PEMBERIAN GRASI TERHADAP TERPIDANA MATI
NARKOBA KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 7/G/2012
(KAJIAN HUKUM PIDANA ISLAM)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
WILDA AZIZAH
NIM : 108045100009
KONSENTRASI HUKUM PIDANA ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
v
ABSTRAK
WILDA AZIZAH, NIM: 108045100009, PEMBERIAN GRASI TERHADAP TERPIDANA MATI NARKOBA KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 7/G/2012 (KAJIAN HUKUM PIDANA ISLAM). Program Studi Jinayah Siyasah, Konsentrasi Kepidana Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015
Skripsi ini menganalisis pemberian grasi terhadap terpidana mati narkoba oleh Presiden dalam hukum Islam yakni untuk mengetahui bagaimana pandangan hukum Islam terhadap alasan Presiden memberikan grasi dan untuk mengetahui dasar hukum atau pertimbangan pemberian grasi kepada terpidana mati narkoba (Deni Setia Maharwan).
Metode penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif yuridis yaitu mendekati permasalahan dengan norma atau kaidah hukum yang berlaku menurut hukum dengan menggunakan teknik studi pustaka (library research) berupa buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, majalah, surat kabar, internet dan sumber lainnya yang berkaitan secara langsung dengan objek yang diteliti.
Dari hasil tinjauan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa Pemberian grasi khususnya kepada terpidana tindak pidana extra ordinary crime seperti tindak pidana narkoba tidak diberikan, sebab narkoba dapat merusak akal dan merusak bangsa. Pemberian grasi terhadap terpidana mati narkoba (Deni) tidak sejalan. Pandangan hukum Islam lebih mementingkan kemaslahatan umat dibanding kepentingan individu terhukum. Pemberian grasi terhadap terpidana narkoba itu sama sekali tidak memberikan efek jera dan memberikan kesempatan untuk tumbuhnya kejahatan.
Kata kunci: Grasi, Narkotika/Narkoba, Hukum Islam
vi
ميحرلا نمحرلا ها مسب
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq serta
nikmatnya, sehingga Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar.
Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW beserta
sanak keluarga dan para sahabatnya, sebagai pelindung orang-orang tertindas dan pejuang
keadilan bagi seluruh manusia serta yang mengamalkan sunnahnya dan menjadi pengikut setia
hingga akhir zaman.
Hanya dengan karunia Allah SWT Tuhan yang Maha Adil, penulis dapat menyelesaikan
karya ilmiah dalam bentuk Skripsi ini yang merupakan tugas akhir sebagai salah satu kewajiban
akademik yang harus ditempuh untuk meraih gelar Sarjana Syariah (S.Sy) di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Banyak kendala serta rintangan yang penulis hadapi dalam
melakukan penelitian ini. Namun berkat kesungguhan hati dan kerja keras serta dorongan dan
bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga hal-hal
tersebut dapat penulis atasi dengan sebaik-baiknya. Untuk itu dengan segala kerendahan hati
penulis berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
vii
2. Dra. Hj. Maskufa, MA. Ketua Program Studi Jinayah Siyasah yang telah memberikan
bimbingan, petunjuk, dan nasehat yang berguna bagi penulis selama perkuliahan
sehingga penulis dapat menyelesaikan studi strata 1.
3. Hj. Rosdiana M.A Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah yang telah banyak
membantu penulis untuk melengkapi berbagai macam keperluan berkas-berkas
persyaratan untuk menggapai studi strata 1.
4. Iding Rosyidin, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan
dalam proses pembuatan proposal skripsi ini sehingga skripsi dapat diseminarkan dengan
baik.
5. Dr. Hj. Isnawati Rais, M.A selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak
bimbingan, petunjuk dan nasehat yang berguna bagi penulis selama proses penulisan
skripsi.
6. Segenap Dosen Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta yang dengan Ikhlas menyalurkan ilmu dan pengetahuannya secara
ikhlas dalam kegiatan belajar mengajar yang penulis jalani, serta pimpinan dan pengurus
perpustakaan yang telah memberikan fasilitas dan meminjamkan buku-buku yang
diperlukan oleh penulis.
7. Kepada seluruh keluargaku tercinta, terutama kedua orang tuaku Ayahanda Abdul Kadir
Hasibuan dan Ibunda Zuraidah Harahap yang selalu mendoakan dan memberikan
dukungan baik moril maupun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi strata
1 dengan penuh semangat.
8. Teman-teman Program Studi Pidana Islam Angkatan 2008 terima kasih telah menemani
viii
9. Teman-teman KKN Hati 2011, terima kasih atas persahabatan, pengalaman dan
dukungannya.
Tiada cita dapat terwujud dengan sendirinya kecuali dengan pertolongan Allah SWT.
Penulis hanya dapat berdoa semoga mereka yang telah disebutkan nama-namanya maupun yang
belum sempat disebutkan nama-namnya mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT,
dan segala bantuan yang diberikan dicatat sebagai ibadah di sisi-Nya. sehingga penulis dapat
memberikan kontribusinya dalam ilmu pengetahuan. Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat
bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya serta menjadi amal baik disisi Allah SWT.
Akhirnya semoga setiap bantuan, doa, motivasi yang telah diberikan kepada penulis
mendapatkan balasan dari Allah SWT.
Wassalamualaikum. Wr. Wb.
Jakarta, 4 Juni 2015
viii
HALAMAN JUDUL………... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING………. ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI………. iii
LEMBAR PERNYATAAN………... iv
ABSTRAK……….. v
KATA PENGANTAR………... vi
DAFTAR ISI……….. viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……… 1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah……….. 6
C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian…... 7
D. Metodologi Penelitian……… 8
E. Tinjauan Pustaka / Review Study………. 10
F. Sistematika Penulisan……… 11
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GRASI A. Pengertian dan Dasar Hukum Grasi………... 12
B. Prosedur Pemberian Grasi………. 16
C. Pemberian Grasi Bagi Terpidana Narkoba………... 21
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA NARKOBA A. Pengertian dan Dasar Hukum Narkoba………... 25
B. Jenis-jenis dan Bahaya Narkoba………. 33
ix
BAB IV KAJIAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP KEPUTUSAN PPRESIDEN NOMOR 7/G/2012 TENTANG PEMBERIAN GRASI BAGI TERPIDANA MATI NARKOBA
A. Grasi Dalam Hukum Islam………... 49 B. Keputusan Presiden Nomor 7/G/2012 tentang Pemberian Grasi
Narkoba Menurut Kajian Hukum Pidana Islam……… 54
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan……… 69
B. Saran-Saran………... 71
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan zaman telah membawa negara Indonesia kepada
semakin meningkatnya penyalahgunaan dan peredaran narkoba.
Penyalahgunaan dan peredaran narkoba telah menimbulkan banyak korban
dan banyak masalah sosial lainnya di dunia. Narkoba telah menyebar tidak
hanya di kota-kota, tetapi juga di daerah-daerah terpencil. Para pengguna
narkoba bukan lagi terbatas pada usia dewasa, bahkan anak usia dini pun telah
menjadi korbannya.
Narkoba merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilang rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.1 Bahkan
dapat menyebabkan kematian, sehingga merusak generasi suatu bangsa.
Dalam pandangan Islam, narkoba tidak dikenal pada masa Rasulullah
saw. Istilah narkoba dalam Islam tidak disebutkan secara langsung dalam
Al-Qur‟an dan Sunnah. Walaupun demikian ia termasuk dalam kategori khamr,
bahkan narkoba lebih berbahaya dibanding khamr, tetapi dalam teori ilmu
1
Ushul Fiqh, bila suatu hukum belum ditentukan status hukumnya bisa
diselesaikan melalui metode qiyas (analogi hukum).2 Khamr menurut bahasa
Al-Qur‟an adalah minuman yang terbuat dari biji-bijian atau buah-buahan yang melalui proses begitu rupa sehingga dapat mencapai kadar yang
memabukkan.3 Narkoba dan khamr, meskipun bentuknya berbeda namun cara
kerja khamr dan narkoba sama saja. Keduanya memabukkan, merusak fungsi
akal manusia.
Melihat dampak negatif yang yang diakibatkan oleh narkoba, perlu
adanya pengaturan keras bagi pengguna dan pengedar narkoba. Oleh
karenanya hukuman keras perlu diberlakukan demi memberikan efek jera
tehadap pemakai dan pengedar narkoba.
Masih ingat dalam memori kita pemberian grasi yang diberikan oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada terpidana narkotika, Deni Setia
Maharwan pada tahun 2012. Deni batal mendapatkan hukuman dari hukuman
mati diganti menjadi hukuman seumur hidup melalui keputusan Presiden
(Keppres) Nomor 7/G/20124. Deni Setia Maharwan dan sepupunya terbukti
menjadi anggota sindikat narkoba dengan menyelundupkan 3,5 kilogram
2
Mardani, Penyalahgunaan Narkoba dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), h. 73
3
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 84
4
3
heroin ditambah 3 kilogram kokain saat mencoba meninggalkan wilayah
Indonesia pada tahun 2000.5
Grasi merupakan hak prerogatif Presiden dalam Pasal 14 ayat (2)
UUD 1945: Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dengan
mempertimbangkan pertimbangan Mahkamah Agung. Sedangkan grasi
menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi yaitu
pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan
pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.
Pemberian grasi ini dapat merubah, merubah, meringankan,
mengurangi atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan
pengadilan, tetapi tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan
merupakan rehabilitasi terhadap terpidana.
Hukum pidana Islam juga mengenal grasi kepada terpidana. dikenal
dengan istilah Syafa’at atau al-afwu (pengampunan). Pemberian
pengampunan ini bisa dilihat pada peristiwa “Fath al-Makkah dimana Rasulullah membatalkan putusan hukuman mati terhadap orang kafir yang
masuk catatan hitam yang harus dibunuh, akan tetapi mereka mau bertaubat
salah satunya Abdullah bin Sa‟ad bin Abi Sarah, maka Rasulullah
memberikan maaf meskipun ada sebagian yang tetap dihukum bunuh karena
5
terus membangkang terhadap Islam.6 Dan pada masa pemerintahan Muawiyah
bin Sufyan yang memberikan pengampunan kepada narapidana dengan
membebaskan seorang yang bersalah dalam kasus pencurian dan dihukumi
potong tangan.7
Pengampunan dalam Islam memang ada akan tetapi tidak semua
tindak pidana bisa mendapatkan pengampunan karena tergantung pada
pertimbangan kemashlahatan umat dan hanya hukuman-hukuman ringan yang
tidak membahayakan kepentingan umum yang boleh diampuni oleh kepala
Negara (Presiden).
Pemberian grasi/pengampunan kepada Deni dianggap melukai rasa
keadilan masyarakat karena ia adalah terpidana narkoba. Narkoba merupakan
tindak pidana extra ordinary crime yang bahayanya dapat merusak diri sendiri
dan merusak generasi bangsa, sehingga pemberian grasi kepada terpidana
narkoba dipandang sebagai sebuah langkah mundur dalam upaya
pemberantasan tindak pidana narkoba dan melemahkan perjuangan
pemberantasan narkotika di Indonesia.
Menurut pengamat Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI),
Budi Darmono, Pemberian grasi menjadikan sebuah pesan keliru yang
6
Munawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW, (Jakarta : Bulan Bintang, 1977), Jus 2. h.81
7
5
membuat mereka jauh lebih berani dan menyepelekan hukum Indonesia.
Mereka beranggapan bahwa hukum yang ada di Indonesia bisa dijualbelikan.8
Berdasarkan dari pemaparan yang penulis sampaikan di atas, penulis
tertarik untuk mengkaji lebih dalam penulisan skripsi dengan judul
“Pemberian Grasi Terhadap Terpidana Mati Narkoba Keputusan Presiden Nomor 7/G/2012 (Kajian Hukum Pidana Islam)
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Di dalam penulisan skripsi ini hanya membahas tentang pemberian
grasi oleh Presiden dalam memberikan grasi kepada terpidana mati narkotika
Deni Setia Maharwan pada tahun 2012 berdasarkan tinjauan hukum baik
hukum Islam maupun hukum positif..
Untuk mendapatkan pembahasan yang objektif, maka dalam skripsi ini
penulis merumuskan permasalahannya sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan pemberian grasi kepada Deni Setia
Maharwan Keppres No.7/G/2012?
2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap alasan pemberian
grasi oleh Presiden terhadap terpidana mati narkoba Deni Setia
Maharwan (Keppres No.7/G/2012)?
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian
Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme tentang pemberian grasi
Keppres No.7/G//2012 terhadap Deni Setia Maharwan
b. Untuk mengetahui pandangan hukum pidana Islam terhadap alasan
pemberian grasi oleh Presiden kepada Deni Setia Maharwan
(Keppres No. 7/G/2012).
2. Manfaat penelitian
Penulisan skripsi ini juga diharapkan bermanfaat untu berbagai hal
diantaranya:
a. Secara teoritis, sebagai sumbangan pengetahuan di bidang hukum
Islam dan hukum Pidana mengenai pemberian grasi tindak pidana
narkoba.
b. Secara praktis, diharapkan dapat menambah pemahaman kepada
semua pihak mengenai masalah grasi oleh Presiden kepada terpidana
narkotika, Deni Setia Maharwan pada tahun 2012.
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Pada penulisan skripsi ini, penulis sepenuhnya menggunakan studi
review yaitu dengan melihat penelitian-penelitian yang pernah dibahas oleh
7
dengna judul penulis serta karya ilmiah lainnya. Guna dijadikan acuan dan
rujukan, penulis telah menemukan hasil penelitian yang ditulis oleh
mahasiswa Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang berjudul:
Karya ilmiah mahasiswa (skripsi) yang ditulis pada tahun 2003 oleh
Zubaedah, di fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang berjudul “Grasi dan Amnesti Dalam Kaitannya Dengan Penghapusan Hukuman Tindak Pidana (Komparasi Hukum Islam dan Hukum Pidana
Indonesia). Skripsi ini hanya membahas tentang perbandingan hukum Islam
dan hukum pidana Indonesia dalam menghapus hukuman dalam tindak
pidana.
Karya ilmiah mahasiswa (skripsi) yang ditulis pada tahun 2004 oleh
Eneng Anasiyah Aminah, Eneng, di fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul “Pemberian Grasi Menurut Hukum Islam dan Hukum Pidana di Indonesia (Studi Komparatif). Skripsi ini hanya
membahas tentang pemberian grasi yang dilihat dari hukum pidana di
Indonesia dan Hukum Islam lalu membandingkan keduanya.
Skripsi yang ditulis pada tahu 2014 oleh Fuji Abdul Rohman, di
fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul Kewenangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Dalam Memberikan Grasi
Kepada Terpidana Narkotika (Analisis Kasus Pemberian Grasi kepada
membahas mengenai grasi secara normatif berdasarkan peraturan
perundang-undangan tentang grasi dengan mengkaitkannya dengan kasus hukum.
Dari pemaparan di atas dapat terlihat bahwa berbagai penelitian yang
telah dilakukan tentang grasi hanya terbatas pada pengertian saja. Penulis
menilai bahwa belum ada penelitian yang mengkaji tentang pemberian grasi
terhadap terpidana mati narkoba Keppres Nomor 7/G/2012 kajian hukum
pidana Islam.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
metode penelitian hukum normatif9, yaitu penelitian yang memuat deskripsi
tentang masalah yang diteliti berdasarkan bahan-bahan hukum tertulis.
Penelitian ini bersifat kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan dengan
cara mengkaji buku-buku, literature dan bahanpustaka yang ada relevansinya
degan judul skripsi ini.
2. Teknik Pengumpulan Data
9
9
Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan
teknik studi pustaka (library research)10, baik berupa buku, peraturan
perundang-undangan, majalah surata kabar, mengakses internet dan sumber
lainnya yang berkaitan secara langsung dengan objek yang diteliti. Data-data
yang telah terkumpul diperiksa kembali mengenai kelengkapan jawaban yang
diterima, kejelasannya, konsistensi jawaban atau informasi yang biasa disebut
editing.
3. Sumber Data
Adapun dalam penulisan ini, penulis menggunakan dua jenis
sumber data, data primer dan data sekunder, yaitu:
a. Data primer, yaitu data yang didapat dari bahan-bahan yang diperlukan
dalam hal ini adalah Al-Qur‟an, Al-Hadits, kaidah-kaidah fiqih, pendapat Ulama terdahulu dan kontemporer, Undang-Undang Dasar
1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi jo.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002, Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1997 tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997
tentang Psikotropika dan buku yang berkaitan tentang grasi serta
masalah-masalah kejahatan Narkotika dan yang ada relevansinya
dengan skripsi ini.
10
b. Data Sekunder, merupakan bahan-bahan yang memberikan penjelasan
dalam mengkaji data primer , yaitu data-data yang diperoleh dari
buku-buku yang masih memiliki keterkaitan dengan pokok masalah yang
akan diteliti.
4. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini teknik analisi data yang digunakan adalah
analisis kualitatif11 untuk menemukan jawaban yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan teknik ini penulis berusaha
untuk mengklasifikasikan data-data yang telah diperoleh, disusun dan
dideskripsikan. 5. Teknik Penulisan
Adapun mengenai teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu
kepada buku “Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum dan Universitas Islam Negri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2012”
E. Sistematika Penulisan
Untuk lebih memudahkan pembahasan dalam penulisan skripsi ini,
penulis menyusun dengan sistematika sebagai berikut:
11
11
BAB I merupakan bab pendahuluan yang menguraikan latar belakang
masalah penelitian, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
BAB II menguraikan tinjauan umum tentang grasi yang meliputi
pengertian dan dasar hukum grasi, syarat dan pemberian grasi, prosedur
pemberian grasi dan pemberian grasi bagi terpidana narkoba.
BAB III tinjauan umum tentang tindak pidana narkoba dalam hukum
Islam dan positif yang meliputi pengertian narkoba dan dasar hukum tindak
pidana narkoba, jenis-jenis dan bahaya narkoba, serta sanksi narkoba.
BAB IV berisi tentang grasi (pengampunan) dalam hukum Islam dan
analisis keputusan Presiden (Keppres) No.7/G/2012 mengenai grasi yang telah
diberikan dalam perspektif hukum pidana Islam.
BAB V merupakan bab penutup, yang berisi tentang kesimpulan yang
diperoleh dari hasil penelitian ini, serta mengemukakan beberapa saran yang
12 A. Pengertian dan Dasar Hukum Grasi
Grasi berasal dari kata Belanda “gratie” yang berarti pengampunan, pembebasan atau pengurangan hukuman yang diberikan kepada seorang
terhukum oleh kepala Negara (Presiden).1 Secara etimologis, grasi berarti
anugerah, dan dalam terminologi hukum, grasi diartikan sebagai bentuk
pengampunan kepada para terhukum yang diberikan oleh kepala Negara.2
Sedangkan grasi menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2002 tentang Grasi yaitu pengampunan berupa perubahan, peringanan,
pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang
diberikan oleh Presiden. Pemberian grasi berfungsi untuk memberikan agar
tidak terjadi penyimpangan dalam memberikan keputusan oleh pengadilan.
Pengaturan mengenai grasi sebelumnya diatur dalam Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi. Undang-Undang ini lahir
1
R. Subekti dan Tjitrsoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradya Paramita, 2000), Cet. Ke- 13. Hal. 45
2
13
pada tanggal 1 Juli 1950.3 Undang-undang ini di dalam pasal-pasalnya tidak
banyak membahas ketentuan formil, namun lebih banyak mengatur ketentuan
yang sifatnya materil. Tidak terdapat ketentuan umum yang menjelaskan
pendefisian atas hal-hal yang diatur di dalamnya. Undang-undang ini dibentuk
pada masa Republik Indonesia Serikat sehingga tidak sesuai lagi dengan
sistem ketatanegaraan Indonesia yang berlaku pada saat itu dan subtansinya
sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat.
Maka kemudian Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 diganti dengan
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang tentang Grasi di dalamnya
diatur mengenai ketentuan umum, ruang lingkup permohonan dan pemberian
grasi, tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi.
Grasi dalam Undang-Undang Dasar 1945 diatur dalam pasal 14 ayat
(1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden diberikan hak untuk
memberikan grasi dan rehabilitasi berdasarkan pertimbangan Mahkamah
Agung. Hak tersebut merupakan hak istimewa (prerogatif) bagi kepala Negara
karena hal tersebut seharusnya ditangani oleh kehakiman (yudikatif).
Selanjutnya dijelaskan bahwa pemberian grasi dapat merubah, meringankan,
mengurangi atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan
3
pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan
rehabilitasi terhadap terpidana.4
Ketentuan grasi juga terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) yaitu dalam Pasal 33 a. menyatakan bahwa : “Jika dimasukkan permohonan ampun oleh orang yang mendapat hukuman
kurungan, yang ada dalam tahanan sementara, atau oleh orang lain dengan
persetujuan si terhukum maka tempo dihari memasukkan permohonan dan
hari keputusan Presiden tentang permohonan tersebut, tidak terhitung sebagai
tempo hukuman, kecuali jika dengan memperhatikan keadaan tentang hal itu,
Presiden menetapkan dalam keputusannya, bahwa tempo tadi sama sekali atau
sebagiannya dihitung sebagai tempo hukuman”.
Selain diatur didalam KUHP, Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP)
pun mengatur mengenai grasi ini yaitu diatur dalam Pasal 196 ayat (3)
bebunyi : “Segera setelah putusan, hakim ketua sidang wajib memberitahu
terdakwa tentang haknya, yaitu : menerima dan menolak putusan,
mempelajari putusan, meminta grasi, mengajukan banding dan lain-lain” Dalam Undang-Undang No.5 Tahun 2010 perubahan Undang-Undang
No.22 Tahun 2002 tentang Grasi, kesempatan mendapatkan pengampunan
dari Presiden atau Grasi dibatasi, batasannya adalah lama hukuman dan
4
15
hukuman mati. Undang-Undang grasi menyebutkan bahwa putusan pidana
yang dapat dimohonkan grasi adalah5:
- pidana mati,
- penjara seumur hidup dan
- penjara paling rendah 2 tahun.
Sebagaimana kita ketahui bahwa upaya hukum grasi sebagai salah satu
dari upaya hukum atas putusan hakim dalam perkara pidana, mempunyai sifat
yang berbeda dibandingkan dengan upaya hukum „banding‟ maupun „kasasi‟.
Karena didalam upaya hukum „banding‟ dan „kasasi‟, pihak pemohon pada
dasarnya tidak mengakui dirinya bersalah dan meminta kepada pengadilan
yang lebih tinggi (Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung) untuk
memeriksa dan mengadili sendiri atas perkara yang dimohonkan „banding‟ dan „kasasi‟ tersebut.6
Sedangkan dalam upaya hukum grasi, pemohon, pada prinsipnya telah
mengakui dirinya bersalah dan menerima putusan hukuman yang telah
dijatuhkan oleh hakim, dan atas kesalahannya tersebut pemohon mengajukan
pemohonan ampun kepada Presiden dan meminta agar hukuman yang telah
dijatuhkan atas dirinya dapat dikurangi atau dihapuskan.7
5
Pasal 2 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi
6
Departemen Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia, h. 90
7
Grasi deberikan bila memang kepentingan Negara nyata mendorong
untuk tidak dijalankannya hukuman keputusan pengadilan, bukan pada
pertimbangan yang keluar dari keibaan hati atau rasa sayang terhadap orang.8
Tujuan dari adanya grasi adalah untuk memperbaiki putusan hakim
agar lebih sesuai dengan rasa keadilan sebagai dasar segala hukum9, untuk
menjamin kemaslahatan dan rasa keadilan serta ketentraman individu di
masyarakat, untuk membina keselarasan sosial antara pihak yang
bersangkutan dengan peristiwa kejahatan, untuk mencari peluang atau
memberi pelajaran kepada penjahat untuk kembali kejalan yang benar dan
untuk menghindari kemudharatan akibat terlalu beratnya hukuman yang
dijatuhkan.10
B. Prosedur Pemberian Grasi
1. Hak dan Wewenang Pemberian Grasi
Presiden mempunyai hak dan wewenang untuk memberikan grasi dari
hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan pidana. Hal ini dilakukan oleh
Presiden setelah meminta nasehat atau mendapat pertimbangan dari
8
R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, (Jakarta: Pradya Paramita, 1978). H. 146-147
9
Wirjono Prodjodikiro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, h. 105
10
17
Mahkamah Agung, bahkan jika hukuman mati dijatuhkan kepada narapidana,
maka hukuman tersebut tidak dapat dijalankan sebelum Presiden diberi
kesempatan untuk memberikan grasi.11
Dalam konsiderans huruf b, dan huruf c Undang-undang 5 Tahun 2010
tentang Grasi menyebutkan bahwa grasi dapat diberikan oleh Presiden untuk
mendapatkan pengampunan dan/atau untuk menegakkan keadilan hakiki dan
penegakan hak asasi manusia terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, bahwa grasi yang diberikan kepada
terpidana harus mencerminkan keadilan, perlindungan hak asasi manusia dan
kepastian hukum berdasarkan pancasila dan UUD.
2. Syarat Grasi
Sebelum permohonan grasi diajukan dan akhirnya dikabulkan atau
ditolak oleh Presiden, permohonan grasi tersebut sebelum diajukan kepada
Presiden harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Diajukan atas suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden.
(Pasal 2 ayat 1)
b. Pihak yang dapat mengajukan grasi adalah terpidana atau keluarganya
atau melalui kuasa hukumnya. Untuk terpidana mati, keluarga dapat
11
mengajukan permohonan grasi sekalipun tanpa persetujuan terpidana.
(Pasal 6 ayat 3)
c. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah pidana mati,
penjara, seumur hidup dan penjara paling rendah 2 (dua) tahun. (Pasal
2 ayat 2).
d. Grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali. (Pasal 2 ayat 3)
Pemberian grasi dapat diberikan diberikan dengan alasan bahwa
keputusan hukum yang sudah benar menurut hukum positif yang berlaku, tapi
dirasakan terlalu berat dan tidak sesuai dengan keadaan masyarakat pada
waktu putusan hakim dijalankan, yang mana keadaan ini mungkin dapat
merubah pada saat putusan hakim dijatuhkan.12 Ada beberapa alasan sebagai
pertimbangan pemberian grasi bagi si terhukum, yaitu:13
a. Permohonan grasi berdasarkan alasan kepentingan keluarga, bahwa si
terhukum merupakan tulang punggung di dalam keluarganya.
b. Permohonan grasi berdasarkan alasan bahwa si terhukum pernah
sangat berjasa bagi masyarakat.
c. Permohonan grasi berdasarkan alasan bahwa si terhukum menderita
penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
12
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Tata Negara di Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1980), h. 104
13
19
d. Permohonan grasi berdasarkan alasan bahwa si terhukum berkelakuan
baik selama di penjara dan memperlihatkan keinsyafan atas
kesalahannya.
3. Tata Cara Grasi
Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang permohonan
grasi diatur tentang prosedur dan mekanisme pengajuan grasi. Beberapa
proses permohonan grasi , sebagai berikut:
1. Hak untuk mengajukan grasi diberitahukan oleh hakim atau ketua
sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama kepada terpidana,
apabila pada waktu putusan pengadilan dijatuhkan terpidana tidak
hadir, hak terpidana untuk mengajukan grasi diberitahukan secara
tertulis oleh panitera dari pengadilan yang memutus perkara pada
tingkat petama.
2. Permohonan grasi diajukan kepada Presiden oleh terpidana, kuasa
hukumnya, atau keluarga terpidana. permohonan grasi tersebut dapat
diajukan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum
tetap.14
3. Permohonan grasi melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan diajukan
kepada Presiden secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya atau
keluarganya. Selanjutnya salinan permohonan grasi tersebut kemudian
14
disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat
pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung, paling lambat 7
(tujuh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi dan
salinannnya.
4. Pengadilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan
berkas perkara terpidana kepada Mahkamah Agung mengirimkan
pertimbangan tertulis kepada Presiden dalam jangka waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterinya salinan
permohonan dan berkas perkara.
5. Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah
memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Keputusan presiden
dapat berupa pemberian atau penolakan grasi, dengan jangka waktu
paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan
Mahkamah Agung.
6. Keputusan Presiden tersebut disampaikan kepada terpidana dalam
jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak
ditetapkannya Keputusan Presiden. Lalu salinan keputusan
disampaikan kepada Mahkamah Agung, pengadilan yang memutus
perkara pada tingkat pertama, kejaksaan negri menuntut perkara
terpidana, danlembaga pemasyarakatan tempat terpidana menjalani
21
C. Pemberian Grasi Bagi Narapidana Narkoba
Bagi setiap narapidana berhak mendapatkan grasi. pemberian grasi
bagi narapidana narkoba mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2010 Tentang grasi. Grasi dapat diajukan pada putusan pidana mati, penjara
seumur hidup dan penjara paling lama 2 (dua) tahun. Maka berdasarkan
peraturan tersebut, bahwa narapidana narkoba bisa mengajukan grasi karena
masuk dalam kategori putusan pidana yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2010 tentang Grasi. berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 bahwa sanksi tindak pidana narkoba paling berat adalah pidana mati dan
paling ringan adalah 4 tahun.
Pihak yang berwenang memberikan grasi adalah Presiden dengan
memperthatikan pertimbangan Mahkamah Agung15. Presiden berhak dalam
mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan setelah
mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.16
Sejumlah narapidana narkoba mendapatkan pengampunan masa
hukuman (grasi). Kepala Biro Humas Direktorat Jendral Pemasyarakatan
(Ditjenpas) Kementrian Hukum dan HAM Akbar Hadi mengatakan, sampai
awal tahun ini sudah ada 39 narapidana yang mengajukan grasi kepada
15
Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
16
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tetapi hanya 10 orang yang
dikabulkan.17
Pemberian grasi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada
empat terpidana narkoba yang mendapatkan grasi diantaranya: , Deni Setia
Maharwan alias Rafi Mohammad Majid mendapatkan grasi Keppres Nomor
7/G/2012 pada Januari 2012, Meirika Franola alias Ola mendapatkan grasi
Keppres Nomor 35/G/2011 pada September 2011, Schapelle Leigh Corby
Keppres Nomor 22/G/2012 dan Peter Achim Franz Grobmann mendapatkan
grasi Keppres Nomor 23/G/2012 pada Mei 2012.18
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah memberikan grasi kepada
Deni Setia Maharwan sebagai salah satu bentuk pelaksanaan perundangan
tentang grasi. Deni sebagai tersangka tindak pidana narkoba membawa
narkotika jenis heroin seberat 3 kilogram dari London, Inggris, melalui
Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Hukuman Deni yaitu hukuman mati
menjadi hukuman seumur hidup. Pemberian grasi tersebut berdasarkan Deni
Setia Maharwan telah menyesali perbuatannya.
Juru bicara Kepresidenan Julian Aldi Pasha membenarkan adanya
Pemberian grasi oleh Presiden terhadap terpidana mati kasus narkotika, Deni
17
http://www.rmol.co/read/2012/05/27/65155/10-Permohonan-Grasi-Napi-Dikabulkan-Presiden-SBY-. diakses pada tanggal 27 Desember 2014
18
23
Setia Maharwan alias Rafi. “Benar bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan grasi itu. Tentunya dalam Pemberian grasi yang
menjadi kewenangannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpedoman
pada pasal 14 UUD 1945. Sesuai prosedur pemberiannya berdasarkan
masukan dari MA, Kejaksaan, Menko Polhukam dan Kemenkum HAM,” kata Julian Aldrin Pasha, Jumat (12/10).19 Pemberian grasi terhadap Deni dengan
pertimbangan sisi kemanusiaan.20
Merika Franola alias Ola alias Taniapada 22 Agustus 2000 lalu karena
terbukti membawa 3,5 Kg heroin dari London, Inggris, melalui Bandara
Internasional Soekarno-Hatta,mendapat hukuman mati oleh Pengadilan
Negeri Tangerang. Kemudian Presiden SBY mengeluarkan pengampunan
atau grasi kepada Ola pada 26 September 2011 lalu, melalui Keppres No 35
Tahun 2011 dari hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup.
Namun ternyata, di balik jeruji besi Lapas Wanita Tangerang, Ola
diketahui masih mengendalikan penyelundupan narkotika ke Indonesia. Grasi
atau pengampunan hukuman dari mantan Presiden SBY dari pidana mati
menjadi pidana seumur hidup, rupanya tidak digunakan Ola untuk
19
http://forumkeadilan.com/politik/sby-dan-grasi-narkoba/. Diakses pada tanggal 5 Juni 2015
20
memperbaiki diri, dirinya kembali ikut terlibat dalam peredaran narkotika di
dalam penjara.21
Schapelle Leigh Corby, bermula 8 Oktober 2004. Saat iut, personel
Imigrasi di Bandar Udara Ngurah Rai, Denpasar, Bali menemukan mariyuana
atau ganja seberat 4,1 kilogram dalam tas selancarnya. Corby ditangkap dan
diproses hukum. Corby dinyatakan bersalah atas tuduhan yang diajukan
terhadapnya dan divonis hukuman penjara selama 20 tahun pada vonis 27 Mei
2005. Ia juga didenda sebesar Rp 100 juta. Dengan diberikan grasi lima tahun
kepada Corby lewat Keppres No. 22/G Tahun 2012 tanggal 15 Mei 2012,
hukuman Corby berkurang dari 20 tahun penjara menjadi 15 tahun penjara.
Corby menjadi terpidana di Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan, Bali sejak
tanggal 9 Oktober 2004.22 Pemberian grasi terhadap Corby dengan alasan
kemanusiaan karena kondisi yang bersangkutan sering sakit-sakitan di dalam
lapas.23
21
http://www.merdeka.com/peristiwa/diberi-grasi-sby-namun-kendalikan-narkoba-ola-dijerat-hukuman-mati.html. diakses pada 5Juni 2015
22
http://www.tribunnews.com/nasional/2014/02/08/kontroversi-schapelle-leigh-corby?page=3 . diakses pada tanggal 12 Juni 2015
23
25 BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA NARKOBA
A. Pengertian dan Dasar Hukum Narkoba
Istilah narkoba dalam konteks hukum Islam, tidak disebutkan secara langsung
dalam Al-Qur‟an maupun dalam Sunnah. Dalam Al-Qur‟an hanya menyebutkan khamr. Khamr biasanya diartikan sebagai minuman keras (minuman memabukkan) atau arak.1
Al-Khamru berasal dari kata ارمخ رمخي رمخ .yang berarti menutupi. Secara terminologi, khamr berarti tertutup, tersembunyi, rahasia, mabuk dan berubah dari
aslinya. Sehingga jika orang yang meminum khamr akan tertutup akal dan kesadarannya.
Muhammad Ali Ash-Shabuni mendefinisikan khamr sebagai benda atau zat yang
memabukkan, terbuat dari anggur dan selain anggur.2 Dalam sebuah hadits lain yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhori dinyatakan bahwa Umar pernah berpidato di atas
mimbar Rasulullah Saw dan berkata:
Pramono U. Tanthowi, Narkoba Problem dan Pemecahannya Dalam Perspektif Islam, h. 17 2
Muslim, Shahih Muslim, (Kairo: Dar Al-Hadis, 1994), Juz. Ke-1, h. 189 3
Artinya: “Sesungguhnya telah turun (ayat) pengharaman khamr, sedang ia adalah dari
lima (macam) dari: anggur, kurma, madu, gandum dan sya’ir. Dan khamr itu
adalah yang menutup akal”. (HR. Bukhori)
Hadits di atas menyatakan bahwa khamr adalah segala yang menutupi
akalmenegaskan bahwa, khamr tidak terbatas pada apa yang terbuaat dari lima bahan
baku di atas. Penyebutan kelima bahan tersebut, karena kelimanya pada saat itu paling
sering dijadikan bahan baku khamr.4
Dalam yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abdullah bin Umar dinyatakan
bahwa:5
رح رمخ كو رمخ ر سم ك Artinya: “Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr adalah haram”.
(HR. Muslim).
Proses pengharaman khamr di dalam Al-Qur’an tidak dilakukan secara langsung, tetapi dilakukan secara bertahap. Beberapa ayat Al-Qur’an berkaitan dengan pelarangan khamr sebagai berikut :
Pramono U. Tanthowi, Narkoba Problem dan Pemecahannya Dalam Perspektif Islam, (Jakarta: PBB UIN, 2003), h.19
5
27
Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: pada
keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Akan
tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya.”
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.”
Ketiga, pada ayat berikut ini khamr baru diharamkan secara tegas. QS. Al-Maidah
ayat 90:
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah, adalah
perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Sementara itu, beberapa hadits yang berkaitan dengan pengharaman khamr, hadits
ارح ف ر سا ارش ك Artinya: “Semua jenis minuman memabukkan adalah haram”. (HR. Bukhori)
Dari tegasnya larangan khamr dalam ayat dan hadits tersebut akibat mabuk yang
ditimbulkannya, maka Ulama sepakat mengatakan bahwa mengkonsumsi khamr tersebut
dijelaskan sendiri oleh Allah dalam ayat tersebut di atas yaitu: tindakan yang buruk dan
keji serta termasuk salah satu perbuatan-perbuatan yang dilakukan syaitan. Dan
menyatakan secara jelas bahwa segala yang memabukkan, tanpa dipersoalkan jenis dan
bahannya asal dapat memabukkan, disebut sebagai khamr.6 Termasuk dalam kategori ini
narkotika, psikotropika, minuman beralkohol dan yang sejenisnya disebut narkoba.7
Secara etimologis, narkoba diterjemahkan kedalam bahasa Arab dengan kata yang
اردخملا berasal dari kata ريدخ ردخي ردخ (khaddara, yukhaddiru, takhdir) yang berarti
Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), Cet. Ke- 3, h. 317.
7
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2003), Cet. Ke-2, h. 292 8
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984), h. 351
9 Luwis Ma’luf, al-Munjid fi Al-Lughoh wa Al-A’lam
, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1975), h. 170 (kutipan dari Mardani, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), h. 76
10
29
Artinya: “Narkotika adalah setiap zat yang apabila dikonsumsi akan merusak fisik dan
akal, bahkan terkadang membuat orang menjadi gila atau mabuk. Hal yang
demikian oleh undang-undang positif yang populer seperti: ganja, opium,
morphin, heroin kokain dan kat.”
Ensiklopedi Hukum Islam mengenal narkotika sebagai Hasyis jamak dari
Hasyiysah (rumput kering) yang diekstrak dari bunga tanaman Cannabis Indica//Sativa,
apabila dihisap, dikunyah atau diminum mengakibatkan mabuk.11
Untuk menentukan status hukum narkotika dalam syariat Islam, maka para ulama
(mujtahid) biasanya menyelesaikan dengan jalan ijtihad mereka, melalui metodelogi
hukum Islam dengan jalan pendekatan qiyas sebagai solusi istinbat hukum yang belum
jelas hukumnya dalam syariat Islam. Dalam teori Ushul Fiqih, bila sesuatu hukum belum
ditentukan status hukumnya, maka bisa diselesaikan melalui metode qiyas (analogi
hukum).12
Para Ulama Ushul Fikih menyatakan bahwa qiyas dapat dibagi dari beberapa segi
antara lain sebagai berikut : (a). qiyas al-aulawi, (b). qiyas al-musawi, (c). qiyas
al-adna.13penyalahgunaan Narkotika temasuk dalam qiyas al-aulawi yaitu qiyas yang
berlakunya hukum pada furu’ lebih kuat dari pada berlakunya hukum pada ashal karena
kekuatan illat (dasar) yang terdapat pada furu’. Berikut dipaparkan metode penyelesaian
ketentuan hukum narkotika dengan penjelasan qiyas.14
11
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1999) Cet. Ke-3, h. 535
12
Muhammad Khudori Bik, Ushul Al-Fiqh, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1988), h.334 13
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Sinar Grafika Orbit, 2005), h. 273
14
1. Al-Ashl, adalah khamr, karena sesuatu yang ada hukumnya dalam nash
(Al-Qu’an), sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 90.
2. Al-Far’u (cabang) adalah narkotika, karena tidak ada hukumnya dalam nash tetapi ada maksud menyamakan status hukumnya kepada nash yakni khamr. Narkoba
dalam hal ini sisebut al-musyabbah (yang diserupakan).
3. Hukum ashl adalah khamr adalah haram, sebagaimana yang tertuang dalam
firman Allah (QS. Al-Maidah: 90) dengan itu menjadi tolak ukur ketetapan hukum bagi
cabang (al-far’u).
Karena adanya illat memabukkan, narkoba disamakan dengan khamar mengenai
hukumnya maka haram meminumnya.15 Islam melarang minuman memabukkan, karena
dianggap sebagai induk keburukan, disamping merusak akal, jiwa, kesehatan dan harta.
Dari sejak semula, Islam telah berusaha menjelaskan kepada umat manusia, bahwa
manfaatnya tidak seimbang dengan bahaya yang ditimbulkannya, karena akal adalah
salah satu sendi kehidupan manusia yang harus dilindungi dan dipelihara. Untuk itu,
dalam rangka pemeliharaan terhadap akal segala apapun yang dapat menyebabkan rusak
atau berakibat buruk harus dilarang.16
Menurut pendapat Sayyid Sabiq mengatakan bahwa narkoba lebih berbahaya dari
khamr (minuman keras) sebagai berikut: “Sesungguhnya ganja itu haram, diberikan
sanksi had orang yang menyalahgunakannya, sebagaimana diberikan sanki had
peminum khamr. Dan ganja itu lebih keji dibandingkan dengan khamr (minuman keras)
15
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh), (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2000), h.
16
31
ditinjau dari segi sifatnya yang dapat merusak otak dan pengaruh buruk lainnya. Dan ia
termasuk kategori khamr yang secara lafdzi dan maknawi telah diharamkan oleh Allah
dan Rasul-Nya.”17
Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat berbahaya. Dalam hal ini,
pengertian narkoba adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat dan aparat penegak
hukum, untuk bahan/obat yang masuk kategori berbahaya atau dilarang untuk digunakan,
diproduksi, dipasok, diperjualbelikan, diedarkan dan sebagainya diluar ketentuan
hukum.18
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, narkoba adalah obat yang dapat
menenangkan syaraf, menghilangkan rasa sakit, menimbulkan rasa mengantuk atau
merangsang seperti opium dan ganja.19
Istilah lain yang diperkenalkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia
adalah NAPZA yaitu singkatan dari narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya, yakni
bahan, zat atau obat yang apabila masuk kedalam tubuh manusia, akan mempengaruhi
tubuh, terutama otak atau susunan syaraf pusat dan menyebabkan gangguan kesehatan
jasmani, mental-emosional dan fungsi sosialnya, karena terjadi kebiasaan, ketagihan dan
ketergantungan terhadap NAPZA.
Pengertian narkoba menurut DR. Soedjono, SH. adalah “bahan-bahan yang
terutama efek kerja pembiusan, atau dapat menurunkan kesadaran, juga dapat
17
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1981), Jilid II, Cet. Ke-III, h. 328 18
Pramono U. Tanthowi, Narkoba Problem dan Pemecahannya Dalam Perspektif Islam, h. 4 19
menimbulkan gejala-gejala fisik dan mental lainnya apabila dipakai secara terus menerus
dan secara liar dengan akibat antara lain terjadinya ketergantungan pada bahan tersebut.20
Sedangkan Drs. H. M. Ridho Ma’ruf dalam bukunya mengatakan “Narkotika
adalah zat-zat (obat) yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan
dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi syaraf sentral”.21
Narkoba merupakan jenis obat yang substansinya dilarang dan diatur
penggunaannya oleh Undang-Undang Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pembaharuan Undang-Undang No. 9 Tahun
1976, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika danUndang-Undang
Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, dan sesuai dengan pernyataan dari
Departemen Kesehatan Republik Indonesia bahwa bahan-bahan yang telah diatur oleh
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dapat mempengaruhi
kesehatan jiwa atau mental perilaku pemakainya.
Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang narkoba berkenaan dengan
bahayanya ada beberapa peraturan yaitu :
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
- PERMENKES Nomor 10 Tahun 2010 tentang Impor dan Ekspor
Narkotika dan Psikotropika dan Prekursor Farmasi
- Peraturan Menteri Kesehatan R.I. Nomor 453/Menkes/Pen/XI/1983
tentang Bahan-bahan Berbahaya
20
Soedjono D, Pathologi Sosial, (Bandung: Alumni 1974), h. 78
33
- Peraturan Menteri Kesehatan R.I. Nomor 86/Menkes/Pen/XII/1976
tentang Minuman Keras
- Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika
Nasional.
Dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 , tidak memberikan definisi
Narkotika, tetapi hanya menyebut bahan-bahan narkotika yang pada pokoknya: Dari
bahan-bahan : Paver, Ganja dan Kokain, Garam-garam dari turunan Morfina dan Kokain,
Bahan-bahan lain baik alamiah, sintesis maupun semi sintesis yang belum disebutkan
yang dapat dipakai sebagai pengganti morfina dan kokaina yang ditetapkan oleh Mentri
Kesehatan sebagai narkotika, apabila penyalahgunaannya dapat menimbulkan akibat
ketergantungan yang merugikan seperti morfina atau kokaina dan Campuran dari sediaan
atau preparat No.1,2 dan 3.
B. Jenis-Jenis dan Bahaya Narkoba 1. Jenis-Jenis Narkoba
Narkotika sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman
baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilang rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.22
Sebagaimana telah dijelaskan di atas Narkoba atau NAPZA adalah obat-obat atau
zat-zat yang berbahaya apabila disalahgunakan atau apabila penggunaannya tanpa medis.
22
Untuk mempermudah pemahaman dalam pembagian jenis-jenis narkoba, penulis
membaginya menjadi tiga jenis yaitu : Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif/Obat-obat
berbaya. .
Penggolongan jenis-jenis narkotika didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku yaitu: Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
dibagi menjadi tiga golongan, sesuai dengan pasal 6 ayat 1:
a. Narkotika
Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi (pengobatan), serta
serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan adalah:
- Ganja, yaitu berasal dari tanaman dengan nama Cannabis Satifa dan Cannabis
Indica, sejenis tanaman perdu yang biasanya digunakan sebagai obat relaksasi dan
untuk mengatasi Intoksisasi ringan. Bahan yang digunakan dapat berupa daun, biji
dan bunga tanaman tersebut. Beberapa istilah untuk ganja antara lain marijuana,
gele, cimeng, hash, oyenn, ikat, bang, labang, rumput atau grass.23
- Heroin, yaitu zat yang dihasilkan dari bahan beku morfin, asam cuka anhidrid dan
asetil klorid. Heroin biasanya berwana putih, kelabu atau coklat muda. Pada
umumnya heroin berupa serbuk, kristal dan batangan yang padat dan keras.
Serbuk heroin dihasilkan dari getah bunga tanaman candu melalui proses
ekstraksi. Secara farmakologis mirip dengna morfin yang berefek kecanduan
menyebabkan orang menjadi mengantuk dan perubahan mood yang tidak
23
35
menentu. Daya kerja heroin lebih cepat dan mudah menimbulkan
ketergantungan.24
- Kokain, yaitu jenis narkotika berupa serbuk putih. Kokain merupakan alkaloid
yang didapatkan dari tumbuhan koka Erythroxylon coca, yang berasal dari
Amerika Selatan. Daunnya biasa dikunyah oleh penduduk setempat untuk
mendapatkan “efek stimulan” untuk meningkatkan kemampuan fisik seseorang
sehinga tubuh dapat bertahan lebih bugar.25
Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi (pengobatan) atau
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi
mengakibatkan ketergantungan dalah:26
- Morfin, merupakan alkolaid yang termasuk dalam opium candu yang berasal dari
tanaman papafer somniferum. Morfin burupa serbuk berwarna putih atau dalam
bentuk cairan dan rasanya pahit. Sebagian opium diolah menjadi morfin dan
kodein.27
- Petidin, Fentanil,Metadon.
24
M. arief Hakim, Bahaya Narkoba Alkohol: Cara Islam Mencegah, Mengatasi dan Melawan. h. 39 25
Sunarno, Narkoba Bahaya dan Upaya Pencegahannya, (Semarang: PT.Bengawan Ilmu) h. 25 26
Siswanto Suryono, Kami Peduli Penanggulangan Bahaaya Narkoba, (Jakarta: LSM Kemitraan Peduli Penanggulangan Bahaya Narkoba, 2001), Cet.Ke 1, h. 4
27
Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi (pengobatan) dan atau tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan adalah:28 - Kodein, merupakan alkolaid yang terdapat dalam opium/candu atau sintesa dari
morfin. Kodein berupaserbuk berwarna putih atau dalam bentuk tablet, digunakan
dalam pengobatan untuk menekan batuk antitutif dan pengilang nyeri analgesic.
- Etil Morfin, - Dihidrokodlin dll.
Ada 4 jenis narkoba yang beredar di Negara Indonesia yaitu ganja, opium, putaw
dan kokain. Narkoba yang paling membahayakan banyak disalahgunakan adalah heroin,
ganja dan amphetamine.
b. Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika
yang bershasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif dan susunan saraf pusat dan
menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku, yang dibagi menurut
potensi yang menyebabkan ketergantungan.29: Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997
tentang Psikotropika dibagi menjadi empat golongan, yaitu :
1) Psikotropika golongan I: adalah psikotropika yang tidak digunakan dalam terapi
(pengobatan), berpotensi sangat tinggi menyebabkan ketergantungan, adalah:
- MDMA (Ekstasi), merupakan turunan dari amphetamin, berbentuk serbuk
berwarna putih atau kekuningan bersifat halusinogen kuat.
28
Ibid, h. 7 29
37
- LSD (lisergic dietihamid), berasal dari jamur jenis ergot yang tumbuh pada
tumbuhan gandum hitam atau gandum putih. LSD mengakibatkan
ketergantungan fisik, psikis dan juga toleransi.
2) Psikotropika golongan II: adalah psikotropika yang dapat digunakan amat terbatas
dalam terapi (pengobatan), berpotensi kuat menyebabkan ketergantungan adalah:
Ampetamin, Metamfetamin dan Ritalin.
3) Psikotropika golongan III: adalah psikotropika yang dapat digunakan dalam terapi
(pengobatan), berpotensi sedang menyebabkan ketergantungan, adalah:
Pentobarbital, Flunitrazepam dan lain-lain.
4) Psikotropika golongan IV: adalah psikotropika yang dapat digunakan sangat luas
digunakan dalam terapi (pengobatan) atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
berpotensi ringan dalam ketergantungan, adalah: Diazepam, Klobazam, Klonazepam,
Barbital dan Nitrazepam, seperti pil BK, DUM dan MG.
c. Zat Adiktif
Adalah bahan zat yang tidak tergolong narkotika atau psikotropika, tetapi sepertti
halnya narkotika dan psikotropika, bahan zat adiktif ini menimbulkan ketergantungan
antara lain yaitu:
1) Alkohol, adalah hasil fermentasi/peragian karbohidrat dari butir padi-padian,
cassava, sari buah anggur dan nira. Terdapat pada jenis minuman keras. Alkohol
termasuk zat adiktif, artinya zat tersebut dapat menimbulkan adiksi (addiction) yaitu
yang meminumnya lama-kelamaan tanpa disadari akan menambah takaran/dosis
sampai pada dosis keracunan atau mabuk.30
2) Kafein, adalah alkohol yang terdapat di dalam biji buah tanaman kopi. Kafein juga
terdapat dalam minuman ringan.
3) Nikotin, alkohol yang terdapat pada tembakau.
4) Inhalensia, adalah zat yang mudah menguap yang disedot melaui hidung seperti:
hidrokarbon alivatis dan solvent, halogent hidrokarbon, nitrit alifatis, keton, ester dan
glycols.
2. Bahaya Narkoba bagi Kesehatan
Bahaya dan akibat penyalahgunaan narkotika dapat bersifat bahaya bagi si
pemakai dan dan dapat pula berupa bahaya sosial terhadap masyarakat atau lingungan.
Narkotika dan obat-obatan berbahaya, merupakan zat adiktif atau psikotropika yang
dapat memberi efek candu/ketagihan pada orang yang mengkonsumsinya serta
menimbulkan dampak buruk pada kesehatan tubuh dalam dosis yang banyak.
Dampak langsung bahaya penyalahgunaan narkoba bagi jasmani adalah adanya
gangguan pada jantung, otak, tulang, pembuluh darah, kulit system syaraf, paru-paru dan
gangguan pada sistem pencernaan (dapat terinfeksi penyakit menular berbahaya seperti
HIV/AIDS, hepatitis herpes, TBC, dll).
Adapun akibat penyalahgunaan narkotika akan mempengaruhi sifat seseorang dan
menimbulkan bermacam-macam bahaya antara lain:
30
39
1. Terhadap diri sendiri
a. Mampu merubah kepribadiannya
b. Menimbulkan sifat masa bodo
c. Suka berhubungan seks
d. Tidak segan-segan menyiksa dirinya
e. Menjadi seorang pemalas
2. Terhadap keluarga
a. Suka mencuri barang yang ada di rumahnya sendiri
b. Mencemarkan nama baik keluarga
c. Melawan kepada orang tua
3. Terhadap masyarakat
a. Melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat
b. Melakukan tindak kriminal
c. Menggangu ketertiban umum
Bagi mereka yang sudah mengkonsumsi narkoba secara berlebihan akan berisiko
sebagai berikut:
1. Narkotika dapat menyebabkan kematian karena zat-zat yang terkandung di dalamnya
mengganggu sistem kekebalan tubuh sehingga dalam waktu yang relatif singkat bisa
merenggut jiwa si pemakai.
2. Pengguna narkotika dapat bertindak nekat/bunuh diri karena pemakai cenderung
memiliki sifat acuh tak acuh terhadap lingkungannya. Ia menganggap tidak berguna
3. Setelah mengkonsumsi narkoba,si pemakai dapat hilang kontrol, karena zat-zat yang
terkandung di dalamnya langsung menyerang syaraf otak yang cenderung menjadikan
orang tidak sabar dan hilang kontrol.
4. Narkotika menimbulkan penyakit bagi pemakainya. Karena di dalam narkotika
mengandung zat yang mempunyai efek samping yang menimbulkan penyakit baru.
C. Sanksi Tindak Pidana Narkoba C.1. Menurut Hukum Positif
Peraturan hukum tentang penyalahgunaan narkoba yang ditentukan dalam
Undang-Undang Narkotika No. 35 Tahun 2009 dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997
tentang Psikotropika dibentuk bukan saja untuk menggantikan Undang-Undang No. 22
Tahun 2002 dan Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika akan tetapi usaha
untuk menanggulangi masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Pemerintah
telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan
Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika Tahun 1988 (Convention Againts Illict
Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtance 1971) dengan mengeluarkan
Undang-Undang No. 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika dan
Undang-Undang No. 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika. Namun
41
perkembangan kualitas kejahatan narkotika yang sudah menjadi ancaman serius bagi
kehidupan umat manusia.31
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-Undang No.
5 Tahun 1997 tentang Psikotropika adalah salah satu upaya bangsa Indonesia untuk
menekan kriminalitas yang diakibatkan oleh obat-obatan. Berdasarkan kedua peraturan
itu tindak pidana diancam dengan pidana yang tinggi dan berat dengan dimungkinkannya
terdakwa divonis maksimal yakni pidana mati selain pidana penjara dan denda.
Mengingat tindak pidana narkoba dan psikotopika termasuk dalam jenis tindak pidana
khusus.
Dari tujuan yang diinginkan dan diatur di dalam undang-undang yang berkenaan
dengan narkotika dan psikotropika peredaran gelap narkoba adalah salah satu yang harus
diberantas, sehingga hukuman maksimal yang diberikan undang-undang kepada pengedar
narkoba. Adapun hukuman maksimal yang diberikan dalam undang-undang narkotika
yang berlaku saat ini kepada pengedar narkotika adalah hukuman mati.
Berdasarkan Undang-undang Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika Bab XV ketentuan pidana, maka perbuatan-perbuatan yang dilarang yang
berhubungan dengan narkotika dapat menjerat pengguna maupun pengedar
barang-barang terlarang, mereka dapat dikenai pasal-pasal tentang narkotika adalah : a. Penyalahguna
Pasal 127 : 1. Setiap Penyalahguna :
31
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 tahun.
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 12 tahun.
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidna dengan pidana penjara
paling lama 10 tahun.
2. Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hakim wajib
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 116
3. Dalam hal penyalahguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahguna narkotika,
penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial.
Yang dimaksud dengan lembaga rehabilitasi sosial adalah lembaga rehabilitasi
sosial yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.32
Rehabilitasi sosial merupakan suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik,
mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi
sosial dalam kehidupan masyarakat.33 Ketentuan mengenai rehabilitasi bagi
penyalahgunaan narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 diatur dari
pasal 54 sampai dengan 59.
b. Pengedar
32
Dikdik M. Arief Mansur, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), h. 102-103
33
43
Pasal 112 : Setiap orang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman
beratnya melebihi 5 gram, dipidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun + denda Rp. 800 juta – Rp. 8 Miliar.
Pasal 117 : Setiap orang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan II bukan tanaman
beratnya melebihi 5 gram, dipidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun + denda Rp. 600 juta – Rp. 5 Miliar.
Pasal 122 : Setiap orang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan III bukan tanaman
beratnya melebihi 5 gram, dipidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara minimal 3 tahun dan maksimal 10 tahun + denda Rp. 400 juta – Rp. 3 Miliar.
c. Produsen
Pasal 113 : Setiap orang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor,
mengekspor atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dalam bentuk
tanaman beratnya melebihi 1 kilogram atau melebihi 5 batang pohon atau
dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 gram, pelaku dipidana
dengan pidana mati, penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 5
Pasal 118 : Setiap orang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor,
mengekspor atau menyalurkan Narkotika Golongan II, beratnya melebihi 5
gram, dipidana dengan pidana mati, pidana seumur hidup atau pidana
penjara minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun + denda Rp. 800 juta – Rp. 800 Miliar.
Pasal 123 : Setiap orang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor,
mengekspor atau menyalurkan Narkotika Golongan III, beratnya melebihi 5
gram, dipidana dengan pidana mati, pidana seumur hidup atau pidana
penjara minimal 5 tahun dan maksimal 10 tahun + denda Rp. 600 juta – Rp. 5 Miliar
Sama halnya dengan undang-undang narkotika, Undang-Undang Psikotropika No.
5 Tahun 1997 juga memberikan sanksi yang sangat berat bagi pelanggar
ketentuan-ketentuan yang telah diatur didalamnya. Dalam pasal 59 sampai dengan pasal 66 yang
mana seluruhnya merupakan kejahatan. Ancaman hukuman untuk penyalahgunaan
psikotpoka maksimal pidana mati atau penjara seumur hidup dan pidana denda berkisar
antara Rp. 60 jua – Rp. 5 Miliar.
a. Sebagai Pengguna : dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 59 dan 62,
dengan ancaman hukuman penjara minimal 4 tahun dan maksimal 15 tahun +
denda.
b. Sebagai Pengedar : dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 59 dan 60,