BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka
5. Hakekat Kearifan Lokal
Kearifan lokal dapat pula didefinisikan sebagai nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya berupa tradisi, pepatah-petitih, dan semboyan hidup. Di samping itu, konsep kearifan lokal atau kearifan tradisional atau sistem pengetahuan lokal adalah pengetahuan khas milik suatu masyarakat atau budaya tertentu yang telah berkembang lama sebagai hasil dari proses hubungan timbal-balik antara masyarakat dan lingkungannya. Haslinda (20:52)
Sibarani (2014: 115) mengatakan, "Kearifan lokal (local wisdom) adalah nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana." Kearifan lokal merupakan milik masyarakat yang sikap dan kepribadiannya matang untuk mampu mengembangkan potensi dan sumber lokal dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, kearifan lokal bersumber dari nilai
budaya yang masih dapat diterapkan dan dimanfaatkan secara arif pada masa sekarang, baik itu nilai budaya untuk penciptaan kedamaian maupun nilai budaya untuk peningkatan kesejahteraan. Penataan kehidupan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan dan kedamaian itu membutuhkan nilai, norma, etika atau aturan secara arif dan bijaksana agar manusia dapat berhubungan secara harmonis dengan manusia, dengan alam, dan dengan Tuhan. Hubungan yang lebih khas dan rumit adalah hubungan antara manusia dengan manusia dalam interaksi sosial karena dapat saling memiliki respon, penafsiran, dan reaksi secara cepat. Kekhasan dan kerumitan hubungan antarmanusia itu membutuhkan aturan, norma, etika, dan pengetahuan yang amat bijaksana agar sesama manusia dalam komunitas saling membantu, hidup damai, bahagia, dan sejahtera. Dengan demikian, kearifan lokal lebih banyak mengatur tatanan kehidupan manusia dalam interaksi sosial untuk mencapai kedamaian dan kesejahteraan.
b. Prinsip, Fungsi, dan Makna Kearifan Lokal
Kearifan lokal memiliki beberapa prinsip dalam kehidupan bermasyarakat dan dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari, seperti yang dikemukakan oleh Ahmad (2010: 5) bahwa kearifan lokal merupakan tata aturan tak tertulis yang menjadi acuan masyarakat yang meliputi seluruh aspek kehidupan, yaitu sebagai berikut.
1) Tata aturan yang menyangkut hubungan antar sesama manusia, misalnya dalam interaksi sosial baik antar individu maupun kelompok, yang
berkaitan dengan hierarki dalam kepemerintahan dan adat, aturan perkawinan antar klan, tata krama dalam kehidupan sehari-hari.
2) Tata aturan menyangkut hubungan manusia dengan alam, binatang, tumbuh-tumbuhan yang lebih bertujuan pada upaya konservasi alam. 3) Tata aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan yang gaib,
misalnya Tuhan dan roh-roh gaib. Kearifan lokal dapat berupa adat istiadat, institusi, kata-kata bijak, pepatah (Jawa: parikan, paribasan, bebasan, dan saloka).
Ketiga prinsip di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut. Prinsip yang pertama merupakan budaya kearifan lokal yang berkaitan erat dengan seperangkat aturan-aturan yang digunakan sebagai pedoman untuk bertingkah laku baik, sopan santun, saling menghormati dan saling menghargai terhadap sesama manusia sehingga terwujud kehidupan masyarakat yang rukun. Aturan tersebut biasanya dibentuk oleh lingkungan di sekitar daerah tempat tinggal dan diberlakukan khusus bagi warga yang tinggal di daerah tersebut.
Prinsip yang kedua merupakan salah satu kearifan lokal yang erat kaitannya dengan kelestarian alam. Hubungan alam dengan manusia sangat berkaitan erat karena apabila kita dapat merawat keindahan alam maka alam pun memberikan manfaatnya kepada manusia. Kearifan lokal juga dapat tergeser akibat perpindahan penduduk karena ketika kearifan itu dibawa keluar dari wilayah aslinya menjadi tidak fungsional, namun adapula kearifan lokal yang tetap fungsional sehingga dapat menjadi pedoman bagi suku yang lain. Prinsip yang ketiga merupakan kearifan lokal yang menyangkut aturan-aturan
hubungan antara manusia dengan alam gaib misalnya dengan berdoa dan beribadah kepada Tuhan.
Selain ketiga prinsip di atas, kearifan lokal juga memiliki fungsi dan makna. Ans dalam Sartini (2004: 112) mengemukakan beberapa fungsi dan makna kearifan lokal antara lain memberikan informasi sebagai berikut:
1) Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam.
2) Berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia, misalnya berkaitan dengan upacara daur hidup, konsep kanda pat rate.
3) Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya pada upacara Saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada pura Panji.
4) Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra, dan pantangan. 5) Bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal atau kerabat. 6) Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian.
7) Bermakna etika dan moral, yang terwujud dalam upacara Ngaben dan penyucian roh leluhur.
8) Bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaan patron client.
Kearifan lokal diciptakan dan diberdayakan bukan tanpa alasan yang jelas, hal ini dapat kita lihat dari berbagai fungsi dan makna yang telah disebutkan di atas. Fungsi dan makna tersebut sangat penting dalam menjaga kearifan lokal agar tetap bertahan dan dilestarikan karena banyaknya
sejarah-sejarah masa lampau yang saat ini mungkin hampir dilupakan akibat tidak adanya yang bersedia menjaganya dengan baik. Kearifan lokal memiliki nilai tambah sebab dievokasi melalui khazanah kebudayaan sendiri, sebagai milik nenek moyang. Memanfaatkan kearifan lokal sama dengan menghormati sekaligus menggunakan kompetensi budaya leluhur. Penghormatan tersebut tentunya sudah terkandung makna pelaksanaan atas dasar kesadaran total, bukan atas dasar paksaan atau bentuk-bentuk kekuasaan dan hegemoni lain. Kearifan lokal membentuk anggota masyarakat bertindak atas dasar kesadaran.
c. Nilai-nilai Kearifan Lokal Kebudayaan Masyarakat Makassar
Nilai berasal dari bahasa Latin vale’re yang artinya berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, sehingga nilai diartikan sebagai sesuatu yang dipandang baik, bermanfaat dan yang paling benar menurut keyakinan seseorang atau kelompok orang. Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal yang itu disukai, diinginka, dikejar, dihargai, berguna dan dapat membuat orang yang menghayatinya menjadi bermartabat.
Menurut Sumantri (dalam bukunya Heri Gunawan) mengemukakan bahwa “Nilai adalah hal yang terkandung dalam diri (hati nurani) manusia yang lebih memberi dasar pada prinsip akhlak yang merupakan standar dari keindahan dari keindahan dan efisiensi atau keutuhan kata hati”.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa nilai adalah suatu rujukan untuk melakukan suatu tindakan, yaitu tentang baik atau tidak baik perilaku tersebut dilakukan.
Setiap kebudayaan di Indonesia menyimpan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, namun tidak semua nilai kebudayaan ini sama kedudukannya. Dalam masyarakat Makassar, nilai-nilai utama tersebut mewujud dalam adat istiadat dan dalam keyakinan mereka, “keyakinan orang Makassar terhadap adatnya mendasari segenap gagasannya mengenai hubungan-hubungannya, baik dengan sesama manusia, dengan pranata-pranata sosisalnya, maupun dengan alam sekitarnya, bahkan dengan makrokosmos. Oleh karena itu, dalam budaya Bugis di kenal ungkapan “jika dirusak adat kebiasaan negeri maka tuak berhenti menitik, ikan menghilang pula dan padi pun tidak menjadi” Rahim (2011:102). Kebudayaan itu sendiri mempunyai arti yang penting kebudayaan merupakan keselurahan aktivitas manusia, termasuk kepercayaan, pengetahuan , hukum, adat istiadat, moral, dan kebiasaan lainnya dapat diperoleh dengan belajar, termasuk pikiran dan tingkah laku. Endraswara (2016: 39).
Ada beberapa nilai budaya lokal masyarakat Makassar yang saling terkait dalam membentuk orang Makassar yang berdampak pada perilakunya yaitu: 1) nilai jujur “Lambusuk”, 2) Nilai Harga Diri “Siri`” 3). Nilai Keteguhan “Toddopuli” 4) Nilai Kerja Keras “Reso” Haslinda (2019:7-234).
1) Nilai Jujur “Lambusuk”
Masyarakat Makassar adalah orang yang jujur (dalam bahasa Makassar
lambusuk), amanah atau dapat dipercaya . pantang bagi manusia Makassar
Wahid (2007:71) jujur merupakan perangai wajib yang dimiliki manusia Makassar dalam mengungkapkan dirinya, orang lain, dan fenomena dan dilingkungannya terkait hal-hal yang baik maupun hal-hal yang buruk. Wahid (2007:71) juga membagi tiga bentuk perangai jujur yang dimilki oleh manusia Makassar yaitu jujur kepada Batara (Tuhan), jujur kepada orang lain, dan jujur terhadap diri sendiri. Bahkan, Wahid (2007:47) menekankan bahwa masyarakat Makassar memandang nilai jujur tersebut syarat bagi seseorang untuk menduduki suatu jabatan dan syarat mutlak bagi keberhasilan suatu sistem pemerintahan.
Jujur adalah sebuah kata yang indah didengar, tetapi tidak seindah mengaplikasikan dalam keseharian. Tidak pula berlebihan, bila ada yang mengatakan “jujur” semakin langka dan terkubur, bahkan tidak lagi menarik bagi kebanyakan orang. Semua orang paham akan maknanya, tetapi begitu mudah mengabaikannya. Yang lebih berbahaya lagi adalah ada orang yang ingin dan selalu bersikap jujur, tapi mereka belum sepenuhnya tahu apa saja sikap yang termasuk kategori jujur Haslinda (2019:225).
Jadi sebagai kesimpulan jujur adalah suatu perkataan yang sesuai dengan realitas tanpa ada kebohongan sedikitpun dan juga ucapannya sesuai dengan perbuatannya.
2) Nilai Harga Diri “Siri`”
Siri` disepadankan dengan makna malu (Basya dan Mustaring dalam Wahid, 2007:62) Masyarakat Makassar yang memiliki nilai harga diri dalam
dirinya akan selalu malu (masiri.). Malu untuk berbuat buruk, malu untuk berbuat jahat dan malu untuk tidak berbuat baik, malu untuk tidak membantu orang lain, malu kalau tidak melaksanakan ibadah (sholat, puasa, sedekah, dll), malu berbuat curang dan malu dari berbagai aspek lainnya. Malu bagi masyarakat Makassar adalah harga mati yang sebanding dengan nyawa. Orang yang memiliki harga diri atau siri` akan selalu dihargai dan diteladani. Sedangkan orang yang tidak memiliki nilai siri` akan selalu dipandang hina dan dipandang rendah (Haslinda, 2019:159).
Dalam kehidupan masyarakat Bugis-Makassar, siri’ merupakan sesuatu yang sangat prinsipil bagi diri mereka. Tidak ada satu pun nilai yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan di dunia ini selain daripada siri’. Siri’ adalah jiwa mereka, harga diri mereka dan martabat mereka. Lantaran itu, untuk menegakkan dan membela siri’ yang dianggap tercemar atau dicemarkan oleh orang lain maka manusia Bugis-Makassar akan bersedia untuk mengorbankan apa saja, termasuk jiwanya yang paling berharga demi tegaknya
siri’ dalam kehidupan masyarakat Bugis-Makassar.
3) Nilai Kerja Keras “Reso”
Nilai yang menjadi identitas setiap pribadi Masyarakat Makassar adalah usaha atau kerja keras (dalam bahasa Makassar reso). Siapa yang tidak mengenal mengenal masyarakat Makassar dengan jiwa keberaniannya sebagai manifestasi dari usaha atau kerja keras yang dilakukan. Nenek moyang Makassar terkenal sebagai pelaut handal. Kehandalan tersebut lahir dari
keyakinan terhadap usaha yang dilakukan secara sungguh-sungguh dan pantang menyerah (kerja keras) (Haslinda, 2019:117). Rahim(1985:165) menggambarkan bahwa nilai usaha atau kerja keras adalah kunci kesuksesan dari semua nilai yang dijunjung tinggi masyarakat Makassar. Di dalam Lontara, nenek moyang Makassar mencela dan sangat membenci orang-orang yang tidak mau berusaha atau bekerja keras dan hanya bermalas-malasan untuk menghabiskan waktunya. Sebab bermalas-malasan akan menjauhkan seseorang dari rahmat Tuhan yang Maha Esa.
4) Nilai Keteguhan “Toddopuli”
Nilai teguh dalam bahasa Makassar toddopuli` memiliki makna taat asas atau setia pada keyakinan, kuat dan tangguh dalam pendirian, erat memegang sesuatu. Nilai keteguhan ini terkait dengan makna positif. Ada empat wujud manusia Makassar yang menjunjung tinggi nilaiteguh yaitu (a) tak mengingkari janji, (b) tak menghianati kesepakatan, (c) tak membatalkan keputusan, (d) jika berbicara dan berbuat, tak berhenti sebelum rampung (Rahim 1985:161-162).
Keteguhan berasal dari getting, yang selain berarti teguh, juga berarti tetap-asas, atau setia pada keyakinan, atau kuat dan tangguh dalam pendirian, erat memegang wasiat. Perwujudan nilai ini dalam tindakan nyata berupa tindakan tak mengingkari janji, tak menghianati kesepakatan, dan jika berbicara dan berbuat, tak berhenti sebelum rampung Rahim (2011:133).
Nilai-nilai yang tetap di anut dari masa kemasa, dipertahankan dengan segala harga oleh masyarakatnya. Nilai-nilai ini merupakan warisan budaya karena dipunyai bersama dan dialihkan bersama. Ia dihargai dan dihormati masyarakatnya. Ia mengatur kepatutan bagi perempuan dan laki-lakinya, bagi anak-anak dan orang tuanya. Siapa yang melanggarnya akan menimbulkan penyesalan bagi dirinya di samping dia direndahkan oleh masyarakatnya bahkan juga oleh keluarganya. Nilai-nilai ini dipelihara oleh mereka sebagai memelihara suatu kehormatan diri yang paling besar yang telah dimuliakan oleh leluhurnya. Oleh karena itu ia adalah nilai-nilai kebudayaannya Rahim (2011:23) Hingga sekarang nilai-nilai tersebut masih melakat kuat di Makassar.