KEGIATAN PAROKI SANTO YUSUP BATURETNO WONOGIRI DALAM UPAYA MENJAGA KEUTUHAN ALAM CIPTAAN
A. Gambaran Umum Paroki Santo Yusup Baturetno Wonogiri 1 Keadaan Geografis
5. Gerakan “Menanam Air” Sebagai Bentuk Kepedulian Gereja
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai pengertian gerakan “menanam air”, latar belakang gerakan, pelaku gerakan, faktor yang mendukung dan menghambat gerakan dan jenis-jenis pohon yang ditanam dalam gerakan ini. Data-data mengenai gerakan “menanam air” diperoleh dari wawancara singkat dengan Pastor Paroki Baturetno yaitu Romo J. Muji Santara, SJ.
a. Pengertian “Menanam Air”
“Menanam air” merupakan sebuah istilah baru dan terasa asing di telinga banyak orang. Namun bagi aktivis gerakan dan bagi sebagian umat di Paroki Santo Yusup Baturetno Wonogiri, “menanam air” bukanlah istilah yang baru dan sudah sering mereka dengar di dalam kotbah Romo atau di dalam kegiatan-
kegiatan paroki yang mereka ikuti. “Menanam air” merupakan sebuah istilah yang muncul kurang lebih pada tahun 2010 dimana ada seorang teman, sepulang dari pertemuan di Klaten membawa istilah itu [(Lampiran 1: (1)]. Istilah “menanam air” digunakan oleh umat di Paroki Santo Yusup Baturetno untuk menamai gerakan yang mereka lakukan untuk melestarikan dan memunculkan sumber air yang ada di daerah mereka.
Gerakan “menanam air” merupakan suatu gerakan menanam pohon beringin dan pohon gayam, khususnya di daerah-daerah yang tidak banyak menjadi tempat hunian manusia. Istilah menanam air sendiri dipilih karena hasil yang diperoleh saat menanam pohon besar semacam beringin tidak akan segera didapatkan, sumber air yang mereka lestarikan juga tidak langsung mereka petik, namun akan berbuah setelah pohon itu besar dan mampu menyerap air tanah yang agak sulit didapatkan di daerah Wonogiri. Sama seperti halnya menanam pohon buah, kita harus bersabar untuk menikmati buahnya, maka menanam pohon beringin juga seperti itu, kita harus bersabar memetik buah air kehidupan yang tentunya akan semakin sulit kita dapatkan di masa yang akan datang [Lampiran 1: (2)-(4)].
Program “menanam air” ini merupakan suatu gerakan bersama yang dilakukan oleh umat di Paroki Baturetno dalam memunculkan sumber air bersih dan dapat dikonsumsi di daerah mereka yang gersang dan merupakan daerah yang berbatu serta sulit untuk menemukan sumber air karena kedalaman sumber air di sana sangat dalam dan agak sulit untuk dibor sementara kebutuhan akan air bersih terus meningkat setiap tahunnya.
Kurang tersedianya sumber air bersih bagi warga sekitar paroki Baturetno, membuat Pastor dan umat di Paroki Baturetno memikirkan suatu gerakan yang mampu memunculkan air bersih di lingkungan sekitar, sehingga muncullah gagasan untuk menanam pohon beringin dan sejenisnya yang mampu mengikat air di dalam tanah. Jenis pohon beringin sengaja dipilih karena mampu hidup di daerah yang gersang, mampu bertahan lama dan dapat mengikat air tanah yang cukup dalam. Hal tersebut ditegaskan oleh Pastor Paroki sebagai berikut:
Prioritas yang dibidik adalah tanah yang tidak bisa ditanami. Berdasarkan kontur tanah, beringin cocok ditanam karena bisa hidup di daerah yang tidak produktif dan bisa hidup dimana saja. Namun tantangan yang terjadi adalah menanam beringin sama dengan menanam demit dan sekarang tantangannya daun beringin untuk pakan ternak [Lampiran 1: (4)].
Melihat dari pemilihan pohon yang kurang bermanfaat secara ekonomi namun memiliki manfaat yang baik dalam memunculkan air dan oksigen, maka gerakan ini dinamakan gerakan menanam air.
b. Latar Belakang “Menanam Air”
Gerakan ini awalnya bermula dari keprihatinan Romo Muji selaku Pastor Paroki Santo Yusup Baturetno Wonogiri yang melihat hiasan altar yang digunakan oleh umat di paroki menggunakan hiasan dari bunga plastik. Melihat keprihatinan tersebut Romo mulai memunculkan suatu keindahan dari rumput yang ada di pinggir jalan, kemudian beliau mengajak umat untuk menanam bunga di sekitar gereja dan di sekitar rumah mereka masing-masing. Bunga yang ditanam beragam dan termasuk ke dalam bunga yang sederhana yang sering ditemui di pinggir jalan atau yang sering ditanam di rumah-rumah warga. Gerakan
ini berjalan dengan baik dan membuat umat bisa menghias altar dengan bunga hidup dan tidak menggunakan bunga plastik.
Kegiatan ini bertahan sampai saat ini dimana umat tidak lagi bergantung untuk membeli bunga potong yang dijual dengan harga yang cukup mahal dan memerlukan biaya untuk membelinya di kota Wonogiri. Umat bisa menghias altar dengan indah menggunakan bunga-bunga dari sekitar gereja dan dari sekitar rumah mereka.
Pada suatu kesempatan ada seorang umat yang mengikuti pertemuan di Klaten dan sepulang dari sana beliau mulai memunculkan istilah “menanam air”, “menanam oksigen” atau “menghirup udara segar” [Lampiran 1: (2)]. Umat tersebut mulai memunculkan gagasan mengenai gerakan “menanam air” yaitu gerakan menanam pohon besar yang mampu menahan air dan memunculkannya, mengingat keadaan di daerah mereka yang cukup gersang dan agak sulit mendapatkan air.
Gerakan baru ini didukung oleh Pastor Paroki dan Dewan Paroki sehingga para aktivis berusaha untuk mencari jenis pohon yang sesuai untuk tanah di daerah Wonogiri yang berbatu dan memiliki sumber mata air yang sangat dalam. Setelah berunding mereka memutuskan untuk menanam beringin dan beberapa jenis kerabat beringin yang mampu bertahan di daerah yang cukup ekstrim seperti di daerah Wonogiri yang berbatu dan memiliki sumber air yang dalam [Lampiran 1: (4)]. Kemudian umat menamai gerakan ini sebagai gerakan “menanam air” karena hasil yang mereka petik dalam gerakan ini tidak bisa langsung mereka nikmati, atau mungkin malah tidak bisa mereka nikmati dan
harapan mereka anak cucu mereka yang dapat menikmati apa yang telah mereka tanam.
c. Pelaku Gerakan “Menanam Air”
Banyak orang yang telibat di dalam gerakan “menanam air”. Orang- orang yang terlibat atau pelaku dari gerakan “menanam air” ini sebenarnya ialah umat di Paroki Santo Yusup Baturetno, Wonogiri. Mereka adalah yang mencanangkan gerakan ini dan menamai gerakan ini. Umat di paroki Baturetno diajak untuk bergabung dalam gerakan ini dan menjadi pelaku gerakan ini tanpa terkecuali, namun tidak semua orang mampu menjadi pelaku gerakan ini secara langsung karena ketiadaan lahan yang digunakan untuk menanam pohon beringin di pekarangan mereka, namun setiap orang tetap diajak untuk ikut ambil bagian dalam gerakan ini.
Orang-orang yang terlibat langsung dalam gerakan ini dan melibatkan diri untuk menanam dan membawa bibit beringin diberi julukan sebagai orang tua asuh. Mereka diberi nama orang tua asuh karena mereka yang nantinya akan bertanggungjawab atas pohon-pohon beringin yang mereka bawa pulang dan yang bertanggungjawab memberikan laporan serta merawat pohon-pohon tersebut. Namun keberadaan orang tua asuh masih jauh dari harapan karena pohon beringin yang mereka tanam ada yang kurang terawat dengan baik. Hal tersebut dapat kita simak dalam kutipan di bawah ini.
Orang yang merawat tidak asal disebut begitu saja, namun diberi nama orang tua asuh. Ada orang tua asuh yang kurang sadar dan kurang memahami karena saat saya kunjungan ke salah satu orang tua asuh, daun dan cabang-cabangnya dipotong dengan alasan biar bagus padahal
itu mengganggu pertumbuhan. Prioritas yang dibidik adalah tanah yang tidak bisa ditanami. Berdasarkan kontur tanah, beringin cocok ditanam karena bisa hidup di daerah yang tidak produktif dan bisa hidup dimana saja. Namun tantangan yang terjadi adalah menanam beringin sama dengan menanam demit dan sekarang tantangannya daun beringin untuk pakan ternak [Lampiran 1: (4)].
Selain orang katolik yang terlibat dalam gerakan ini, ada juga warga non katolik yang ikut terlibat dan ikut ambil bagian dalam gerakan ini. Gerakan ini juga didukung oleh perangkat desa setempat yang ikut ambil bagian sebagai corong Gereja atau perpanjangan tangan Gereja untuk mengajak masyarakat di luar Gereja untuk terlibat aktif mengikuti gerakan ini.
Umat katolik dan masyarakat tidak hanya berperan sebagai orang tua asuh saja, namun mereka juga berperan dalam menyediakan bibit tanaman atau membantu mencarikan bibit pohon beringin dan gayam yang dapat ditemukan dengan mudah di pinggir jalan atau dengan melakukan pembibitan sendiri.
Kesadaran umat untuk terlibat aktif dalam gerakan “menanam air” dapat dilihat dari usaha mereka untuk mengusahakan bibit yang nantinya akan diberkati dan dibawa pulang oleh orang tua asuh. Berusaha untuk menjadi orang tua asuh dengan menanam dan menjaga bibit yang telah mereka bawa. Selain itu mereka juga mengajak warga sekitar untuk terlibat dalam gerakan ini dan membuat tema- tema kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan hidup. Tidak lupa mereka juga mulai memunculkan di dalam pendalaman iman dan dalam doa-doa Gereja mengenai harapan dan keinginan mereka dalam melanjutkan dan melestarikan gerakan ini [Lampiran 1: (3)-(5)].
d. Faktor yang Mendukung dan Menghambat Gerakan
Dalam melaksanakan gerakan “menanam air” banyak terdapat faktor pendukung dan penghambat gerakan. Semuanya itu dialami sejak awal gagasan ini dimunculkan. Faktor-faktor yang mendukung gerakan ini bisa dilihat dari tanggapan awal beberapa umat dan Dewan Paroki yang mulai ikut menggagas gerakan, ada yang membuatkan video tentang keadaan air di daerah Baturetno dan ada pula yang bersedia menjadi orang tua asuh bagi bibit beringin dan gayam yang rencananya akan ditanam. Umat di Gereja yang menjadi pengurus RT, RT, pegawai Kelurahan juga mulai menjadi corong Gereja untuk mengajak pihak luar terlibat di dalam gerakan ini [Lampiran 1: (3)-(4)].
Selain faktor pendukung, muncul pula faktor yang menghambat gerakan di antaranya: masih kuatnya budaya lokal yang mengakar pada kepercayaan umat akan adanya danyangan di sekitar pohon besar, sehingga mereka menganggap bahwa bila menanam pohon beringin pasti menanam setan. Kurangnya lahan untuk menanam, karena untuk menanam pohon beringin diperlukan tempat yang luas dan sebisa mungkin yang kurang produktif, karena akar beringin yang kuat bisa merusak apa yang ada di dekatnya [Lampiran 1: (2)]. Kesadaran umat yang kurang tentang keberadaan pohon, sehingga ada pohon yang tidak terawat, tercabut, terbakar dan ada yang menjadi pakan ternak [Lampiran 1: (3)-(4)].
e. Jenis-jenis Pohon yang Ditanam dan Manfaatnya 1) Beringin
Pohon beringin atau dalam bahasa latin bernama Ficus sp. merupakan tanaman dari famili Moraceae. Tanaman jenis ini banyak dijumpai di Indonesia, baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah, serta bisa mencapai tinggi 35 meter. Beringin memiliki batang tegak, bulat, dengan permukaan kasar. Pada bagian batang ini keluar akar gantung (akar udara). Pohon yang disebut juga waringin oleh masyarakat Jawa dan Sumatera, memiliki bentuk daun tunggal, bertangkai pendek, dengan letak bersilang berhadapan. Bunganya tunggal, keluar dari ketiak daun, sementara buahnya bewarna hijau saat masih muda dan merah setelah tua (Setijati, 1984: 30-31).
Beringin merupakan tanaman yang memiliki kemampuan hidup dan beradaptasi dengan bagus pada berbagai kondisi lingkungan. Selain itu keberadaan tanaman beringin pada kawasan hutan bisa dijadikan sebagai indikator proses terjadinya suksesi hutan. Beringin juga merupakan tanaman yang memiliki umur sangat tua, tanaman tersebut dapat hidup dalam waktu hingga ratusan tahun.
Tanaman beringin memiliki kemampuan sebagai tanaman konservasi mata air dan penguat lereng alami. Hal tersebut dapat dilihat dari struktur akarnya yang dalam dan akar lateralnya yang mampu mencengkeram tanah dengan baik. Beringin juga memiliki kemampuan yang tinggi untuk menyerap polusi dalam hal ini CO2 dan timbal hitam di udara. Beringin juga memiliki peranan yang cukup penting dalam proses pembangunan kawasan hutan lindung, karena
beringin memiliki nilai hidrologis, ekologis, budaya, religi dan keamanan kawasan hutan.
Sebelum maraknya pembangunan, pohon beringin banyak tumbuh di sekitar aliran sungai dan sumber mata air. Keberadaaan pohon beringin di kedua tempat tersebut mampu mencegah erosi serta dapat memunculkan mata air dan menjernihkannya. Tidak jarang pula tempat-tempat yang ditumbuhi pohon beringin yang berusia hingga ratusan tahun diberi sesajen, karena dipercaya ada penunggunya. Namun saat kebiasaan memberi sesajen mulai luntur dan banyak orang yang melakukan pembangunan, maka pohon beringin banyak yang ditebang dan menyebabkan hilangnya sumber mata air di sekitarnya.
2) Gayam
Gayam (Inocarpus fagifer) adalah pohon yang mampu tumbuh setinggi 20 meter dengan garis tengah batang bisa mencapai 65 cm. Gayam biasanya tumbuh liar di daerah rawa-rawa atau tepi sungai. Tanaman ini tumbuh di daerah dataran rendah tropis yang lembab hingga ketinggian 500 meter dpl, serta mampu tumbuh di tanah yang miskin zat hara. Batang pohon Gayam beralur tidak teratur, kadang-kadang berakar banir, dengan percabangan merunduk. Pada kulit batang bagian dalamnya mengandung cairan berwarna merah. Sistem akarnya yang kuat dan batang yang beralur sangat cocok digunakan sebagai tanaman pencegah erosi. Daun Gayam berseling, tunggal, dan kaku menyerupai kulit. Bentuknya lonjong, dan berwarna pink ketika muda. Buah Gayam berjenis polong berbentuk ginjal dengan kulit buah yang keras. Buah Gayam mempunyai biji berbentuk gepeng.
Kulit biji keras dengan endosperm putih. Ketika mentah buah berwarna hijau dan menjadi kuning atau kecoklatan ketika masak.
Pohon gayam biasanya ditanam sebagai peneduh pekarangan dan kuburan, selain itu pohon ini seringkali tumbuh berdekatan dengan kolam atau mata air sehingga diduga memiliki kemampuan menyerap dan menyimpan air sehingga mudah menemukan mata air di sekitar pohon gayam. Kemampuan pohon gayam dalam menyerap air membuat pohon gayam menjadi salah satu pilihan sebagai tumbuhan yang digunakan untuk penghijauan.
Pohon gayam juga dipercaya membawa ketentraman karena pohonnya yang rindang dan mampu membawa kesejukan. Tidak jarang masyarakat di pedesaan juga memberikan sesajen di bawah pohon gayam karena dipercaya ada penunggunya. Saat ini pohon gayam sudah agak sulit ditemui, karena di samping sisi ekonominya kurang memuaskan, penampilan angker dari pohon ini juga banyak ditakuti oleh orang, sehingga tidak banyak orang yang menanam tanaman ini.