• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelit"

Copied!
835
0
0

Teks penuh

(1)

Jombang, 23-24zyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaZYXWVUTSRQPONMLKJIHGFEDCBAAR R IL 2016

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ~UVllj PEND1D1KANzyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaZYXWVUTSRQPONMLKJIHGFEDCBA

ST~.II!T~!tVll"/90f1!t~Nq

I~~I~IW

~

_ N AIID tM L

p

H ASIL PEN ELITIAN PEN D ID IKAN D AN PEM BELAjAR AN

'@ J URekonstruksi Kurikulum dan Pembelajaran di Indonesia

~ Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN"

[ilii]

~ ~ ~~

'@ J~

[ilii]= ~~ (§J~

(SJ~

~~zyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaZYXWVUTSRQPONMLKJIHGFEDCBA

~ @

(§J~ ~~ ~ '@J [ilfl) ~

§ J

[ilii]

(2)

Jombang, 23-24

zyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaZYXWVUTSRQPONMLKJIHGFEDCBAARRIL

2016

SEKOLAH_TINGGI KEGURUAN DAN

zyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaZYXWVUTSRQPONMLKJIHGFEDCBA

ILMU

PENDIDIKAN

ST!II!T~~Vl,~/90~!t~N~

semnAS

sr...

IP PGAI JOmSAnG

P1~_ID_ID

__

NAS10NAL

HASIL PENELITIAN PENDIDIKAN

DAN PEMBELAJARAN

"Rekonstruksi Kurikulurn dan Pernbelajaran di Indonesia

(3)

PROSIDING

ISSN: 2443-1923

SEMINAR NASIONAL

HASIL PENELITIAN PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN

“REKONSTRUKSI KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN DI INDONESIA

MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI

ASEAN”

STKIP PGRI JOMBANG

23 - 24 APRIL 2016

(4)

HAK CIPTA

PROSIDING SEMINAR NASIONAL

HASIL PENELITIAN PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN

“REKONSTRUKSI KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN DI INDONESIA MENGHADAPI MASYARAKAT ASEAN”

STKIP PGRI JOMBANG 25 - 26 APRIL 2015

Editor/Reviewer

Asmuni Ketua (STKIP PGRI Jombang)

Khoirul Hasyim

Mitra Ahli

Prof. Ali Maksum (Guru Besar UNESA Surabaya)

Prof. Rochmat Wahab (Guru Besar UNY Yogjakarta) Prof. Joko Nurkamto (Guru Besar UNS Surakarta)

Haryanto (UNY Yogjakarta)

Fauzan (UMM Malang)

Muhammad Syaifuddin (UMM Malang)

Diterbitkan Oleh:

LP2i

Lembaga Penerbitan dan Publikasi Ilmiah STKIP PGRI Jombang

Hak Cipta © 2016

Panitia Semnas

STKIP PGRI Jombang

ISI DI LUAR TANGGUNG JAWAB EDITOR/PENERBIT

Anggota (STKIP PGRI Jombang) Rumpis Agus Sudarko Anggota (UNY Yogjakarta)

Puji Riyanto Anggota (UNY Yogjakarta)

Anita Trisiana Anggota (UNISRI Surakarta)

Nanda Sukmana Anggota (STKIP PGRI Jombang)

Wahyu Indra Bayu Anggota (STKIP PGRI Jombang)

Mintarsih Arbarini Anggota (UNNES Semarang)

Soelastri Anggota (UMS Surakarta)

Sujarwanto Anggota (UNESA Surabaya)

Heru Siswanto Anggota (UNESA Surabaya)

(5)

PERSONALIA

SEMINAR NASIONAL

HASIL PENELITIAN PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN

“REKONSTRUKSI KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN DI INDONESIA MENGHADAPI MASYARAKAT ASEAN”

STKIP PGRI JOMBANG 23 - 24 APRIL 2016

Winardi (Pengarah)

Asmuni (Ketua)

Siti Maisaroh (Wakil Ketua)

Agus Prianto (Wakil Ketua)

Khoirul Hasyim (Steering Commitee)

Nanda Sukmana (Steering Commitee)

Banu Wicaksono (Steering Commitee)

Wahyu Indra Bayu (Steering Commitee)

Anton Wahyudi (Steering Commitee)

Abd. Rozaq (Steering Commitee)

Rahayu Prasetyo (Steering Commitee)

Tatik Irawati (Organizing Commitee)

Rifa Nurmilah (Organizing Commitee)

Ahmad Sauqi Ahya (Organizing Commitee)

Lina Susilowati (Organizing Commitee)

Basuki (Organizing Commitee)

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadhirat Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas limpahan Rahmat-Nya, bahwa Seminar Nasional Hasil Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran ke-II dengan tema “Rekonstruksi Kurikulum dan Pembelajaran di Indonesia Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN” dapat terlaksana, dan hasilnya dapat diterbitkan dalam bentuk prosiding. Seminar ini diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis STKIP PGRI Jombang ke-39, dan akan diselenggarakan rutin setiap tahun. Karenanya prosiding ini merupakan volume kedua, dan akan terbit secara rutin sekurang-kurangnya setahun sekali.

Sementara prosiding ini diterbitkan sebagai wahana pertukaran informasi dari hasil penelitian pendidikan dan pembelajaran dalam semangat saling asah, asih dan asuh dengan sesama pembelajar dalam menyikapi tantangan masa depan. Karena setiap pembelajar memikul tanggungjawab profesional untuk menyiapkan generasi masa depan yang kritis, kreatif dan inovatif, mandiri, bertanggung jawab serta memiliki karakter yang tangguh dan berdaya saing tinggi. Hal ini hanya dapat dicapai melalui pengembangan keilmuan secara berkelanjutan dan implementasi pembelajaran yang tepat dan berhasil guna.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah mendukung terlaksananya seminar dan prosiding ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Khususnya kepada Prof. Dr. Ali Maksum (Guru Besar UNESA Surabaya & Sekretaris Pelaksana KOPERTIS Wilayah VII Jawa Timur), Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A. (Guru Besar dan Rektor UNY Yogjakarta), Dr. Haryanto, M.Pd (Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan UNY Yogjakarta), dan Drs. Fauzan, M.Pd (Rektor Universitas Muhammadiyah Malang), Dr. Muhammad Syaifuddin, M.M (Dosen Universitas Muhammadiyah Malang), Dr. Munawaroh, M.Kes. dan Dr. Wahyu Indra Bayu, M.Pd. (Dosen STKIP PGRI Jombang) yang telah berkenan menjadi narasumber (Keynote Speker). Ucapan terima kasi juga disampaikan kepada Tim Editor/reviewer dan Tim LP2i (Lembaga Penerbitan dan Publikasi Ilmiah STKIP PGRI Jombang) yang telah berkenan meluangkan waktu dan tenaganya sampai prosiding Semnas tahun ini dapat terbit. Semoga Tuhan Yang Maha Pemurah melimpahkan karunia-Nya kepada kita semua, amin.

Akhirnya, dengan mengharap Rahmat dan Ridha-Nya semoga hasil-hasil penelitian yang dirumuskan dalam prosiding ini dapat memberi inspirasi dan manfaat bagi perkembangan pendidikan dan pembelajaran di Indonesia dalam rangka menyiapkan anak bangsa yang cerdas, berkarakter dan berdaya saing dalam menghadapi arus globalisasi.

Salam,

Ketua Panitia/Editor

(7)

DAFTAR ISI

Keynote Speakers

Menyemai Generasi Pembelajar

Prof. Ali Maksum (Guru Besar Unesa Surabaya)

3 – 14 Pokok-Pokok Pikiran Rekonstruksi Mind Set Perguruan Tinggi dalam

Menghadapi Mayarakat Ekonomi ASEAN

Prof. Rochmat Wahab (Guru Besar UNY Yogjakarta)

15 – 20 Guru dan Kurikulum Pendidikan: Tantangan dalam Menghadapi

Masyarakat Ekonomi ASEAN

Wahyu Indra Bayu (STKIP PGRI Jombang)

21 – 26 Pendidikan Kewirausahaan Di Perguruan Tinggi

Munawaroh (STKIP PGRI Jombang)

27 – 34 Rekonstruksi Kurikulum Perguruan Tinggi Berbasis KKNI Menghadapi

Masyarakat Ekonomi ASEAN

Mohammad Syaifuddin (Universitas Muhammadiyah Malang)

35 – 42

Presentasi

Sub Tema: Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Tinggi

Pengembangan Bahan Ajar Berbasis E- Learning Aplikasi Web Blog pada Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan

Firman

45 – 58 Peningkatan Pembelajaran Dasar Gerak Renang Melalui Pendekatan

Penggunaan Alat Bagi Mahasiswa Pendidikan Jasmani dan Kesehatan

Zakaria Wahyu Hidayat & Ilmul Ma’arif

59 – 70 Menumbuhkan Kesadaran Diri Mahasiswa dalam Pembelajaran Melalui

Penilaian Berbasis Portofolio

Khoirul Hasyim, Asmuni, & Nanda Sukmana

71 – 82 The Implementation of Raft (Role-Audience-Format-Topic) To Improve

Paragraph Writing in English As a Foreign Language

Tatik Irawati

83 – 89 Pengembangan Pendidikan Karakter Melalui Pembelajaran Kooperatif

Diah Puji Nali Brata

90 – 100 Enhancing Students Grammar By Mingle Game

Ninik Suryatiningsih

101 – 111

Jeopardy Games: Sebuah Permainan Untuk Meningkatkan Penguasaan

English Grammar

Rosi Anjarwati & Dian Anik Cahyani

112 – 120 Halaman Sampul ‹i

(8)

Implementasi Penggunaan Self Assessment untuk Meningkatkan Kemampuan Mahasiswa

Ima Chusnul Chotimah & Lailatus Sa’adah

121 – 132 Penguatan Kualitas Layanan Laboratorium Manajemen dan Statistika Untuk

Meningkatkan Kompetensi Mahasiswa

Nihayatu Aslamatis Solekah & Ulfi Kartika Oktaviana

133 – 146 Penegakan Hukum dan Pendidikan Tinggi Hukum: Urgensi Rekonstruksi

Kurikulum

Winardi

147 – 153 Aplikasi Program Microsoft Excell dalam Meningkatkan Kualitas Analisis

Butir Soal

Muh. Fajar

154 – 162

Promoting College Students’ Writing Skill Through Collaborative Writing Techniques

Nanang Fitrianto

163 – 170

Students’ Metacognition Phenomenon In Peer Teaching Programme

Chalimah

171 - 180 Karakteristik Kemampuan Visualisasi Matematis (Studi kasus siswa laki-laki

bergaya kognitif field independent dalam menyelesaikan soal kontekstual)

Edy Setiyo Utomo

181 – 192

Dubbing Film dalam Peningkatan Kemampuan Speaking

Muhammad Farhan Rafi

193 – 201 Pengaruh Pendidikan Kewirausahaan Terhadap Motivasi Berwirausaha

Mahasiswa

Dwi wahyuni

202 – 214 Pengaruh Persepsi Mahasiswa atas Kualitas Layanan Jasa Edukasi Terhadap

Loyalitas Melalui Kepuasan Mahasiswa

Siti Mudrikatin

215 – 222 Hubungan Motivasi Belajar dengan Pencapaian Indeks Prestasi Mahasiswa

Semi Naim

223 - 229

Warrant Deduktif dalam Argumentasi Matematis Mahasiswa Calon Guru

Lia Budi Tristanti, Akbar Sutawidjaja, Abdur Rahman As’ari, & Makbul Muksar

230 - 236 Penerapan Media Pembelajaran Audio Visual Terhadap Minat Belajar

Kewirausahaan

Shanti Nugroho Sulistyowati & Yulia Effrisanti

237 – 249

Presentasi

Sub Tema: Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Menengah

Perkembangan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Inovatif

Agus Prianto

253 – 268 Penerapan Metode Pembelajaran langsung (Explicit Intstruction) untuk

Meningkatkan Kompetensi Menjalankan Usaha Kecil

Endang Sri Buntari

(9)

Analisis Alternatif Kolaborasi Guru Mata Pelajaran Prakarya dan Kewirausahaan Dengan Pembina Pramuka

Nanik Sri Setyani & Muhammad Muksinuddin

281 – 287 Perbandingan Model Pembelajaran Modelling dan Media Audiovisual

Terhadap Motivasi Belajar Siswa

Yudi Dwi Saputra & Mecca Puspitaningsari

288 – 296 Increasing Students Achievement in Learning Trigonometry With Problem

Based Learning Approach

Syamsul Arifin

297 – 309 Pengaruh Model PembelajaranKooperatif Tipe Snowball Throwing

Terhadap Hasil Membaca Intensif Siswa

Endah Sari& Eva Eri Dia

310 – 316 Pengaruh Metode Pembelajaran Role Playing Terhadap Hasil Belajar Siswa

Yayuk Indarti & Kustomo

317 – 324 The Use of 5S and RPP to the Tenth Year Students in Writing

Afi Ni’amah, Hartia Novianti & Rukminingsih

325 - 335 Pengaruh Penerapan Strategi Card Sort Terhadap Hasil Belajar Siswa

Esty Saraswati Nur Hartiningrum & Suci Cahyani

336 – 348 Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match Sebagai

Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika

Nahlia Rakhmawati & Miftahul Azzah

349 – 358 Peningkatan Keterampilan Menyimak dengan Model Pembelajaran

Kooperatif Tipe STAD

Aulia Ayu Perwiradani & Mindaudah

359 – 372 Peran Pembelajaran Real Object pada Pendidikan Kejuruan dalam

Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN

Muhammad Saibani Wiyanto & Luluk Nurhidayati

373 – 379 Pengaruh Permainan Lempar Tangkap Menggunakan Medicine Ball

Terhadap Peningkatan Hasil Belajar Servis Bawah Bolavoli

Arsika Yunarta & Yully Wahyu Sulistyo

380 – 388 Perbedaan Penggunaan Kurikulum Berbasis Kompetensi Dan Kurikulum

1994 Terhadap Prestasi Belajar Ekonomi

Ambar Puspitasari

389 – 395 Profile of The Economics Teacher

Diah Dinaloni

396 – 408 Komunikasi Matematika Guru Dalam Memberikan Scaffolding Kepada Siswa

Rohmatul Umami

409 – 416 Pengaruh Sertifikasi Guru Terhadap Kinerja Guru

Masruchan

417 – 425 Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Menghadapi Masyarakat

Ekonomi ASEAN

Didit Yulian Kasdriyanto & Rofika Nuriyanti

(10)

Analisis Faktor-Faktor Pengembangan Sumber Daya Manusia Terhadap Prestasi Kerja Guru

Ani Mukoliyah

433 – 452 Proses Berpikir Siswa dalam Mengkonstruksi Konsep Komposisi Fungsi

Oemi Noer Qomariyah & Susi Darihasting

453 – 460 Keefektifan Peran Komite Sekolah Menengah Atas Negeri

Kustomo

461 – 475

Presentasi

Sub Tema: Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Dasar

Pengembangan Perangkat Pembelajaran Menulis Naskah Drama Berbasis Potensi Diri

Anton Wahyudi & Banu Wicaksono

479 – 494 Penerapan Model Direct Instruction Dalam Pembelajaran Matematika Untuk

Meningkatkan Hasil Belajar Peserta Didik

Rifa Nurmilah & Ririn Febriyanti

495 – 502 Efektivitas Strategi Belajar Elaborasi Dalam Meningkatkan Hasil Belajar

Matematika

Abd. Rozak & Diska Ellen Yuliawati

503 – 514 Kinerja Guru Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan Pasca

Penerapan Kurikulum 2013

Rendra Wahyu Pradana & Risfandi Setyawan

515 – 523 Perbedaan Hasil Belajar Matematika antara Siswa yang Memiliki

Pengetahuan Prosedural dengan yang Tidak Memiliki Pengetahuan Prosedural

Wiwin Sri Hidayati & Nur Fitriatin Nisa’

524 – 534

Penilaian Alternatif Tes Superitem dalam Pemecahan Masalah

Perbandingan Berdasarkan Kemampuan Matematika

Fatchiyah Rahman & Ama Noor Fikrati

535 – 546 Karakteristik Promote Action Guru pada Materi Bangun Ruang Berdasar

Perilaku Siswa

Jauhara Dian Nurul Iffah

547 – 558 Membangun Karakter Guru yang Berwawasan Kebangsaan Nasional pada

Era ASEAN Community

Muhammad Naufal Arifiyanto & Heppy Hyma Puspytasari

559 – 571 Pengaruh Model Pembelajaran PBL Melalui Pendekatan CTL Terhadap Hasil

Belajar IPS

Raran Suci Lestari & Shofia Hattarina

572 – 584 Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dalam Proses

Pembelajaran Penjasorkes di Sekolah Dasar

Puguh Satya Hasmara

(11)

Penerapan Pendidikan Kewirausahaan di Sekolah Dasar dalam Upaya Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN

Erfinia Deca Christiani & Ribut Prastiwi Sriwijayanti

595 – 606 Penerapan Kurikulum 2013 Berbasis Pendidikan Karakter dalam

Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

Afib Rulyansah & Ludfi Arya Wardana

607 – 618 Model Pembelajaran Menulis Pantun Berbasis Alam dengan Media

Transformasi Elektronik

Fitri Resti Wahyuniarti

619 – 628 Penerapan Teori Belajar Kumulatif dalam Menghitung Volume Prisma

Segitiga dan Tabung pada Siswa MI

M Muklis

629 – 640 Perbandingan Kompetensi Strategis Siswa SD Laki-Laki dan Perempuan

Peraih Medali Olimpiade Sains Tingkat Nasional dalam Membuat Persamaan

Syarifatul Maf’ulah, Dwi Juniati & Tatag Yuli Eko Siswono

641 – 650

Implementasi Metode Pembelajaran Problem Based Learning Guna Menumbuhkembangkan Sikap Critical Thinking Bagi Siswa Dalam Menghadapi MEA

Firsta Bagus S

651 – 664

Penerapan Model Pembelajaran Terpadu Tipe Connected pada Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar

Moh. Rifai & Taufan Maulana

665 – 674 Perbandingan Permainan Tradisional Betengan dan Gobak Sodor

Terhadap Kesegaran Jasmani

Nurdian Ahmad & Arnas Anggoro Saputro

675 – 684 Peningkatan Kemampuan Menulis Puisi Dengan Metode Giving Question and

Getting Answer pada Siswa MI

Mu’minin & Moh. Chozin

685 – 695 Pembelajaran Bahasa Indonesia pada Anak yang Berkebutuhan Khusus

(ABK)

Heny Sulistyowati

696 – 704 Media Ajar Glenn Doman Untuk Belajar Membaca

Lestari Setyowati & Diah Anita Pusparini

705 – 714

Presentasi

Sub Tema: Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Non Formal

Pemanfaatan Lingkungan Sebagai Sumber Belajar Life Skill

Syekh Abu Ali Al Hussen

717 – 729 Cultural Awareness To Face English Learners Challenges In ASEAN

Economic Society (AEC)

Yunita Puspitasari & Wardani Dwi Wihastyanang

(12)

Perkembangan Tuturan Kata Bahasa Indonesia pada Anak Bilingual (Tinjauan Tata Bahasa Generative)

Akhmad Sauqi Ahya

737 – 745 Pembelajaran Bahasa dalam Konteks Alamiah sebagai Model Transmisi

Bahasa

Diana Mayasari

746 – 756 The 60-second Super Bowl advertisement ;Hulk takes on Ant Man over

Coca Cola

Adib Darmawan

757 - 766 Retorika Ahok Dalam Talk Show Mata Najwa : Pendidikan Pragmatik

Retorik

M. Syaifuddin S. & Aang Fatihul Islam

767 – 775 Perbedaan Pengaruh Pelatihan Metode Interval Training 1:3 dan 1:5 pada

Jarak 30 dan 60 Meter Terhadap Prestasi Lari 100 Meter

Kahan Tony Hendrawan & Basuki

776 – 786 Pembinaan Prestasi Cabang Olahraga Karate Di Kabupaten Jombang

Aditya Harja Nenggar & Ritoh Pardomuan

787 – 794 Peningkatan Kualitas Kain Tenun Melalui Pelatihan Tenun Ikat

Dalam Rangka Menghadapi MEA

Samrid Neonufa

795 – 806 Proses Adopsi Inovasi Melalui Pendekatan Belajar Famer to Famer

M. Muchibudin Farichi

807 – 815 Analisis Pengaruh Modal dan Tenaga Kerja Terhadap Produksi Industri

Kecil Kerajinan Kulit

Lina Susilowati

(13)

P

P

r

r

o

o

s

s

i

i

d

d

i

i

n

n

g

g

V

V

o

o

l

l

u

u

m

m

e

e

2

2

N

N

o

o

m

m

o

o

r

r

1

1

T

T

a

a

h

h

u

u

n

n

2

2

0

0

1

1

6

6

S

S

e

e

m

m

i

i

n

n

a

a

r

r

N

N

a

a

s

s

i

i

o

o

n

n

a

a

l

l

H

H

a

a

s

s

i

i

l

l

P

P

e

e

n

n

e

e

l

l

i

i

t

t

i

i

a

a

n

n

P

P

e

e

n

n

d

d

i

i

d

d

i

i

k

k

a

a

n

n

d

d

a

a

n

n

P

P

e

e

m

m

b

b

e

e

l

l

a

a

j

j

a

a

r

r

a

a

n

n

““

R

R

e

e

k

k

o

o

n

n

s

s

t

t

r

r

u

u

k

k

s

s

i

i

K

K

u

u

r

r

i

i

k

k

u

u

l

l

u

u

m

m

d

d

a

a

n

n

P

P

e

e

m

m

b

b

e

e

l

l

a

a

j

j

a

a

r

r

a

a

n

n

d

d

i

i

I

I

n

n

d

d

o

o

n

n

e

e

s

s

i

i

a

a

M

M

e

e

n

n

g

g

h

h

a

a

d

d

a

a

p

p

i

i

M

M

a

a

s

s

y

y

a

a

r

r

a

a

k

k

a

a

t

t

E

E

k

k

o

o

n

n

o

o

m

m

i

i

A

A

S

S

E

E

A

A

N

N

S

S

T

T

K

K

I

I

P

P

P

P

G

G

R

R

I

I

J

J

o

o

m

m

b

b

a

a

n

n

g

g

,

,

J

J

a

a

w

w

a

a

T

T

i

i

m

m

u

u

r

r

,

,

I

I

n

n

d

d

o

o

n

n

e

e

s

s

i

i

a

a

2

2

3

3

-

-

2

2

4

4

A

A

p

p

r

r

i

i

l

l

2

2

0

0

1

1

6

6

P

P

r

r

e

e

s

s

e

e

n

n

t

t

a

a

s

s

i

i

K

(14)
(15)

Prof. Dr. Ali Maksum, M.Psi

Guru Besar UNESA Surabaya & Sekretaris Pelaksana Kopertis Wilayah VII Jawa Timur Ema il: alimaksum@unesa.ac.id

Menyemai Generasi Pembelajar

Education is what remains after one has forgotten what one has learned in school

-Albert Einstein

Saya sengaja memulai tulisan ini dengan mengutip pernyataan Einstein, sebagai pengingat kita semua bahwa makna pendidikan adalah apa yang tersisa dan bersemayam pada diri seseorang ketika ia sudah tidak lagi berada di sekolah. Apakah ia masih punya kejujuran dan keluhuran moral, menghormati perbedaan, memfungsikan akal sehat dan nalarnya untuk menyelesaikan masalah, menahan diri atas godaan kenikmatan sesaat, kerja keras dan tidak putus asa menghadapi kesulitan, bahkan menjalankan aktivitas fisik dan mengatur pola makan untuk kehidupan yang sehat dan berkualitas? Sebagai pendidik kita perlu melakukan introspeksi dan refleksi atas apa yang kita lakukan selama ini. Apakah hal-hal di atas kita yakini sebagai sesuatu yang masih membekas pada diri mantan anak didik kita dan difungsikan secara terus- menerus, baik dalam lingkup dunia kerja maupun sebagai anggota masyarakat.

(16)

akan berbalik arah menjadi malapetaka jika saja banyaknya usia produktif tidak diikuti dengan kualitas yang memadai, bisa jadi ujungnya justru menjadi beban bagi bangsa. Apalagi tantangan kehidupan ke depan tidak semakin ringan, persaingan semakin tajam bukan saja dengan sesama anak bangsa, tetapi juga bersaing dengan bangsa lain. Perlu disadari bahwa per 1 Januari 2016, kita telah memasuki masyarakat ekonomi Asean (MEA). Dalam konteks MEA tersebut, arus barang dan jasa, termasuk sumberdaya manusia, berlangsung secara bebas dari dan ke sesama anggota negara Asean.

Kebutuhan Masa Depan

Pertanyaannya, apakah sumberdaya manusia kita sudah siap menghadapi persaingan tersebut? Dalam konteks pendidikan, apa yang bisa kita lakukan? Perlu disadari bahwa pendidikan yang kita berikan sekarang kepada anak didik pada dasarnya untuk kebutuhan mereka 10-20 tahun yang akan datang. Sangat boleh jadi, tantangan kehidupan kala itu berbeda dengan apa yang terjadi sekarang. Profesi pekerjaan yang akan mereka lakukan nanti mungkin pada saat ini belum ada. Kita bisa belajar dari kasus Gojek dan taksi Uber, yang belakangan menjadi fenomenal. Banyak pihak yang kurang siap terhadap kondisi tersebut yang pada akhirnya berujung pada penolakan. Demikian juga banyak kita temukan sekarang, orang berusaha dan menjual suatu produk tanpa harus memiliki kantor atau toko, tetapi cukup bertransaksi lewat dunia maya. Fenomena ekonomi digital tersebut bisa jadi belum pernah terbayang pada 10-15 tahun yang lalu. Itu sebabnya, kita perlu lebih cermat melakukan telaah dan selanjutnya memprediksi kualifikasi yang dibutuhkan di masa depan. Ada kajian menarik yang dilakukan oleh World Economic Forum (2015) terkait pendidikan di abad 21, yang pada dasarnya merupakan pengembangan dari kajian serupa yang telah

dilakukan oleh National Research Council Amerika pada 2008. Kajian World Economic Forum menyatakan bahwa pendidikan perlu membekali para siswa dengan 16 keterampilan yang terbagi ke dalam 3 kelompok besar. Pertama adalah keterampilan dasar, yang mencakup literasi, numerasi, literasi ilmiah, literasi teknologi komunikasi, literasi finansial, dan literasi kewargaan dan budaya. Keterampilan dasar tersebut perlu diterapkan pada setiap tugas yang dilakukan. Kedua adalah kompetensi, yang meliputi kemampuan berpikir kritis/memecahkan masalah, kreativitas, komunikasi, dan kolaborasi. Ini dibutuhkan ketika siswa menghadapi tantangan tugas yang kompleks. Ketiga adalah kualitas karakter, yang mencakup keingintahuan, inisiatif, persisten, adaptabilitas, kepemimpinan, dan kesadaran sosio-kultural. Karakter ini dibutuhkan ketika siswa menghadapi lingkungan yang terus berubah.

(17)

Pendidikan bermutu sebagai kata kunci

Untuk bisa mewujudkan tujuan tersebut, kata kuncinya adalah pada pendidikan yang bermutu (Maksum, 2015c). Nelson Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan dan peraih nobel perdamaian menyatakan bahwa “education is the most powerful weapon which you can use the change the world. Tentu, pendidikan di sini tidak dalam pengertian sekadar lulus dari suatu institusi pendidikan dan memperoleh ijazah, tetapi sebuah proses pendidikan yang bermutu yang memungkinkan setiap anak bangsa belajar secara aktif mengembangkan potensi dirinya menuju insan paripurna. Pendidikan bermutu juga berarti memberdayakan, yakni suatu proses pendidikan yang membuat individu menjadi mandiri, mampu berpikir kritis, inovatif, berkarakter, dan berdaya saing. Peserta didik harus dianggap sebagai insan yang aktif dan dengan segenap potensi yang dimilikinya, mampu mengonstruksi pengetahuan dan pengalamannya. Sebagaimana lima pilar yang dikampayekan Unesco (2009), yakni learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together, and learning to transform one self and society. Dengan demikian, individu pembelajar tidak sekadar tahu tetapi juga mampu mengonstruksi pengetahuan, terampil menerapkan pengetahuan yang dimiliki, baik dalam konteks dirinya maupun lingkungan masyarakatnya. Setiap individu, menurut Debono (2015), memiliki kemampuan mengorganisasikan dirinya, yang kemudian disebut sebagai self-organizing system. Individu sebagai suatu sistem, akan mampu mengelola ikhwal dirinya untuk maju dan berkembang (Mayer, 2014). Sejalan dengan ini, fungsi institusi pendidikan adalah menciptakan lingkungan dan iklim belajar yang memungkinkan segenap potensi pembelajar teraktualisasikan. Sumber-sumber belajar seperti perpustakaan, laboratorium, buku, jurnal, dan internet cukup tersedia dan dapat diakses dengan mudah. Proses pembelajaran harus mampu memberikan inspirasi, menumbuhkan dan memperkuat rasa keingintahuan (curiosity) peserta didik terhadap sesuatu. Rasa keingintahuan yang kuat akan menumbuhkan budaya belajar, keberanian bertanya, dan keinginan mencipta. Kondisi yang demikian merupakan iklim yang baik bagi munculnya inovasi dan kemajuan suatu bangsa. Inilah yang dipikirkan dan dilakukan oleh Singpura, Korea, dan China, yaitu how to instill a culture of enquiry and critical thinking into their education systems (Leslie, 2014).

(18)

sehat. Demikian juga orang begitu mudah melakukan tindak kekerasan, menyakiti, dan bahkan menghilangkan nyawa orang lain karena hal yang sepele.

Dibutuhkan kesadaran yang kuat bahwa tujuan utama pendidikan bukan untuk mencari nilai atau mendapatkan ijazah. Apalagi menempuh jenjang pendidikan sekadar untuk prestise dan mendapatkan pengakuan yang sejatinya semu. Penyelenggaraan pendidikan yang sekadar berorientasi pemerolehan ijazah tanpa akuntabilitas dan proses yang benar, tidak saja melanggar ketentuan tetapi juga mendestruksi kecerdasan publik, menjadi lemah pikir yang dalam jangka panjang dapat berujung pada pembodohan bangsa. Setelah bisa dipastikan kemampuan berpikir kritis dan konstruktif terbentuk, proses berpikir perlu dijaga agar tetap jernih, jangan sampai terjadi bias atau sesat pikir. Hal yang demikian bisa terjadi apabila seseorang tidak lagi independen, misalnya karena ada muatan emosi, kepentingan pribadi, dan tekanan dari luar. Perlu diingat, sesar pikir bisa menyebabkan sesat perilaku. Hukum dan aturan sulit ditegakkan manakala berhimpitan dengan kerabat keluarga dan pertemanan yang muatan emosinya begitu kuat. Pengadaan barang dan penyelenggaraan kegiatan bisa koruptif apabila ada kepentingan pribadi untuk mendapatkan keuntungan. Demikian juga suatu kebijakan yang pruden bisa berbelok ditengah jalan jika ada intervensi atau tekanan dari luar. Intinya, pola pikir dan sikap imparsial perlu dirawat agar seseorang bisa tetap berpikir jernih dan memiliki laku jalan lurus.

Pendidikan yang bermutu juga berarti menyejahterakan. Ada relasi yang cukup kuat antara tingkat pendidikan dan kesejahteraan. Pendidikan yang baik akan mengangkat derajat seseorang. Individu yang terdidik dengan baik akan dapat membuka dan menciptakan peluang bagi diri dan orang lain yang berdampak pada ekonomi. Dari aspek ekonomi, per capita income

Indonesia sebesar 4.730 US$, sementara Thailand 9.280 US$, Malaysia 16.270 US$, Jepang 36.750, dan Singapura telah mencapai 60.110 US$ (World Bank, 2014). Dalam hal ini, kita bisa belajar dari Malaysia, Singapura, dan Korea. Bukankah pada awal kemerdekaan mereka kondisinya relatif mirip sebagai negara yang baru merdeka, yakni terjadi keterbelakangan ekonomi yang masif. Terlebih mereka tidak memiliki sumberdaya alam yang cukup dibanding Indonesia. Sekarang bisa kita lihat bagaimana kehebatan mereka dalam kesejahteraan ekonomi. Lagi-lagi, kunci keberhasilan mereka adalah menempatkan pendidikan yang bermutu sebagai piliar utama.

(19)

hanya 6% masuk kategori baik ke atas. Sementara untuk putri, 64% masuk kategori sangat rendah, 30% kategori rendah,3% kategori sedang, dan hanya 2% masuk kategori baik.

Pendidikan yang bermutu juga mengandung makna memanusiakan. Istilah

“memanusiakan” penting untuk digaris bawahi mengingat seseorang bisa kehilangan kemanusiaannya manakala limbic system yang merupakan locus berprosesnya syahwat

“kebinatangan” tidak terkelola dan terdidik dengan baik. Nafsu ingin menguasai, menghancurkan orang lain yang tidak sejalan, keserakahan ekonomi, termasuk libido ada di wilayah ini. Karena itu, kesanggupan untuk menahan dan mengelola syahwat-syahwat instinktif yang dapat mendistorsi sifat kemanusiaan perlu dirawat. Acapkali kita tidak tahan atas godaan kemewahan dan kenikmatan di sekitar kita, apakah itu berupa kedudukan, rekognisi sosial, materi, bonus, komisi, dan bentuk gratifikasi lainnya. Eksperimen klasik Walter Mischel terhadap sekelompok anak usia 4-5 tahun sungguh menarik untuk disimak. Anak-anak dimasukkan ke dalam ruangan, duduk secara beraturan, dan di hadapan setiap anak disediakan

marhsmello (semacam permen-coklat). Mereka diberi dua opsi, pertama, ketika bel berbunyi anak-anak boleh langsung makan marhsmello tersebut, atau opsi kedua menahan diri sampai 15 menit hingga eksperimenter datang dan memberikan marhsmello dua kali lipat. Ada sebagian yang memilih opsi pertama dan sebagian yang lain memilih opsi kedua. Seteleh mereka remaja dan dewasa dicek lagi, hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang bisa menunda kenikmatan (delayed gratification) bisa lebih sukses dikemudian hari, baik dalam akademik, kompetensi sosial, dan kemampuan menghadapi tekanan, dibanding dengan mereka yang tidak dapat menahan diri (Maksum, 2014).

Mempelajari sejumlah data dan kasus belakangan ini, membuat kita perlu melakukan introspeksi. Laku keserakahan sebagian bangsa ini masih begitu kuat dan ini dapat dilihat dari indeks persepsi korupsi yang dikeluarkan oleh lembaga Transparency International tahun 2014, Indonesia ada pada peringkat 107 dari 175 negara yang disurvei dengan skor 34 pada rentang skala 0-100. Sementara Philipina dengan skor 38, Malaysia 52, Jepang 76, dan Singapura 84. Demikian juga dalam penyalahgunaan narkotika, BNN memprediksi prevalensi pengguna narkoba di Indonesia pada 2015 mencapai 5,1 juta orang dan sekitar 50 orang meninggal setiap hari akibat narkoba. Tentu, hal ini sangat mengkawatirkan, kita berada dalam darurat narkoba.

The last but not least adalah soal terorisme yang menghentak kemanusiaan. Kelompok radikal yang menggunakan emosi agama ini, tanpa disadari ideologinya telah menelisik jauh pada sejumlah remaja kita. Mereka menganggap kebenaran ada pada dirinya dan pihak yang berbeda dianggap salah dan absah untuk dihancurkan. Sejatinya mereka merupakan anak-anak yang baik, tetapi salah asuhan dan salah jalan menempuh kekerasan “suci” untuk memperoleh “surga”. Pembelajaran Emosi

(20)

perubahan. Padahal perubahan menjadi sebuah keniscayaan yang tidak mungkin dihindari lagi, apalagi dengan masifnya penggunaan teknologi komunikasi. Kita harus mampu beradaptasi dengan perubahan, meski tidak semua perubahan bisa dengan segera kita dapatkan manfaatnya. Justru banyak ditemukan, perubahan baru bisa dirasakan manfaatnya dalam ukuran tahun. Karena itu, dalam menghadapi kondisi yang demikian dibutuhkan ketahanan emosi. Ketika seseorang merasa tidak mampu lagi mengikuti perubahan yang terjadi, maka bisa menimbulkan stress, dan jika stress tidak dapat dikelola dengan baik, maka dapat berdampak pada hal-hal yang bersifat destruktif, seperti rendah diri, depresi, bahkan sampai pada bunuh diri. Individu juga harus sadar bahwa ia tidak hidup dalam ruang hampa. Ia berdampingan dengan orang lain yang bisa jadi berbeda dengan dirinya, baik dalam cara berpikir, bersikap, dan memilih jalan hidup. Karena itu, dibutuhkan kesadaran sosial dan kultural di antara sesama sehingga tumbuh toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan. Di sinilah pentingnya pembelajaran emosi bagi peserta didik. Pembelajaran emosi mengajarkan kepada siswa menjadi sadar diri dan sadar sosial, mampu mengambil keputusan secara bertaggung jawab, dan kompeten dalam mengelola diri yang berujung pada kesuksesan akademik dan kehidupan.

(21)

1. Kesadaran diri (self-awareness): setiap individu perlu menyadari bahwa dalam dirinya terdapat emosi, baik yang bersifat positip maupun negatip. Siswa perlu mengenal emosi yang dimiliki dan pengaruhnya terhadap perilaku. Mereka memahami apa yang menjadi kekuatan dan kelemahannya serta memiliki rasa percaya diri.

2. Manajemen diri (self-management): Individu tidak bisa menghalangi munculnya emosi yang bersifat alamiah, seperti perasaan benci dan marah. Yang dibutuhkan, siswa memiliki kemampuan untuk mengelola emosi, pikiran, dan perilakunya, termasuk stress, memotivasi diri, pengaturan tujuan, dan kemajuan dalam pencapaian tujuan.

3. Kesadaran sosial (social awareness): Perlu disadari bahwa individu tidak hidup dalam ruang yang vakum, tetapi mengalami hidup bersama bersama orang lain. Karena itu, siswa perlu berempati dan mengambil perspektif dari orang yang berbeda. Mereka juga perlu memahami norma sosial dan etis serta mengenal lingkungan jejaringnya.

4. Keterampilan berrelasi (relationship skills): Dalam kehidupan sosial, individu perlu berhubungan dan berkomunikasi dengan orang lain. Siswa perlu diajarkan bagaimana berkomunikasi dengan jelas, mendengar secara aktif, bekerjasama, negosiasi konflik, tahan terhadap tekanan sosial yang tidak sesuai, dan berusaha mencari dan menawarkan bantuan.

5. Membuat keputusan yang bertanggungjawab (responsible decision making): Setiap hari seseorang akan dihadapkan pada situasi di mana ia harus mengambil keputusan. Dalam mengambil keputusan, siswa perlu mempertimbangkan standar etik, peduli keselamatan, norma sosial, konsekuensi realistik, dan merasa nyaman dalam menentukan pilihan perilaku yang konstruktif dan bermartabat.

(22)

Peran Strategis Guru

Dalam konteks pembelajaran di sekolah, peran guru menjadi sangat sentral (Maksum, 2015b). Disadari bahwa sebagai sebuah sistem, keberhasilan pendidikan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik yang bersifat makroskopik maupun mikroskopik, seperti kebijakan negara, anggaran, kurikulum, sarana prasarana, peserta didik, dan guru. Meski demikian, dari sejumlah telaah dan hasil penelitian, kualitas guru menjadi faktor krusial yang paling menentukan kualitas pendidikan suatu bangsa. Pertanyaannya, bagaimana kualitas guru di Indonesia? Beberapa data dapat dikemukakan: hasil uji kompetensi terhadap 1,6 juta guru oleh Kemdikbud 2015 menunjukkan bahwa 1,3 juta guru (81%) mendapatkan nilai di bawah 60, hanya 192 guru (0,01%) yang nilainya 90-100, dan sekitar 130 ribu guru mendapatkan nilai 0-30 (8,13%). Kondisi ini belum mengalami perubahan yang signifikan dibanding data uji kompetensi 2012 yang reratanya mencapai 46,41. Dari sisi jumlah guru yang berimplikasi pada rasio guru-siswa, kita patut berbangga karena rasio guru-siswa Indonesia tergolong sangat baik. Untuk rasio guru-siswa SD adalah 1:20, lebih baik dibandingkan Thailand, China, dan Korea. Demikian juga untuk rasio guru-siswa SMP Indonesia mencapai 1:14, lebih baik dibanding Korea, Inggris, dan bahkan Amerika Serikat. Tampaknya, belum ada korelasi antara jumlah dan mutu guru, termasuk implikasinya pada mutu pendidikan. Artinya, dari sisi jumlah, guru di Indonesia sudah lebih dari cukup, persoalan utamanya justru pada mutu (Maksum, 2015a).

Upaya peningkatan mutu guru telah dan terus dilakukan, diantaranya melalui program sertifikasi. Program ini sejatinya bertujuan untuk meningkatkan kompetensi guru, yang selanjutnya berujung pada perbaikan mutu anak didiknya. Guru yang telah dianggap memenuhi kelayakan sesuai standar mutu yang ditentukan, akan mendapatkan sertifikat. Sebagai konsekuensinya, guru yang telah lolos sertifikasi akan mendapatkan insentif satu kali gaji setiap bulannya. Pertanyaannya, apakah program tersebut efektif? Hasil penelitian Bank Dunia (2012) membuktikan bahwa program sertifikasi guru hanya berdampak pada dua hal, yakni peningkatan pendapatan guru dan menguatnya animo calon mahasiswa untuk masuk ke LPTK. Meski program sertifikasi guru menghabiskan biaya yang tidak sedikit, sekitar 70 trilyun, namun hasilnya belum berdampak langsung pada kualitas guru dan pendidikan secara keseluruhan. Meski ada sejumlah siswa kita yang berprestasi dalam olimpiade matematika dan sains tingkat internasional, namun secara umum prestasi siswa kita masih jauh dari harapan. Dalam ajang kompetisi yang mengukur kemampuan berpikir kritis dan mengatasi masalah, PISA (programme for international student assessment) pada 2013, menunjukkan bahwa dari 65 negara, Indonesia ada pada peringkat 64, sementara Malaysia ke 52, Thailand ke 50, Singapura ke 2, dan China ke 1.

(23)

Tentu tidak salah negara memberikan kesejahteraan bagi para guru, persoalannya kita belum bisa mengaitkan program yang demikian itu dengan upaya pemberdayaan yang berbasis pada diri guru sendiri. Tambahan pendapatan seyogyanya diarahkan pada belanja investatif yang mengarah pada penguatan profesionalitas sebagai pendidik, bukan pada hal-hal yang sifatnya konsumtif. Seberapa pun besarnya gaji guru jika itu tidak membuat mereka berdaya, maka tidak banyak yang bisa diharapkan. Pemberdayaan di sini mengarah pada penguatan prakarsa dan kemampuan kritis yang memungkinkan para guru mengembangkan diri secara bertanggung jawab. Dalam law of diminishing return (Whyte, 2015), dinyatakan bahwa perbaikan optimal akan terjadi disaat awal dan seiring waktu akan mengalami penurunan. Meski semakin baik individu memperoleh hasil, akan semakin keras individu memperbaiki kinerjanya. Namun, relasi antara keduanya tidak linier. Berdasarkan hasil penelitiannya, Pink (2009) menyatakan bahwa reward dalam bentuk uang hanya menawarkan peningkatan kinerja jangka pendek, dalam jangka panjang justru mendistorsi kesungguhan upaya seseorang.

Guru harus menjadi manusia pembelajar, tidak cukup sekadar puas menerima bekal disaat menempuh pendidikan di LPTK, atau merasa sudah pernah membaca materi yang diajarkan di kelas, sehingga tidak perlu lagi memutakhirkan pengetahuan yang mereka miliki. Perkembangan ilmu pengetahuan begitu cepat, apa yang dianggap benar pada saat yang lalu sangat boleh jadi sudah dirasa tidak tepat lagi pada masa sekarang. Dalam konteks tertentu, peran guru diharapkan juga sebagai peneliti, dalam hal ini adalah melakukan penelitian tindakan kelas. Guru perlu mempelajari lebih dalam, mengapa proses pembelajaran yang dilakukan kurang efektif untuk mencapai tujuan? Misalnya, perubahan perilaku siswa, peningkatan keterampilan berpikir, dan penguasaan materi ajar. Masalah yang demikian akan bisa dipecahkan apabila seorang guru kreatif dan inovatif mengeksplorasi pendekatan dan strategi pembelajaran. Guru berpikir dan melakukan identifikasi apa sejatinya yang menjadi masalah. Ketika akar masalah sudah ditemukan, maka direncanakan solusinya, dilaksanakan, dan dievaluasi. Dari siklus kegiatan yang demikian, maka guru terbiasa membaca, menulis, dan menemukan sesuatu dari apa yang dilakukan. Hal yang demikian perlu dilakukan secara terus-menerus (continuous improvement). Di sinilah esensi dari guru sebagai insan pembelajar. Kegiatan membaca tidak hanya konstruktif bagi pengembangan pengetahuan, tetapi juga positif untuk merawat memori. Hasil penelitian Robert Wilson et.al (2013), neurologist dari Rush University Chicago, memberikan bukti empirik. Mereka meneliti 300 orang lanjut usia dengan memeriksa kapasitas memori dan keterampilan berpikirnya setiap tahun. Mereka juga ditanya mengenai kebiasaan, menulis, dan aktifitas kognitif lainnya, termasuk saat masa anak-anak dan remaja. Mereka diikuti perkembangannya sampai meninggal dan selanjutnya diperiksa kondisi otaknya untuk membuktikan adanya demensia. Hasil penelitian cukup mengejutkan bahwa individu yang jarang membaca dan menulis, mengalami penurunan fungsi kapasitas mental 48% lebih cepat dibanding mereka yang aktif membaca dan menulis. Karena itu, mari kita semua menjadikan kebiasaan membaca dan menulis sebagai gaya hidup, yang tidak saja berpengaruh pada profesionalisme sebagai guru, tetapi juga meninggikan kualitas hidup kita sebagai manusia.

(24)

pengabdian. Ukurannya bukan pada seberapa besar gaji yang mereka peroleh, melainkan pada sumbangsih yang diberikan guru dalam mendidik anak-anak bangsa meraih masa depan yang lebih baik. Penting untuk diingat bahwa pendidikan adalah instrumen peradaban, selebihnya hanya kuratif dan remedial. Jika suatu bangsa mengalami kegagalan dalam peradaban, misalnya, korupsi merajalela dan terjadi hampir di setiap transaksi pelayanan publik, kedisiplinan yang rendah, dan penyimpangan perilaku yang tinggi adalah sebagian contoh dari kegagalan pendidikan.

Dalam konteks membangun peradaban yang mengedepankan intelektual dan moral, masih banyak hal yang harus kita lakukan. Praktek pendidikan kita acapkali masih diwarnai tindakan nirkeluhuran. Sebagai ilustrasi, saya ingin menyoal pelaksanaan Ujian Nasional (UN) bagi SD sampai SLTA. Sempat ada perdebatan yang tajam terkait urgensi UN sebagai penentu kelulusan. Ada yang berpendapat bahwa banyaknya kecurangan dalam UN disebabkan karena UN dijadikan penentu kelulusan. Mereka berpendapat, untuk mencegah kecurangan, UN cukup digunakan sebagai pemetaan mutu pendidikan. Pertanyaannya, apakah dengan UN sekadar sebagai pemetaan akan menghapus kecurangan? Tampaknya hal yang demikian masih jauh panggang dari api. Data Litbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa lebih dari 80% sekolah memiliki indeks integritas UN kurang dari 80. Artinya, masih banyak persoalan terkait dengan integritas siswa, termasuk sangat bolehjadi gurunya, dalam melaksanakan UN. Akar persoalannya ada pada defisit kejujuran, bukan sekadar pada pilihan sistem. Sebab, sistem apapun tidak akan mampu menampung ketidakjujuran orang. Kejujuran masih menjadi barang mahal, padahal kejujuran adalah landasan pengembangan karakter. Rasanya akan sia-sia berbagai upaya perbaikan pendidikan dilakukan jika dipenghujung perjalanan, para siswa menyaksikan bahkan diarahkan pada praktik kecurangan berjamaah. Dalam konteks ini, komitmen guru untuk menjaga dan merawat moral kejujuran peserta didik menjadi urgen, bukan justru mengajarkan sebaliknya, praktik ketidakjujuran secara sistematis oleh guru di ruang kelas saat ujian.

Catatan Akhir

Perubahan dan persaingan merupakan sebuah keniscayaan kehidupan, baik dalam skala lokal maupun global. Kita tidak bisa menghindar apalagi menolaknya, yang bisa dilakukan adalah mempersiapkan anak bangsa dengan kompetensi yang dibutuhkan. Dalam kaitan ini, pendidikan bermutu merupakan instrumen yang efektif untuk mewujudkan tujuan tersebut. Pendidikan bermutu bisa terwujud manakala dalam prosesnya hadir guru yang bermutu juga. Peserta didik perlu terus belajar, guru pun juga tidak boleh berhenti untuk belajar. Sebagai penutup, saya ingin mengutip pernyataan sosiolog kenamaan Amerika Benjamin Barber, bahwa tidak ada individu yang bisa dikategorikan lemah atau kuat, tidak ada individu yang bisa dikategorikan sukses atau gagal, yang ada adalah individu yang mau belajar dan tidak mau belajar. Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali belajar, belajar, dan belajar guna mewujudkan masa depan yang lebih baik.

Daftar Pustaka

(25)

Debono, E. (2015). Serious creativity: How to be creative under pressure and turn ideas into action. London: Vermilion.

Deming, D.J. (2015). The growing importance of social skill in the labor market. Harvard University and NBER.

Durlak, J.A. et.al. (2011). The impact of enhancing students’ social and emotional learning: A meta- analysis of school-based universal interventions, Child Development, volume 82. Fried, S. (2015). Social and emotional learning. Massachusetts: Rennie Center for Education

Research & Policy.

Kompas (2015). Ancaman saat tubuh menua, edisi 16 April, h.14

Leslie, I. (2014). Curious: The desire to know and why your future depends on it. London: Quercus.

Maksum, A. (2015a). Guru bermutu, pendidikan maju. Makalah disampaikan dalam orasi ilmiah pada wisuda sarjana Universitas Ronggolawe Tuban pada 27 Desember 2015. Maksum, A. (2015b). Mutu guru dan penguatan LPTK. Makalah disampaikan dalam orasi

ilmiah pada wisuda ke 12 program sarjana STKIP-BIM Surabaya, 8 Agustus 2015 di Dyandra Convention Center Surabaya.

Maksum, A. (2015c). Kurikulum dan pembelajaran di Perguruan Tinggi: Menuju pendidikan yang memberdayakan. Makalah disampaikan dalam seminar nasional hasil penelitian pendidikan dan pembelajaran, 25-26 April 2015 di STKIP PGRI Jombang.

Maksum, A. (2014). National mental model and competitiveness: Transformation toward achieving and progressive behavior. Anima, Indonesian Psychological Journal, vol. 29, no. 2.

Maksum, A. (2011). Membangun mental prestatif: Tugas utama pendidikan ke depan. Dalam Sirkit Syah dan Martadi, “Rekonstruksi Pendidikan”. Surabaya: Unesa University Press. Mayer, J.D. (2014). Personal intellegence: The power of personality and how it shapes our

lives. New York: Scientific American/Farrar, Straus and Giroux.

National Research Council (2008). Research on future skills demands: A Workshop Summary.

M. Hilton, Rapporteur. Center for Education, Division of Behavioral and Social Sciences and Education. Washington, DC: The National Academies Press.

OECD (2015). Skills for social progress: The power of social and emotional skills. Tersedia di http://www.oecd.org/

OECD (2013). PISA 2012 Results in Focus: What 15-year-olds know and what they can do with what they know.

Pink, D.H. (2009). Drive: The surprising thruth about what motivates us. New York: Riverhead Books.

Shuman, V. & Scherer, K.R. (2014). Concept and structure of emotion. In Reinhard Pekrun

“International handbook of emotion in education”, New York: Routledge. The Jakarta Post (2012). Study shows 67 percent of Jakartans overweight, Edisi 11 Mei.

Unesco (2009). Education for Sustainable Development. France: Division for the coordination of United Nations priorities in education.

Whyte, G. (2015) Achieve the impossible. CA, USA: Bantam Press.

Wilson, R., et al. (2013). Life-span cognitive activity, neuropathologic burden, and cognitive aging. Neurology, vol. 81, no. 4.

(26)

World Bank (2014). World development indicators. Washington: International Bank for Reconstruction and Development.

(27)

Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A. Guru Besar dan Rektor Universitas Negeri Yogjakarta (UNY)

Ketua Forum Rektor se-Indonesia Email: rochmat_wb@uny.ac.id

POKOK-POKOK PIKIRAN

“Rekonstruksi Mind Set Perguruan Tinggi dalam

Menghadapi Mayarakat Ekonomi ASEAN”

1. Karakteristik Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

MEA merupakan salah satu dari tiga pilar masyarakat ASEAN, yaitu (1) Masyarakat Politik Keamanan ASEAN, (2) Masyarakat Ekonomi ASEAN, dan (3) Masyarakat Sosial Budaya ASEAN. Pada hakekatnya MEA dibagun dengan empat pilar yang sekaligus menjadi karakteristik utama, yaitu: (a) pasar tunggal dan basis produksi; (b) kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi; (c) kawasan pengembangan ekonomi yang merata; dan (d) kawasan yang secara penuh terintegrasi ke dalam perekonomian global.

Pasar tunggal dan basis produksi ASEAN terdiri dari atas lima elemen inti: (1) arus barang yang bebas; (2) arus jasa yang bebas; (3) arus investasi yang bebas; (4) arus modal yang lebih bebas; dan (5) arus tenaga kerja terampil yang bebas.

Kawasan Ekonomi yang Berdaya Saing. Perwujudan kawasan ekonomi yang stabil, makmur, dan berdaya saing tinggi merupakan tujuan dari integrasi ekonomi ASEAN. Terdapat enam elemen inti bagi kawasan ekonomi yang berdaya saing ini, yaitu: (1) kebijakan persaingan; (2) perlindungan konsumen; (2) Hak Kekayaan Intelektual (HKI); (4) pembangunan infrastruktur; (5) perpajakan; (6) e-commerce .

(28)

Kedua inisiatif ini diarahkan untuk menjembatani jurang pembangunan baik pada tingkat UKM maupun untuk memperkuat integrasi ekonomi Kamboja, Laos, Myanmar dan Viet Nam (CLMV) agar semua anggota dapat bergerak maju secara serempak dan meningkatkan daya saing ASEAN sebagai kawasan yang memberikan manfaat dari proses integrasi kepada semua anggotanya.

Integrasi dengan Ekonomi Global. ASEAN bergerak di sebuah lingkungan yang makin terhubung dalam jejaring global yang sangat terkait satu dengan yang lain, dengan pasar yang saling bergantung dan industri yang mendunia. Agar pelaku usaha ASEAN dapat bersaing secara global, untuk menjadikan ASEAN lebih dinamis sebagai ”mainstream” pemasok dunia, dan untuk memastikan bahwa pasar domestik tetap menarik bagi investasi asing, maka ASEAN harus lebih menjangkau melampaui batas-batas MEA.

Perjanjian Kerangka Kerja ASEAN di Bidang Jasa. ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) ditandatangani oleh Menteri-menteri Ekonomi ASEAN pada tanggal 15 Desember 1995 di Bangkok, Thailand. AFAS bertujuan untuk: (a) meningkatkan kerja sama di bidang jasa di antara negara anggota ASEAN (AMS) dalam rangka meningkatkan efisiensi dan daya saing industri jasa ASEAN, diversifikasi kapasitas produksi dan pasokan, dan pendistribusian jasa; (b) menghapus hambatan utama di bidang perdagangan jasa; (c) liberalisasi perdagangan jasa dengan mengembangkan kedalaman dan cakupan liberalisasi melampaui komitmen yang diberikan di bawah payung GATS-WTO; (d) memberikan pengakuan terhadap pendidikan atau pengalaman yang didapat, persyaratan yang dipenuhi, atau lisensi maupun sertifikasi yang diperoleh dalam bentuk pengaturan saling pengakuan (mutual recognition arrangement).

Mutual Recognition Arrangements (MRA) di sektor jasa merupakan perkembangan yang relatif baru dalam kerja sama ASEAN di bidang perdagangan jasa. Sebuah MRA memungkinkan kualifikasi pemasok jasa yang diakui oleh pihak yang berwenang di negara asal mereka untuk juga diakui oleh negara-negara anggota penandatangan lainnya. Hal ini membantu memfasilitasi aliran penyedia jasa profesional di kawasan ini, sejalan dengan ketentuan dan peraturan domestik yang relevan.

Dalam hal ini yang perlu digaris bawahi adalah: bahwa "Setiap negara anggota dapat mengakui pendidikan atau keahlian yang diperoleh, terpenuhinya persyaratan, atau lisensi maupun sertifikasi yang diberikan di negara-negara anggota lainnya, untuk tujuan pemberian lisensi atau sertifikasi pemasok jasa. Pengakuan tersebut dapat didasarkan pada kesepakatan atau pengaturan dengan negara anggota yang bersangkutan atau dapat diberikan secara otonom." (AFAS Pasal V).

(29)

2. Tantangan Perguruan Tinggi Masa Kini dan Akan Datang

Ada beberapa hal yang penting untuk menjadi renungan bagi perguruan tinggi terkait dengan tantangan masa kini dan akan datang, terutama yang menyangkut nasib lulusannya, yaitu:

Pertama, berdasarkan hasil analisis pusat riset ekonomi dan bisnis, The Mckinsey Global Institute pada September 2012 (Kemdikbud, 2013), menyatakan bahwa Indonesia diprediksi pada tahun 2030 akan menempati peringkat ke-7 ekonomi terbesar dunia, setelah Cina, AS, India, Jepang, Brazil, dan Rusia. Pada saat itu perekonomian Indonesia ditopang empat besar sektor ekonomi yaitu bidang jasa, pertanian, perikanan dan energi. Ekonomi Indonesia juga akan terus tumbuh dengan didorong oleh kekuatan regional. Pertumbuhan jumlah masyarakat kelas menengah Indonesia akan meningkat dari 45 juta orang pada 2012 menjadi 90 juta orang pada 2030. Kebutuhan tenaga terampil juga meningkat dari 50 juta menjadi 113 juta orang pada periode yang sama.

Untuk menghadapi tantangan tersebut, sistem pendidikan kita harus terus diperbaiki agar mampu mendorong perubahan-perubahan yang signifikan, yang tidak hanya mampu mengurangi angka kebodohan, melainkan juga mampu mengurangi angka kemiskinan dan meningkatkan peradaban bangsa kita. Semua lulusan yang akan memasuki era itu diharapkan sekali mampu memainkan peran penting sebagai subjek di mana pun berada.

Kedua, dalam Global Competitiveness Report 2015-2016 yang dirilis WEF, di ASEAN daya saing Indonesia hanya kalah dari tiga negara tetangga, yakni Singapura yang berada di peringkat 2, Malaysia (18), dan Thailand (32). Meski turun dibanding tahun 2014 di peringkat 34, daya saing Indonesia lebih unggul dari Filipina (47), Vietnam (56), Laos (83), Kamboja (90), dan Myanmar (131). Bahkan daya saing Indonesia juga terlihat lebih baik daripada nagara di luar Asia Tenggara, antara lain Portugal (38), Italia (43), Rusia (45), Afrika Selatan (49), India (45), dan Brazil (75). Memperhatikan posisi ini bangsa Indonesia sudah sepantasnya memiliki optimisme yang tinggi dalam menghadapi MEA yang dimulai pada tahun 2016. Sikap optimisme harus diimbangi dengan upaya yang serius untuk meningkatkan kompetensi yang ditandai dengan pemerolehan sertifikasi internasional untuk semua bidang keahlian, terutama delapan profesi yang terkena kebijakan bebas tenaga kerja MEA, yaitu : teknik, arsitek, tenaga pariwisata, akuntan, dokter gigi, tenaga survey, praktisi medis, dan perawat.

Untuk menghadapi tantangan tersebut SDM Indonesia kini dan mendatang harus diupayakan tidak hanya memiliki ijazah akademis saja, melainkan juga sertifikasi kompetensi dan sertifikasi profesi. Diharapkan PT ke depan dapat mengupayakan semua lulusannya memiliki sertifikat kompetensi dan profesi, terutama yang terkait dengan profesi yang terkena kebijakan MEA. Tentu saja untuk dapat memiliki daya saing tinggi semua lulusan perlu ditambah dengan kemampuan berbahasa internasional dan kemampuan adaptif dan kreatif.

(30)

teknologi dalam bentuk mainan, (6) Masyarakat menjalani kehidupan yang berjarak dan terenggut.

Berdasarkan pendapat di atas bahwa tantangan utama dalam keilmuan lebih berfokus kepada sikap manusia dalam menghadapi perkembangan ilmu itu sendiri. Ilmuwan menginginkan pengembangan ilmu demi kemudahan dan meningkatkan kesejahteraan bagi manusia, namun tidak menutup kemungkinan dapat menghadirkan persoalan bagi manusia dan perkembangan ilmu itu sendiri. Di lain pihak, mind set antara peneliti/dosen dan pengusaha (sebagai pengguna) berseberangan. Mind set peneliti/dosen biasanya tidak berpikir untung rugi (sekalipun berharap ‘kesejahteraan’), temuan baru, publikasi jurnal, HAKI, dan protipe yang belum siap pakai. Sebaliknya mind set pengusaha pada umumnya harus untung dan untung, tidak ada resiko, dan teknologi siap pakai. Dampaknya hasil riset sulit ‘dikomersialisasi’, dan ini bisa menurunkan semangat peneliti/dosen, karenanya membutuhkan insentif dan/atau mediasi untuk percepatan komersialisasi. Selain itu, beberapa tantangan yang akan dihadapi masyarakat dan keilmuan, di antaranya : (1) Perubahan global, (2) Pendidikan global, (3) Kesenjangan pemahaman IPTEK, Pendidikan, dan HDI, (4) Perubahan tatanan kehidupan sosial dan moral, (5) Kependudukan dan ketanagakerjaan, dan (6) Permasalahan lingkungan.

3. Tantangan Lulusan Menghadapi MEA

Kita sangat menyadari bahwa pada akhir-akhir ini kita sangat intensif dihadapkan tantangan menghadapi kehadiran Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Sebagai warga Indonesia, apalagi warga terdidik, kita tidak boleh menjadi objek proyek-proyek MEA, kita harus dapat memainkan diri kita sebagai subyek dalam dinamika MEA, yang tidak hanya dapat menjaga survival negara dan bangsa Indonesia, namun kita dapat berkontribusi untuk membesarkan Indonesia dan membesarkan negara-negara di wilayah ASEAN.

Semua lulusan perguruan tinggi sangat diharapkan dapat memanfaatkan ilmunya secara optimal dalam kapasitas apapun. Ingat bahwa karakter atau kepribadian yang baik, yang dibawa dari kampus perlu terus dijaga dan dikembangkan serta disebarkan ke semua, sehingga tak seorangpun lulusan perguruan tinggi yang tak berguna. Mulailah mengamalkan ilmu dari yang sedikit, mulailah mengamalkan ilmu dari diri sendiri, dan mulailah mengamalkan ilmu dari saat ini juga.

(31)

Di era terbuka dan global, termasuk MEA, dewasa ini kecakapan kompetitif sangat dibutuhkan setiap individu. Kendatipun sifat kompetitif itu ada pada setiap insan, kita masih memerlukan peningkatan kecakapan kompetitif. Danel Goleman, yang Bestselling Author of Emotional Intelligence, menulis lagi sebuah buku tahun 2013 dengan judul Focus : The Hidden Driver of Excellence. Goleman persuasively argues that now more than ever we must learn to sharpen focus if we are contend with, let alone thrive ini, a complex world. Lebih jelasnya bahwa konsentrasi, praktek terfokus, perhatian yang terhaga terus, dan emosi positif sangat membantu kita dalam memperbaiki kebiasaan, menambah kecakapan baru, dan menjaga keunggulan. Memfokuskan sikap, pikiran dan tindakan terhadap visi dan tujuan tertentu sangatlah penting dalam mengakselerasi tercapainya tujuan karir dan tujuan hidup. Kejelasan arah sangatlah penting dan jangan mudah terombang-ambingkan oleh intervensi baik dari luar maupun intervensi dari dalam diri sendiri.

Maka lulusan perguruan tinggi harus responsif dan proaktif dalam mengikuti gerak langkah MEA dan agenda internasional lainnya, serta tetap menjunjung tinggi keluhuran Tanah Air.

4. Perubahan Mindset Kurikulum dan Pembelajaran

Perguruan tinggi (PT) harus siap menghadapi tantangan MEA, dengan mencetak lulusannya dengan kompetensi, sertifikasi, dan berbagai skill (hard skills dan soft skills). Artinya, lulusan tidak hanya memiliki ijazah akademis saja, melainkan juga sertifikasi kompetensi dan sertifikasi profesi. Untuk menghadapi tantangan ini, perguruan tinggi harus menyesuaikan kurikulumnya yang berbasis KKNI, menyelenggarakan sertifikasi kompetensi, misalnya menyelenggarakan LDP dan LSP yang terakreditasi BNSP, dan sertifikasi profesi (pendidikan profesi). Contoh bagi lulusan S1 LPTK mulai tahun 2016 akan dihadapkan dengan kebijakan pemerintah yang hanya akan menerima guru yang sudah memiliki sertifikat pendidik.

PT harus mengupayakan lulusannya memiliki daya saing internasional, setidak-tidaknya kawasan ASEAN, dengan berbasis kearifan lokal. Misalnya melakukan riset inovatif berbasis masalah yang dihadapi masyarakat ASEAN, publikasi “prestasi” melalui website, publikasi artikel di jurnal internasional, konferensi internasional, sit-in program dan student exchange, serta kompetisi tingkat internasional. Singkatnya PT harus melakukan internasionalisasi. Manfaatnya, membuat dosen dan mahasiswa lebih percaya diri dan berdaya saing. Selain itu, mungkin akan mendapatkan peluang kerja sama penelitian dengan institusi asing, seperti universitas internasional dan lembaga-lembaga internasional. Sedangkan keuntungan finansial bisa didapat dari mahasiswa asing yang datang untuk belajar di kampus kita.

(32)

bersaing dan mampu bersaing yang pada gilirannya mampu melahirkan lulusan yang berdaya saing, handal dan unggul.

PT harus membangun jaringan dan kemitraan antar PT di ASEAN yang memungkinkan terciptanya mobilitas mahasiswa dan dosen sehingga terbangun kerjasama sinergis dalam pengembangan SDM ke depan. Dalam hal ini PT harus membangun komitmen akademik dosen untuk mengembangkan kapasitas diri, terutama metode riset, pemahaman dan penguasaan bahasa dan budaya masyarakat ASEAN, termasuk bahasa internasional, sehingga terbangun masyarakat yang saling menghormati dan mendukung satu sama lain.

(33)

Dr. Wahyu Indra Bayu, M.Pd

Dosen STKIP PGRI Jombang Email: wib.stkipjb@gmail.com

Guru dan Kurikulum Pendidikan: Tantangan dalam

Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN

Indonesia Kompeten -BNSP-

(34)

Pasar tunggal berbasis produksi yang sangat kompetitif ini tentunya menuntut terlahirnya SDM yang kompeten serta profesional agar bisa bersaing dengan SDM dari luar negeri. Sektor pendidikan merupakan tulang punggung untuk dapat menjadi penghasil SDM yang berdaya saing. Hal ini tentu saja menuntut juga kualitas tenaga pendidik di dalamnya, agar dapat mencetak SDM yang siap bersaing di era MEA. Mendikbud Anies Baswedan mengatakan, meningkatkan standar mutu pendidikan salah satunya dengan menguatkan aktor pendidikan, yaitu kepala sekolah, guru, dan orang tua. Guru perlu dilatih dengan metode yang tepat, yaitu mengubah pola pikir guru. Sejak 2007 guru merupakan jabatan profesional yang mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat penting dalam mencapai visi pendidikan yaitu menciptakan insan Indonesia cerdas dan kompetitif. Pendidik (guru dan dosen) memiliki peran kunci yang strategis dan penting dalam peningkatan kualitas pendidikan, karena pendidik merupakan salah satu ujung tombak pembinaan generasi penerus. Guru dituntut untuk mengembangkan kompetensinya secara berkelanjutan agar mampu menjalankan tugasnya secara professional. Guru profesional adalah guru yang terus menerus meningkatkan 4 kompetensinya yaitu kompetensi profesional (materi ajar), kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian. Tugas guru tidak hanya mengajar, membimbing dan menilai, tetapi juga harus melakukan peningkatan keprofesian berkelanjutan (PKB) yang meliputi pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan karya inovatif.

Langkah strategis dalam dunia pendidikan harus dilakukan, karena pendidikan merupakan pencetak SDM berkualitas yang menjadi jawaban terhadap kebutuhan SDM. kesiapan menghadapi tantangan di Era MEA tidak luput dari peran guru profesional sebagai pencetak para sumber daya manusia yang kelak akan menjadi pelaku di era MEA. Serta peningkatan kemampuan peserta didik dalam bidang kewirausahaan juga merupakan bekal dalam menghadapi persaingan MEA. Langkah strategis lain dalam bidang pendidikan adalah menerapkan pendidikan berkarakter sebagai daya tahan dalam menghadapi MEA melalui pengembangan kurikulum baik intra maupun ekstra kurikuler.

Kurikulum di Indonesia

(35)

Gambar 1. Tema Kurikulum 2013

Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Pelaksanaan kurikulum tersebut sarat akan berbagai macam kendala seperti tingginya keragaman masyarakat Indonesia, mulai dari dimensi sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi. Dan keragaman ini berdampak pada kemampuan guru dalam melaksanakan kurikulum. Kemampuan sekolah dalam menyediakan pengalaman belajar juga berpengaruh terhadap kemampuan anak didik untuk berproses dalam kegiatan belajar serta berpengaruh dalam mengolah informasi menjadi sesuatu yang diterjemahkan sebagai suatu hasil belajar. Keragaman masyarakat Indonesia menjadi suatu variabel bebas yang memiliki kontribusi signifikan terhadap keberhasilan implementasi kurikulum yang ada, baik sebagai proses maupun sebagai suatu hasil.

(36)

Guru Profesional di Indonesia

Selanjutnya permasalahan kualitas guru setidaknya bersumber kepada dua hal, yaitu eksternal dan internal, kurangnya pelatihan bagi guru ataupun kurangnya kemauan guru untuk meningkatkan diri. Tidak sedikit guru kita bekerja tanpa pelatihan yang memadai, sedangkan beberapa lagi beralasan bahwa peningkatan kompetensi secara swadaya juga tidak mudah dikondisikan. Mengingat banyaknya beban guru dalam memenuhi kewajiban mengajarnya serta kegiatan administrasi lainnya. Akhirnya guru menghadapi murid dengan keadaan seadanya, minim atau bahkan tanpa inovasi-inovasi baru yang membuat murid menjadi lebih bergairah dalam belajar. Artinya pendidikan yang diharapkan sebagai penghasil sumber daya manusia yang berkualitas harus terus berbenah. Seruan untuk menyadari bahwa investasi pada guru merupakan sebuah kunci keberhasilan dalam pendidikan merupakan tema besar yang diusung oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) berkaitan dengan peringatan Hari Guru se-dunia, pada 5 Oktober 2014. UNESCO menyerukan negara-negara untuk berinvestasi secara serius pada guru.

Pertanyaannya, bagaimana kualitas guru di Indonesia? Beberapa data dapat dikemukakan: hasil uji kompetensi terhadap 1,6 juta guru oleh Kemdikbud 2015 menunjukkan bahwa 1,3 juta guru (81%) mendapatkan nilai di bawah 60, hanya 192 guru (0,01%) yang nilainya 90-100, dan sekitar 130 ribu guru mendapatkan nilai 0-30 (8,13%). Kondisi ini belum mengalami perubahan yang signifikan dibanding data uji kompetensi 2012 yang reratanya mencapai 46,41. Dari sisi jumlah guru yang berimplikasi pada rasio siswa, kita patut berbangga karena rasio guru-siswa Indonesia tergolong sangat baik. Untuk rasio guru-guru-siswa SD adalah 1:20, lebih baik dibandingkan Thailand, China, dan Korea. Demikian juga untuk rasio guru-siswa SMP Indonesia mencapai 1:14, lebih baik dibanding Korea, Inggris, dan bahkan Amerika Serikat. Tampaknya, belum ada korelasi antara jumlah dan mutu guru, termasuk implikasinya pada mutu pendidikan.

Kunandar (2007) menyebutkan bahwa profesionalisme berasal dari kata profesi yang artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau ditekuni oleh seseorang. Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa profesionalisme guru merupakan kondisi, arah, nilai, tujuan, dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang yang menjadi mata pencaharian. Usman (2006), profesionalisme guru secara spesifik dapat dilihat dari indikator- indikator sebagai berikut: (1) menguasai landasan pendidikan, yaitu mengenal tujuan pendidikan, mengenal fungsi sekolah dan masyarakat, serta mengenal prinsip-prinsip psikologi pendidikan; (2) menguasai bahan pengajaran, yaitu menguasai bahan pengajaran kurikulum pendidikan dasar dan menengah, menguasai bahan penghayatan; (3) menyusun program pengajaran, yaitu menetapkan tujuan pembelajaran, memilih dan mengembangkan bahan pengajaran, memilih dan mengembangkan strategi belajar mengajar, memilih media pembelajaran yang sesuai, memilih dan memanfaatkan sumber belajar, melaksanakan program pengajaran, menciptakan iklim belajar mengajar yang tepat, mengatur ruangan belajar, mengelola interaksi belajar mengajar; dan (4) menilai hasil dan proses pembelajaran yang telah dilaksanakan.

(37)

mengatakan bahwa pendidikan yang bermutu sangat bergantung pada keberadaan pendidik yang bermutu yakni pendidik yang profesional, sejahtera, dan bermantabat. Dalam pembangunan pendidikan, kualitas guru memiliki pengaruh berantai terhadap komponen pendidikan lainnya, sehingga peningkatan kualitas guru secara nasional merupakan program sangat strategis. Guru juga harus lebih berdaya untuk peningkatan dirinya secara swadaya, terutama bagi mereka yang telah menerima tunjangan profesi. Keadaan tersebut dapat didukung oleh sekolah dengan melaksanakan pelatihan-pelatihan secara mandiri. Sekolah dapat mendesain sendiri program-program pelatihan yang menjadi kebutuhan guru. Sikap, kemampuan, dan kemauan guru untuk melakukan perubahan merupakan sebuah modal besar untuk peningkatan dirinya.

Profesionalisme tidak hanya sekedar pengetahuan teknologi dan manajemen, namun profesionalisme lebih merupakan suatu sikap (attitute). Seorang guru bukan hanya highly skilled, tetapi akan disebut profesional jika dia juga bertanggungjawab, inisiatif, serta menunjukkan komitmen personal terhadap kualitas pada pekerjaannya. Karena menjadi guru adalah panggilan jiwa. Mulyasa (2007), ruang lingkup profesionalisme guru ditunjukkan oleh beberapa indikator. Secara garis besar indikator yang dimaksud adalah: (1) kemampuan dalam memahami dan menerapkan landasan kependidikan dan teori belajar siswa; (2) kemampuan dalam proses pembelajaran seperti pengembangan bidang studi, menerapkan metode pembelajaran secara variatif, mengembangkan, dan menggunakan media, alat dan sumber dalam pembelajaran; dan (3) kemampuan dala

Gambar

Gambar 1. Parameter Capaian Pembelajaran KPT
Tabel 4. Penentuan Bobot Bahan Kajian dan Bobot Matakuliah
Gambar 4 Gerakan Gaya Bebas
Tabel diatas menunjukkan hasil partisipasi mahasiswa pada siklus 1. Pada pertemuan pertama sampai pertemuan ketiga peneliti menemukan adanya peningkatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian, Dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.. Linda Desrianda

Untuk bijih nikel limonit yang mempunyai fase mayor goethit, mekanisme reaksi yang umum terjadi pada proses pelindian dengan menggunakan H2SO4 ditunjukkan pada

Dalam Sawasdee Project setiap peserta akan ditempatkan di sekolah berbeda untuk menjadi guru dan mengajar bahasa inggris selama 6 minggu.. Provinsi dan sekolah

 Bila primary key nid,thn_akademik,smt, maka tidak bisa karena seorang dosen pada tahun akademik dan semester yang sama bisa mengajar lebih dari satu matakuliah.  Bila primary

Untuk analisa total asam kefir kacang merah backslope 1 memiliki kadar yang paling tinggi karena jumlah bakteri asam laktat yang terkandung dalam kefir kacang merah

Investasi pada produk unit link mengandung risiko, termasuk namun tidak terbatas pada risiko politik, risiko perubahan peraturan pemerintah atau perundang-undangan lainnya,

[r]

terjadi setelah do’a dan permohonan do’a tersebut pada hakikatnya telah ditentukan oleh Allah. Artinya semua sebab dan perubahannya sudah tertulis dalam Lauh Mahfudz.. Kaitan