• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HAMBATAN-HAMBATAN YANG TERJADI PADA KANTOR

A. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian kredit Dengan

Perjanjian Kredit adalah perjanjian pokok (prinsipil) yang bersifat riil. Sebagai perjanjian prinsipil, maka perjanjian jaminan adalah assessor-nya. Ada dan berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti riil adalah bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada nasabah debitur.

Perjanjian kredit pada umumnya menggunakan bentuk perjanjian baku (standard contract). Berikutnya dengan itu, memang dalam praktiknya bentuk perjanjiannya telah disediakan oleh pihak bank sebagai kreditur sedangkan beditor hanya mempelajari dan memahaminya dengan baik. Perjanjian yang demikian itu biasa disebut dengan perjanjian buku (standard contract), di mana dalam perjanjian tersebut pihak debitur yang dalam posisi menerima atau menolak tanpa ada kemungkinan untuk melakukan negosiasi atau tawar-menawar.

Perjanjian kredit ini perlu memperoleh perhatian yang khusus baik oleh bank sebagai kreditur maupun oleh nasabah sebagai debitur, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian, pengelolaan, dan penatalaksanaan kredit tersebut. Berkaitan dengan itu, menurut CH. Gatot Wardoyo perjanjian kredit mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut :

1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok;

2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan

kewajiban di antara kreditur dan debitur;

3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan montroring kredit.69

Kemudian oleh Mariam Darus Bandrul Zaman, memberikan pengertian

sebagai pinjaman uang, dengan catatan bahwa perjanjian pinjam uang ini memiliki

sifat-sifat yang khusus dan mempunyai identitas tersendiri.70 Selanjutnya dijelaskan

bahwa sifat-sifat khusus dalam perjanjian pinjaman uang itu adalah sebagaimana tercermin di dalam :

1. Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 dalm Pasal 1 ayat 11

2. Perjanjian ini berbeda dengan perjanjian pinjam uang, menurut BAB XIII buku

III KUHPerdata;

3. Juga berbeda dengan perjanjian pinjam uang yang diatur di dalam Undang-

Undang melepas uang (Relsechneiter Ordonantie S. 1983 No. 523) dan Undang- undang Riba (Woeker Ordonantie S. 1983 No. 524); dan

4. Berbeda dengan perjanjian pinjam uang menurut Hukum Adat.71

Dalam perjanjian jaminan fidusia, ciri utama adalah benda jaminan

harus tetap berada dalam penguasaan debitur. Apabila benda jaminan berada dalam penguasaan kreditur, yang terjadi bukan perjanjian jaminan fidusia melainkan perjanjian gadai. Dalam perjanjian jaminan fidusia, jika benda jaminan diserahkan

       69 

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta Kencana, 2008 cetakan ke-4, hal 71-72 

70 

Mariam Darus Badrul Zaman, Prof, DR, SH, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1980, hal 20 

71 

atau dikuasai oleh kreditur, perjanjian jaminan fidusia tidak sah. Namun, berbeda halnya kalau debitur pemberi fidusia tidak memenuhi kewajiban, kreditur penerima fidusia dapat menarik banda jaminan fidusia untuk dijual guna menutupi hutang debitur. Tindakan tersebut bukan merupakan perbuatan hukum yang bertentangan dengan UUJF. Bahkan, debitur pemberi fidusia mempunyai kewajiban untuk menyerahkan benda jaminan fidusia untuk dijual.

Perjanjian jaminan fidusia adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari

perjanjian kredit. Berdasarkan ketentuan Pasal 29 UUJF, Eksekusi Jaminan Fidusia, dilakukan melalui cara :

1. Pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2)

oleh Penerima Fidusia;

2. Penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima

Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;

3. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan

Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak

Pelaksanaan penjualan di bawah tangan dapat dilakukan setelah lewat 1 (satu)

kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua)

surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan.72

Bahwa ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) UUJF merupakan suatu ketentuan

bersyarat, yang baru berlaku apabila syarat yang disebutkan di sana dipenuhi, yaitu syarat, bahwa “debitur atau Pemberi Fidusia sudah cidera janji”. Ketentuan dalam Pasal tersebut membedakan antara debitur dan pemberi fidusia, yang memang bisa merupakan dua orang yang berlainan. Kata “atau” mengajarkan kepada kita, bahwa yang cidera janji bisa debitur maupun pemberi fidusia. Karenanya harus dibedakan antara cidera janji dari debitur (pemberi fidusia) dan pihak ketiga pemberi fidusia. Dalam hal debitur sendiri yang bertindak sebagai pemberi fidusia, sehubungan dengan penjaminan itu ada dua perjanjian yang ditutup oleh kreditur, yaitu perjanjian pokoknya untuk mana diberikan jaminan fidusia dan perjanjian penjaminan fidusianya sendiri, karena dalam Pasal 29 ayat (1) di atas disebutkan secara umum, cidera janji debitur meliputi baik pada perjanjian pokoknya maupun pada perjanjian penjaminannya. Sebab dalam perjanjian pokok maupun dalam perjanjian penjaminannya, para pihak biasa memperjanjikan, bahwa apabila debitur tidak mematuhi janji-janji yang tertuang dalam perjanjian-perjanjian yang mereka tutup, utang debitur seketika menjadi matang untuk ditagih.

Cidera janji di sini bisa berupa lalainya debitur memenuhi kewajiban

pelunasannya pada saat utangnya sudah matang untuk ditagih, maupun tidak dipenuhi

       72 

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2000, hlm. 419. 

janji-janji yang diperjanjikan, baik dalam perjanjian pokok maupun perjanjian penjaminannya, sekaligus utangnya sendiri pada saat itu belum matang untuk ditagih. Dalam peristiwa seperti itu, maka kreditur (penerima fidusia) bisa melaksanakan eksekusinya atas benda jaminan fidusia.

Perjanjian jaminan fidusia diadakan mengikuti perjanjian kredit yang dibuat

antara bank dengan Pengusaha Kecil. Sebagai suatu perjanjian accessoir, perjanjian jaminan fidusia sifat sebagai berikut :

1. Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok;

2. Keabsahannya semata-mata ditentukan oleh sah tidaknya perjanjian pokok,

sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan jika ketentuan yang

disyaratkan dalam perjanjian pokok telah atau tidak dipenuhi.73

Karena sifat accessoir, maka sesuai Pasal 25 ayat 1 huruf a UUJF, dengan

hapusnya utang yang diperjanjikan dalam perjanjian kredit, maka hapus pulalah perjanjian jaminan fidusia yang mengikutinya.

Menurut jenisnya jaminan khusus ada dua macam yaitu jaminan perorangan

dan jaminan kebendaan. Jaminan perorangan adalah jaminan berupa pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh seorang pihak ketiga guna menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban Debitur kepada Kreditur, apabila debitur yang bersangkutan cindera janji (wanprestasi). Sedangkan jaminan kebendaan adalah jaminan berupa harta kekayaan, baik benda maupun hak-hak kebendaan, yang diberikan dengan cara

       73 

pemisahan bagian dari harta kekayaan baik milik debitur maupun milik pihak ketiga, guna menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur.

Hak dan kewajiban pemberi dan penerima Fidusia sebagai berikut :

Hak Pemberi Fidusia menurut Pasal 29 Undang-Undang No. 42 tahun 1999

yaitu:

1. Menguasai barang-barang jaminan fidusia yang disampaikan oleh debitur kepada

kreditur.

2. Menggunakan benda jaminan fidusia untuk melakukan kegiatan usaha.

Kewajiban Pemberi Fidusia menurut pasal 30 Undang-Undang No. 42

tahun 1999 adalah :

1. Merawat benda-benda jaminan fidusia agar tidak rusak

2. Menyelamatkan atau menjaga benda jaminan fidusia agar tidak hilang.

3. Pemberi fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia

dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia.

Hak Penerima Fidusia menurut pasal 27 Undang-Undang No. 42 tahun 1999

adalah :

1. Mengawasi benda-benda Jaminan Fidusia

2. Menjual benda-benda jaminan fidusia apabila debitur melakukan wanprestasi.

3. Penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditur lainnya.

4. Hak yang didahulukan sebagaimana yang dimaksudkan dalam ayat 1 adalah hak

penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

5. Hak yang didahulukan dari penerima fidusia tidak hapus karena cedera janji atau wanpretasi penerima fidusia.

Kewajiban Penerima Fidusia yaitu :

1. Pasal 25 ayat 3 Undang-Undang No. 42 tahun 1999 yaitu penerima fidusia

memberitahukan kepada kantor pendaftaran fidusia mengenai hapusnya jaminan fidusia sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 dengan melampirkan pernyataan mengenai hapusnya hutang, pelepasan hak, atas musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia

2. Pasal 29 ayat (2) yaitu pelaksanaan penjualan sebagaimana yang dimaksud dalam

ayat (1) huruf c dilakukan setelah lewat waku 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh Pemberi dan atau Penerima Fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan.

3. Pasal 34 ayat (1) yaitu dalam hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan penerima

fidusia wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada penerima fidusia dan ayat (2) yaitu apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan hutang debitur tetap bertanggung jawab atas hutang yang belum terbayar.

B. Hambatan-Hambatan Yang Terjadi Pada Proses Pendaftaran Jaminan