• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lingkungan dimana sekelompok masyarakat tinggal akan mempengaruhi karakter masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut, termasuk dalam berkomunikasi. Disamping adanya perbedaan lingkungan fisik, kondisi seseorang akan mempengaruhi kegiatan komunikasinya. Efektivitas komunikasi salah satunya dipengaruhi oleh adanya gangguan dalam komunikasi yang bersumber dari lingkungan komunikasi maupun partisipan. Memahami profil suatu masyarakat penting dilakukan dalam komunikasi bencana yaitu untuk menyusun strategi komunikasi yang tepat dalam rangka kesiapan menghadapi bencana gunung api. Penelitian yang dilakukan di tiga wilayah terdampak bencana berbeda bertujuan untuk mendiskripsikan gambaran umum lokasi penelitian dan Menganalisa profil masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api. Penelitian kuantitatif yang dilakukan di tiga wilayah terdampak bencana gunung api berbeda mengambil sampel sebanyak 200 yang terbagi secara proporsional berdasarkan jumlah kepala keluarga di tiga wilayah penelitian tersebut. Uji beda dan uji korelasi digunakan untuk Menganalisa, selain tabulasi silang. Hasil penelitian antara lain menunjukkan (1) tidak terdapat perbedaan nyata profil masyarakat pada ketiga wilayah yang berbeda jenis dampak bencananya; (2) berdasar jenis kelamin, laki-laki dan perempuan berbeda sangat nyata dalam hal status pekerjaan dan berbeda nyata dalam hal tingkat pendidikan.

Pendahuluan

Efektivitas dalam komunikasi dapat dilihat dari sejauh mana pesan dapat dipahami oleh partisipan, yaitu partisipan. Untuk mencapai pemahaman yang sama kadang diperlukan waktu yang cukup lama. Dalam komunikasi gangguan (noise) merupakan penyebab terhambatnya ataupun tidak tercapainya suatu tujuan komunikasi. Gangguan tersebut dapat dikelompokkan dalam gangguan fisik, psikis, dan lingkungan. Dalam pesan dikenal berbagai bentuk pesan yaitu pesan penglihatan, pesan sentuhan, pesan penciuman dan pengecapan maupun pesan pendengaran (Ruben dan Stewart 2013). Melihat bentuk pesan, maka gangguan fisik pada pancaindra akan menjadi penghambat terjadinya kesamaan pemahaman atas pesan yang dikomunikasikan.

Komunikasi melibatkan partisipan, yaitu partisipan. Hubungan dan kondisi para partisipan akan mempengaruhi efektivitas komunikasi. Faktor psikologis, perbedaan kepentingan (interest), prasangka (prejudice), stereotip (stereotype), indiskriminasi (indiscrimination) dan rendahnya motivasi (motivation). Hambatan tersebut merupakan unsur-unsur dari kegiatan psikis manusia. Hambatan komunikasi lain yang dapat menurunkan efektivitas komunikasi adalah hambatan sosiokultural, yaitu keragaman etnik, perbedaan norma sosial, kekurangmampuan dalam berbahasa termasuk faktor semantik, dan pendidikan yang kurang merata. Sebagai ontoh hambatan komunikasi adalah faktor usia, dimana secara sosial

orang tua akan menarik diri dari kontak sosialdengan banyak individu, interaksi sosial yang semakin sempit dan meminimalkan risiko emosional (King 2010).

Manusia memiliki naluri untuk berkelompok yang mendorongnya menyatukan hidupnya dengan orang lain (Bungin 2008). Dalam kehidupan sosialnya manusia melakukan komunikasi, yaitu memaknai apa yang dilakukan orang dalam bentuk pengetahuan, pembicaraan, gerak-gerik, sikap, dan perasaan- perasaan dan memberikan respon berdasarkan pengalaman yang pernah dialaminya. Pemahaman tersebut diperlukan untuk menyusun strategi komunikasi yang tepat agar tujuan komunikasi tercapai, sebab proses interaksi memerlukan gaya dan pendekatan berbeda untuk menghindari konflik dengan pihak lain (Toomey dan Oetzel 2003).

Interaksi manusia akan berkembang semakin luas. Komunikasi tidak hanya dilakukan melalui tatap muka. Kecepatan dalam pertukaran informasi dan jumlah orang yang saling berkomunikasi menuntut ketersediaan media komunikasi yang dapat mengakomodir kebutuhan tersebut. Disamping hubungan yang semakin luas kebutuhan manusia juga semakin kompleks. Komunikasi tidak hanya menghubungkan antar manusia, akan tetapi bagaimana komunikasi yang dilakukan dapat membahagiakan. Oleh sebab itu orang akan memilih jenis dan bentuk pesan yang dapat memenuhi kebutuhannya. Pemilihan tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi jenis media yang tepat untuk digunakan mengakses informasi yang diperlukan.

Berdasar latar belakang tersebut permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah seperti apakah karakteristik individu masyarakat yang bermukin di wilayah yang berbeda? Sesuai dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini maka tujuan penelitian adalah (1) mendiskripsikan gambaran umum wilayah rawan bencana gunung api; (2) Menganalisa profil masyarakat di wilayah terdampak bencana gunung api; (3) Menganalisa perbedaan profil masyarakat yang berada di wilayah rawan bencana gunung api yang berbeda jenis dampak bencananya.

Metode

Penelitian dilakukan di 3 wilayah dengan jenis terdampak bencana gunung api berbeda, yaitu di Jumoyo Kecamatan Salam dan Dukun Kecamatan Dukun keduanya berada di wilayah Kabupaten Magelang, sedangkan Wukirsari Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman masuk dalam wilayah DI Yogyakarta. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) sesuai tujuan penelitian.

Penelitian dilakukan dengan pendekatan kuantitatif yang diperkuat melalui pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan adalah survey denganinstrumen berupa daftar pertanyaan terstruktur didasarkan pada indikator-indikator yang digunakan dalam penelitian ini. Untuk memperkuat analisis digunakan data kualitatif yang diperoleh melalui wawancara mendalam (depth interviews) dan pengamatan langsung aktivitas komunikasi masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api.

Jumlah sampel adalah sebanyak 200 orang yang terdiri dari 100 laki-laki dan 100 perempuan. Jumlah sampel sebanyak 200 orang didasarkan pada persyaratan penggunaan SEM, untuk uji model yang akan dibahas pada bab berikutnya,dengan metode estimasi maximum likelihood yaitu 100-150 responden, atau sebanyak lima kali jumlah indikator. Penelitian ini menggunakan 35

indikator, sehingga diperlukan 5 x 35 = 175 responden. Dengan melihat persyaratan di atas, maka 200 responden telah memenuhi persyaratan uji statistik inferensia (Wijayanto 2008). Pembagian jumlah yang sama antara laki-laki dan perempuan sesuai tujuan penelitian yang ingin Menganalisa profil masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api, salah satunya berdasarkan jenis kelamin laki- laki dan perempuan.

Pembagian jumlah sampel setiap wilayah ditetapkan secara proporsional berdasarkan jumlah kepala keluarga. Adapun pemilihan sampel dilakukan secara acak sederhana menggunakan perangkat lunak microsoft excel.

Survey pendahuluan telah dilakukan sejak tahun 2012 dengan melakukan pendekatan dengan tokok kunci dan melakukan wawancara untuk memperoleh informasi-informasi yang diperlukan. Pengambilan data kuantitatif dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2013.

Jenis data yang digunakan adalah data nominal, data ordinal dan data interval. Data nominal untuk indikator jenis kelamin, lokasi penelitian, jenis pekerjaan, dan status sosial. Data interval digunakan untuk indikator lama tinggal di wilayah rawan bencana gunung api dan tingkat pendidikan, sedangkan analisis deskriptif, uji beda, maupun uji korelasi digunakan perangkat lunak microsoft excel dan SPSS.

Hasil dan Pembahasan

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Gunung Merapi merupakan salah satu gunung teraktif di dunia. Kawasan Gunung Merapi masuk dalam wilayah kabupaten Magelang, Boyolali dan Klaten Propinsi Jawa Tengah, dan Kabuten Sleman DI Yogyakarta. Gunung Merapi merupakan sumber mata air bagi masyarakat, obyek wisata, laboratorium terbuka, dan kawasan tempat tinggal masyarakat (Dephut 2014). Tempat tinggal sesungguhnya, yaitu secara fisik bertempat tinggal di wilayah Gunung Merapi, namun juga tempat tinggal bagi para pemerhati dimana ingatan, kesan tentang Gunung Merapi selalu melekat dalam ingatan, seperti yang tersirat dalam buku

berjudul ―Merapi Omahku‖ (Inandiak dan Dono 2010).

Gambar 12 Peta wilayah penelitian model Komunikasi kesiapan masyarakat Menghadapi risiko bencana gunung api

Peradaban telah lama ada di sekitar wilayah Gunung Merapi. Berbagai peninggalan budaya tersebar di berbagai wilayah dalam bentuk candi-candi, buku-

buku sejarah, karya sastra dan sebagainya, ―termasuk tetembangan‖. Pertemuan

dengan para pencinta alam bukan hal sulit yang ditemui penulis selama melakukan riset. Perhelatan budaya kerap dilakukan di wilayah merapi. Sejarah juga mencatat setidaknya telah terjadi lebih dari 30 kejadian letusan dalam rentang waktu 1871 sampai dengan 2013 yang memberikan pengalaman terdampak bencana bagi masyarakat yang bermukim di sekitar Gunung Merapi (Adrirachman 2013).

Gambar 12 memperlihatkan peta wilayah penelitian, yaitu Wilayah Dukun (R1) merupakan salah satu desa di Kecamatan Dukun yang berada pada radius 10- 15 kilometer dari puncak merapi yang relatif tidak mengalami kerusakan parah terdampak bencana Gunung Merapi. Kerusakan-kerusakan yang terjadi disebabkan oleh hujan abu vulkanik. Wilayah Jumoyo (R2) merupakan salah satu desa di kecamatan Salam yang berada pada radius 15-20 kilometer dari puncak Gunung Merapi. Sebagian wilayahnya dilalui Sungai Putih, merupakan jalur banjir lahar dingin. Sementara itu Wukirsari (R3) adalah salah satu desa yang masuk dalam wilayah kecamatan Cangkringan. Wilayah Wukirsari berada pada radius 10-15 kilometer dari puncak Gunung Merapi. Pada letusan Gunung Merapi tahun 2010, selain terdampak abu vulkanik, wilayah cangkringan terdampak bencana berupa awan panas.

Profil Masyarakat di Wilayah Rawan Bencana Gunung Api

Setiap individu memiliki ciri-ciri tersendiri yang membedakannya dari individu yang lain. Ciri-ciri tersebut akan mempengaruhi bagaimana individu merespon stimulus yang diterima dan bagaimana berperilaku. Pada Tabel 25 ditampilkan sebaran karakteristik masyarakat di wilayah penelitian.

Status Pekerjaan

Sektor informal, terutama pertanian masih menjadi andalan penyedia lapangan kerja bagi masyarakat terutama di R3 (Wukirsari) dan R1 (Dukun). Berbeda dengan kedua wilayah tersebut, masyarakat R2 (Jumoyo) lebih mengandalkan sektor swasta sebagai sumber mata pencaharian. Sektor informal juga telah mampu menekan angka pengangguran terutama di wilayah R1. Adapun tingkat pengangguran tertinggi terdapat pada masyarakat di wilayah R2. Angka pengangguran yang rendah di wilayah R1 terlihat disebabkan kemampuan sektor non formal dalam penyediaan lapangan pekerjaan di wilayah tersebut. Gambar 13 memperlihatkan proporsi status pekerjaan masyarakat di tiga wilayah penelitian.

Dari keseluruhan masyarakat yang bekerja di sektor informal, pertanian merupakan sektor yang banyak memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat di R3 dan R1. Sedangkan masyarakat di wilayah R2 lebih banyak mengandalkan usaha mandiri (wiraswasta) sebagai matapencaharian dibanding pertanian. Hal tersebut diduga disebabkan letak geografis ketiga wilayah tersebut yang berbeda. Wilayah R3 yang memiliki wilayah paling luas dan wilayah R1 terletak di wilayah yang lebih tinggi serta jauh dari jalan raya propinsi dibanding wilayah R2 yang dekat dengan jalan raya propinsi dan pusat kota Muntilan.

Tingkat Pendidikan

Sumber daya manusia di wilayah rawan bencana gunung api telah cukup baik, hal tersebut ditandai dengan tingkat pendidikan masyarakatnya yang sebagian besar telah berpendidikan tingkat menengah. Proporsi masyarakat berpendidikan menengah paling tinggi berada di wilayah R2 (Jumoyo) dibanding wilayah penelitian lain. Kesenjangan tingkat pendidikan paling lebar berada di wilayah R3 (Wukirsaari), karena meskipun proporsi masyarakat yang berpendidikan tinggi paling besar, namun masyarakat yang berpendidikan dasar juga paling tinggi dibanding wilayah lain. Sebaran tingkat pedidikan masyarakat di wilayah penelitian dapat dilihat pada Tabel 25.

Tabel 25 Sebaran responden menurut indikator pada variabel karakteristik individu dan menurut wilayah terdampak bencana gunung api , serta hasil uji beda Kruskal Wallis

Indikator karakteristik individu Wilayah terdampak bencana p

R1 R2 R3 Jenis kelamin 1.000 Laki-laki 50,0 50,0 50,0 Perempuan 50,0 50,0 50,0 Mean rank 100,50 100,50 100,50 Status pekerjaan ,462 Tidak bekerja 7,9 27,3 18,8 Informal 68,4 47,0 58,3 Formal 23,7 25,8 22,9 Mean rank 109,07 96,01 100,20 Pendidikan ,924 Tingkat Dasar 21,0 15,2 24,0 Tingkat Menengah 73,7 81,8 64,6 Tingkat Tinggi 5,3 3,0 11,5 Mean rank 98,21 101,89 100,45 Lama tinggal ,954 Cukup lama 42,1 37,9 43,8 Lama 50,0 57,6 40,6 Sangat lama 7,9 4,5 15,6 Mean rank 98,43 100,26 101,48 Lama Tinggal

Rerata lama responden tinggal di wilayah rawan bencana gunung api lebih dari 36 tahun, artinya warga memiliki pengalaman terdampak bencana setidaknya sudah 9 kali. Sementara itu warga yang paling lama tinggal di wilayah rawan bencana yaitu selama 86 tahun yang artinya telah mengalami terdampak bencana gunung meletus lebih kurang sebanyak 18 kali. Proporsi warga yang telah sagat lama (di atas 57 tahun) sebesar 10,5 persen. Sebaran lama tinggal masyarakat di wilayah penelitian dapat dilihat pada Tabel 25.

Gambar 13 Proporsi jenis pekerjaan sektor informal yang dijadikan sumber matapencaharian oleh masyarakat pada tiga wilayah penelitian

Hasil uji beda tingkat pendidikan responden, status pekerjaan dan lama tinggal di wilayah terdampak bencana menunjukkan secara statistik tidak terdapat perbedaan nyata pada tiga wilayah penelitian. Hal tersebut memberikan makna dari sudut pandang karakteristik individu, responden pada tiga lokasi wilayah penelitian relatif sama.

Hubungan antar Indikator pada Variabel Karakteristik Individu

Kesempatan memperoleh pendidikan formal di wilayah rawan bencana gunung api belum sepenuhnya merata antara laki-laki dan perempuan. Hasil analisis menunjukkan laki-laki memiliki kesempatan untuk mengikuti pendidikan formal yang lebih baik dibanding perempuan. Perbedaan kesempatan tersebut terutama untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah, sedangkan untuk pendidikan tingkat tinggi perbedaan tersebut tidak terlihat nyata.

Tabel 26 Sebaran responden berdasarkan indikator pada variabel karakteristik individu dan hasil uji beda Mann Whitney berdasarkan jenis kelamin

Indikator

Jenis kelamin

Z Laki-laki Perempuan

Tingkat pendidikan formal

Dasar 07,0 13,5 -1,993* Menengah 39,0 33,0 Tinggi 04,0 03,5 Jenis pekerjaan Tidak bekerja 03,0 16,5 -3,026** Kerja informal 34,5 22,0 Kerja formal 12,5 11,5

Lama tinggal di wilayah rawan bencana

cukup lama 18,0 23,5

-1,252

Lama 27,0 21,0

Sangat lama 05,0 05,5

**berbeda sangat nyata pada =0,01 *berbeda nyata pada =0,05 R1 R2 R3 Petani 40,0 16,0 48,4 Wiraswasta 32,0 60,0 28,1 Tidak tetap 28,0 24,0 23,4 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0 120,0

Pembagian peran dalam rumahtangga di wilayah rawan bencana gunung api masih menempatkan laki-laki berperan sebagai pencari nafkah. Hal tersebut terlihat dari hasil analisis yang memberikan gambaran laki-laki lebih banyak bekerja mencari nafkah dibanding perempuan. Namun demikian perempuan telah banyak mengambil peran ganda, yaitu sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah dengan bekerja terutama di sektor informal.

Gambar 14 Sebaran status pekerjaan laki-laki dan perempuan di wilayah rawan bencana gunung api

Kualitas sumber daya manusia di wilayah rawan bencana gunung api semakin baik dilihat dari tingkat pendidikan fomal. Hal tersebut mengindikasikan adanya keberhasilan program pendidikan yang dilaksanakan di wilayah penelitian. Masyarakat semakin besar memiliki kesempatan untuk mengikuti pendidikan formal. Pendidikan menjadi penting sebab hasil uji hubungan yang menghasilkan

angka positif dan sangat nyata pada α=0,01.

Tabel 27 Hasil uji Rank Spearman hubungan antar indikator pada variabel karakteristik individu responden di wilayah rawan bencana gunung api Indikator Karakteristik individu Tingkat Pendidikan Status pekerjaan Lama tinggal Pendidikan formal 1,000 .207** -.376** Status pekerjaan 1,000 -.141* Lama tinggal 1,000

** Berhubungan sangat nyata pada α=0,01 *berhubungan nyata pada α=0,05

Namun demikian hasil analisis tersebut juga memberikan gambaran adanya kecenderungan masyarakat berpendidikan tinggi memilih bekerja di sektor formal dibanding sektor informal, termasuk pertanian. Fakta tersebut juga dapat dijadikan prediktor akan terjadinya kekurangan tenaga kerja berpendidikan tinggi pada sektor pertanian maupun sektor usaha (wiraswasta)

Laki-laki Perempuan Tidak bekerja 25,0 23,0 Non formal 69,0 44,0 Formal 6,0 33,0 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0 120,0

Gambar 15 Sebaran status pekerjaan dan tingkat pendidikan masyarakat di wilayah rawan bencana gunung api

Menjadi sebuah tantangan besar dimasa depan bagaimana sektor pertanian dan sektor usaha (wiraswasta) menjadi sektor menarik bagi pemuda dengan tingkat pendidikan yang baik mengingat sektor pertanian sebagai penyedia kebutuhan pokok bagi masyarakat yang jumlahnya semakin meningkat.

Gambar 16 Sebaran tingkat pendidikan masyarakat berdasar lama tinggal di wilayah terdampak bencana gunung api.

Lama tinggal yang berhubungan nyata dan negatif dengan tingkat pendidikan dan status pekerjaan menunjukkan kecenderungan masyarakat yang lebih lama tinggal di wilayah terdampak bencana gunung api cenderung untuk bekerja di sektor informal ataupun tidak bekerja, juga cenderung memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan kecenderungan generasi muda memiliki pendidikan yang lebih baik dan cenderung bekerja di sektor formal.

Dasar Menengah Tinggi

Formal 9,8 23,6 66,7 Non formal 68,3 56,9 20,0 Tidak bekerja 22,0 19,4 13,3 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0 120,0 L3 L2 L1 Tinggi 4,8 6,3 9,6 Menengah 19,0 72,9 84,3 Dasar 76,2 20,8 6,0 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0 120,0

Simpulan

Sesuai hasil analisis terhadap karakteristik individu, beberapa simpulan disampaikan sebagai berikut :

1. Tidak terdapat perbedaan nyata dalam hal tingkat pendidikan, status pekerjaan dan lama tinggal masyarakat di tiga wilayah terdampak bencana berbeda. 2. Terdapat perbedaan nyata dalam hal tingkat pendidikan antara laki-laki dan

perempuan, dimana tingkat pendidikan warga laki-laki lebih baik dibanding warga perempuan khususnya pada tingkat pendidikan menengah.

3. Terdapat perbedaan sangat nyata dalam hal status pekerjaan antara laki-laki dan perempuan di wilayah rawan bencana gunung api terutama dalam hal pekerjaan sektor informal.

4. Tidak terdapat perbedaan nyata dalam hal lama tinggal di wilayah rawan bencana gunung api antara laki-laki dan perempuan

5. Terdapat hubungan sangat nyata antara lama tinggal di wilayah rawan bencana gunung api dengan tingkat pendidikan, dimana masyarakat yang lebih lama tinggal di wilayah rawan bencana gunung api cenderung memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah

6. Terdapat hubungan sangat nyata antara tingkat pendidikan dengan status pekerjaan, dimana masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi cenderung bekerja di sektor formal

Dokumen terkait