• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gerakan Literasi Sekolah di Tapal Batas Neger

Dalam dokumen Merayakan Literasi Menata Masa Depan (Halaman 121-130)

Sekolah yang Tak Diminati

SDN O37 Tarakan berada di lingkungan padat penduduk. Di sekolah ini, orang tua siswa tak begitu peduli kepada pendidikan. Mereka mengirim anak-anak mereka ke sekolah dengan tujuan agar tak ‘merecoki’ mereka di rumah. Sekolah ini pun miskin prestasi, sehingga sepi peminat. Jumlah pendaftar terus menurun, padahal sekolah-sekolah di sekitarnya harus menolak siswa karena keterbatasan jumlah rombel. Orangtua juga tak memiliki kepercayaan kepada sekolah. Terbukti, ada saja siswa yang pindah ke sekolah lain selama masa studi. Hal ini memaksa sekolah untuk meminta orangtua menandatangani surat pernyataan bahwa mereka tak akan memindahkan anak mereka sebelum kelulusan, kecuali dengan alasan kepindahan domisili keluar daerah. Sudah menjadi anggapan bahwa SDN 037 sekadar menjadi batu loncatan ke sekolah lain. Saya tak tahu mengapa.

Harus dari mana saya mulai berbenah?Pertanyaan ini terus mengusik saya selama seminggu pertama. Terlalu banyak hal harus dibenahi. Kantin tak ada. Perpustakaan tak ubahnya gudang buku dengan teronggoknya kardus-kardus buku yang telah dibeli bertahun-tahun namun tak pernah dibuka. Halaman sekolah gersang karena satu-satunya sumber air hanyalahcurah hujan.

Setelah diskusi panjang dengan kepala bidang Dikdasmen Dinas Pendidikan Tarakan, pengawas sekolah, komite dan warga sekolah, mendengarkan masukan mereka, saya menyimpulkan bahwa ekosistem pendidikan sekolah

ini sedang bermasalah.Tak ada kerjasama dan sinergi antara pelaku pendidikan di sekolah ini. Semua berjalan sediri- sendiri.

Suatu pagi saya mendapat telpon dari seorang sahabat. Diamenanyakan tentang program literasi sekolah yang saya laksanakan di sekolah saya yang lama. Saya terhenyak. Kenangan saya tentang GLS bangkit. Betul juga, mengapa tak memulai pembenahan sekolah dari GLS? Saya dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan GLS!

Beberapa jam kemudian saya menyampaikan ide GLS kepada dewan guru. Mereka menyambutnya dengan antusias. Saya lalu menemui komite sekolah dan menjelaskan rencana saya. Mereka pun meresponnya dengan semangat. Harapan pun berpendar dalam diri saya. Guru-guru dan komite sebetulnya ingin berubah!Permasalahan berikutnya adalah waktu. Tahun ajaran hanya tersisa tinggal dua bulan lagi!

Berbekal pengalaman melaksanakan GLS di sekolah lama, saya pun beraksi. Saya memulai dengan sosialisasi GLS kepada warga sekolah dan orangtua murid. Tiba pada masalah pendanaan, saya harus memeras otak. Anggaran yang telah dibuat dalam RKAS hanya cukup untuk membeli sedikit buku pengayaan!Pada pertemuan berikutnya dengan orangtua, saya meyakinkan orangtua tentang manfaat literasi. Alhamdulillah, orangtua bersedia berkontribusi. Komite sekolah bersedia mengelola dana patungan orangtua tersebut. Bagi yang tak mampu menyumbang dana, mereka dapat memberikan tenaga.

GLS Beraksi

Aksi menyiapkan sekolah kaya literasi pun dimulai. Saya membentuk tim satgas GLS sekolah, dan mulai membagi tugas:

1. Sudut baca dan bahan kaya teks di kelas dikerjakan oleh siswa, guru kelas, dan orang tua siswa di kelas tersebut. 2. Area baca dan bahan kaya teks dilingkungan sekolah

digarap oleh komite dan orang tua siswa.

3. Untuk menghemat dana yang pas-pasan dari partisipasi orang tua, kami menyiasati dengan memberdayakan orang tua yang punya keahlian, seperti tukang batu, tukang kayu, penjahit dan pelukis.

Permasalahan berikutnya muncul. Tetap saja dana tidak mencukupi. Uang yang terkumpul dari orang tua ternyata hanya cukup untuk membuat taman baca, warung baca (kantin), dan cat untuk melukis dinding sekolah. Tak ada dana tersisa untuk membuat sudut baca di kelas- kelas. Saya berpikir lagi. Ayo kalahkan, jangan keluhkan! Seru saya menyemangati diri sendiri. Sebuah ide kembali muncul. Terinspirasi program Adiwiyata (sekolah peduli dan berbudaya lingkungan), saya pun mengajak warga sekolah untuk memilah sampah dan mengolahnya sehingga menjadi barang berharga. Kami bekerja lagi, kali ini menghias sudut- sudut baca di kelas dan area baca sekolah dengan bahan dari barang bekas. Upaya ini tak berbiaya, hanya membutuhkan sentuhan kreativitas. Kain perca, paralon, talang air, galon, kardus, potongan kayu, jerigen, ban dan bambu menjadi

material yang menghidupkan sudut baca. Tak ada sudut baca yang sama. Semuanya unik! SDN 037 seperti bernyawa; ada semangat di sana! Ketika kami melakukan pekerjaan yang menyenangkan, kami direkatkan oleh kebahagiaan.

Sudut baca dan area baca telah siap. Selanjutnya, untuk memenuhi ketersediaan buku, saya mencanangkan program sedekah buku bagi siswa baru dan mereka yang pindah atau lulus. Tentu orangtua juga dapat menyedekahkan buku. Selain itu, kantong sedekah buku pun tersedia bagi siapa saja yang ingin menyumbangkan buku.

Literasi di Semua Sisi

Saat ini, selain memiliki sudut- sudut baca di semua kelas, SDN 037 juga mempunyai area baca sekolah. Selain itu, ada taman baca, lorong literasi, lapak buku, kantong buku, warung baca, tangga literasi, saung baca dan dinding aksi. Saya menginginkan bahwa ke manapun siswa memandang, di seluruh penjuru mata angin, mata mereka akan menemukan buku dan buku.

Kegiatan pembiasaan literasi kami lakukan sejak pagi hari, dengan membacakan cerita selama 15 menit. Kami terus menyempurnakan pembiasaan ini dengan inovasi-inovasi. Siswa kami libatkan untuk menjaga lorong literasi dan saung baca dengan menjadi relawan jaga baca. Mereka bertugas menjaga distribusi buku pada area baca di lingkungan sekolah, menata sudut baca serta membacakan cerita buat adik kelas pada jam istirahat.

dimasyarakat dan sekolah lainnya. Dampaknya sangat nyata. Pada tahun ajaran baru kami menyambut pendaftar baru yang membludak jumlahnya dengan suka cita. Kepercayaan masyarakat kembali hadir di sekolah kami!

Kepercayaan masyarakat ini kami gunakan dengan sebaik-baiknya dengan terus membenahi program-progam literasi. Setiap Hari Jumat saya dan guru-guru bergantian membacakan cerita kepada seluruh siswa di halaman sekolah. Sebulan sekali kami pun mendatangkan guru tamu untuk mendongeng dan membacakan cerita. Guru tamu dapat berasal dari tokoh masyarakat, orangtua murid atau pejabat terkait. Sudut baca pun selalu dibenahi setiap Hari Jumat agar selalu bersih. Koleksi buku-bukunya diperbarui agar selalu terkini.

GLS Meningkatkan Prestasi

Saya mencanangkan GLS bersama program unggulan lain sesuai visi dan misi sekolah, yaitu program sekolah ramah anak, sekolah sehat dan sekolah adiwiyata. Ibaratnya, satu kali mengayuh dua tiga pulau terlampaui.Enam bulan sejak pelaksanaan GLS, kami melakukan evaluasi. Kami ingin GLS menghasilkan dampak yang bermakna, bukan euforia semata. Hasil penelitian kami sangat menghangatkan hati.

Pada seminar nasional Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) di Universitas Borneo saya memaparkan bahwa GLS berdampak signifikan terhadap prestasi akademik dan nonakademik siswa. Nilai USBN Bahasa Indonesia siswa sebelum pelaksanaan GLS rata-rata 6,1 dan setelah

melaksanakan GLS meningkat menjadi 7,8. Sedangkan untuk prestasi non akademik, terdapat penurunan dalam pelanggaran peraturan sekolah.Dampak nyata ini terus menyalakan semangat untuk menggelorakan literasi secara lebih signifikan lagi.

No Jenis Pelanggaran Jumlah pelanggar Sebelum GLS/ presentasi Jumlah pelanggar setelah GLS/ presentasi 1. Terlambat ke sekolah 72/25 % 9/3.1 % 2. Tidak memakai seragam dan

atribut

111/38 % 5/1.7 3. Berkelahi dan berkata kasar 33/11% Tidak ada/

0 % 4. Tidak masuk sekolah 79/27% 6/2 % 5. Membuang sampah

sembarangan

33/11% 4/1.4 % 6. Tidak mengerjakan PR 70/24% 12/4.1 %

Meluaskan Jejaring GLS

Gerakan Literasi Nasional mewabah diKalimantan Utara. Banyak komunitas dan relawan literasi bergiat di wilayah tapal batas ini. Saya manfaatkan kesempatan ini untuk membangun jejaring kolaborasi dan sinergi dengan mereka. Saya bahkan membina relawan Forum Guru Tapal Batas yang mendampingiprogram literasi di Sekolah Dasar. Selain itu, saya membagi pengalaman dan berkontribusi dalam berbagai kegiatan literasi tingkat nasional.

SDN 037 juga memiliki program Sahabat Literasi. Dalam program ini kamimendampingi sekolah lain untuk

melaksanakan GLS. Program ini sudah berjalan di SDN 001 Bulungan, yang merupakan sekolah rujukan, dan SMP 4 Tarakan. Saya juga membantu merintis kampung literasi bersama organisasi Aisyiyah dan forum Guru Tapal Batas di Gunung Slipi Tarakan. Kami menginginkan bahwa kampung literasi ini menjadi pusat kajian dan wisata literasi, termasuk GLS, di Kalimantan Utara.

Berkat GLS, SDN 037 dipercaya sebagai sekolah pelaksana Penguatan Pendidikan Karekter (PPK). Program yang menyerupai GLS ini kami laksanakan dengan sepenuh hati. Berkat bantuan PPK ini,bangunan tua gedung sekolah kami direnovasi dengan dana 1,6 miliar. Sungguh usaha tak pernah mengkhianati hasil!

Pendidikan adalah sesuatu yang dinamis. Demikian pula GLS. Saya menyadari bahwa apabila GLS tidak bergerak, maka ia akan punah. Dengan semakin banyaknya sekolah yang datang dan belajar tentang praktik GLS, saya semakin merasakan kebutuhan untuk mengembangkan GLS dan terus berinovasi. Saat ini, bersama dengan guru- guru, saya mendorong pelaksanaan kegiatan pengembangan dan pembelajaran berbasis GLS. Masih banyak mimpi dan harapan untuk GLS yang masih harus kami perjuangkan. Kami ingin setiap siswa memiliki akses kepada buku di rumah. Kami juga ingin menjalin kerjasama dengan dunia usaha dan industri. Kami akan terus berkreasi!

Kami bangga literasi dikenal sebagai branding SDN 037 karena kami telah merasakan peningkatan mutu sekolah

melalui GLS. Seperti halnya ikon SDN O37 yang juga populer,Sekolah Kaki langit, perjalanan literasi ini harus mendaki dan berliku,serta sarat kelelahan. Namun, di puncak kesuksesan, semua lelah sirnaterbayarkan oleh pemandangan yang indah dari puncak bukit tempat sekolah kami berada.

JEPANG. Negara ini identik dengan pendidikan dan teknologi. Bagi saya, Jepangbukan sekadar itu. Jepang bagaikan mall dengan konsep one stop shopping. Kita mendapatkan banyak hal yang kita butuhkan pada satu tempat. Di negara ini, saya dapat mempelajari banyak kebiasaan baik:kedisiplinan, kemandirian, budaya baca,cinta produk dalam negeri, dan masih banyak lagi.Pada artikel ini, saya ingin berbagipraktik baik penumbuhan dan pengembangan budaya literasi, juga penerapannya dalam pembelajaran, di beberapa sekolah Jepang yang saya kunjungi ketika mengikutiShort Term Training for Lecturers of Institutes of Teachers Training and Education Personnel(ITTEP)pada tahun 2016 yang lalu.Bagi saya, praktik ini amat relevan dengan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) di tanah air yang bertujuan untukmenumbuhkan minat dan meningkatkan

Dalam dokumen Merayakan Literasi Menata Masa Depan (Halaman 121-130)