• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian

Pada bab ini disajikan hasil penelitian Nilai-nilai Kearifan Lokal Masyarakat Makassar dalam Novel Natisha Karya Khrisna Pabichara. Hasil penelitian tersebut mencakup empat nilai yang berisi data-data temuan pada novel. aspek tersebut yaitu: (1) seperti 1) Nilai Lambusuk (jujur), 2) Nilai Siri’ (Harga Diri), 3) Nilai Reso’ (kerja keras), 4) Nilai Toddopuli (keteguhan).. Hasil penelitian secara rinci dideskripsikan pada uraian berikut.

1. Nilai Lambusuk (jujur)

Masyarakat Makassar adalah orang yang jujur (dalam bahasa Makassar

lambusuk), amanah, atau dapat dipercaya. Pantang bagi manusia Makasssar untuk

mendustai kebenaran atau sekedar menyembunyikan kebenaran. Oleh Wahid (2007:71) jujur merupakan perangai wajib yang dimiliki manusia Makassar dalam mengungkapkan dirinya, orang lain, dan fenomena dilingkingannya terkait hal-hal yang buruk. Jujur adalah sebuah sikap yang selalu berupaya menyesuaikan atau mencocokkan antara informasi dengan fenomena atau realitas. Masyarakat Makassar memandang nilai jujur tersebut syarat bagi seseorang untuk menduduki suatu jabatan dan syarat mutlak bagi keberhasilan dalam menjalani kehidupan.

Orang yang jujur walaupun berada di tempat manapun, pada waktu apapun akan dengan tulus hati menghadapi segala masalah, tidak ada penyesalan, tidak ada rasa takut, dapat hidup tenang, rileks, aman dan terpenting tidak membeda-bedakan siapa pun seperti dalam kutipan berikut:

“aku mengenal kakakku,” tuturnya “sama seperti aku mengenalmu. Dia tidak akan berani macam-macam kalau sendirian. Beda denganmu. Kamu pasti siap berkelahi kapan saja. Sekarang jujurlah, aku tidak akan marah.” “jujur soal apa”

“kamu pasti memukul kakakku, kan?”

Aku menggeleng tegas sambil berkata tidak, “Tidak!” “aku kurang percaya…”

“Tutu tidak pernah memukul musuh yang tidak bisa melawan” (Natisha:228)

Dari kutipan di atas Tutu mengungkapkan bahwa dirinya berkata jujur dan berupaya meyakinkan Natisha dengan menyesuaikan antara informasi dan realitas tanpa ada perubahan. Dengan kata lain seseorang dikatakan jujur, bila ucapannya sejalan dengan perbuatannya. Apalagi bagi masyarakat Makassar pantang untuk mendustai kebenaran atau sekedar menyembunyikan keburukan. Kutipan di atas seuai dengan pepatah masyarakat Makassar yaitu Toddopuli tamalanre ilalang ati

maciknong silessorang katojengang yang artinya teguhkan hati sucimu dan jangan

goyah sedikitpun dari kejujuran.

Menurut Wahid (2007:47) membagi tiga bentuk perangai jujur yang dimiliki oleh masyarakat Makassar salah satunya ialah jujur kepada Tuhan yang maha esa. Sebagai makhluk ciptaan Allah SWT sangat merasakan ketidakberdayaan dan kelemahan terhadap kekuasaan dan kemahaperkasaan-Nya sehingga tidak ada alasan untuk tidak menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangannya-Nya.

“begitu menyadari perasaan terhadap Natisha,” tuturku pelan “siang- malam aku berdoa agar kami berjodoh. Tuhan mendengar dan mengabulkan apa yang kupinta. Berkali-kali dipisahkan atas nama tradisi, kuasa Tuhan kembali menyatukan kami. Lalu, tiba-tiba Natisha menghilang. Nasib seperti apa yang Tuhan persiapkan bagiku? Kebahagiaan sesaat yang diakhiri penderitaan? Tuhan tahu aku tidak akan menyerah . setelah bertahun-tahun jadi bulan-bulanan keluarganya, Natisha harus kutemukan!” (Natisha:38)

Pada kutipan di atas Tutu mengungkapkan bahwa melalui nilai religiusnya tercipta nilai kejujuran bahwa saat menyadari perasaanya terhadap Natisha. Tutu memanjatkan doa dan jujur kepada Tuhan bahwa dia ingin dipersatukan dengan Natisha. Dan juga Tutu percaya pada kuasa Tuhan dan mengabulkan doa yang dia pinta.

“Ya Allah! Daeng Cora, ibu Rangka itu, adalah wanita yang menyusuiku saat aku masih bayi. Aku sama sekali tidak menduga jika ia, wanita yang kuhormati layaknya ibuku sendiri itu adalah seorang parakang.” (Natisha:99)

Pada kutipan di atas menceritakan bahwa Tutu memanjatkan doa dan mengutarakan isi hatinya kepada Allah atas keterkejutannya akan fakta yang baru dia ketahui yaitu ibu dari Sahabatnya Rangka adalah seorang parakang. Masyarakat Makassar meyakini bahwa parakang ialah sejenis makhluk jadi-Jadian yang bisa mengancam keselamatan orang sakit dengan cara mengubah diri jadi banyak wujud. Parakang bisa menyerupai binatang, seperti kucing atau serigala. Parakang juga bisa mengubah wujudnya menjadi tumbuhan seperti batang pisang yang berdaun ganjil. Atau lebih unik lagi dapat menyerupai benda semacam

kamboti atau keranjang yang terbuat dari anyaman daun lontar.

“Tetta ingin saya berkata jujur?” Ayah diam.

“Tadi pagi saya ke rumah Natisha bukan untuk membuktikan kepada orangtua dan keluarga calon istriku itu bahwa saya lelaki baik dan amat peduli. Bukan, tetta, bukan!” (Natisha:135)

Pada kutipan di atas mengungkapkan bahwa Tutu berkata jujur kepada Ayahnya tentang perasaannya terhadap Natisha. hal ini sejalan dengan pendapat Wahid (2007:11) salah satunya ialah jujur kepada orang lain.

“kami tahu kamu sahabat dekat Tutu, tetapi kamu harus tahu situasi yang sebenarnya. Bagaimanapun, suatu saat, apalagi setelah Om Beta mengamuk di rumah pamanmu, kamu pasti akan dipaksa menjauhi Tutu. Dan ketika itu terjadi…”

“Aku berhak menentukan jalan hidupku kek,” jawab podding tenang. “aku sudah cukup besar, tidak bisa diatur-atur keluargaku, termasuk dengan siapa aku bergaul dan bagaimana aku menjalin peersahabatan.” (Natisha:179)

Pada kutipan tersebut, diketahui bahwa landasan menjalin hubungan, khususnya pertemanan yang hakiki adalah kejujuran. Sebab dengan kejujuran seseorang akan benar-benar tulus menjalin hubungan tersebut tanpa harus memandang agamanya, kasta mauoun dari suku mana dia berasal.

Menurut Haslinda (2019:232) di dalam kehidupan ini jika tidak ada rasa jujur, seperti hidup di dalam lingkungan kejahatan, seperti menghirup udara yang tercemar, seperti berada di cuaca yang berawan tidak ada sinar matahari, seluruh alam kelihatannya penuh kejahatan dan jebakan, setiap melangkah maju setapak. Harus sangat berhati-hati.

“Aku berdoa agar Tuhan segera mencabut nyawaku. Aku tak ingin berkesedihan terus mencekikku. Tingkahnya semakin mirip binatang.” (Natisha:309)

Pada kutipan di atas menceritakan bahwa Natisha menulis surat secara rahasia untuk Tutu. Natisha berdoa dan jujur bahwa dia tidak sanggup menjalani hidupnya bersama Rangka walaupun Natisha masih mencintai Tutu tapi dia tidak bisa melepaskan dirinya dari kurungan Rangka.

2. Nilai Siri’ (Harga Diri)

Ciri khas yang dimiliki oleh orang Makassar akan tercermin dalam sikap saat menghadapi berbagai persoalan kehidupan. Modal paling penting bagi seorang manusia dalam menjalani kehidupan dan bersosialisasi dengan sesama manusia adalah harga diri (siri’). Sebab, nilai siri adalah norma dan etika yang mengatur segala gerak-gerik manusia. Orang yang memiliki harga diri akan selalu menjaga lisan dan sikap untuk tidak melakukan keburukan. Tetapi sebaliknya, orang yang tidak memiliki harga diri tentunya sulit untuk melakukan hal tersebut. Karena, dalam masyarakat Makassar Nilai harga diri ini sebagai dasar hakiki yang mengatur segala gerak dan gerik manusia.

Nilai siri’ yang ditampilan dalam novel “Natisha” sebagai berikut:

“Darahku mendidih. Ini sirik, harga diri. tidak seorang pun boleh menghina dan melecehkan martabatku, sekalipun ia sahabat atau kerabatku. Aku laki-laki. Besok pukul sebelas aku akan menikah. Bagiku, juga bagi orang Turatea lainnya, menolak tantangan berarti seumur hidup akan berputih tulang.” (Natisha:16)

Pada kutipan diatas, diceritakan seorang pemuda yang ditantang untuk bertarung oleh sahabatnya sendiri dalam laga abatte (tarung beladiri, lazimnya digelar bersamaan hajat sunatan atau pesta pernikahan. Dewasa ini kerap menjadi tarung bebas) ia merasa martabatnya telah dihina dan dilecehkan didepan banyak orang.

Selain itu bagi seorang pria Makassar pantang baginya untuk menolak tantangan Walaupun, Kekasihnya telah melarangnya untuk menerima tantangan itu tapi karena harga diri bagi masyarakat Makassar sangat dijunjung tinggi sehingga dia tidak bisa menolak tantangan tersebut. Kemudian, hal yang perlu

diperhatian disini yakni ketika harga diri orang-orang Makassar tersebut disinggung yang karena itu melahirkan aspek-aspek siri’, maka diwajibkan bagi yang terkena siri, untuk melakukan aksi tantangan. Hal tersebut dapat berupa aksi perlawanan perorangan ataupun aksi secara berkelompok. Sehingga bagi pihak yang terkena siri’ kemudian bersikap bungkam akan dijuluki sebagai orang yang tak punya rasa malu atau tau tena sirikna.

“Rangka menantangku,” kataku sambil menepis pelan lengannya Mata natisha makin menyala. “Biarkan saja!”

“tidak bisa! Ini sirik!” (Natisha:16)

“apa kamu mau harga diriku terluka dinistakan dihadapan banyak orang” “harga diri, harga mati!” (Natisha:17)

Pada kutipan di atas jelas bahwa Siri’ Sifatnya mutlak, tanpa tawar menawar. Apabila seseorang dijatuhkan harga dirinya, maka ia tidak akan diam saja. Malu bagi masyarakat Makassar adalah harga mati yang sebanding dengan nyawa sehingga menjaga harga diri merupakan kewajiban moral yang paling tinggi. Orang yang memiliki harga diri atau siri’ akan selalu dihargai dan diteladani. Sedangkan, orang yang tidak memiliki nilai siri’ akan selalu dipandang hina dan dipandang rendah oleh orang lain.

“Sudahlah, Nak. Lupakan Natisha. Jangan hukum kami dengan penyesalan karena ingatan kepadanya. Sudah cukup kami tanggung sirik, rasa malu tak berkesudahan, ketika dia memilih silariang, justru saat kami telah sepakat menerimamu sebagai menantu.” (Natisha:123)

Kutipan di atas diucapkan karaeng kanang ibu Natisha kepada Tutu ketika tutu bercerita tentang kenangannya bersama Natisha. Karaeng Kanang menunjukkan bahwa dia sangat malu dengan kelakuan anaknya yang memilih

silariang atau kawin lari dengan orang lain disaat tutu telah menjadi calon

mengandung nilai-nilai kehormatan atau kebanggaan serta sebagai sebuah identitas orang-orang Makassar.

Sejalan dengan hal tersebut, pada saat Tutu dan Karaeng Tompo ingin ke rumah Rangka untuk mencari petunujuk untuk menemukan Natisha, Karaeng Tompo malah menolak. Berikut Kutipannya.

“kita harus ke rumah Rangka!,” “Aku tidak ikut,” katanya tegas “Kenapa?”

“Sirik,” serunya “Jadi?”

”aku menunggumu di rumah Podding!” (Natisha: 314)

Pada kutipan di atas jelas bahwa Karaeng Tompo sangat memegang nilai Siri’ dalam kehidupannya. Kata-katanya ialah ketegasan yang tak dapat disanggah oleh Tutu. Perkara siri’ memang terkait dengan harga diri, martabat, kehormatan. Kareng Tompo tidak bisa menginjakkan kakinya di rumah Rangka sebab Rangka telah membawa adiknya kawin lari sebelum perkara siri’ itu dipulihkan.

Siri’ sifatnya mutlak, tanpa tawar menawar. Apabila seseorang dijatuhkan harga dirinya, maka ia tidak akan diam saja. Seperti pada penjelasan Hamka, menjaga harga diri merupakan kewajiban moral yang paling tinggi. Demikian pula Hamid Abdullah menjelaskan bahwa demi siri’ seseorang rela mengorbankan apa saja, termasuk jiwanya.

“Dia kembali berkata, “kalau aku jadi kamuu..”” “Apa yang akan kau lakukan” tanyaku.

“Akan kukejar Rangka dan kurebut Natisha!” “Bagaimana kalau Natisha ingin bersama Rangka?” “Tidak mungkin!:

“Aku mengedikkan bahu. “ yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin!” “kita tidak sedang berdebat soal kemungkinan, Daeng. Sekarang kita membicarakan harga dirimu!” (Natisha:45)

Pada kutipan di atas Tutu di ingatkan oleh Kasing bahwa harga dirinya sedang dipertaruhkan sebab calon istrinya dibawa lari oleh lelaki lain. Karena bagi orang Makasssar harga diri di atas segalanya. Dan Siri’ sifatnya mutlak. Seperti pada penjelasan Hamka, menjaga harga diri merupakan kewajiban moral yang paling tinggi.

“Mereka begitu sibuk memikirkan sirik, juga aib keluarga. Mereka tidak memikirkan cara menemukan Natisha. Sementara aku harus berpisah dengan Natisha, menanggung luka seumur hidup, dan membawa aib ke mana-mana sepanjang hayat. Jika mereka datang, biarlah Ayah yang menemui mereka. Aku ingin di kamar saja.” (Natisha:101)

Pada kutipan di atas menceritakan bahwa keluarga Natisha ingin membatalkan pernikahan dan memulihkan perkara siri’ juga menjaga nama baik keluarga tanpa memikirkan cara untuk menemukan Natisha. Pada masyarakat Makassar orang yang kawin lari adalah aib bagi keluarga. Terbukti pada kutipan berikut:

“Seperti telah kita ketahui bersama Natisha pergi. Kami memohon maaf karena tidak mampu menjaga Natisha agar tetap berada di rumah. Kami memohon maaf lantaran perbuatan Natisha relah mempermalukan kita semua.” (Natisha:105)

Pada kutipan di atas jelas bahwa keluarga Natisha sangat menyesal atas apa yang dilakukan oleh anaknya. Dia sangat malu dan memohon maaf atas nama Natisha bahwa perbuatan kawin lari adalah hal yang sangat memalukan baik bagi Natisha maupun keluarganya.

3. Nilai Reso (Kerja Keras)

Nilai yang menjadi identitas setiap pribadi Masyarakat Makassar adalah usaha atau kerja keras (dalam bahasa Makassar reso). Siapa yang tidak mengenal mengenal masyarakat Makassar dengan jiwa keberaniannya sebagai manifestasi dari usaha atau kerja keras yang dilakukan. Nenek moyang Makassar terkenal sebagai pelaut handal. Kehandalan tersebut lahir dari keyakinan terhadap usaha yang dilakukan secara sungguh-sungguh dan pantang menyerah (kerja keras) (Haslinda, 2019:117).

Nilai reso atau kerja keras sebagai prasyarat dari uang panai adalah usaha yang dibutuhkan seorang laki-laki untuk berusaha dengan sungguh-sungguh mendapatkan nilai rupiah yang akan ditawarkan kepada calon pengantin. Tanpa nilai Reso, harapan untuk mendapatkan hal yang dicita-citakan mustahil untuk dicapai.

“sebagai seorang karaeng puli, karaeng Liwang pasti sangat taat pada tradisi. Dua kali melamar, dua kali ditampik. Lamaran ketiga barulah pinangan kamu diterima. Itu pun dengan pappanaik balanja yang sengaja dimahalkan biar kita tidak bisa memenuhinya. Ternyata kita dapat memenuhi mahar puluhan juta, tiga ekor kuda, dua ekor kerbau dan setengah hektar tanah yang diminta.” (Natisha:101)

Melalui kutipan diatas, menggambarkan secara gamblang mengenai

pappanaik balanja atau Mahar yang sengaja dimahalkan keluarga Natisha untuk

menolak secara halus lamaran dari Tutu akan tetapi tidak sesuai perkiraan Keluarga Natisha, tutu dapat memenuhi mahar yang sangat mahal tersebut agar dapat bersatu dengan Natisha. Alhasil, tutu diterima dengan baik oleh keluarga Natisha sebab mereka menilai kerja keras dan keseriusan yang ditunjukkan oleh

Tutu untuk menikahi anaknya benar-benar serius walaupun sudah ditolak dua kali, Tutu tidak menyerah begitu saja dia tetap memperjuangkan Natisha untuk dijadikan sebagai Istri. Nilai kerja keras dalam cerita ini bukan hanya kemampuan sang lelaki untuk mencari uang tetapi kegigihannya dalam meyakinkan keluarga Natisha juga merupakan bentuk dari nilai kerja keras atau usaha tersebut.

“aku malas membahas hal seperti ini, aku masih mau sekolah. Mau kuliah mau jadi dokter biar tidak banyak ibu yang meninggal saat melahirkan. Belum terpikir untuk menikah sekarang, apalagi menikah dengan cara silariang.” (Natisha:224)

Pada kutipan di atas digambarkan bahwa Tutu sangat ingin meraih cita-citanya menjadi seorang dokter. Dia menolak menikah diusia remaja apalagi menikah dengan cara silariang. Tutu menunjukkan nilai kerja kerasnya dalam meraih cita-citanya karena dalam mencapai suatu keberhasilan dalam meraih prestasi tidak hanya cukup dengan berdoa tetapi harus kerja keras atau reso dan pantang menyerah.

“Tidak, aku tidak akan menyerah. Bagaimanapun, aku harus menemukan Natisha, harus! Jika dia ingin membatalkan pernikahan, tidak begini caranya. Dia bisa menelponku. Andai kata takut atau tidak tega menemuiku, dan mengungkapkan apa saja yang dia inginkan. Bukan dengan cara menulis pesan di kertas yang dirobek tergesa-gesa dengan dua kata yang dia tahu aku sangat membencinya:selamat tinggal” (Natisha:34)

Pada kutipan di atas menunjukkan bahwa Tutu sangat bekerja keras untuk bersama dengan Natisha. Dia tidak menyerah terhadap cinta dan perasaanya untuk Natisha walaupun, di sisi lain Natisha malah goyah dan lemah terhadap perasaannya dan Dia terhasut bujuk rayu dari lelaki lain Tutu tetap pada pendiriannya untuk menemukan Natisha dan berbicara langsung dengannya

mengenai pernikahannya yang batal sebab Natisha memilih kawin lari dengan Rangka sahabat Tutu sendiri.

“perjalanan ke Kalumpang tidak lama, hanya butuh lima belas menit. Amarah yang mendidih dan harapan akan menemukan Natisha membuatku melajukan motor bagai orang kesetanan. Kasing benar. Aku tidak bisa menunggu keajaiban, mengurung diri di kamar sambil mengharapkan nasib baik berpihak kepadaku. Aku harus mencari Natisha. Aku harus menemukannya sendiri. Maka, di sinilah aku sekarang. Di Kalumpang, kampung tua yang berhadap-hadapan dengan laut luas. (Natisha:46)

Pada paragraf di atas mengungkapkan bahwa Tutu sangat mengharapkan untuk bertemu dengan Natisha. dia melajukan motornya dengan sangat cepat agar segera menemukan Natisha. walaupun, hatinya sempat goyah tetapi dia disadarkan oleh Kasing sahabat sekaligus sepupunya. Dan ini sesuai dengan pendapat Haslinda (2019:117) bahwa di dalam Lontara, nenek moyang Makassar mencela dan sangat membenci orang-orang yang tidak mau berusaha atau bekerja keras dan hanya bermalas-malasan untuk menghabiskan waktunya. Sebab, bermalas-malasan akan menjauhkan seseorang dari rahmat sang Batara (Tuhan).

“aku juga sudah mencari Rangka ke Karampang Pakja, mengunjungi rumah setiap keluarganya di sana. Hasilnya tetap nihil. Dia juga tidak terlihat di Tamarunang, kampung asal ibunya. Aku bingung harus mencari ke mana lagi dan belum tahu apa lagi yang harus kulakukan untuk menemukan Natisha” (Natisha:52)

Pada kutipan di atas diceritakan bahwa Tutu sudah mencari ke berbagai tempat di Jeneponto untuk menemukan Natisha namun hasilnya tidak sesuai apa yang diharapkan akan tetapi, Tutu tidak menyerah begitu saja dan belum mengetahui apa yang harus dia laukan u tuk menemukan Natisha yang dibaw alri oleh Rangka.

“Dadaku terasa lebih lega. Alasan utama mengapa dadaku serasa lebih lega, setidaknya makin tabah menghadapi kenyataan, adalah Karena Daeng Saleng telah menunjukkan langkah yang harus kutempuh. Dan aku tidak punya alasan apa pun untuk bermalasa-malasan atau menundaa-nunda waktu. Kalaupun sekarang singgah, itu semata-mata Karena ingin istirahat. (Natisha:67)

Pada kutipan di atas menunjukkan bahwa Tutu sudah menemukan cara untuk menemukan Natisha dari Daeng Saleng guru pencak silatnya. Dia sudah mulai lega dan tetap bertawakkal dalam menemukan Natisha. kegigihannya dalam mencari Natisha merupakan bentuk dari nilai kerja keras atau usaha tersebut.

“Seminggu sudah aku mencarinya dan tidak menemukan apa pun selain kesia-siaan. Hari ini aku tidak mau mengalami hal yang sama. Serta merta kuminta Kasing pulang ke rumah mengambil motor. Sepupuku itu tidak membantah. Dia manut dan segera meninggalkanku tanpa banyak bicara. Kembali aku disergap sunyi, sesuatu yang mengerikan bagiku sejak kepergian Natisha.” (Natisha:71)

Demikian pula paragraf di atas bahwa Tutu tidak akan pernah menyerah dan bersungguh-sungguh untuk menemukan Kekasihnya. Sesuai dengan ajaran Islam mengajarkan kepada umatnya untuk senantiasa mau bekerja keras dalam segala hal. Dan Tutu tentu tidak ingin kehilangan kesempatan untuk menemukan Rangka dan juga Natisha.

“Aku akan mencarimu, cintaku, akan kucari hingga ke lubang semut sekalipun. Dan mataku semakin basah. Tunggu, Tutu hanya perlu berpikir jernih? Jangan-jangan selama ini aku kurang awas.” (Natisha:309)

Pada kutipan di atas mengungkapkan bahwa Tutu sangat mencintai Natisha dan akan terus berjuang untuk menemukan kekasihnya tersebut. Seorang pemuda untuk mendapatkan kekasihnya kembali merupakan bentuk nilai kerja keras dan usaha dalam perjalanan hidup pria tersebut.

4. Nilai Toddopuli (Keteguhan Hati)

Nilai teguh dalam bahasa Makassar toddopuli memiliki makna taat asas atau setia pada keyakinan, kuat dantangguh dalam pendirian, erat memgang sesuatu. Nilai keteguhan ini terkait dengan makna positif. (Haslinda:2019) Memutuskan atau menetapkan sesuatu bukanlah perkara mudah bagi masyarakat Makassar. Sebab bagi masyarakat Makassar apa yang telah diputuskan tidak dapat diganggu gugat atau dibatalkan.

“Ayah berdehem lagi, lalu berkata, “Kami mengenalmu, Nak. Kamu bukan laki-laki yang mudah menyerah. Kamu keturunan orang-orang yang berani menggantang nyawa. Salah saja nekat, apalagi kalau merasa benar. Namun tidak sesederhana itu, Nak. Bukan semata karena harga diri atau nama baik sehingga Ayah dan Kakek menegaskan hal ini, Nak, bukan. Kami cemas kalian tidak akan hidup tenang bila memutuskan silariang. Kalian akan…”

“aku tidak akan kawin lari, Tetta!” “syukurlah,” kata Kakek. (Natisha:255)

Pada kutipan diatas mengungkapkan tentang kekhawatiran Ayah tutu akan keputusan Tutu dan Natisha yang memutuskan kawin lari karena keluarga Natisha hendak menikahkan gadis itu dengan orang lain. Melalui Tutu sebagai tokoh utama, dalam novel Natisha, pengarang secara halus menyampaikan pesan keimanan dan keteguhannya dalam menghadapi cobaan hidup.

Diceritakan bahwa perjalanan cinta Tutu dan Natisha terkendala karena Natisha yang akan melangsungkan pernikahan dengan orang lain. Dan Natisha mencoba untuk mengajak Tutu kawin lari.

“Tutu,” sela Natisha seraya mendongak menatapku, “aku mau silariang!” “sekarang?”

Dia mengangguk. Air matanya makin deras.

“Denganku” dia kembali mengangguk. Air matanya makin deras. “tidak bisa dinda, tidak bisa…”

“apakah adikku tidak layak menjadi istrimu? Tanya karaeng Tompo. Aku menggeleng, tegas sekali. “kamu tahu karaeng, aku sangat mencintai adikmu. aku selalu ingin menjadi suaminya dan menghabiskan sisa umurku bersama dia. Tapi tidak dengan cara silariang!” (Natisha:262) Berdasarkan paragraf di atas bahwa tokoh Tutu mempunyai sikap tegas untuk menolak ajakan Natisha untuk kawin lari bahkan Karaeng Tompo selaku Kakak kandung Natisha pun sudah mengisinkan akan tetapi Tutu tetap teguh pada

Dokumen terkait