• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEPPRES NOMOR 7/G/2012 TENTANG PEMBERIAN GRASI TERPIDANA MATI NARKOBA ANALISIS KAJIAN HUKUM PIDANA ISLAM

A. Grasi Dalam Hukum Islam

Dalam kalangan ulama fikih, grasi dikenal dengan istilah al-Syafa’at di ambil dari kata al-Syaf’u. Menurut ahli fiqih bermazhab maliki, Fakhruddin ar-Razi definisi syafa’at

diartikan sebagai suatu permohonan dari seseorang terhadap orang lain agar keinginannya dipenuhi.1Dasar hukum kata syafa’at (grasi) diambil dari Al-Qur’an dalam surat an-Nisa ayat 85, yaitu :                                   

Artinya : “Barangsiapa yang memberikan syafa’at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian (pahala) dari padanya. Dan barangsiapa yang memberi syafa’at

yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian (dosa) daripadanya. Allah maha kuasa atas

segala sesuatu”

Ahli hukum Mazhab Maliki mengartikan grasi dalam hukum pidana umum dengan istilah Syafaat. Menurutnya syafaat ialah “suatu permohonan untuk dibebaskan

1

dilakukan”.2

Pengertian Syafa’at yang sangat tepat diterapkan dalam kepidanaan Islam adalah seperti yang dikemukakan oleh al-Jurjani: “Suatu perbuatan untuk dibebaskan atau

dikurangkan dari menjalani hukuman suatu tindak pidana yang telah dilanggarnya.3 Pengampunan merupakan salah satu faktor pengurangan atau penghapusan hukuman baik diberikan oleh korban atau walinya, atau oleh penguasa negara. Pengaruh pengampunan hanya berlaku pada jarimah Qishah Diyat dan Takzir, tetapi tidak berlaku untuk jarimah Hudud.

Pengampunan dalam Islam memang ada dan dibolehkan, pemberian pengampunan terhadap pelaku pidana adalah hal yang terpuji (dihalalkan) dalam batas-batas yang sempit, akan tetapi tidak semua tindak pidana bisa mendapatkan pengampunan karena tergantung pada pertimbangan kemashlahatan umat. Tindak pidana dalam Islam, berdasarkan berat ringannya hukuman ada tiga jenis, yaitu hudud, qisas diyat dan takzir.4 Berikut Jenis-jenis pidana dalam Islam yang memberikan pengampunan terhadap pelaku pidana tersebut :

Pertama, jarimah hudud, pidana yang diancam hukuman had (terbatas), yakni hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlahnya menjadi hak Allah SWT. Dengan demikian, maka hukuman tersebut tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi , seperti

2

Ibid, h. 411 3

Fatchur Rahman, Hadits-hadits Tentang Peradilan Agama.( Jakarta: BulanBintang. 1977), hlm. 24. 4

51

tindak pidana zina, qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina), minum khamr (minuman keras), hirabah, murtad dan pemberontakan.

Ditinjau dari segi ampunan dalam jarimah hudud tidak ada unsur pemaafaan dari pihak manapun, baik dari si korban, wali maupun hakim termasuk kepala Negara atau kepala pemerintahan.5 Sedangakan pada pencurian, hal tersebut ada sedikit keringanan atas pemberian syafaat. Hal ini dibolehkan apabila si pelaku sewaktu ia telah mencuri taubat dan barang curiannya dikembalikan sedangkan perkaranya belum diperoses.

Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa dalam jarimah hudud hakim atau penguasa tidak boleh memberikan pengampunan kepada yang melakukannya, apabila kasus tersebut telah dijatuhkan ke pengadilan atau telah divonis oleh pengadilan.6

Kedua jarimah qisas dan diyat, ialah perbuatan yang diancam dengan hukuman qisas (pelaksanaan hukuman dengan cara sebagaimana pelaku pidana melaksanakan perbuatan yang mengakibatkan orang lain wafat) atau diyat (denda materiil). Jarimah qisas ada 5 macam yaitu:

- Pembunuhan sengaja, - Pembunuhan semi sengaja,

- Pembunuhan tersalah tidak sengaja, - Penganiayaan sengaja dan

- Penganiayaan tersalah tidak sengaja.

Adapun pada tindak pidana qisas, pengampunan bisa diberikan oleh si korban atau walinya, dalam hal ini, pengampunan yang diberikannya mempunyai pengaruh.

5

Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 412 6

diyat sebagaimana ia juga bisa membebaskan si pelaku dari hukuman diyat.

Menurut Imam Syafi’I, Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal, pada jarimah

qisas diyat unsur pemaafan ada pada pihak si korban atau walinya. Akan tetapi, kalau si korban tidak cakap (masih di bawah umur atau gila, misalnya) dan ia tidak memiliki wali, kepala Negara yang menjadi walinya. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam yang

mengatakan “penguasa adalah wali bagi siapa saja yang tidak mempunyai wali”, akan

tetapi dengan syarat pemberian maaf itu tidak boleh dengan cuma-cuma.7

Islam menetapkan hukuman qisas sebagai hukuman bagi pembunuhan, tetapi Islam tidak mengatakan bahwa itu mutlak harus dilaksanakan, untuk itu diperbolehkan untuk memberi pengampunan atau diganti dengan diyat atau bahkan hapus seluruhnya. Dasar adanya hak memberikan pengampunan bagi korban atau walinya ialahfirman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 178 artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu kisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa mendapatkan pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang

memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik.”

Ketiga jarimah takzir, ialah hukum yang disyariatkan atas tindakan maksiat atau tindak kejahatan lain yang tidak ada ketentuan hudud atau kifaratnya.8 . Takzir berarti

7

Muhammad Ahsin Sakho, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Bogor: PT. Kharisma Ilmu, 2007) h. 101-102 8

Maawardi Noor, Garis-Garis Besar Syariat Islam, (Jakarta: Kharul Bayan Sumber Pemikiran Islam, 2002), h. 30

53

(memberikan pengajaran). Ancaman hukumannya ditentukan oleh penguasa (hakim) sebagai pelajaran kepada pelakunya.

Para ulama membagi jarimah takzir menjadi dua bagian, yaitu: 1. Jarimah takzir yang berkaitan dengan hak Allah.

2. Takzir yang berkaitan dengan hak perorangan (hak adam)

Yang dimaksud dengan kejahatan yang berkaitan dengan hak Allah adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kemashlahatan umum. Misalnya membuat kerusakan dimuka bumi, perampokan, pencurian, perzinahan, pemberontakan, dan tidak taat kepada ulil amri. Yang dimaksud dengan kejahatan berkaitan dengan hak hamba adalah segala sesuatu yang mengancam kemaslahatan bagi manusia, seperti tidak membayar hutang dan penghinaan. 9

Dalam tindak pidana takzir, pihak penguasa (pemerintah) berhak memiliki hak untuk mengampuni tindak pidana dan hukuman sekaligus, dengan syarat tidak mengganggu hak pribadi si korban. Si korban juga bisa memberikan pengampunan dalam batas-batas yang berhubungan dengan hak pribadinya yang murni. Karena tindak pidana itu menyinggung masyarakat, pengampunan yang diberikan oleh si korban sama sekali tidak menghapuskan hukuman kecuali sekedar untuk meringankan hukuman dari si pelaku. Seorang hakim mempunyai kekuasaan yang luas pada tindak pidana takzir dalam mempertimbangkan keadaan-keadaan yang meringankan serta peringanan hukuman.10

9

A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997), h. 162

10

pelaku maupun masyarakat sekitar, maka hukuman takzir dapat diberlakukan atas pertimbangan kemaslahatan.

Adapun bentuk dari hukuman takzir itu adalah: hukuman mati, hukuman jilid, hukum kawalan (penjara kurungan) terbatas dan tidak terbatas, hukuman pengasingan (al-tagrib wa al-ib’ad), hukuman salib, hukuman pengucilan (al-hajru), hukuman ancaman (tahdid), teguran (tanbih), peringatan dan hukuman denda.11

Pada prinsipnya hukuman takzir itu hanya bersifat pelajaran dan pengajaran, tidak sampai pada pembinasaan. Akan tetapi kebanyakan fuqaha membuat istisna (pengecualian) dari aturan umum, yaitu kebolehan untuk mejatuhkan human mati terhadap pelaku tindak pidana dengan memperhatikan beberapa hal: Pertama, jika kepentingan umum menghendaki pelaku tindak pidana dihukum mati. Kedua, merupakan satu-satunya cara untuk memberantas suatu tindak pidana.12

B. Keputusan Presiden Nomor 7/G/2012 tentang Pemberian Grasi Narkoba Kajian

Dokumen terkait