenolat dan karboksilat tidak berpengaruh terhadap Al-dd larutan akan tetapi memperbaiki pH larutan dari 2.99 menjadi 3.20. Selanjutnya pemberian senyawa humat dapat menurunkan Al-dd dari 5.99 me/100 g menjadi 5.33 me/100 g (Manfarizah 1999).
Asam-asam organik mampu mengkompleks ion-ion logam, khususnya logam transisi Al, Fe, Cu, Zn, dan Mn. Ikatan kation dengan asam-asam organik dalam komples ini merupakan ikatan kovalen yang kuat, sehingga lebih sukar untuk dipertukarkan, bila dibandingkan dengan ikatan elektrostatik dalam reaksi penjerapan dan pertukaran kation biasa (Tan 1993).
Stevenson (1994) menyatakan bahwa pembentukan senyawa kelat antara logam dan koloid organik dapat terjadi karena adanya dua atau lebih ikatan koordinasi antara kedua bahan tersebut. Koloid organik terkelat ligan, sedangkan logam sebagai agen pengkelat. Menurut Tan (1993) efektivitas asam-asam organik dalam membentuk kompleks dan kelat tergantung pada reaktivitas kimianya. Berdasarkan reaktivitas, asam organik dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu (1) asam-asam organik yang hanya dicirikan oleh gugus karboksilat (-COOH), terdiri dari asam format, asetat dan oksalat, dimana reaksi utamanya adalah pengaruh kemasaman atau elektrostatik, (2) asam-asam organik yang dicirikan oleh gugus karboksilat (-COOH) dan fenolat (-OH), terdiri dari asam-asam humat dan fulfat, dimana asam-asam tersebut dapat membentuk berbagai macam ikatan kompleks dan kelat.
Ikatan dalam bentuk kelat, merupakan ikatan kation dengan senyawa organik yang relatif kuat. Kation yang terkelat bertindak sebagai pusat dari struktur molekul. Adapun contoh reaksi pembentukan kelat seperti pada Gambar 3.
Gambar 3 Dua tipe pengkelatan (Tan 1993)
11 tinggi (berwarna merah kecoklatan), pH rendah dan kandungan zat organik yang tinggi kekeruhan dan kandungan partikel tersuspensi yang rendah.Warna coklat kemerahan pada air gambut merupakan akibat dari tingginya kandungan zat organik (bahan humus) terlarut terutama dalam bentuk asam humus dan turunannya. Asam humus tersebut berasal dari dekomposisi bahan organik seperti daun pohon atau kayu. Gambar struktur asam humus ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4 Model struktur asam humus (Stevenson 1982)
Budidaya Jenuh Air
Budidaya jenuh air merupakan penanaman dengan memberikan irigasi terus-menerus dan membuat kedalaman muka air tetap, sehingga lapisan di bawah permukaan tanah jenuh air. Kedalaman muka air tetap akan menghilangkan pengaruh negatif dari kelebihan air pada pertumbuhan tanaman, karena kedelai akan beraklimatisasi dan selanjutnya tanaman memperbaiki pertumbuhannya (Troedson et al. 1983). Kedalaman muka air yang tepat pada kondisi tanah tertentu perlu diteliti agar diperoleh pertumbuhan kedelai yang baik dengan hasil yang tinggi di lahan pasang surut.
Penerapan budidaya jenuh air dapat dilakukan pada areal penanaman dengan irigasi cukup baik maupun pada areal dengan drainase kurang baik. Di beberapa tempat, budidaya jenuh air dapat memperbaiki pertumbuhan dan meningkatkan produksi dibandingkan cara irigasi biasa pada beberapa varietas kedelai (Hunter et al. 1980; Nathanson et al. 1984; Troedson et al. 1983; dan Soemarno et al. 2007). Tahap aklimatisasi tanaman kedelai terhadap jenuh air berlangsung selama 2 minggu (Troedson et al. 1983) atau antara 2-4 minggu (Lawn 1985) setelah pelaksanaan irigasi dimulai. Pada tahap aklimatisasi terjadi alokasi hasil fotosintesis ke bagian bawah tanaman untuk pertumbuhan akar dan bintil akar (Troedson et al. 1983). Tahap aklimatisasi ini diduga dapat dipercepat dengan adanya pemberian pupuk N lewat daun. Ghulamahdi et al. (2009) menunjukkan pemberian pupuk N dengan konsentrasi Urea 15 g L-1 air menyebabkan daun menguning pada budidaya jenuh air di lahan sawah beririgasi dan perlakuan Urea 10 g L-1 air memberikan hasil tertinggi dibandingkan lainnya. Pemupukan N daun pada budidaya jenuh air mampu meningkatkan produksi 30 % dibandingkan tanpa pemupukan N.
(CSIRO, 1983; dan Ghulamahdi et al. 1991). Terdapat perbedaan antara distribusi akar yang tergenang dan tidak tergenang (Morita et al. 2004). Selanjutnya penelitian Lee (2004) menunjukkan perbedaan akar adventif pada genotipe kedelai yang toleran dan peka. Perbedaan distribusi akar kedelai yang tidak tergenang dan yang tergenang ditunjukkan Gambar 5 sedangkan perbedaan akar adventif genotipe kedelai yang toleran dan peka ditunjukkan Gambar 6.
Gambar 5 Perbedaan distribusi akar tanaman kedelai yang tidak tergenang (kiri) dan yang tergenang (kanan) (Morita et al. 2004)
Budidaya jenuh air meningkatkan bobot kering akar dan bintil akar serta aktivitas bakteri penambat N bila dibandingkan cara irigasi biasa (Troedson et al. 1983). Banyaknya bintil dan akar tanaman kedelai pada budidaya jenuh air akan meningkatkan serapan hara daun, sehingga meningkatkan hasil kedelai dibandingkan cara konvensional (Ghulamahdi et al. 2006). Banyaknya perakaran yang muncul pada budidaya jenuh air karena adanya hormon etilen yang berasal dari prekursor ACC (1 amino siklopropana-1-asam karboksilat) (Ghulamahdi 1999). Menurut Yang (1980) dan Ghulamahdi (1999) keadaan anaerob akan merangsang pembentukan ACC dan adanya oksigen yang cukup merangsang pembentukan etilen. Hormon etilen tersebut merangsang terbentuknya jaringan aerenkhima dan munculnya akar-akar baru.
[image:32.595.94.457.525.809.2]
Gambar 6 Perbedaan akar adventif genotipe kedelai yang toleran (kiri) dan peka terhadap genangan (kanan) (Lee et al. 2004)
3
ADAPTASI KEDELAI HITAM TERHADAP CEKAMAN
GANDA ALUMINIUM DAN BESI
Abstrak
Cekaman ganda Al dan Fe dipelajari dengan menggunakan 6 genotipe kedelai hitam dan 1 genotipe kedelai kuning sebagai pembanding. Percobaan bertujuan mengevaluasi tujuh genotipe kedelai dan mempelajari mekanisme adaptasi tiga genotipe kedelai tehadap cekaman Al dan Fe. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga April 2014. Lokasi percobaan di rumah kaca Kebun Percobaan Cikabayan IPB, Laboratorium Faperta IPB dan Laboratorium Balai Pasca Penen Cimanggu Bogor. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) 3 faktor dengan 3 ulangan. Faktor pertama konsentrasi Al yakni: tanpa Al, 0.5, 0.7 dan 0.9 mM Al. Faktor ke-dua adalah konsentrasi Fe yakni; tanpa Fe, 0.1, 0.2 dan 0.3 mM Fe. Faktor ke-tiga adalah varietas kedelai yakni: Tanggamus, Cikuray, Lokal Malang, Ceneng, Malika, Detam 1 dan Detam 2. Distribusi Al dan Fe diamati dengan menggunaan hemaktoxilyn dan 2’2 bipiridyn.
Evaluasi 7 genotipe kedelai menunjukkan bahwa cekaman Fe menyebabkan Tanggamus dan Cikuray menjadi genotipe yang toleran (0.2 dan 0.1 mM Fe), Lokal Malang, Ceneng, Detam 1 menjadi genotipe moderat (0.1 mM Fe), Malika dan Detam 2 menjadi genotipe yang peka (0.1 mM Fe). Cekaman Al genotipe Tanggamus, Cikuray, Lokal Malang menjadi genotipe toleran (0.5 mM Al), Ceneng, Malika, Detam 1, Detam 2 menjadi genotipe peka (0.5 mM Al). Cekaman Al + Fe menyebabkan Tanggamus dan Cikuray menjadi genotipe toleran (0.5 mM Al + 0.1 mM Fe), Lokal Malang merupakan genotipe moderat (0.5 mM Al + 0.1 mM Fe), Ceneng, Malika, Detam 1, Detam 2 menjadi goenotipe peka (0.5 mM Al + 0.1 mM Fe). Mekanisme adaptasi terhadap cekaman Al dan Fe ditunjukkan dengan pengamatan akumulasi asam organik pada genotipe toleran dan peka. Genotipe toleran (Cikuray) mengakumulasi asam sitrat dan asam malat yang nyata lebih tinggi pada cekaman 0.5 mM Al + 0.1 mM Fe dibandingkan tanpa cekaman.
Kata kunci: akumulasi asam organik, genotipe kedelai, peka, toleran
Abstract
factor was soybean varieties namely: Tanggamus, Cikuray, Local Malang, Ceneng, Malika, Detam 1 and Detam 2. Distribution of Al and Fe was observed using hemaktoxilyn and 2'2 bipiridyn.
Evaluated seven soybean genotypes showed that Fe causes Tanggamus and Cikuray be genotypes tolerant (0.2 and 0.1 mM Fe), Local Malang, Ceneng, Detam 1 into genotypes moderate (0.1 mM Fe), Malika and Detam 2 into genotypes sensitive (0.1 mM Fe). Al genotype Tanggamus stress, Cikuray, Local Malang become tolerant genotypes (0.5 mM Al), Ceneng, Malika, Detam 1, 2 Detam be sensitive genotype (0.5 mM Al). Al + Fe stress caused Tanggamus and Cikuray become tolerant genotypes (0.5 mM Al + 0.1 mM Fe), Local Malang is moderate genotype (0.5 mM Al + 0.1 mM Fe), Ceneng, Malika, Detam 1, Detam 2 becomes goenotipe sensitive (0.5 mM 0.1 mM Al + Fe). Mechanisms of adaptation to stress Al and Fe is indicated by the observation of organic acid accumulation in the tolerant and susceptible genotypes. Tolerant genotypes (Cikuray) accumulated citric acid and malic acid significantly higher at 0.5 mM Al + 0.1 mM Fe compared to controls.
Keywords: acumulation organic acid, sensitive, soybean genotype, tolerant
Pendahuluan
Cekaman Al merupakan masalah pada budidaya tanaman di tanah masam (pH ≤ 5.5). Tanah yang berkadar Al tinggi dapat menyebabkan tanaman kehilangan hasil 25-80% (Singh et al. 2011). Gejala keracunan Al adalah penghambatan pertumbuhan akar (Zhang et al. 2007). Penghambatan pertumbuhan akar akan mengurangi vigor dan hasil tanaman (Rengel 1992; Kochian 1995). Al menghambat perpanjangan akar dalam beberapa jam dengan mempengaruhi zona perpanjangan sel (Ryan et al. 1993; Sivaguru et al. 1999).
15 1998); 3) meningkatkan aktivitas pompa proton H+-ATPase, yang mengatur keseimbangan ion proton antara di dalam dan di luar plasma membran sehingga terjadi depolarisasi di plasma membran secara berantai mempengaruhi aktivitas metabolism turunannya seperti aktivitas K-chanel dan Ca-transporter yang masing-masing berperan di dalam proses detoksifikasi Al (Kasai et al. 1993; Kinraide et al. 1994; Sasaki et al. 1995; Huang et al. 1996; Larsen et al. 1998; Maathuis 1998); 4) mensintesis protein spesifik pada membran (Basu et al. 1994) dan protein tertentu dari ujung akar (Marzuki 1997) yang tidak ditemukan pada genotipe peka; serta 5) meningkatkan aktivitas enzim tertentu seperti nitrat reduktase (Anwar et al. 1996).
Kadar Fe dalam larutan yang menyebabkan keracunan Fe pada tanaman sangat beragam. Menurut Asch et al. (2005), kadar Fe dalam larutan yang menyebabkan keracunan bervariasi sangat luas berkisar antara 10-500 ppm Fe. Hasil penelitian Majerus et al. (2007) dan Mehraban et al. (2008) menunjukkan kadar Fe dalam larutan hara 250-500 ppm dengan pH 4.56 meningkatkan secara nyata kadar Fe dalam jaringan tanaman dan menunjukkan gejala keracunan Fe pada tanaman yang peka. Hasil penelitian Dorlodot et al. (2005) pada tanaman padi menunjukkan gejala keracunan besi dan menurunnya pertumbuhan pada konsentrasi Fe dalam larutan hara >250 ppm. Berbeda dengan penelitian Lubis dan Noor (2010) yang menunjukkan peningkatan cekaman Fe dari konsentrasi Fe 143 ppm menjadi 325 ppm Fe dan meningkatkan gejala keracunan besi.
Briat et al. (2007) dalam Galatro dan Puntarullo (2011) menyatakan mekanisme yang terdapat dalam tanaman untuk menghindari toksisitas Fe terdiri dari penglarutan (solubilization) dan transport jarak jauh Fe antar organ dan jaringan yang meliputi kompartementasi subselular dan remobilisasi, melibatkan kelasi dan oksidasi reduksi, aktivitas transport dan protein dapat larut. Selanjutnya menurut Wang dan Poverly (1999) dan Liang et al. (2006) mekanisme lain adalah terbentuknya plak di akar tanaman.
Cekaman tunggal Al dan Fe sudah banyak dipelajari, namun cekaman ganda Al dan Fe belum banyak dipelajari. Penelitian cekaman ganda Al dan Fe pada kedelai kuning dilakukan Noya (2014), menunjukkan bahwa cekaman ganda Al dan Fe diperoleh genotipe Anjasmoro dan Yellow biloxi adalah genotipe toleran pada batas cekaman tertinggi 0.5 mM Al + 0.2 mM Fe sedangkan Tanggamus dan Lawit adalah genotipe yang peka. Shamsai et al. 2008 menunjukkan bahwa cekaman ganda Al dan Cr pada tanaman kedelai menyebabkan pengaruh yang lebih besar (sinergis aditif) terhadap pertumbuhan kedelai. Cekaman Al dan Cr pada tanaman barley menyebabkan cekaman oksidatif yang lebih besar dibandingkan dengan cekaman tunggal keduanya pada pH 4 (Ali et al. 2011).
Pewarnaan hemaktosilin dapat digunakan sebagai indikator awal dari pengaruh keracunan Al pada akar muda dalam larutan hara (Cancado et al. 1999). Hemaktoxilin menjadi biru ketika membentuk komplek dengan Al sehingga penetrasi dan retensi ion dalam akar dapat dinilai (Polle et al. 1978). Deteksi kandungan Fe dapat dilakukan dengan menggunakan pewarnaan 2,2’ Bipiridyn (Engel 2012).
Bahan dan Metode
Evaluasi 7 Genotipe Kedelai terhadap Cekaman Al dan Fe Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga April 2014. Lokasi percobaan di rumah kaca Kebun Percobaan Cikabayan IPB dan pengamatan sekresi asam organik dilakukan di Balai Pasca Panen Cimanggu Bogor.
Bahan dan Alat
Tujuh genotipe kedelai digunakan untuk evaluasi genotipe toleran cekaman Al dan Fe. Genotipe tersebut terdiri atas 6 genotipe kedelai hitam yakni: Cikuray, Lokal Malang, Ceneng, Malika, Detam 1, Detam 2, sedangkan Tanggamus sebagai pembanding yang memperlihatkan pertumbuhan dan produksi tertinggi di lahan di lahan sulfat masam (Ghulamahdi et al. 2009).
Komposisi bahan kimia yang digunakan sebagai larutan hara berdasarkan Sopandie (1990) yakni konsentrasi 1/3 strength terdiri atas: 1.5 mM Ca(NO3)2.4H2O; 1.0 mM NH4NO3; 1.0 mM KCl; 0.4 mM MgSO4.7H2O; 1.0 mM KH2PO4; 0.50 ppm MnSO4.4H2O; 0.02 ppm CuSO4.5H2O; 0.05 ppm ZnSO4.7H2O; 0.50ppm H3BO3; 0.p1 ppm (NH4)2M07O24.4H2O dan 0.068 mM FeSO4.7H2O. Aluminium diberikan dalam bentuk AlCl3.6H2O, sedangkan Fe diberikan dalam bentuk FeSO4.7H2O. Peralatan yang digunakan terdiri atas wadah berkapasitas 2 liter, selang, pipa PVC ¼ inchi, pompa udara, pH meter, alat takar, pengaduk dan timbangan.
Rancangan Penelitian
Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) 3 faktor dengan 3 ulangan. Faktor pertama konsentrasi Al yakni: tanpa Al (A0); 0.5 mM Al (A1); 0.7 mM Al (A2) dan 0.9 mM (A3). Faktor kedua adalah konsentrasi Fe yakni; tanpa Fe (B0); 0.1 mM Fe (B1); 0.2 mM Fe (B2); dan 0.3 mM Fe (B3). Faktor ketiga adalah varietas kedelai yakni: Tanggamus, Cikuray, Lokal Malang, Ceneng, Malika, Detam 1 dan Detam 2.
Prosedur Kerja
Benih kedelai hitam dikecambahkan pada media pasir selama 5 hari. Kriteria tanaman digunakan saat transplanting adalah berdasarkan keseragaman panjang akar dan tinggi tanaman. Bibit pada media pasir dipindahkan secara hati-hati, dibilas dengan air destilata, dijepit dengan busa dan ditempatkan pada sterofoam yang sudah dilubangi. Setiap pot yang berisi 2 L larutan ditanami 5 bibit kedelai. Aerator digunakan agar tercipta kondisi oksidatif.
17 menggunakan NaOH 1 N dan HCl 1 N, sedangkan volume larutan dipertahankan melalui penambahan air bebas ion sejumlah yang diuapkan. Kegiatan ini dilakukan setiap 3 hari. Penanaman kedelai dalam kultur hara ditunjukkan pada Gambar 7.
Pengamatan
Pengamatan gejala keracunan Al dan Fe diamati berdasarkan karakter morfologi. Selain gejala toksisitas Al dan Fe, parameter lain yang diamati terdiri atas:
1. pH diamati setiap 3 hari sebelum pengaturan pH 4 dan penambahan ion bebas 2. Tinggi tanaman saat umur 14 hari, diukur dari leher akar hingga titik tumbuh 3. Panjang akar saat umur 14 hari, diukur dari leher akar sampai ujung akar
terpanjang
[image:37.595.116.492.167.541.2]4. Bobot kering akar dan tajuk diukur pada umur 14 hari 5. Bobot kering total diukur pada umur 14 hari
Gambar 7 Penanaman kedelai dalam larutan hara
Analisis Data
Data percobaan dianalisis menggunakan analisis sidik ragam pada taraf kesalahan 5% dan jika berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf kesalahan 5%. Penetapan kriteria toleran dan peka menggunakan indeks sensitivitas berdasarkan peubah yang diamati (Fisher and Maurer 1978) yakni:
1- (Y/Yp) S = --- 1- (X/Xp) Keterangan:
S = Indeks Sensitifitas
Y = Nilai rataan peubah tertentu pada varietas yang mendapat cekaman
cekaman
X = Nilai rataan peubah tertentu pada semua variable yang mendapat cekaman
Xp = Nilai rataan peubah tertentu pada semua varietas yang tidak mendapat cekaman
Kriteria:
Toleran jika S < 0,5
Agak toleran jika nilai 0,5 < S ≤ 1 Peka jika nilai S ≥ 1
Sekresi Asam Organik
Sekresi asam organik merupakan salah satu mekanisme adaptasi tanaman terhadap cekaman Al dan Fe. Pengamatan akumulasi oksalat, sitrat dan malat dilakukan pada umur 14 HST (saat panen) dengan memisahkan tajuk dan akar tanaman. Akar dikeringkan dengan kertas merang dan dibekukan dengan nitrogen cair. Jaringan yang telah beku dihaluskan dengan mortal, diambil 1 g dan ditambahkan metanol 95%, kemudian disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 10000 rpm. Supernatan disimpan dan sisa samppel disentrifugasi kembali hingga 3 kali. Padatan hasil evaporasi dilarutkan dengan 50 ml air dengan pH 2 dan dikocok, kemudian dilewatkan (clean up) ke SPE (Solid Phase Extraction) dan dievaporasikan kembali pada suhu 40 oC. Sebanyak 1 ml padatan diinjeksikan ke HPLC (Pellet et al. 1995) dengan kolom VP-ODS 250L x 4.6. Fase gerak 0.01 N H2SO4 dialirkan dengan kecepatan 0.5 ml per menit pada suhu 32 oC, dan puncaknya dideteksi dengan detektor UV pada panjang gelombang 190 nm. Identifikasi dan kuantifikasi komponen asam organik sampel diketahui dari perbandingan waktu retensi sampel terhadap larutan standart dari asam sitrat, malat dan oksalat, serta perbandingan luas kurva sampel terhadap luas kurva standart dalam kromatogram.
Pengamatan Distribusi Al dan Fe pada Akar Kedelai Hitam Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2014 yang merupakan kelanjutan dari penelitian kultur hara. Pengamatan jaringan dilakukan di Laboratorium
Microtechnicque Fakultas Pertanian IPB Bogor
Bahan dan Alat
19
Pewarnaan
Pewarnaan Hemaktosilin untuk Al. Setelah diberi cekaman, kecambah dibilas dengan air destilata selama 30 menit, direndam dalam larutan hemaktosilin selama 15 menit (Pole et al. 1978) dan dibilas kembali. Bagian ujung akar yang berwarna ungu (sekitar 2-3 mm) dipotong di bawah mikroskop untuk memperoleh gambar distribusi Al. Pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop Olympus tipe BX 51 yang terhubung dengan kamera mikroskop Olympus tipe DP 25.
Pewarnaan 2,2’ bipyridin untuk Fe. Kandungan besi di dalam tanaman
menggunakan metode semi kuantitatif 2,2′ bipyridine (Engel et al. 2012). Secara ringkas analisis sebagai berikut: sampel tanaman setiap perlakuan diambil dan direndam ke dalam larutan 100 mL larutan 50 mmol bipyridine di dalam tabung elemeyer yang dibungkus oleh aluminium foil, kemudian diinkubasi selama 6 jam. Bagian akar dari setiap individu tanaman dipotong menggunakan pisau silet di bawah mikroskop stereo TB20. Bagian akar yang diamati berasal dari bagian 50 mm dari atas ujung akar, sedangkan panjang sampel yang digunakan berukuran 10 mm. Sampel diamati menggunakan mikrosop cahaya Olympus DP25 BSW dengan pembesaran 40 kali. Visualisasi hasil pengamatan difoto menggunakan kamera.
Hasil dan Pembahasan Hasil
Evaluasi 7 Genotipe Kedelai terhadap Cekaman Al dan Fe
Indeks sensifititas panjang akar dapat digunakan untuk seleksi tanaman terhadap cekaman Al dan Fe. Hasil analisis indeks sensitifitas (S) panjang akar menunjukkan nilai beragam. Umumnya nilai S meningkat berdasarkan peningkatan konsentrasi cekaman. Penelusuran nilai tersebut pada setiap perlakuan cekaman dilakukan untuk memperoleh ambang konsentrasi toleransi (Threshold) kedelai terhadap cekaman Al. Kriteria toleransi dikelompokkan menjadi 3 yaitu: toleran jika S < 0.5, agak toleran jika 0.5 < S ≤ 1, dan peka jika S ≥ 1. Indeks sensitifitas kedelai hitam dan Tanggamus sebagai pembanding disajikan pada Gambar 8 dan rekapitulasi indeks sensitifitas panjang akar pada berbagai konsentrasi cekaman Al dan Fe disajikan pada Tabel 1.
Hasil analisis indeks sensitifitas menunjukkan nilai yang beragam. Umumnya indeks sensifitas meningkat dengan meningkatnya cekaman Al dan Fe. Penelusuran nilai tersebut pada setiap kombinasi perlakuan Al dan Fe dilakukan untuk memperoleh batas toleransi (threshold) kedelai terhadap cekaman ganda Al dan Fe.
Batas toleransi (threshold) cekaman Al pada Tanggamus, Cikuray, dan Lokal Malang adalah 0.7 mM Al. Batas toleransi (threshold) cekaman Fe pada Tanggamus 0.3 mM Fe, Cikuray dan Detam 1 0.2 mM Fe. Batas toleransi (threshold) cekaman Al + Fe pada Tanggamus dan Cikuray 0.5 + 0.2 mM dan Lokal Malang 0.9 + 0.1 mM (Gambar 8).
Ceneng, Malika, Detam 1 dan Detam 2 tergolong peka dengan nilai S berkisar 1.34-1.69. Cekaman 0.7 mM Al menyebabkan Tanggamus, Cikuray dan Lokal Malang menjadi moderat dengan nilai S berkisr 0.59-0.89. Cekaman 0.9 mM Al menyebabkan Cikuray menjadi peka dengan nilai S sebesar 1.03.
Gambar 8 Indeks sensitifitas panjang akar pada berbagai taraf konsentrasi cekaman Al dan Fe
Tabel 1 Rekapitulasi indeks sensitifitas panjang akar pada berbagai taraf konsentrasi cekaman Al dan Fe
Genotipe Cekaman Fe Cekaman Al Cekaman Al+Fe
T M P T M P T M P
Tanggamus 0.2 0.5 0.5+0.1
Cikuray 0.1 0.5 0.5+0.1
Lokal malang 0.1 0.5 0.5+0.1
Ceneng 0.1 0.5 0.5+0.1
Malika 0.1 0.5 0.5+0.1
Detam 1 0.1 0.5 0.5+0.1
Detam 2 0.1 0.5 0.5+0.1
21 Cekaman tunggal 0.1 mM Fe menunjukkan bahwa Tanggamus dan Cikuray tergolong toleran dengan nilai S sebesar 0.30 dan 0.13, Lokal Malang, Ceneng, dan Detam 1 tergolong moderat dengan nilai S berkisar 0.61-0.88, sedangkan Malika dan Detam 2 tergolong peka dengan nilai S sebesar 2.46 dan 1.56. Cekaman 0.2 mM Fe menunjukkan Tanggamus tergolong toleran dengan nilai S sebesar 0.33, Cikuray, Lokal Malang menunjukkan Tanggamus tergolong toleran dengan nilai S sebesar 0.33, Cikuray, Lokal Malang dan Ceneng tergolong moderat dengan nilai S berkisar 0.65-0.92, sedangkan Malika, 0.65-0.92, sedangkan Malika, Detam 1 dan Detam 2 tergolong peka dengan Detam 1 dan Detam 2 tergolong peka dengan nilai S berkisar berkisar antara 1.18-1.71. Cekaman 0.3 mM Fe menunjukkan Tanggamus, Lokal Malang dan Ceneng tergolong moderat dengan nilai S berkisar 0.75-0.91, sedangkan Cikuray, Malika, Detam 1 dan Detam 2 tergolong peka dengan nilai S berkisar 1.06-1.21.
Pada cekaman ganda 0.5 mM Al + 0.1 mM Fe ditunjukkan bahwa Tanggamus dan Cikuray tergolong toleran dengan nilai S sebesar 0.27 dan 0.41, peningkatan cekaman menjadi 0.5 mM Al + 0.2 mM Fe menyebabkan toleransi kedua genotipe tersebut menjadi moderat. Cekaman ganda Al dan Fe pada semua konsentrasi cekaman yang diberikan menyebabkan peka pada genotipe Ceneng, Malika, Detam, 1 dan Detam 2 dengan nilai S berkisar antara 1.01 sampai 1.69.
Berdasarkan rata-rata panjang akar menunjukkan bahwa varietas toleran memiliki akar yang lebih panjang dibandingkan varietas peka. Semakin tinggi konsentrasi cekaman Al dan Fe maka semakin menurunkan panjang akar, baik pada varietas toleran maupun peka (Gambar 9).
Gambar 9 Rata-rata panjang akar 14 HST pada berbagai konsentrasi cekaman dan genotipe
tajuk + akar yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe Ceneng (Tabel 3).
[image:42.595.67.456.212.522.2]Cekaman Al dan Fe menghasilkan respon yang berbeda pada tanaman. Akar merupakan bagian yang dapat digunakan untuk mendeteksi cekaman. Perakaran yang mendapat cekaman menyebabkan akar tidak berkembang dengan baik. Gejala toksisitas Al, Fe dan cekaman ganda Al dan Fe ditunjukkan pada Gambar 10, 11 dan 12.
Tabel 2 Pengaruh konsentrasi cekaman Al dan Fe terhadap bobot kering tajuk, bobot kering akar dan bobot kering total
Al dan Fe ( konsentrasi mM)
Bobot kering tajuk (g)
Bobot kering akar (g)
Bobot kering total (g)
0.0 + 0.0 0.349 a 0.091 ab 0.440 a
0.0 + 0.1 0.319 ab 0.095 ab 0.414 ab
0.0 + 0.2 0.309 abc 0.093 ab 0.402 abcd
0.0 + 0.3 0.316 ab 0.093 ab 0.410 abc
0.5 + 0.0 0.299 bcd 0.086 ab 0.385 abcd
0.5 + 0.1 0.291 bcd 0.084 ab 0.375 abcde
0.5 + 0.2 0.259 def 0.077 b 0.336 de
0.5 + 0.3 0.261cdef 0.080 b 0.341 cde
0.7 + 0.0 0.286 bcde 0.081 b 0.367 bcde
0.7 + 0.1 0.257 def 0.078 b 0.335 de
0.7 + 0.2 0.265 cdef 0.078 b 0.342 cde
0.7 + 0.3 0.263 cdef 0.088 ab 0.350 bcde
0.9 + 0.0 0.237 ef 0.119 a 0.356 bcde
0.9 + 0.1 0.262 cdef 0.080 b 0.341 cde