• Tidak ada hasil yang ditemukan

Guru dan Kurikulum Pendidikan: Tantangan dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN

Dalam dokumen Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelit (Halaman 33-39)

Indonesia Kompeten -BNSP-

Indonesia termasuk salah satu negara dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC) yang bergulir mulai akhir tahun 2015. MEA merupakan realisasi pasar bebas di Asia Tenggara yang menciptakan pasar bebas di bidang permodalan, barang dan jasa, serta tenaga kerja. Konsekuensi atas kesepakatan MEA yakni dampak aliran bebas barang bagi negara-negara ASEAN, dampak arus bebas jasa, dampak arus bebas investasi, dampak arus tenaga kerja terampil, dan dampak arus bebas modal. Bentuk integrasi MEA ini memaksa anggotanya untuk mempersiapkan segala potensi yang dimiliki agar dapat meningkatkan daya saing dengan negara-negara besar di sekitarnya. Alasan lain adalah adanya penyesuain dengan perkembangan globalisasi internasional yang menuntut ASEAN untuk lebih kompetitif lagi (Djani, 2007). MEA ini muncul karena dampak dari globalisasi, dimana dengan adanya gelombang globalisasi akan terjadi perdagangan bebas dan terbentuknya penguatan masing-masing kawasan untuk bersama-sama menghadapi situasi yang serba kompleks di dunia internasional dalam bentuk regionalisme. Regionalisme adalah paham atau kecenderungan untuk mengadakan kerjasama yang erat antarnegara di satu kawasan. ASEAN adalah suatu bentuk regionalisme yang mulai diperhitungkan di peraturan politik internasional (Depdiknas, 2005).

Pasar tunggal berbasis produksi yang sangat kompetitif ini tentunya menuntut terlahirnya SDM yang kompeten serta profesional agar bisa bersaing dengan SDM dari luar negeri. Sektor pendidikan merupakan tulang punggung untuk dapat menjadi penghasil SDM yang berdaya saing. Hal ini tentu saja menuntut juga kualitas tenaga pendidik di dalamnya, agar dapat mencetak SDM yang siap bersaing di era MEA. Mendikbud Anies Baswedan mengatakan, meningkatkan standar mutu pendidikan salah satunya dengan menguatkan aktor pendidikan, yaitu kepala sekolah, guru, dan orang tua. Guru perlu dilatih dengan metode yang tepat, yaitu mengubah pola pikir guru. Sejak 2007 guru merupakan jabatan profesional yang mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat penting dalam mencapai visi pendidikan yaitu menciptakan insan Indonesia cerdas dan kompetitif. Pendidik (guru dan dosen) memiliki peran kunci yang strategis dan penting dalam peningkatan kualitas pendidikan, karena pendidik merupakan salah satu ujung tombak pembinaan generasi penerus. Guru dituntut untuk mengembangkan kompetensinya secara berkelanjutan agar mampu menjalankan tugasnya secara professional. Guru profesional adalah guru yang terus menerus meningkatkan 4 kompetensinya yaitu kompetensi profesional (materi ajar), kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian. Tugas guru tidak hanya mengajar, membimbing dan menilai, tetapi juga harus melakukan peningkatan keprofesian berkelanjutan (PKB) yang meliputi pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan karya inovatif.

Langkah strategis dalam dunia pendidikan harus dilakukan, karena pendidikan merupakan pencetak SDM berkualitas yang menjadi jawaban terhadap kebutuhan SDM. kesiapan menghadapi tantangan di Era MEA tidak luput dari peran guru profesional sebagai pencetak para sumber daya manusia yang kelak akan menjadi pelaku di era MEA. Serta peningkatan kemampuan peserta didik dalam bidang kewirausahaan juga merupakan bekal dalam menghadapi persaingan MEA. Langkah strategis lain dalam bidang pendidikan adalah menerapkan pendidikan berkarakter sebagai daya tahan dalam menghadapi MEA melalui pengembangan kurikulum baik intra maupun ekstra kurikuler.

Kurikulum di Indonesia

Seperti tema seminar kali ini, “Rekonstruksi Kurikulum...”. Rekonstruksi berasal dari

bahasa Inggris ”reconstruct”, yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan aliran rekonstruksi merupakan suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dengan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Jadi rekonstruksi kurikulum merupakan proses untuk merancang ulang kurikulum karena tuntutan kebutuhan untuk merubah secara pasti. Komponen kurikulum: merupakan dokumen lengkap yang terdiri dari tujuan program, bahan ajar, strategi mengajar, deskripsi alokasi sumber belajar, metode mengevaluasi hasil belajar dan metode untuk mereview dan adjustment kurikulum itu sendiri. Mengubah ataupun memperbaiki tata kelola pendidikan sudah dijadikan agenda yang mendesak untuk segera dilakukan pada pemerintahan yang baru. Sehingga ketika sistem pendidikan ini tertata dengan baik, maka guru dapat lebih berkonsentrasi kepada pemberian pelayanan yang terbaik kepada peserta didiknya. Bagaimana setiap saat mereka dapat melakukan peningkatan profesionalismenya secara kolektif maupun mandiri. Hal-hal penting yang perlu diingat dalam rekonstruksi kurikulum yaitu kurikulum merupakan suatu proses dinamis yang membutuhkan suatu implementasi yang sistemik dan bertahap.

Gambar 1. Tema Kurikulum 2013

Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Pelaksanaan kurikulum tersebut sarat akan berbagai macam kendala seperti tingginya keragaman masyarakat Indonesia, mulai dari dimensi sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi. Dan keragaman ini berdampak pada kemampuan guru dalam melaksanakan kurikulum. Kemampuan sekolah dalam menyediakan pengalaman belajar juga berpengaruh terhadap kemampuan anak didik untuk berproses dalam kegiatan belajar serta berpengaruh dalam mengolah informasi menjadi sesuatu yang diterjemahkan sebagai suatu hasil belajar. Keragaman masyarakat Indonesia menjadi suatu variabel bebas yang memiliki kontribusi signifikan terhadap keberhasilan implementasi kurikulum yang ada, baik sebagai proses maupun sebagai suatu hasil.

Kurikulum tidak dapat dilepaskan begitu saja dari konteks realitas kehidupan manusia. Maka, agar anak didik dalam proses belajar mengalami kenyamanan dan kebebasan sekaligus tidak terkungkung oleh sebuah dominasi pendidikan yang sentralistis, termasuk kepentingan sekolah maupun lembaga-lembaga di atasnya. Maka kurikulum pendidikan yang harus digelar adalah kurikulum yang dapat memberikan kebebasan kepada anak didik untuk beraktualisasi sendiri dan mandiri sebangun dengan potensi dan bakat yang dimilikinya. Selain itu pula kurikulum yang memusat harus dilokalisasikan agar setiap satuan pendidikan dapat mengenyam pendidikan yang setara sesuai dengan kebutuhan lingkungan sosial masing-masing. Hal ini menjadi suatu keharusan untuk diberlakukan sebagai upaya penyelamatan pendidikan bagi anak didik sehingga mereka kemudian dapat menentukan nasibnya sendiri. Sebagai bagian kelengkapan, penting untuk menjadikan kurikulum yang betul-betul menyentuh anak didik sehingga ini membebaskan dan kemudian melahirkan satu proses pendidikan yang mencerdaskan, yang didasarkan pada kurikulum pendidikan nasional, serta berbasiskan kurikulum lokal yang dibuat oleh daerah sebagai pemangku kebijakan terendah dalam pemerintahan. Agar kelak pemerintahan daerah dapat memfasilitasi kepentingan dan kebutuhan siswa untuk memperoleh pendidikan yang sesuai dengan kepentingan siswa tersebut. Suroso (2015) dalam bidang pendidikan, pemerintah juga dapat melakukan pengembangan kurikulum pendidikan yang sesuai dengan MEA.

Guru Profesional di Indonesia

Selanjutnya permasalahan kualitas guru setidaknya bersumber kepada dua hal, yaitu eksternal dan internal, kurangnya pelatihan bagi guru ataupun kurangnya kemauan guru untuk meningkatkan diri. Tidak sedikit guru kita bekerja tanpa pelatihan yang memadai, sedangkan beberapa lagi beralasan bahwa peningkatan kompetensi secara swadaya juga tidak mudah dikondisikan. Mengingat banyaknya beban guru dalam memenuhi kewajiban mengajarnya serta kegiatan administrasi lainnya. Akhirnya guru menghadapi murid dengan keadaan seadanya, minim atau bahkan tanpa inovasi-inovasi baru yang membuat murid menjadi lebih bergairah dalam belajar. Artinya pendidikan yang diharapkan sebagai penghasil sumber daya manusia yang berkualitas harus terus berbenah. Seruan untuk menyadari bahwa investasi pada guru merupakan sebuah kunci keberhasilan dalam pendidikan merupakan tema besar yang diusung oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) berkaitan dengan peringatan Hari Guru se-dunia, pada 5 Oktober 2014. UNESCO menyerukan negara-negara untuk berinvestasi secara serius pada guru.

Pertanyaannya, bagaimana kualitas guru di Indonesia? Beberapa data dapat dikemukakan: hasil uji kompetensi terhadap 1,6 juta guru oleh Kemdikbud 2015 menunjukkan bahwa 1,3 juta guru (81%) mendapatkan nilai di bawah 60, hanya 192 guru (0,01%) yang nilainya 90-100, dan sekitar 130 ribu guru mendapatkan nilai 0-30 (8,13%). Kondisi ini belum mengalami perubahan yang signifikan dibanding data uji kompetensi 2012 yang reratanya mencapai 46,41. Dari sisi jumlah guru yang berimplikasi pada rasio guru-siswa, kita patut berbangga karena rasio guru- siswa Indonesia tergolong sangat baik. Untuk rasio guru-siswa SD adalah 1:20, lebih baik dibandingkan Thailand, China, dan Korea. Demikian juga untuk rasio guru-siswa SMP Indonesia mencapai 1:14, lebih baik dibanding Korea, Inggris, dan bahkan Amerika Serikat. Tampaknya, belum ada korelasi antara jumlah dan mutu guru, termasuk implikasinya pada mutu pendidikan.

Kunandar (2007) menyebutkan bahwa profesionalisme berasal dari kata profesi yang artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau ditekuni oleh seseorang. Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa profesionalisme guru merupakan kondisi, arah, nilai, tujuan, dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang yang menjadi mata pencaharian. Usman (2006), profesionalisme guru secara spesifik dapat dilihat dari indikator- indikator sebagai berikut: (1) menguasai landasan pendidikan, yaitu mengenal tujuan pendidikan, mengenal fungsi sekolah dan masyarakat, serta mengenal prinsip-prinsip psikologi pendidikan; (2) menguasai bahan pengajaran, yaitu menguasai bahan pengajaran kurikulum pendidikan dasar dan menengah, menguasai bahan penghayatan; (3) menyusun program pengajaran, yaitu menetapkan tujuan pembelajaran, memilih dan mengembangkan bahan pengajaran, memilih dan mengembangkan strategi belajar mengajar, memilih media pembelajaran yang sesuai, memilih dan memanfaatkan sumber belajar, melaksanakan program pengajaran, menciptakan iklim belajar mengajar yang tepat, mengatur ruangan belajar, mengelola interaksi belajar mengajar; dan (4) menilai hasil dan proses pembelajaran yang telah dilaksanakan.

Guru merupakan salah satu komponen utama dalam proses pendidikan. Oleh sebab itu, berusaha memahami tantangan dan masalah yang akan dihadapi pada masa depan merupakan upaya yang baik untuk mengembangkan profesionalisme guru di era globalisasi. Jalal (2007: 1)

mengatakan bahwa pendidikan yang bermutu sangat bergantung pada keberadaan pendidik yang bermutu yakni pendidik yang profesional, sejahtera, dan bermantabat. Dalam pembangunan pendidikan, kualitas guru memiliki pengaruh berantai terhadap komponen pendidikan lainnya, sehingga peningkatan kualitas guru secara nasional merupakan program sangat strategis. Guru juga harus lebih berdaya untuk peningkatan dirinya secara swadaya, terutama bagi mereka yang telah menerima tunjangan profesi. Keadaan tersebut dapat didukung oleh sekolah dengan melaksanakan pelatihan-pelatihan secara mandiri. Sekolah dapat mendesain sendiri program- program pelatihan yang menjadi kebutuhan guru. Sikap, kemampuan, dan kemauan guru untuk melakukan perubahan merupakan sebuah modal besar untuk peningkatan dirinya.

Profesionalisme tidak hanya sekedar pengetahuan teknologi dan manajemen, namun profesionalisme lebih merupakan suatu sikap (attitute). Seorang guru bukan hanya highly skilled, tetapi akan disebut profesional jika dia juga bertanggungjawab, inisiatif, serta menunjukkan komitmen personal terhadap kualitas pada pekerjaannya. Karena menjadi guru adalah panggilan jiwa. Mulyasa (2007), ruang lingkup profesionalisme guru ditunjukkan oleh beberapa indikator. Secara garis besar indikator yang dimaksud adalah: (1) kemampuan dalam memahami dan menerapkan landasan kependidikan dan teori belajar siswa; (2) kemampuan dalam proses pembelajaran seperti pengembangan bidang studi, menerapkan metode pembelajaran secara variatif, mengembangkan, dan menggunakan media, alat dan sumber dalam pembelajaran; dan (3) kemampuan dalam mengorganisasikan program pembelajaran, dan kemampuan dalam evaluasi dan menumbuhkan kepribadian peserta didik.

Perguruan tinggi termasuk di dalamnya LPTK tentu juga akan menjadi garda terdepan dalam proses pembentukan guru-guru masa depan yang profesional. Sehingga tuntutan ini harus segera diimbangi dengan perbaikan kualitas yang harus mampu menjadikan modal intelektual para mahasiswa pilihan di dalamnya untuk menghasilkan produk-produk yang berkualitas. Persaingan di era MEA bukan hanya memberikan tempat kepada para ahli, namun juga bagi mereka yang mempunyai attitude. Ketrampilan dapat diajarkan secara cepat, namun pembentukan watak membutuhkan waktu yang jauh lebih lama. Siklus pembentukan watak harus terus berjalan dan beriringan. Bukan hanya di sekolah, namun juga di rumah dan di lingkungan. Kondisi demikian yang kini menjadi tuntutan untuk melahirkan generasi yang siap menghadapi tantangan masa depan. Dalam upaya mewujudkan Guru Profesional, ada beberapa poin yang perlu diperhatikan, antara lain: (1) mematuhi segala peraturan yang diamanatkan oleh Undang-Undang profesi guru dan konsisten terhadap standarisasi yang telah ditetapkan; (2) pembinaan profesi guru dilakukan secara berkesinambungan berdasarkan kurikulum yang telah ditetapkan dan dilakukan pemantauan secara intensif; dan (3) mewujudkan sinergi peran dan tanggung jawab antara Guru, Pemerintah, LPTK dan Organisasi Profesi.

Berikut ini merupakan kompetensi guru yanga diharapkan mampu menghadapi MEA: (1) kemampuan menguasai materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik mencapai standar kompetensi; (2) menguasai ilmu pendidikan, perkembangan dan membimbing peserta didik; (3) menguasai pembelajaran bidang studi: belajar dan pembelajaran, evaluasi pembelajaran, perencanaan pembelajaran, media pembelajaran, penelitian bagi peningkatan pembelajaran bidang studi; (4) mampu melaksanakan praktek pembelajaran bidang studi; (5) memiliki integritas kepribadian yang meliputi aspek fisik-motorik, intelektual, sosial, konatif dan afektif; dan (6) kompetensi sosial merupakan kemampuan dalam menjalin hubungan sosial secara langsung maupun menggunakan media di

sekolah dan luar sekolah. Pendekatan yang mampu dioptimalkan untuk menghadapi tantangan MEA khususnya di bidang pendidikan yaitu: pendidikan merupakan hal yang terpenting untuk meningkatkan kualitas SDM. Sebagai usaha untuk meningkatkan daya saing dengan penduduk dari asal negara asing lainnya, penting untuk pemerintah daerah maupun pusat untuk lebih memberikan perhatian kepada masalah pendidikan. Penyuluhan sebagai langkah untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat setempat pun perlu dilakukan untuk memberikan kemudahan mengelola kekayaan alam.

Simpulan

Memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), akan muncul sejumlah kekhawatiran tentang tenaga profesional ASEAN yang akan membanjiri pasar tenaga kerja Indonesia. Kondisi ini tidak luput karena masih rendahnya daya saing nasional dibanding dengan negara ASEAN lainnya. Hal tersebut ditambah dengan masih rendahnya tingkat kewirausahaan dan kesiapan teknologi nasional yang masih jauh dibanding negara ASEAN lain. Dan kesiapan menghadapi tantangan di Era MEA tidak luput dari peran guru profesional sebagai pencetak para SDM yang kelak akan menjadi pelaku di era MEA. MEA bisa jadi merupakan momok yang menakutkan bagi beberapa kalangan, salah satunya di bidang pendidikan. Indonesia dituntut untuk meningkatkan kualitas SDM yang memiliki integritas dan jati diri yang kuat sebagai bangsa Indonesia. Adanya pasar bebas yang terintegrasi di ASEAN menuntut semua sektor untuk memiliki daya saing yang tinggi. Salah satu sektor yang memiliki peran penting adalah sektor pendidikan yang mana pendidikan berkualitas akan menghasilkan SDM yang berkualitas pula. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki beraneka ragam budaya. Budaya tersebut harus terus dilestarikan dan diperkuat melalui pengembangan kurikulum. Berbagai upaya yang dilakukan dalam dunia pendidikan untuk menghadapi tuntutan dan tantangan dalam menghadapi MEA dengan pengembangan kurikulum baik melalui penerapan bahasa Inggris untuk mengadaptasi tuntutan MEA, maupun dengan menguatkan budaya daerah sebagai pondasi budaya nasional. Hal ini penting sehingga kecintaan peserta didik akan daerahnya/budayanya menjadi penguat dalam menghadapi MEA, yaitu peserta didik menjadi think globally act locally.

Daftar Pustaka

Djani, T.D. (2007). ASEAN Selayang Pandang. Jakarta: Dir. Jen. Kerjasama ASEAN. Departemen Luar Negeri Republik Indonesia

Jalal, F. (2007). Artikel: Sertifikasi Guru untuk Mewujudkan Pendidikan yang Bermutu. Universitas Negeri Medan.

Kunandar. (2007). Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Mulyasa. E. (2007). Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Suroso, G.T. (2015). Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dan Perekonomian Indonesia . http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/150-artikel-keuanganumum/ 20545- masyarakat-ekonomi-asean-mea-dan-perekonomian-indonesia, diakses 18 Maret 2016. Usman, M.U. (2006). Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Dr. Munawaroh, M.kes

Dosen STKIP PGRI Jombang Email: [email protected]

Pendidikan Kewirausahaan Di Perguruan Tinggi

Abstrak

Tujuan kajian ini untuk menciptakan wirausaha muda baru yang berasal dari kampus melalui pendidikan kewirausahaan. Pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi dilaksanakan dengan proses pembelajaran yang bertahab dan berkelanjutan . berbagai aspek penting yang sebaiknya dilakukan oleh perguruan tinggi, mengembangkan kurikulum, merumuskan metode pembelajaran kewirausahaan. Dosen yang memiliki jiwa wirausaha dan menciptakan atmosfer kewira usahaan. Sehingga bila berbagai aspek tersbut di penuhi , maka wirausaha muda baru yang berasal dari kampus melalui pendidikan kewirausahaan dapat berhasil dan terwujud .

kata kunci Pendidikan Kewirausahaan , metode Pembelajaran kewirausahaan

Abstrac

The purpose of this study to create a new young entrepreneurs coming from the campus through entrepreneurship education. Entrepreneurship education in colleges conducted by the learning process stage and sustainable. various important aspects that should be done by universities, develop curriculum, formulating a method entrepreneurial learning, lecturers who have an entrepreneurial spirit and creating an atmosphere of entrepreneurship. So that when the various aspects fulfilled., then the new young entrepreneurs coming from the campus through education and entrepreneurship can be successfullrealized.

Keywords Entrepreneurship Education, entrepreneurial learning methods

Pendahuluan

Pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi dilaksanakan melalui proses pembelajaran, mengingat banyak aspek penting yang dilakukan oleh Perguturuan tinggi dalam menyelenggarakan pendidikan kewirausahaan.

Tantangan yang dihadapi Perguturuan Tinggi saat ini adalah mencetak lulusan yang kompeten artinya tidak hanya dalam teori saja tapi juga dalam praktek. Mahasiswa yang pandai

Dalam dokumen Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelit (Halaman 33-39)