• Tidak ada hasil yang ditemukan

Geografi dan Kependudukan di Kabupaten Nias Selatan

Pulau Nias dengan luas 9.550 km² adalah pulau terbesar di antara 5 pulau besar lainnya. Kepulauan ini berupa gugusan pulau yang jumlahnya mencapai 132 pulau, membujur di lepas pantai barat Pulau Sumatra menghadap Samudra Hindia. Pulau-pulau lain yang dihuni manusia adalah Pulau Tanah Bala, Pulau Tanah Masa, Pulau Tello, dan Pulau Pini. Pulau-pulau kecil lain tidak berpenghuni (Koestoro, Wiradnyana, 2007). Pulau Nias, setelah pemekaran, terbagi menjadi 4 kabupaten/kota, yaitu Kota Gunung Sitoli, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara, dan Kabupaten Nias Selatan. Secara administratif, Kabupaten Nias Selatan terbagi atas 18 kecamatan dan 356 desa/kelurahan. Setiap desa/kelurahan dibagi lagi menjadi 768 Satuan Lingkungan Setempat (SLS) yang dinamakan dusun, lingkungan, lorong, atau kampong (BPS tahun 2010).

Curah hujan di Pulau Nias tergolong tinggi sehingga menyebabkan kondisi alamnya lembap dan basah. Kondisi ini tidak terlalu menguntungkan untuk pertanian padi karena cuaca bisa berubah secara mendadak. Musim kemarau dan hujan terjadi silih berganti. Hujan turun hampir sepanjang tahun dan sering kali dibarengi dengan badai besar. Keadaan iklim ini dipengaruhi oleh Samudra Hindia. Musim badai laut biasanya berkisar antara bulan September sampai November, tetapi kadang terjadi badai pada bulan Agustus. Pulau Nias menjadi pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan (Koestoro, Wiradnyana, 2007).

Sensus Penduduk 2010 menyebutkan bahwa penduduk Nias Selatan berjumlah 289.708 jiwa dengan 60.178 rumah tangga membuat kepadatan penduduknya 159 jiwa/km2 (BPS, 2010). Orang Nias adalah salah satu kelompok etnis dari 6 etnis dominan di Kabupaten Nias, yaitu Melayu, Batak, Nias, Batak Karo, Batak Tapanuli, Melayu Deli yang sampai saat ini masih memegang teguh tradisi leluhurnya. Tradisi menjadi semacam sarana yang dapat menjadi jembatan komunikasi, yang berfungsi sebagai media

Simpang Jalan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Perempuan Nias Selatan di Antara Dua Pilihan;

Modernisasi dan Tradisi

84

Bab 6

untuk mengukuhkan identitas sosial di antara masyarakat Nias. Banyak penduduk Nias masih tinggal di kampung-kampung dan berprofesi sebagai petani. Sebagian lagi tinggal di tempat yang terisolasi, di tempat terpencil seperti di dalam hutan karet agar lebih dekat dengan tempat mencari nafkah sebagai penderes karet. Hutan dan perkebunan di Pulau Nias menjadi tumpuan tempat mencari kehidupan sebagian masyarakat Nias. Beberapa komoditas unggulan, seperti kelapa, karet, cokelat, dan nilam menjadi sumber penghasilan perkebunan di Kabupaten Nias Selatan.

Tempat Tinggal yang Terpencil

Di Kabupaten Nias Selatan terdapat satu desa yang bernama Hilifadölö. Letak Desa Hilifadölö di Kecamatan Lölöwa’u berada di perbukitan dengan ketinggian sekitar 800 meter di atas permukaan laut. Sesuai dengan namanya Hili artinya gunung, sedang fadölö dari kata adölö yang berarti lurus atau searah (Profil Dinkes Kabupaten Nias Selatan,

2011). Menuju desa Hilifadölö dapat dicapai dengan kendaraan umum meskipun tidak banyak. Angkutan umum belum memadai karena belum ada trayek khusus menuju desa ini, kecuali pada hari Selasa sebagai hari pasar (harimbale). Sepeda motor dan mobil carteran menjadi pilihan utama penduduk menuju kecamatan yang dapat ditempuh melalui jalan darat dari Kota Teluk Dalam (ibu kota Kabupaten Nias Selatan) dengan jarak sekitar 63 kilometer. Jalan aspal cukup baik dan merupakan jalan yang diperbaiki setelah gempa Nias tahun 2005. Di sana sini masih terlihat jalan rusak dan masih berlangsung pembangunan jembatan dan jalan. Menuju desa ini harus menyusuri jalan beraspal di perbukitan/pegunungan yang agak berkelok-kelok, meskipun sebagian jalan menuju perkampungan/dusun masih berupa jalan berbatu atau tanah dan hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki karena tidak bisa dilalui oleh kendaraan bermotor.

Desa Hilifadölö seluas 10,92 km2, terbagi dalam 4 lorong. Pemukiman

didiami oleh 902 jiwa di lorong 1 dan 2 yang lokasinya dekat dengan jalan raya, sementara lorong 3 dan 4 berjarak sekitar 5-8 kilometer dari lorong 1 dan 2. Penduduk Desa Hilifadölö seperti juga penduduk Kecamatan

Simpang Jalan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Perempuan Nias Selatan di Antara Dua Pilihan;

Modernisasi dan Tradisi

85

Bab 6

Lölöwa’u sebagian besar beragama Kristen Protestan, disusul Katolik, dan sebagian kecil beragama Islam. Empat buah gereja menjadi tempat ibadah penduduk Desa Hilifadölö. Mata pencaharian pokok sebagian besar penduduk adalah berkebun tanaman keras seperti karet, kelapa, dan cokelat. Selain itu, sebagian penduduk juga menanam padi dan berkebun tanaman palawija seperti jagung, ubi kayu, dan ubi jalar. Sebagian penduduk menjadi pegawai swasta, pegawai negeri, atau wiraswasta (Manalu, dkk., 2012).

Kehidupan masyarakat Desa Hilifadölö cukup tenang, meskipun ada kecenderungan masyarakat mencurigai setiap pendatang baru yang masuk desa tersebut. Penduduk umumnya tinggal berkelompok dan berjajar di pemukiman yang terletak di sepanjang tepi jalan. Sebagian besar bangunan rumah sudah berupa rumah permanen, berdinding tembok, menghadap jalan, dan di belakang rumah digunakan untuk memelihara ternak, juga di belakang rumah terbentang ladang dan hutan. Keadaan ini berbeda dengan keadaan keluarga Bapak H. Bapak H adalah penduduk asli Desa Hilifadölö. Bapak H, bersama istrinya yang berasal dari Kota Padang dan kelima anaknya, tinggal di tengah kebun karet.

Perjalanan menuju rumah Bapak H dimulai dari jalan berbatu yang ada tepat di ujung jalan kabupaten yang beraspal. Jalan berbatu kapur menuju ke kebun karet, meskipun pada awalnya cukup lebar, semakin ke dalam semakin menyempit dan menanjak. Semakin ke atas, hutan semakin lebat dan hanya jalan setapak yang ada untuk menuju kebun karet. Pohon- pohon karet pun semakin rapat. Pohon karet yang sudah berumur sepuluh tahun lebih itu terlihat penuh torehan pisau penyadap karet.

Sesekali ada truk melewati jalan berbatu, masuk ke dalam hutan untuk mengangkut getah karet yang sudah terkumpul serta hasil hutan lainnya. Jalan tersebut tembus ke tepian sungai dan truk dapat menuju tepi sungai untuk mengangkut pasir atau batu sebagai bahan bangunan. Setelah menuruni bibir sungai, kami menyeberangi sungai yang mengering, hanya sepertiga lebar sungai yang dilewati air, lalu naik ke tanggul di seberangnya. Setelah itu, jalan setapak yang dilalui semakin sempit dan menerobos hutan yang semakin lebat.

Simpang Jalan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Perempuan Nias Selatan di Antara Dua Pilihan;

Modernisasi dan Tradisi

86

Bab 6

Gambar 6.1. Denah Desa Hilifadölö

Setelah menyeberangi sungai, masih panjang jalan yang harus ditempuh. Jalan setapak tersebut mempunyai cabang-cabang jalan setapak

Keterangan

Jalan Sungai

Puskesmas Plus Lölöwa’u Kantor Camat Lölöwa’u Pasar Tradisional Kantor Kepolisian Sekolah Lölöfaösö Lölöwa’u Lölöhöwa Botohili Lölömoyo Lorong 3 Hilifadölö Lorong 2 Hilifadölö Lorong 1 Hilifadölö Lorong 4 Hilifadölö

Simpang Jalan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Perempuan Nias Selatan di Antara Dua Pilihan;

Modernisasi dan Tradisi

87

Bab 6

yang lebih kecil menembus rimbunnya pepohonan di punggung bukit yang naik turun. Jalan semakin menyempit, menjadi jalan setapak yang hanya dapat dilewati satu orang. Semakin masuk ke dalam hutan, banyak semak dan pepohonan yang sebagian besar adalah pohon karet. Sesekali tampak pohon lain yang juga menaungi jalan. Bagi yang tidak terbiasa, berjalan sekitar 2 jam naik turun bukit yang semakin lama semakin tinggi betul betul melelahkan. Sesekali dibutuhkan berhenti untuk mengatur napas yang terengah-engah dan jantung yang terpacu kencang. Dari kejauhan, nun di atas bukit terlihat sebuah rumah. Jalan tanah menuntun menuju arah rumah yang berada di lokasi yang cukup tinggi dengan ruang sekitar yang cukup lapang dengan satu dua pohon di dekat rumah. Membutuhkan kaki yang cukup kuat untuk menempuh perjalanan yang jauh, dengan jalan yang naik turun dan dibutuhkan paru-paru dan jantung yang terlatih untuk mencapai rumah tersebut dari jalan beraspal. Mencapai rumah tersebut rasanya melegakan setelah upaya selama hampir dua setengah jam berjalan kaki dari jalan besar.