1
NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT MAKASSAR DALAM NOVEL NATISHA KARYA KHRISNA PABICHARA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar
OLEH HASMIRA 105331100816
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA 2020
ii
MOTO DAN PERSEMBAHAN Moto
Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada
Allah, supaya kamu beruntung. (QS. Ali-Imran: 200)
Persembahan
Puji syukur kehadirat Allah Swt. Yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Kedua orangtua Bapak Bachtiar dan ibu Kasmawati yang selalu melimpahkan kehangatan dan dukungannya, mereka selau memberikan nasihat dan semangat terbesar dalam menjalani kehidupan yang tak pernah lelah mendoakan untuk kesuksesanku, juga atas semua pengorbanan juga kesabarannya mengantarkanku sampai saat ini.
iii ABSTRAK
Hasmira (105331100816) 2020. “Nilai-nilai Kearifan Lokal Masyarakat Makassar Dalam Novel Natisha karya Khrisna Pabichara”. Skripsi, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Makassar, (dibimbing oleh H. Tjoddin SB dan Haslinda)
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran jenis-jenis kearifan lokal masyarakat Makassar yang terdapat di dalam novel Natisha karya Khrisna Pabichara. Penelitian ini menggunakan teori kearifan lokal, yaitu teori yang membahas tentang nilai dan norma budaya dalam suatu masyarakat yang diterapkan secara arif dan bijaksana. Peneliti mencoba mengenalkan hal baru kepada khalayak umum bahwa karya sastra tidak hanya terbatas hanya pada perselisihan asmara, namun juga terselip bahkan berkisah tentang kebudayaan, budaya sendiri mengarah kepada masyarakat dimana pengaruh antropologi sangat erat hubungannya dengan masyarakatKarya sastra merupakan salah satu hasil seni yang menggambarkan fenomena sosial budaya yang melibatkan kreativitas manusia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan jenis penelitian kualitatif.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat empat nilai kearifan lokal masyarakat Makassar pada novel Natisha, yaitu 1) nilai lambusuk (jujur), 2) nilai siri’ (harga diri), 3) nilai reso (kerja keras), 4) nilai toddopuli (keteguhan).
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Nilai Kearifan Lokal Mayarakat Makassar Dalam Novel Natisha karya Khrisna Pabichara.” Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Makassar, Sulawesi Selatan, Makassar.
Salawat serta salam tak lupa peneliti ucapkan kepada Nabi Muhammad
Sallallahu allaihi wasallam. Manusia yang menjadi sang revolusioner Islam yang
telah menggulung tikar-tikar kebatilan dan membentangkan permadani-permadani Islam hingga saat ini. Nabi yang telah membawa misi risalah Islam sehingga peneliti dapat membedakan antara yang haq dan yang bathil. Sehingga, kejahiliyaan tidak dirasakan oleh umat manusia di zaman yang serba digital ini.
Salah satu dari sekian banyak pertolongan-Nya yang penulis rasakan adalah uluran tangan, bantuan dari berbagai pihak. Karena itu adalah suatu kewajiban penulis untuk menghaturkan terima kasih kepada kepada kedua orangtua Ayahanda Bachtiar dan Ibunda Kasmawati yang tulus ikhlas membesarkan dan memberikan kasih sayangnya disertai doa demi kesuksesan peneliti demi meraih cita-cita.
Terima kasih kepada Drs. H. Tjoddin SB, M.Pd. pembimbing I dan Dr. Haslinda, S.Pd., M.Pd. pembimbing II yang senantiasa membimbing peneliti
v
dalam proses bimbingan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Teknik bimbingan yang dilakukan sangat membantu peneliti dalam membuat karya ilmiah ini.
Terima kasih kepada Prof. Dr. H. Ambo Asse., M.Ag. Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar. Yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk menuntut ilmu di Universitas Muhammadiyah Makassar, Erwin Akib, M.Pd, Ph.D. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar atas izin penelitian yang telah diberikan kepada peneliti, Dr. Munirah, M.Pd. Ketua Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Makassar atas arahan, dan izin penelitian bagi peneliti sehingga skripsi ini dapat selesai, Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah membimbing dalam perkuliahan sebagai bekal ilmu dan semua pihak yang telah membantu dan mendukung penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna. Tiada kata yang pantas untuk penulis sampaikan selain mohon ma’af atas segala kesalahan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaan skripsi ini. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Makassar, Juli 2020
vi DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
SURAT PERNYATAAN ... iv
SURAT PERJANJIAN ... v
MOTO DAN PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x BAB I PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Rumusan Masalah ... 5 C. Tujuan Penelitian ... 5 D. Manfaat Peneltian... 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 7
A. Kajian Pustaka ... 7
1. Hasil Penelitian yang Relevan ... 7
2. Pengertian Ilmu Sastra ... 10
3. Jenis-jenis Karya Sastra ... 10
4. Struktur Novel ... 13
5. Hakekat Kearifan Lokal ... 23
vii
B. Kerangka Pikir ... 40
BAB III METODE PENELITIAN ... 42
A. Rancangan Penelitian ... 42
B. Data dan Sumber Data ... 43
C. Fokus Penelitian ... 43
D. Teknik Pengumpulan Data ... 44
E. Teknik Analisis Data ... 44
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 45
A. Hasil Penelitian ... 45 B. Pembahasan ... 63 BAB V KESIMPULAN ... 73 A. Kesimpulan ... 73 B. Saran ... 74 DAFTAR PUSTAKA ... 75 LAMPIRAN
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan unsur penting dalam terbentuknya suatu budaya dalam kehidupan masyarakat. Mereka mempunyai suatu pekerjaan yang dilakukan dalam setiap hal, yang selalu berkembang dalam pemikiran manusia. Pemikiran manusia yang dilakukan secara turun-temurun adalah wujud dari suatu kebudayaan. Hal-hal yang dilakukan itu berdampak pada setiap kebiasaan maupun norma atau adat istiadat yang berlaku dalam kehidupan setiap manusia. Manusia sebagai kelompok paling penting dalam kehidupan bermasyarakat karena, dalam setiap kebudayaan manusia memiliki kebiasaan yang mereka lakukan secara berulang-ulang dalam waktu tertentu dan mempunyai cara dan kebiasaan yang mereka lakukan tentunya di dalam kehidupan bermasyarakat.
Mulai manusia dilahirkan dan muncul dalam peradaban dunia, mereka secara sukarela aakan selalu mengikuti kebudayaan yang ada dalam masing-masing lingkungan kehidupannya. Masyarakat mengikuti bahwa dalam aturan atau keyakinan yang telah dibuat, harus memenuhi setiap kebutuhannya. Apalagi, di dalam kehidupan berbudaya. Dalam suatu daerah, jika terdapat manusia yang bermukim maka mereka secara tidak langsung akan mengikuti setiap kebudayaan yang ada dalam lingkungannya. Kebutuhan manusia dalam berbudaya ialah percaya dalam setiap aturan-aturan atau keyakinan yang dibuat oleh masyarakat tertentu.
2
Kebudayaan memiliki arti jamak atau lebih dari satu, sehingga dalam kehidupan bermasyarakat akan ada setiap kelompok etnis atau ras yang memiliki kebudayaan yang berbeda-beda antara satu sama lain. Selain itu, kebudayaan memilki sifat keterbukaan. Artinya, dalam setiap kebudayaan yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat perlahan akan beralih atau dengan kata lain akan lenyap dengan sendirinya dan digantikan dengan kebudayaan yang lebih baru yang dapat diterima oleh masyarakat.
Sastra merupakan penciptaan karya seni. Karya seni dikatakan sebagai suatu nilai yang memiliki keindahan dalam karya yang dibaca maupun yang diteliti. Sastra juga biasa disebut dengan kegiatan yang menciptakan sebuah karya seni yang memilki suatu identitas dan sekaligus yang teratur secara baik. Karya sastra ialah suatu proses dari hasil kreatif yang diciptakan oleh seorang pengarang secara imajinasi. Hasil dari imajinasi tersebut, sastra akan dijadikan sebagai bahan bacaan yang menyenangkan, dalam karya sastra juga sarat akan nilai-nilai budaya dan akan berguna untuk menambah kekayaan batin bagi persoalan tentang manusia, kemanusiaan, dan kehidupan.
Menurut Selden (dalam Siswanto, 2012:74).”karya sastra adalah anak kehidupan kreatif. Seorang penulis dan mengungkapkan pribadi pengarang.” Dalam karya sastra juga diperlukan pertimbangan, sedimentasi ide, pematangan, tindak lanjut tertentu yang akan berbeda antara ahli sastra yang satu dengan ahli sastra yang lainnya. Susunan karya sastra ialah buatan dari sebuah pekerjaan yang sangat kreatif. Pada dasarnya karya sastra dapat dijadikan sebagai penghubung yang mempergunakan bahasa sebagai hasi pengungkapan kehidupan manusia.
Karya sastra berguna untuk sarana penyampaian pelajaran hidup dalam suatu kejadian yang disampaikan kepada masyarakat atas kenyataan dalam kehidupan sosial. arya sastra berlangsung atas keadaan dan situasi yang terjadi pada masa penciptaanya, seperti keadaan sosial budaya, agama, politik, ekonomi, dan pendidikan. Sebuah karya sastra akan memiliki nilai keariifan lokal yang dapat dipahami sebagai buah pikiran dan pengetahuan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, dan bernilai baik, dan berbudi luhur yang dimiliki, dipedomi serta dilaksanakan oleh anggota masyarakatnya, karena sastra merupakan ekspresi masyarakat. Oleh sebab itu, dalam permaslahan sosial memang berdampak kuat pada bentuk sastra. Artinya ialah karya sastra dapat menjadi gambaran dari hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat.
Novel merupakan bentuk karya sastra yang memiliki bentuk yang digunakana sebagai bentuk penuangan ide kreatif seorang penulis sastra. Menurut kamus besar bahasa indonesia, novel ialah tulisan suatu karangan prosa yang panjang dan menceritakan sebuah kisah. Novel adalah teks fiksi yang muncul dari penciptaan, imajinatif kreatif, dan eksplorasi penulis untuk menyampaikan segala kehendak atau segala hal yang menjadi menjadi menggejala dalam kesadaran batin pengarang. Novel karangan Khrisna Pabichara merupakan salah satu novel yang mengandung banyak nilai kearifan lokal.
Dalam Novel Natisha ini berkisah tentang seorang putri bangsawan Makassar bernama Natisha yang akan dijadikan persembahan terakhir. Tidak hanya cinta dan persembahan saja yang diulas namun sejarah, politik, dan budaya
juga melekat dan terselip dalam tiap lembarnya. Tutu memperjuangkan juga menerima kembali cintanya yang nyaris direnggut seutuhnya oleh saudara sepersusuannya yaitu Rangka. Sebuah pepatah Makassar yang diungkapkan Natisha pada halaman 144. Berbunyi; “Toddopuli tamalanre ilalang ati
maciknongg silessorang katojengang” yang artinya kejujuran sangat dijunjung
tinggi oleh masyarakat Makassar. Sangat penting mengungkap hal yang sering dihiraukan namun berfungsi dalam kehidupan bermasyarakat. Novel Natisha juga tidak sekadar berisikan pengalaman romansa dan persahabatan namun juga diselipkan keberagaman budaya satu diantaranya yakni kearifan lokal. Penulis mencoba mengenalkan hal baru kepada khalayak umum bahwa karya sastra tidak hanya terbatas pada perselisihan asmara, namun juga terselip bahkan berkisah tentang kebudayaan. budaya sendiri mengarah kepada masyarakat di mana pengaruh antropologi sangat erat hubungannya dengan masyarakat, seperti 1) Nilai Lambusuk (jujur), 2) Nilai Siri’ (harga diri), 3) Nilai Reso (kerja keras), 4) Nilai Toddopuli (keteguhan), yang tercurah dalam novel Natisha karya Khrisna Pabichara. Dalam novel ini terdapat perpaduan antara adat istiadat dan kepercayaan masyarakat terhadap ilmu pesugihan dengan menggunakan ilmu Parakang yang tidak lepas dari nilai-nilai kearifan lokal. Nilai-nilai, kearifan lokal terlihat dari kehidupan sehari-hari dalam novel yang masih dipertahankan dan diyakini masyarakat.
Novel Natisha bercerita tentang kisah percintaan antara Tutu dan Natisha dengan berbagai konflik yang melingkupinya termasuk budaya. Perjuangan cinta yang dialami oleh Tutu sebagai lakon utama untuk bisa bersama wanita yang
dicintainya penuh pengorbanan. Mendobrak tradisi menahan ego dan memperjuangkan harga diri semua dillakukan demi sang pujaan. Dalam setiap karya sastra yang diciptakan oleh Khrisnaa Pabichara dikenal dengan karya-karya yang bernuansa budaya lokal. Budaya etnis Makassar sangat kental dalam novel
Natisha menjadi daya tarik tersendiri bagi pembaca. Pada Natisha memuat
berbagai informasi yang memberikan pengetahuan dan sudut pandang dalam berpikir. Novel Natisha ini memberikan gambaran mengenai kehidupan masyarakat Makassar, baik dari segi budaya, sosial, dan ekonomi yang mempunyai peranan masing-masing. Djirong (2014) mengungkapkan “bahwa karya sastra dapat merefleksikan budaya suku tertentu secara tidak menyeluruh”. Budaya Makassar yang terdapat dalam Natisha dapat mewakili karakter masyarakatnya. Latar cerita yang ada pada novel adalah tempat asal pengarang, yakni Daerah Jeneponto, Hal itu, dapat dilihat pada setting tempat novel Natisha yang berada di Turateaa atau nama lain dari Jeneponto. Nama-nama tokoh yang banyak digunakan mencerminkan Nama-nama orang-orang Makassar di antaranya Tutu, Kasing, Natisha, dan Podding.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka masalah yang diajukan adalah “Bagaimanakah nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Makassar dalam novel Natisha karyaKhrisna Pabichara ?”
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang akan dibahas maka tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan nilai-nilai kearifaan lokal masyarakat Makassar dalam novel Natisha karya Khrisna Pabichara.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis
Penelitianniniidiharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuanndan wawasanntentang nilai-nilaiikearifan lokal, khusunya dalammbidang kajian novel yang berisi tentang kearifan lokal masyarakat Makassar sehinggaa dapatt bermanfaattbagi perkembangannkaryaasastraaIndonesiaa.
2. Manfaat Praktis
a. Bagiipeneliti untuk mengapresiasi karya satra khususnya pada bagian antropologi sastra.
b. Bagi pembaca, teori antropologi sastra dapat dijadikan pengetahuan tentang kebudayaan yang ada. Sehingga rasa ingin melestarikan dan menjaga timbul dari pengetahuan yang dimiliki pembaca.
c. Bagi peneliti selanjutnya, pada saat meneliti karya sastra dengan menggunakan teori antropologi sastra harus mengetahui bahwa adanya adat atau budaya sangat berperan penting dalam keberhasilan penelitian.
7 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka
1. Penelitian yang Relevan
Nasution (2018) mahasiswa Fakultas Ilmuu Budayaa Universitass Sumateraa Utaraa yangg berjudul “Nilai Kearifan Lokalldalam Novell
Mahabharataa Karangann NyomannS. Penditt ” menguraikan gambaran
jenis-jenis kearifan lokal yang terdapat di dalam novel Mahabharata karangan Nyoman S. Pendit. membahas tentang nnilai dan norma budaya dalam suatu masyarakat yang diterapkan secaraa arif dan bijaksanaa. Ia lebih memfokuskan nilai-nilai budaya pada kehidupan bermasyarakat (1) kesejahteraan, (2) kedamaian, (3) gotong royong, (4) kesetiakawanan sosial, (5) kerukunan dan
penyelesaian konflik, (6) pelestarian dan kreativitas budaya, (7)
kesopansantunan, (8) kejujuran, (9) disiplin, (10) kerja keras, (11) komitmen, dan (12) pendidikan.
Perbedaan antara skripsi tersebut dengan yang akan penulis teliti, yaitu adanya perbedaan dari penggunaan teori yang berbeda. Di mana dalam skripsi Sri Ramadhani Nasution menjelaskan tentang jenis-jenis kearifan lokal dan memfokuskan pada nilai dan norma budaya pada novel karya Nyoman S. pendit dengan menggunakan tinjauan sosiologi sastra. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan terhadap cerita Natisha adalah mendeskripsikan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Makassar pada novel Natisha Karya Khrisna Pabichara yang menggunakan tinjauan antropologi sastra.
Hutasoit (2017) mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dalam skripsinya berjudul “Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Tungkot
Tunggal Panaluan di Desa Tomok Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir:
Kajian Antropologi” menguraikan enam nilai budaya yang dapat mendeskripsikan bentuk kearifan lokal pada cerita rakyat Tungkot Tunggal
Panaluan di Desa Tomok Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir. Di
dalam penelitiannya ia menemukan enam nilai budaya dengan pembagaian menjadi tiga kelompok, antara lain: 1) nilai budaya hubungan manusia dengan Tuhan, yaitu nilai religius, 2) nilai budaya hubungan manusia dengan masyarakat, yaitu, nilai peduli sosial, nilai pelestarian dan kreativitas budaya (mengenai seni rupa, seni tari, seni musik, dan seni untuk ekonomi), nilai peduli sesama, dan nilai gotong royong, dan 3) nilai budaya hubungan manusia dengan dirinya sendiri, yaitu nilai tanggung jawab.
Perbedaan antara skripsi tersebut dengan yang penulis teliti yaitu adanya perbedaan dari kedua objek yang diteliti. Dalam skripsi tersebut menjelaskan tentang nilai budaya pada cerita rakyat Tungkot Tunggal panaluan di Desa Tomok Kecamatan Simanido Kabupaten Samosir. Sedangkan, penelitian yang penulis akan lakukan ialah lebih memfokuskan pada nilai-nilai budaya masyarakat Makassar yang terdapat dalam Novel Natisha karya Khrisna Pabichara.
Aji (2019) Mahasiswa dari Fakultass Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret, dalam Skripsinya berjudul “Kearifan Lokal Dalam Novel Dawuk Karya Mahfud Ikhwan Serta Relevansinya Sebagai Materi
Pembelajaran Sastra Di SMA” mendefinisikan dan menelaah bentuk kearifan lokal dalam novel Dawuk karya Mahfud Ikhwan; dan juga relevansi novel tersebut sebagai materi pembelajaran di SMA. Dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif ddengan mengunakan pendekatan antropologi sastra. Pendekatan antropologi sastra, digunakan untuk menelaah dan mengkaji bentuk kearifan lokal dalam novel Dawuk, teknik pengambilan representative dilakukan dengan menganalisis isi atau dokumen dan wawancara. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan model analisis interaktif. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa : 1) bentuk kearifan lokal dalam novel
Dawuk meliputi instrument kehidupan, mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, sistem bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan sistem keagamaan. Adapun bentuk kearifan lokal yang banyak terdapat dalam \ novel
Dawuk karya mahfud Ikhwan adalah sistem religi: dan 2) sebagai materi
pembelajaran di SMA untuk kelas XII dengan kompetensi dasar (KD) dalam hal ini novel Dawuk karya Mahfud Ikhwan sebagai berikut: a) menafsir pandangan pengarang terhadap kehidupan dalam novel yang ditelaah: dan b) menganalisi isi dan kebahassan dalam novel.
Skripsi tersebut memiliki kesamaan dengan penelitian ini yaitu menganalisis novel dengan menggunakan pendekatan antropologi sastra. Perbedaannya penelitian tersebut menganalisis novel sebagai materi pembelajaran sastra di SMA. Sedangkan penelitian ini menganalisis nilai-nilai kearifan lokal Masyarakat Makassar yang terdapat pada Novel Natisha karya Khrisna Pabichara.
2. Pengertian Ilmu Sastra
Pertama-tama harus dibedakan antara sastra sebagai seni dan sastra sebagai ilmu pengetahuan (ilmu sastra). Sastra sebagai seni merupakan kegiatan kreatif menghasilkan sesuatu berupa: puisi, novel, cerita pendek. Orang yang menghasilkan karya sastra disebut sastrawan atau penyair (dalam bidang puisi), novelis (dalam bidang novel).
Sedangkan sastra sebagai ilmu adalah menyelidiki sastra sebagai ilmiah. Dalam hal ini syarat-syarat ilmiah diperlukan, misalnya: sistematika, metode, objek dan sebagainya. Dengan kata lain seni sastra/karya sastra merupakan objek penyelidikan sastra secara ilmiah. Oleh sebab itu sastra sebagai ilmu pengetahuan atau ilmu sastra adalah berusaha menyelidiki karya sastra dengan mengupas berbagai aspek, misalnya: hakekat karya sastra, ciri karya sastra dan sebagainya. Orang yang berkecimpung dalam bidang ini disebut ahli sastra. Badrun (1983:11)
3. Jenis-jenis Karya Sastra a. Puisi
Secara umum, Puisi merupakan karya sastra ysng berasal dari ungkapan atau curahan hati penyair. Karya sastra ini dibuat berdasarkan ungkapan perasaan penyair. (https://id.m.wikipedia.org/wiki/puisi)
b. Drama
Secara harfiah drama berasal dari bahasa yunani yaitu draomai yang berarti berbuat atau bertindak. Drama merupakan genre (jenis) karya sastra
yang menggambarkan kehidupan manusia dengan gerak. Drama menggambarkan realita kehidupan, watak, serta tingkah laku manusia melalui peran dan dialog. (https://id.m.wikipedia.org/wiki/drama)
c. Prosa
Prosa ialah bentuk karangan bebas baik lisan ataupun tertulis tanpa susunan metric dan biasanya dikenal sebagai ragam sastra yang dibedakan dengan puisi Badrun (1983:85). Adapun jenis-jenis prosa dibedakan menjadi dua yaitu prosa lama dan prosa baru;
1. Prosa Lama
Objek pembicaraan prosa lama ialah hasil sastra Melayu baik prosa Melayu asli maupun yang sudah diperbaharui oleh kesusastraan Hindu, Arab, dan Parsi. Prosa lama biasanya dituturkan dari mulut ke mulut oleh pelipur lara atau oleh orang tua kepada anaknya.
Adapun macam-macam prosa lama :
a) Dongeng b) Hikayat c) Sejarah
2. Prosa Baru
Prosa baru adalah karangan prosa yang timbul setelah mendapat pengaruh sastra atau budaya Barat dan cenderung menerangan persoalan yang mirip dengan kenyataan hidup manusia Badrun (1983:97).
Adapun macam-macam prosa baru :
a) Cerita Pendek b) Novel
Menurut (Waluyo 2011:5) mengungkapkan bahwa novel secara ilmu bahasa yang memuat tentang asal-usul kata bahwa noel berasal dari bahasa latin novellus yang artinya baru. Jadi, sebenanrnya novel ialah bentuk karya sastra ceita fiksi yang paling baru. Pendapat ini dikaitkan dengan fakta bahwa novel adalah jenis cerita fiksi (fiction) yang muncul belakangan dibandingan dengan cerita pendek (short story) juga roman novel diciptakan dengan alur dan konflik yang panjang, tokoh yang banyak, dan kata-kata yang dirangkai dalam 100 halaman bahkan lebih, dengan konflik yang panjang dan tokoh yang dilukiskan dengan gerak serta dibalut dalam alur yang kacau. novel dilukiskan sebagian kehidupan tokoh cerita, bagian yang nerubah nasibnya dengan plot yang cukup panjang mengenai satu atau lebih buku yang menggarap kehidupan laki-laki dan wanita yang bersifat imajinatif.
Kalau ditinjau dari segi kata, biasanya novel mengandung kata-kata yang berkisar 3500 sampai tidak terbatas. Sedangkan jika diukur dengan kertas kuarto yang jumlah barisnya 35 buah dan tiap baris 10 kata maka jumlah kata dalam satu lembar kuarto adalah 35 x 10 x 100 = 35000 kata. Jika diukur dengan kecepatan membaca maka untuk membaca sebuah novel diperlukan dua jam.Ciri-ciri novel antara lain : 1). Tergantung pada pelaku; 2).
Menyajikan lebih dari satu impresi; 3). Menyajikan lebih dari satu emosi Badrun (1983:97).
4. Struktur Novel
Karya sastra dalam hal ini novel mengandung dua unsur yaitu unsur intrinsic dan unsur ekstrinsik. Dan kedua unsur tersebut daling berhubungan dan saling membangun. Dari kedua unsur tersebut karya sastra khusunya novel tidak dapat dipisahkann karena saling berkaitan menjadi dasar dari munculnya suatu karya sastra. Adapun penjabaran unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang saling berkaitan erat dengan pengkajian suatu novel.
a. Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita (Nurgiyantoro, 2013: 23). Beberapa ahli mempunyai pendapat yang berbeda mengenai unsur yang terdapat dalam unsur intrinsik. Waluyo (2011: 6) menyebutkan unsur pembangun prosa fiksi terdiri dari tema cerita, plot atau kerangka cerita, penokohan dan perwatakan, setting atau latar, sudut pandang pengarang, latar belakang atau background, dialog, gaya bahasa, waktu cerita dan waktu penceritaan, dan amanat. Menurut Rokhmansyah (2014: 32) menjelaskan unsur intrinsik prosa terdiri dari tema
dan amanat, tokoh dan penokohan, alur, latar, gaya bahasa, dan sudut pandang. Adapun, penjabaran mengenai unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut.
1) Tema
Secara sederhana definisi dari tema adalah arti sebuah cerita. Tema menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2013: 32) adalah suatu yang menjadi dasar cerita. Sudjiman (dalam Rokhmansyah, 2014: 33) menjelaskan bahwa tema dapat dikatakan sebagai ide atau pilihan utama yang mendasari lahirnya suatu karya sastra. Kasnadi dan Sutejo (2010: 10) mengungkapkan bahwa tema adalah masalah, prosa fiksi adalah masalah. Pengarang menuliskan sebuah karya sastra berdasarkan masalah yang ada dalam kehidupannya, masalah tersebut dapat berupa agama, sosial, politik, keluarga, cinta, dan sebagainya. Tema memiliki sifat objektif, artinya hampir semua pembaca memiliki tafsiran yang sama. Tema cerita dapat diklasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu; (1) tema yang bersifat fisik; (2) tema organik; (3) tema sosial, yaitu tema yang bersifat sosial berkaitan dengan masalah kemasyarakatan; (4) tema egoik (reaksi pribadi); (5) tema divine (ketuhanan). Tema yang bersifat fisik menyangkut inti cerita yang bersangkut paut dengan kebutuhan fisik manusia, misalnya tentang cinta, perjuangan mencari nafkah, hubungan perdagangan, dan sebagainya. Tema yang bersifat organik atau moral menyangkut soal hubungan antarmanusia, misalnya penipuan, masalah keluarga, masalah politik, ekonomi, adaptasi, tata cara, dan sebagainya. Tema yang bersifat sosial berkaitan dengan problem kemasyarakatan. Tema egoik atau reaksi individual, berkaitan dengan protes pribadi kepada ketidakadilan, kekuasaan yang
berlebihan, dan pertentangan individu. Sedangkan tema divine (ketuhanan) berkaitan dengan renungan yang bersifat religius hubungan manusia dengan sang khalik (Waluyo, 2011: 7-8).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa tema adalah sebuah gagasan atau masalah utama yang menjadi dasar cerita. Tema digunakan untuk mengembangkan sebuah cerita, walaupun tidak dituliskan secara tersurat namun bersifat objektif.
2) Alur atau Plot
Alur atau plot adalah rangkaian peristiwa, dapat juga disebut sebagai kerangka cerita. Semi (1993: 43) mengungkapkan bahwa alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interrelasi fungsional, sekaligus menandai bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi. Alur atau plot merupakan rangkaian cerita yang menyuguhkan urutan kejadian yang terjadi karena hubungan sebab akibat. Susunan peristiwa yang telah membentuk cerita dapat dikatakan sebagai alur. Siswanto (2008: 198) mengemukakan bahwa alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan saksama. Penampilan peristiwa yang hanya mendasarkan diri pada waktu sajabelum termasuk plot. Peristiwa-peristiwa tersebut harus diolah dan disiasati secara kreatif agar menjadi sebuah plot. Sumardjo (dalam Rokhmansyah, 2014: 37) mengemukakan intisari dari alur atau plot adalah konflik. Sejalan dengan hal tersebut, Waluyo (2011: 10-12) membagi plot menjadi tujuh tahap, meliputi pengenalan situasi (exposition), munculnya konflik (inciting moment), menuju pada adanya konflik (rising action), konflik
yang semakin ruwet (complication), puncak konflik atau kegawatan (climax), penurunan ketegangan (falling action) dan penyelesaian (denouement). Keberadaan plot tentunya membawa pembaca dalam suatu keadaan yang menegangkan, timbul suatu suspense dalam cerita. Suspense inilah yang menarik pembaca untuk terus mengikuti jalannya cerita. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa plot adalah suatu urutan kejadian berupa konflik melalui peristiwaperistiwa yang terjadi dan saling berhubungan. Plot
memiliki hubungan sebab-akibat yang menuntun pembaca untuk
menebaknebak peristiwa apa yang akan terjadi.
3) Sudut Pandang
Sudut pandang sering juga disebut point of view. Sudut pandang, point of view, view point merupakan salah unsur fiksi yang digolongkan sebagai sarana cerita, literary device. Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan siapa yang menceritakan, atau dari posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu dilihat. Oleh karena itu, sudut pandang lebih mempersoalkan tentang siapa yang bercerita. Waluyo (2011: 25) berpendapat bahwa point of view dinyatakan sebagai sudut pandang pengarang, yaitu teknik yang digunakan oleh pengarang untuk berperan dalam cerita itu. Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara segaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.
Dalam pengkajian sudut pandang mempunyai banyak macam tergantung dari sudut mana ia dipandang. Salah satunya bersumber pada
pembedaan yang telah lumrah utuk dilakukan orang, yaitu bentuk persona tokoh cerita: persona ketiga dan persona pertama.
(a) Sudut Pandang Persona Ketiga “Dia”
Narator berada di luar cerita dalam pengisahan cerita. Narator menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya yang utama, karap disebut dan kata ganti digunakan sebagai bentuk variasi. Hal tersebut mempermudah pembaca untuk mengenali tokoh yang diceritakan atau yang bertindak.
(b) Sudut Pandang Persona Pertama “Aku”
Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang persona pertama, narator adalah seseorang yang ikut terlibat atau berada di dalam cerita. Narator adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, selfconsciousness, mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca.
(c) Sudut Pandang Campuran
Sudut pandang yang digunakan pengarang dalam pengisahan cerita bisa saja lebih dari dari satu. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain. penggunaan sudut pandang yang bersifat campuran itu di dalam sebuah novel, berupa campuran antara persona pertama dan ketiga, antara “aku dan “dia” sekaligus. Teknik semacam ini merupakan siasat untuk
memberi kesan kepada pembaca seolaholah cerita itu sungguh-sungguh ada dan terjadi.
4) Tokoh Dan Penokohan
Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2013: 165) menegaskan bahwa tokoh cerita (character) adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan yang dilakukan dalam tindakan. Penokohan dan karakterisasi menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam cerita. Pujiharto (2012: 44) berpendapat bahwa penokohan adalah cara pengarang dalam melukiskan tokoh, sedangkan perwatakan adalah cara pengarang dalam menggambarkan watak dan kepribadian tokoh.
Dapat disimpulkan bahwa tokoh merupakan orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif yang diekspresikan dalam sebuah tindakan. Adapun penokohan adalah cara pengarang dalam melukiskan karakter seorang tokoh. Waluyo (2011: 19) menjelaskan berdasarkan peranannya terhadap jalan cerita, tokoh dibedakan menjadi tiga: (1) tokoh protagonis, yaitu tokoh yang mendukung cerita. Biasanya ada satu atau dua figur tokoh protagonis utama, yang dibantu oleh tokoh-tokoh lainnya yang ikut terlibat sebagai pendukung cerita; (2) tokoh antagonis, yaitu tokoh penentang
cerita. Biasanya ada seorang tokoh utama yang menentang cerita dan beberapa figur pembantu yang ikut menentang cerita; (3) tokoh triagonis, yaitu tokoh pembantu, baik untuk tokoh protagonis maupun untuk tokoh antagonis.
Sejalan dengan pendapat di atas, Nurgiyantoro (2013: 176) menambahkan berdasarkan perbedaan sudut pandang dan tinjauan, seorang tokoh dapat dikategorikan ke dalam beberapa penamaan sebagai berikut.
(a) Tokoh Utama Dan Tokoh Tambahan
Tokoh utama merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Dilihat dari peran tokoh yang mendominasi cerita atau sering muncul dalam cerita disebut sebagai tokoh utama sedangkan tokoh yang hanya dimunculkan sesekali atau jarang dimunculkan dalam cerita disebut sebagai tokoh tambahan.
(b) Tokoh Protagonis Dan Tokoh Antagonis
Tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi atau yang populer dengan sebutan hero. Tokoh protagonis tampil sebagai sosok yang sesuai dengan pandangan dan harapan-harapan pembaca, sebagai pengejawantahan norma-norma dan nilai-nilai. Tokoh antagonis adalah tokoh penyebab terjadinya konflik dan ketegangan yang dialami oleh tokoh protagonis. Tokoh antagonis dapat pula disebut beroposisi dengan tokoh protagonis, secara langsung ataupun tak langsung, bersifat fisik ataupun batin.
Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, hanya memiliki satu watak. Sifat dan tingkah laku seorang tokoh sederhana bersifat datar, monoton, hanya mencerminkan satu watak saja. Berbeda dengan tokoh sederhana tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya.
(d) Tokoh Statis Dan Tokoh Berkembang
Tokoh statis adalah tokoh cerita yang tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi sedangkan tokoh berkembang adalah tokoh-tokoh yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perubahan maupun perkembangan peristiwa dan plot yang dikisahkan.
(e) Tokoh Tipikal Dan Tokoh Netral
Tokoh tipikal merupakan penggambaran, pencerminan, atau
penunjukkan terhadap orang yang terikat dengan dalam sebuah lembaga di kehidupan nyata. Penggambarannya bersifat samar sehingga memerlukan penafsiran pembaca. Tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Tokoh netral hadir semata-mata demi cerita atau bahkan digambarkan bahwa dialah empunya cerita, pelaku cerita, dan yang diceritakan.
5) Latar Atau Setting
Latar secara sederhana dapat diartikan sebagai tempat dan waktu berlangsungnya sebuah cerita. Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2013: 216)
menyatakan bahwa latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi.
Nurgiyantoro membedakan latar menjadi tiga, yaitu: (1) latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar tempat dapat disebut sebagai latar fisik (physical setting); (2) latar waktu, berhubungan dengan masalah „kapan‟ terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi; (3) latar sosial-budaya, menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Hal itu dapat berupa kebiasaan hidup, tradisi, cara berpikir dan bersikap, pandangan hidup, keyakinan, dan status sosial (2013: 227-237).
Latar adalah tempat dan waktu terjadinya suatu jalan cerita. Selain latar tempat dan waktu, sebuah cerita memiliki latar sosial yang berhubungan dengan perilaku kehidupan masyarakat.
6) Amanat
Amanat merupakan pesan pengarang yang disampaikan melalui tulisannya (Rokhmansyah, 2014: 33). Amanat yang hendak disampaikan pengarang melalui karya sastra berupa novel harus dicari oleh penikmat atau
pembaca karya sastra tersebut. Seorang pengarang baik secara sadar maupun tidak pasti menyampaikan amanat dalam karyanya, pembaca diharapkan melakukan pendalaman terhadap sebuah karya sastra agar dapat mengungkap pesan yang tersirat. Amanat dapat disajikan secara tersurat dan tersirat, melalui percakapan antar tokoh ataupun melalui narasi yang disampaikan oleh pengarang. Amanat bersifat subjektif, umum, dan makna kiasan yang dapat diambil dari sebuah karya fiksi, termasuk novel.
b. Unsur Ekstrinsik
Unsur eksterinsik merupakan bagian dari unsur pembangun sebuah novel. Nurgiyantoro (2013: 23) berpendapat bahwa unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar teks sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme teks sastra. Secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang memengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Unsur ekstrinsik tetaplah penting dalam terbentuknya sebuah karya sastra. Wellek dan Warren (1990: 98) menyebutkan bahwa unsur ekstrinsik terdiri dari empat unsur, yaitu: (1) biografi pengarang, bahwa karya seorang pengarang tidak akan lepas dari pengarangnya; (2) psikologis (proses kreatif), aktivitas psikologis pengarang pada saat menciptakan karyanya, terutama dalam penciptaan tokoh dan perwatakannya; (3) sosiologis (kemasyarakatan), sosial budaya masyarakat diasumsikan, bahwa cerita rekaan adalah potret atau cermin kehidupan masyarakat. Kehidupan sosial yang dimaksud adalah profesi atau institusi, problem hubungan sosial, adat
istiadat antar hubungan manusia satu dengan lainnya, dan sebagainya; dan (4) filosofis, bahwa pengarang menganut aliran filsafat tertentu dalam berkarya seni. Aliran filsafat yang dianut oleh pengarang dalam berkarya tentunya membuat pembaca lebih mudah menangkap makna karya sastra. Keempat unsur tersebut membangun komplektivitas dalam suatu karya sastra. Tentunya, karya sastra tidak dapat dilepaskan dari latar belakang terciptanya karya tersebut.
5. Hakekat Kearifan Lokal a. Pengertian Kearifan Lokal
Kearifan lokal dapat pula didefinisikan sebagai nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya berupa tradisi, pepatah-petitih, dan semboyan hidup. Di samping itu, konsep kearifan lokal atau kearifan tradisional atau sistem pengetahuan lokal adalah pengetahuan khas milik suatu masyarakat atau budaya tertentu yang telah berkembang lama sebagai hasil dari proses hubungan timbal-balik antara masyarakat dan lingkungannya. Haslinda (20:52)
Sibarani (2014: 115) mengatakan, "Kearifan lokal (local wisdom) adalah nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana." Kearifan lokal merupakan milik masyarakat yang sikap dan kepribadiannya matang untuk mampu mengembangkan potensi dan sumber lokal dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, kearifan lokal bersumber dari nilai
budaya yang masih dapat diterapkan dan dimanfaatkan secara arif pada masa sekarang, baik itu nilai budaya untuk penciptaan kedamaian maupun nilai budaya untuk peningkatan kesejahteraan. Penataan kehidupan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan dan kedamaian itu membutuhkan nilai, norma, etika atau aturan secara arif dan bijaksana agar manusia dapat berhubungan secara harmonis dengan manusia, dengan alam, dan dengan Tuhan. Hubungan yang lebih khas dan rumit adalah hubungan antara manusia dengan manusia dalam interaksi sosial karena dapat saling memiliki respon, penafsiran, dan reaksi secara cepat. Kekhasan dan kerumitan hubungan antarmanusia itu membutuhkan aturan, norma, etika, dan pengetahuan yang amat bijaksana agar sesama manusia dalam komunitas saling membantu, hidup damai, bahagia, dan sejahtera. Dengan demikian, kearifan lokal lebih banyak mengatur tatanan kehidupan manusia dalam interaksi sosial untuk mencapai kedamaian dan kesejahteraan.
b. Prinsip, Fungsi, dan Makna Kearifan Lokal
Kearifan lokal memiliki beberapa prinsip dalam kehidupan bermasyarakat dan dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari, seperti yang dikemukakan oleh Ahmad (2010: 5) bahwa kearifan lokal merupakan tata aturan tak tertulis yang menjadi acuan masyarakat yang meliputi seluruh aspek kehidupan, yaitu sebagai berikut.
1) Tata aturan yang menyangkut hubungan antar sesama manusia, misalnya dalam interaksi sosial baik antar individu maupun kelompok, yang
berkaitan dengan hierarki dalam kepemerintahan dan adat, aturan perkawinan antar klan, tata krama dalam kehidupan sehari-hari.
2) Tata aturan menyangkut hubungan manusia dengan alam, binatang, tumbuh-tumbuhan yang lebih bertujuan pada upaya konservasi alam. 3) Tata aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan yang gaib,
misalnya Tuhan dan roh-roh gaib. Kearifan lokal dapat berupa adat istiadat, institusi, kata-kata bijak, pepatah (Jawa: parikan, paribasan, bebasan, dan saloka).
Ketiga prinsip di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut. Prinsip yang pertama merupakan budaya kearifan lokal yang berkaitan erat dengan seperangkat aturan-aturan yang digunakan sebagai pedoman untuk bertingkah laku baik, sopan santun, saling menghormati dan saling menghargai terhadap sesama manusia sehingga terwujud kehidupan masyarakat yang rukun. Aturan tersebut biasanya dibentuk oleh lingkungan di sekitar daerah tempat tinggal dan diberlakukan khusus bagi warga yang tinggal di daerah tersebut.
Prinsip yang kedua merupakan salah satu kearifan lokal yang erat kaitannya dengan kelestarian alam. Hubungan alam dengan manusia sangat berkaitan erat karena apabila kita dapat merawat keindahan alam maka alam pun memberikan manfaatnya kepada manusia. Kearifan lokal juga dapat tergeser akibat perpindahan penduduk karena ketika kearifan itu dibawa keluar dari wilayah aslinya menjadi tidak fungsional, namun adapula kearifan lokal yang tetap fungsional sehingga dapat menjadi pedoman bagi suku yang lain. Prinsip yang ketiga merupakan kearifan lokal yang menyangkut aturan-aturan
hubungan antara manusia dengan alam gaib misalnya dengan berdoa dan beribadah kepada Tuhan.
Selain ketiga prinsip di atas, kearifan lokal juga memiliki fungsi dan makna. Ans dalam Sartini (2004: 112) mengemukakan beberapa fungsi dan makna kearifan lokal antara lain memberikan informasi sebagai berikut:
1) Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam.
2) Berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia, misalnya berkaitan dengan upacara daur hidup, konsep kanda pat rate.
3) Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya pada upacara Saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada pura Panji.
4) Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra, dan pantangan. 5) Bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal atau kerabat. 6) Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian.
7) Bermakna etika dan moral, yang terwujud dalam upacara Ngaben dan penyucian roh leluhur.
8) Bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaan patron client.
Kearifan lokal diciptakan dan diberdayakan bukan tanpa alasan yang jelas, hal ini dapat kita lihat dari berbagai fungsi dan makna yang telah disebutkan di atas. Fungsi dan makna tersebut sangat penting dalam menjaga kearifan lokal agar tetap bertahan dan dilestarikan karena banyaknya
sejarah-sejarah masa lampau yang saat ini mungkin hampir dilupakan akibat tidak adanya yang bersedia menjaganya dengan baik. Kearifan lokal memiliki nilai tambah sebab dievokasi melalui khazanah kebudayaan sendiri, sebagai milik nenek moyang. Memanfaatkan kearifan lokal sama dengan menghormati sekaligus menggunakan kompetensi budaya leluhur. Penghormatan tersebut tentunya sudah terkandung makna pelaksanaan atas dasar kesadaran total, bukan atas dasar paksaan atau bentuk-bentuk kekuasaan dan hegemoni lain. Kearifan lokal membentuk anggota masyarakat bertindak atas dasar kesadaran.
c. Nilai-nilai Kearifan Lokal Kebudayaan Masyarakat Makassar
Nilai berasal dari bahasa Latin vale’re yang artinya berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, sehingga nilai diartikan sebagai sesuatu yang dipandang baik, bermanfaat dan yang paling benar menurut keyakinan seseorang atau kelompok orang. Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal yang itu disukai, diinginka, dikejar, dihargai, berguna dan dapat membuat orang yang menghayatinya menjadi bermartabat.
Menurut Sumantri (dalam bukunya Heri Gunawan) mengemukakan bahwa “Nilai adalah hal yang terkandung dalam diri (hati nurani) manusia yang lebih memberi dasar pada prinsip akhlak yang merupakan standar dari keindahan dari keindahan dan efisiensi atau keutuhan kata hati”.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa nilai adalah suatu rujukan untuk melakukan suatu tindakan, yaitu tentang baik atau tidak baik perilaku tersebut dilakukan.
Setiap kebudayaan di Indonesia menyimpan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, namun tidak semua nilai kebudayaan ini sama kedudukannya. Dalam masyarakat Makassar, nilai-nilai utama tersebut mewujud dalam adat istiadat dan dalam keyakinan mereka, “keyakinan orang Makassar terhadap adatnya mendasari segenap gagasannya mengenai hubungan-hubungannya, baik dengan sesama manusia, dengan pranata-pranata sosisalnya, maupun dengan alam sekitarnya, bahkan dengan makrokosmos. Oleh karena itu, dalam budaya Bugis di kenal ungkapan “jika dirusak adat kebiasaan negeri maka tuak berhenti menitik, ikan menghilang pula dan padi pun tidak menjadi” Rahim (2011:102). Kebudayaan itu sendiri mempunyai arti yang penting kebudayaan merupakan keselurahan aktivitas manusia, termasuk kepercayaan, pengetahuan , hukum, adat istiadat, moral, dan kebiasaan lainnya dapat diperoleh dengan belajar, termasuk pikiran dan tingkah laku. Endraswara (2016: 39).
Ada beberapa nilai budaya lokal masyarakat Makassar yang saling terkait dalam membentuk orang Makassar yang berdampak pada perilakunya yaitu: 1) nilai jujur “Lambusuk”, 2) Nilai Harga Diri “Siri`” 3). Nilai Keteguhan “Toddopuli” 4) Nilai Kerja Keras “Reso” Haslinda (2019:7-234).
1) Nilai Jujur “Lambusuk”
Masyarakat Makassar adalah orang yang jujur (dalam bahasa Makassar
lambusuk), amanah atau dapat dipercaya . pantang bagi manusia Makassar
Wahid (2007:71) jujur merupakan perangai wajib yang dimiliki manusia Makassar dalam mengungkapkan dirinya, orang lain, dan fenomena dan dilingkungannya terkait hal-hal yang baik maupun hal-hal yang buruk. Wahid (2007:71) juga membagi tiga bentuk perangai jujur yang dimilki oleh manusia Makassar yaitu jujur kepada Batara (Tuhan), jujur kepada orang lain, dan jujur terhadap diri sendiri. Bahkan, Wahid (2007:47) menekankan bahwa masyarakat Makassar memandang nilai jujur tersebut syarat bagi seseorang untuk menduduki suatu jabatan dan syarat mutlak bagi keberhasilan suatu sistem pemerintahan.
Jujur adalah sebuah kata yang indah didengar, tetapi tidak seindah mengaplikasikan dalam keseharian. Tidak pula berlebihan, bila ada yang mengatakan “jujur” semakin langka dan terkubur, bahkan tidak lagi menarik bagi kebanyakan orang. Semua orang paham akan maknanya, tetapi begitu mudah mengabaikannya. Yang lebih berbahaya lagi adalah ada orang yang ingin dan selalu bersikap jujur, tapi mereka belum sepenuhnya tahu apa saja sikap yang termasuk kategori jujur Haslinda (2019:225).
Jadi sebagai kesimpulan jujur adalah suatu perkataan yang sesuai dengan realitas tanpa ada kebohongan sedikitpun dan juga ucapannya sesuai dengan perbuatannya.
2) Nilai Harga Diri “Siri`”
Siri` disepadankan dengan makna malu (Basya dan Mustaring dalam Wahid, 2007:62) Masyarakat Makassar yang memiliki nilai harga diri dalam
dirinya akan selalu malu (masiri.). Malu untuk berbuat buruk, malu untuk berbuat jahat dan malu untuk tidak berbuat baik, malu untuk tidak membantu orang lain, malu kalau tidak melaksanakan ibadah (sholat, puasa, sedekah, dll), malu berbuat curang dan malu dari berbagai aspek lainnya. Malu bagi masyarakat Makassar adalah harga mati yang sebanding dengan nyawa. Orang yang memiliki harga diri atau siri` akan selalu dihargai dan diteladani. Sedangkan orang yang tidak memiliki nilai siri` akan selalu dipandang hina dan dipandang rendah (Haslinda, 2019:159).
Dalam kehidupan masyarakat Bugis-Makassar, siri’ merupakan sesuatu yang sangat prinsipil bagi diri mereka. Tidak ada satu pun nilai yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan di dunia ini selain daripada siri’. Siri’ adalah jiwa mereka, harga diri mereka dan martabat mereka. Lantaran itu, untuk menegakkan dan membela siri’ yang dianggap tercemar atau dicemarkan oleh orang lain maka manusia Bugis-Makassar akan bersedia untuk mengorbankan apa saja, termasuk jiwanya yang paling berharga demi tegaknya
siri’ dalam kehidupan masyarakat Bugis-Makassar.
3) Nilai Kerja Keras “Reso”
Nilai yang menjadi identitas setiap pribadi Masyarakat Makassar adalah usaha atau kerja keras (dalam bahasa Makassar reso). Siapa yang tidak mengenal mengenal masyarakat Makassar dengan jiwa keberaniannya sebagai manifestasi dari usaha atau kerja keras yang dilakukan. Nenek moyang Makassar terkenal sebagai pelaut handal. Kehandalan tersebut lahir dari
keyakinan terhadap usaha yang dilakukan secara sungguh-sungguh dan pantang menyerah (kerja keras) (Haslinda, 2019:117). Rahim(1985:165) menggambarkan bahwa nilai usaha atau kerja keras adalah kunci kesuksesan dari semua nilai yang dijunjung tinggi masyarakat Makassar. Di dalam Lontara, nenek moyang Makassar mencela dan sangat membenci orang-orang yang tidak mau berusaha atau bekerja keras dan hanya bermalas-malasan untuk menghabiskan waktunya. Sebab bermalas-malasan akan menjauhkan seseorang dari rahmat Tuhan yang Maha Esa.
4) Nilai Keteguhan “Toddopuli”
Nilai teguh dalam bahasa Makassar toddopuli` memiliki makna taat asas atau setia pada keyakinan, kuat dan tangguh dalam pendirian, erat memegang sesuatu. Nilai keteguhan ini terkait dengan makna positif. Ada empat wujud manusia Makassar yang menjunjung tinggi nilaiteguh yaitu (a) tak mengingkari janji, (b) tak menghianati kesepakatan, (c) tak membatalkan keputusan, (d) jika berbicara dan berbuat, tak berhenti sebelum rampung (Rahim 1985:161-162).
Keteguhan berasal dari getting, yang selain berarti teguh, juga berarti tetap-asas, atau setia pada keyakinan, atau kuat dan tangguh dalam pendirian, erat memegang wasiat. Perwujudan nilai ini dalam tindakan nyata berupa tindakan tak mengingkari janji, tak menghianati kesepakatan, dan jika berbicara dan berbuat, tak berhenti sebelum rampung Rahim (2011:133).
Nilai-nilai yang tetap di anut dari masa kemasa, dipertahankan dengan segala harga oleh masyarakatnya. Nilai-nilai ini merupakan warisan budaya karena dipunyai bersama dan dialihkan bersama. Ia dihargai dan dihormati masyarakatnya. Ia mengatur kepatutan bagi perempuan dan laki-lakinya, bagi anak-anak dan orang tuanya. Siapa yang melanggarnya akan menimbulkan penyesalan bagi dirinya di samping dia direndahkan oleh masyarakatnya bahkan juga oleh keluarganya. Nilai-nilai ini dipelihara oleh mereka sebagai memelihara suatu kehormatan diri yang paling besar yang telah dimuliakan oleh leluhurnya. Oleh karena itu ia adalah nilai-nilai kebudayaannya Rahim (2011:23) Hingga sekarang nilai-nilai tersebut masih melakat kuat di Makassar.
6. Antropologi Sastra
Manusia merupakan makhluk bermasyarakat. Manusia mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang mereka lakukan di dalam kehidupan bermasyarakat tentunya. Kebiasaan-kebiasaan itu kemudian menjadi kebudayaan yang dilakukan oleh manusia dalam masyarakat. Manusia sebagai unsur penting dalam terciptanya suatu budaya. Hal itu dipengaruhi oleh pemikiran manusia yang selalu berkembang. Kebudayaan dalam suatu masyarakat merupakan hasil dari pemikiran manusia yang pada akhirnya menjadi kebiasaan yang dilakukan secara terus-menerus dan turun-temurun.
Masyarakat percaya bahwa dengan aturan-aturan atau keyakinan yang dibuat, manusia dapat memenuhi kebutuhannya dalam berbudaya. Manusia dan kebudayaan merupakan yang tidak dapat dipisahkan. Pada suatu daerah
manusia tinggal maka di daerah itu pula terdapat sebuah kebudayaan. Bahkan, sejak manusia dilahirkan ke dunia, mau tidak mau ia akan mengikuti kebudayaan yang ada dalam lingkungannya.
Kebudayaan bersifat plural, sehingga tidak menutup kemungkinan setiap suku atau ras memiliki kebudayaan yang berbeda-beda satu sama lain. Selain itu, kebudayaan juga bersifat terbuka. Hal ini berarti bahwa kebudayaan yang telah mengakar dalam masyarakat perlahan akan bergeser hingga akhirnya menghilang dengan sendirinya dan berganti dengan kebudayaan yang baru.
Keterlibatan sejumlah ilmu, sebagai interdisiplin jelas menampilkan sejumlah teori, metode, teknik, dan berbagai peralatan lainnya, termasuk objek. Di sinilah letak perbedaan antara model analisis monodisiplin dengan interdisiplin. Seperti diketahui dalam model pertama penelitian seolah-olah telah memiliki batas-batas yang jelas, baik objek maupun metodologi yang digunakan untuk memahaminya.Istilah yang sering digunakan dan sangat tua dalam ilmu antropogi adalah Anthropology berarti “ilmu tentang manusia”. Dahulu istilah ini digunakan dalam arti yang lain, yaitu “ilmu tentang ciri-ciri tubuh manusia” dan juga “ilmu anatomi”. Dalam perkembangan fase ketiga sejarah perkembangan antropologi, istilah itu mulai dipakai terutama di Inggris dan Amerika dalam arti yang sama dengan ethnologi pada awalnya. Di Inggris kemudian istilah Anthropologi mendesak istilah ethnology. Namun di Amerika kata antropogi dipakai dalam arti yang sangat luas, karena meliputi baik
bagian-bagian fisik mapun sosial dari “ilmu tentang manusia” Koentjaraningrat ( 2009:9).
Sedangkan Antropologi menurut Endraswara (2016:1), antropologi adalah ilmu tentang manusia, masa lalu dan kini, yang menggabarkan manusia melalui pengetahuan ilmu sosial, budaya, ilmu hayati (alam), dan humaniora. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal. Tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama, memiliki ciri fisik dan bahasa yang digunakan serupa, serta cara hidup yang sama, sehingga fokus kajian menjadi semakin menukik atau mendalam tentang hidup manusia.
Antropologi sastra dengan demikian memiliki tugas yang sangat
penting untuk mengungkapkan aspek-aspek kebudayaan, khususnya
kebudayaan tertentu masyarakat tertentu Ratna (2011:41). Pada masyarakat Makassar aspek-aspek kebudayaannya tampak jelas, dari nilai jujur
“Lambusuk”, Nilai Harga Diri “Siri`”, Nilai Keteguhan “Toddopuli”, Nilai
Kerja Keras “Reso”
Pemikiran tentang budaya selalu hadir dalam sastra. Budaya meliputi ide dan tindakan manusia. Baik ide maupun tindakan budaya, sering hadir dalam sebuah etnografi. Ada pula tingkah laku manusia yang tidak ditentukan oleh budaya. Perilaku seperti itu tidak bisa dijadikan kriteria pembeda budaya. Budaya yang pada dasarnya merupakan bentuk atau pola atau desain cara, merupakan abstraksi dari perilaku manusia yang konkret, namun bukan
perilaku sendiri. Seperti yang telah diketahui, periode dari tahun 1920 sampai tahun 1950 sangat produktif untuk antopologis penelitian. Dari tahun 60-an dan seterusnya, ada kemunculan pandangan budaya sebagai teks, yaitu, sebagai polifoni interpretatif yang membutuhkan negosiasi makna. Secara lebih eksplisit, budaya kemudian didefinisikan sebagai gabungan dari beberapa realitas yang tidak dapat digambarkan dari perspektif nyata dan kesatuan. kultur adalah suatu abstraksi. Budaya adalah desain atau system desain untuk hidup. Budaya itu sebuah rencana, bukan hidup itu senduri.
Istilah budaya berkontribusi untuk menekankan perbedaan sambil melihat dan berinteraksi satu dengan yang lain. Namun, kita harus menyadari fakta bahwa hal lain tidak ada sebagai fakta yang buruk, namun ini merupakan representasi dari kelompok itu sendiri,
a. Konsep Antropologi Sastra
Konsep antropologi sastra dapat dirunut dari kata antropologi dan sastra. Kedua ilmu itu memiliki makna tersendiri. Masing-masing sebenarnya merupakan sebuah disiplin keilmuan humanistis. Yang menjadi bahan penelitian antropologi sastra adalah sikap dan perilaku manusia lewat fakta-fakta sastra dan budaya. Terlebih lagi jika pembaca mendalami sastra ajaran (niti), tentu dapat menyelami budayanya. Membatasi sastra memang tidak mudah. Pandangan klasik memang selalu mengajak agar pembaca mendefinisikan sastra sebagai ekspresi ajaran budaya leluhur. Definisi klasik ini rasanya memang perlu dipugar, dilakukan redefinisi.
Antropologi adalah penelitian terhadap manusia (Keesing, 1999:2). Yang dimaksud dengan manusia adalah sikap dan perilakunya. Menurut Haviland (1984:7) antropologi adalah penelitian tentang umat manusia yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat bagi manusia untuk menuntun perilaku dan untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman budaya. Pendapat ini memang masih tergolong klasik sebab awalnya antropologi memang sering membuat generalisasi.
Antropologi sastra berupaya meneliti sikap dan perilaku yang muncul sebagai budaya dalam karya sastra. Manusia sering bersikap dan bertindak dengan tata krama. Tata krama memuat tata susila dan unggah-ungguh bahasa yang menjadi ciri sebuah peradaban. Sastra sering menyuarakan tata krama dalam interaksi budaya satu sama lain yang penuh simbol. Dalam konteks antropologi sastra, sastra adalah karya yang merefleksikan budaya tertentu. Secara umum, antropologi diartikan sebagai suatu pengetahuan atau penelitian terhadap sikap dan perilaku manusia.
Sebagai ilmu, antropologi jelas sudah tua umurnya. Antropologi yang bercirikan meneliti bangsa primitif kini telah berubah. Antropologi pun belakangan tidak hanya mempelajari manusia secara nyata, tetapi juga membaca sastra. Sastra adalah karya tentang sikap dan perilaku manusia secara simbolis. Sastra dan antropologi selalu dekat. Keduanya dapat bersimbiosis dalam mempelajari manusia lewat ekspresi budaya. Sastra banyak menyajikan fakta-fakta imajinatif. Antropologi yang bergerak dalam fakta imajinatif dapat
disebut antropologi sastra. Interdisiplin ini memang tidak dikenal di Jurusan Antropologi, tetapi mewarnai penelitian di Jurusan Sastra.
Penelitian budaya dalam sastra tentu diyakini sebagai sebuah refleksi kehidupan. Memang harus diakui bahwa penelitian yang dimaksud itu sering berkembang pesat menjadi tiga arah, yaitu (1) penelitian terhadap budaya sastrawan yang disebut antropologi pengarang, ditelaah sisi antropologisnya dengan mewawancarai dan mengamati kehidupan budaya pengarang; (2) penelitian teks sastra yang meneliti refleksi sastra sebagai pantulan budaya; (3) penelitian terhadap antropologi pembaca yang secara reseptif memiliki andil penting dalam pemaknaan sastra.
b. Hubungan Sastra dengan Antropologi
Pada awalnya, kedekatan antropologi dan sastra masih diragukan. Kedekatan itu menunjukkan ada keterkaitan penting dalam sastra dan antropologi. Orang yang pernah belajar sastra dan antropologi tentu dapat menyelami kedekatan itu. Keterkaitan sastra dan antropologi memang amat dekat dan sulit diragukan lagi.
Ada beberapa alasan penting yang menyebabkan kedekatan antara antropologi dan sastra, yaitu (1) keduanya sama-sama memperhatikan aspek manusia dengan seluruh perilakunya; (2) manusia adalah makhluk yang berbudaya, memiliki daya cipta rasa kritis untuk mengubah hidupnya; (3) antropologi dan sastra tidak alergi pada fenomena imajinatif kehidupan manusia yang sering lebih indah dari warna aslinya; (4) banyak wacana lisan
dan sastra lisan yang menarik minat para antropolog dan ahli sastra; (5) banyak interdisiplin yang mengitari bidang sastra dan budaya hingga menantang munculnya antropologi sastra. Lima alasan utama ini menandai bahwa adat istiadat, tradisi, seremonial, mitos, dan sejenisnya banyak menarik perhatian sastrawan. banyak hal yang sebenarnya realitas, tetapi dipoles dengan imajinatif. Maksudnya, antropologi ini banyak menulis etnografi yang mirip karya sastra. Begitu pula kalau membaca sastra-sastra etnis, di dalamnya banyak ditawarkan warna lokal. Banyak warna budaya yang menjadi wilayah penggarapan proses kreatif sastra. Itulah sebabnya, kalau kita mau merenungkan, tampak bahwa antropologi dan sastra itu batasnya amat tipis.
Atas dasar hal itu, kedekatan sastra dengan antropologi memang tidak dapat diragukan lagi. Maksudnya, hubungan keduanya amat dekat dan saling mengisi sebab sastra dan antropologi sama-sama merupakan upaya memahami manusia. Memahami tindakan manusia lewat jalur sastra, menurut gagasan Todorov (Anwar, 2010:269), akan menelusuri fakta-fakta realisme fantastisk. Sastra memang dunia yang memangku gejala-gejala psikologis sebagai gabungan dengan fenomena sosial. Kedua fenomena ini sering menjadi sentuhan antropologi pula.
Memang sulit diduga untuk membedakan mana refleksi fenomena yang realis dan mana yang fantastis. Dunia sastra dan antropologi sering mempelajari keduanya untuk melengkapi pemahaman terhadap kehidupan manusia. Dengan demikian, mempelajari sastra lewat sisi antropologi akan membuka mata para ahli sastra tentang fenomena simbolis. Lewat jalur
antropologi, belajar sastra akan semakin sempurna dalam menyelami kehidupan manusia. Banyak sisi-sisi etnografi yang unik yang perlu dikuasai oleh seorang ahli sastra, terutama ketika menghadapi fenomena-fenomena khusus seperti etnisitas, kekerasan, feminisme, dan lokalitas apa saja.
c. Munculnya Antropologi Sastra
Munculnya antropologi sastra tampaknya memang sebuah keharusan zaman. Hal ini bukan tanpa alasan karena belakangan memang banyak karya sastra yang sengaja atau tidak berusaha menyembunyikan berbagai hal tentang sikap dan perilaku budaya suatu masyarakat. Kandungan sastra yang memuat aspek kultural ternyata tidak cukup dibongkar menggunakan kacamata sosiologi sastra, tetapi juga memerlukan antropologi sastra. Antropologi sastra adalah upaya memahami sastra lewat latar belakang budaya. Penciptaan sastra diasumsikan tidak akan lepas dari budaya yang mengitarinya.
Sastra dan antropologi adalah cabang keilmuan yang humanistis. Keduanya dipandang humanistis karena banyak terkait dengan kehidupan manusia. Banyaknya ahli sastra yang kuliah di Program Studi Antropologi juga akan memengaruhi kehadiran cabang ilmu antropologi sastra. Begitu pula orang-orang yang kuliah di Program Studi Sastra dan Antropologi yang menjadi sastrawan, juga sering memengaruhi munculnya antropologi sastra.
Keterkaitan antara antropologi dan sastra adalah salah satu ilmu yang banyak memperhatikan estetika seni. Ivan Brady menyebut sebagai ilmu pengetahuan artfisial, artinya ilmu yang penuh keindahan. Ini adalah wacana
ketika keindahan dan tragedi dunia yang secara tekstual diterapkan dengan cermat serta pemahaman subjektif terhadap penulis. Produknya adalah menyimulasikan situasi yang dikaji dengan semua keuntungan imajinatif yang secara puistis diciptakan dengan keahlian prosais.
Kontribusi antropologi dalam pemahaman sastra ternyata cukup penting untuk mengungkap karya-karya sastra yang bernuansa etnografi. Dalam kaitan itu, sastra sebagai cermin hidup manusia tidak akan lepas dari budaya yang mengitarinya. Sastrawan hidup dalam aneka segi budaya, bahkan seringkali hidup dalam posisi plural. Sastrawan menempati ruang hidup yang senantiasa berkomunikasi dalam berbagai tradisi.
Dengan demikian, sastra memiliki roh dan menyimpan ideologi kultural. Biasanya, para sastrawan juga lebih sensitif terhadap perubahan budaya. Itulah sebabnya sastra layak dipelajari melalui antropologi sastra. Antropologi adalah ilmu tentang manusia, bagaimana mereka bertindak secara simbolis. Tugas antropologi sastra adalah menemukan keindahan unsur sastra yang dibangun atas konteks budaya. Perlu diingat bahwa manusia adalah makhluk berbudaya yang gemar berpikir, mencipta, belajar, dan berubah setiap saat.
B. Kerangka Pikir
Dalam Penelitian ini difokuskan pada aspek kearifan lokal yang terdapat dalam novel Natisha karya Khrisna Pabichara. Penerapan Penelitian karya sastra berupa novel berpusat pada nilai-nilai kearifan lokal masyarakat
Makassar. Analisis kearifan lokal novel Natisha karya Khrisna Pabichara digunakan sebagai pengantar analisis antropologi. Penerapan pendekatan antropologi sastra dalam penelitian ini diarahkan pada kajian kearifan lokal dalam novel. Kajian kearifan lokal dalam novel berpusat pada kebudayaan masyarakat Makassar yaitu: 1) Nilai Lambusuk ( jujur), 2) Nilai Siri’ (Harga Diri), 3) Nilai Reso’ (kerja keras), 4) Nilai Toddopuli (keteguhan). Maka pada akhir penelitian akan diperoleh hasil penelitian lengkap mengenai ke empat nilai kearifan lokal masyarakat Makassar dalam novel Natisha karya Khrisna Pabichara
Sastra
Novel
Antropologi Sastra
Nilai-nilai Budaya Masyarakat Makassar 1. Nilai Lambusuk ( jujur)
2. Nilai Siri’ (Harga Diri) 3. Nilai Reso’ (kerja keras) 4. Nilai Toddopuli (keteguhan)
Analisis
Temuan
Novel Natisha Karya Khrisna Pabichara