Pengertian kurikulum berbasis kompetensi adalah
suatu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar performansi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu” (Mulyasa, 2002:78).
Ada tiga landasan teoritis yang mendasari kurikulum berbasis kompetensi, yaitu :
a. Adanya pergeseran dari pembelajaran kelompok ke arah pembelajaran individual, artinya setiap peserta didik dapat belajar sendiri sesuai dengan cara dan kemampuan masing-masing, serta tidak bergantung kepada orang lain. Sebagai implikasinya diperlukan pengaturan kelas yang fleksibel, baik sarana maupun waktu, karena memungkinkan peserta didik belajar dengan kecepatan yang berbeda, penggunaan alat yang berbeda dan bahkan bahan ajar yang berbeda pula.
b. Pengembangan konsep belajar tuntas (mastery learning) atau belajar sebagai penguasaan (learning for mastery) adalah falsafah pembelajaran yang mengatakan bahwa dengan sistem pembelajaran yang tepat, semua peserta didik dapat mempelajari semua bahan yang diberikan dengan hasil yang baik. c. Pendefinisian kembali terhadap bakat, yang didukung oleh pendapat Hall
(1986) bahwa setiap peserta didik dapat mencapai tujuan pembelajaran secara optimal jika diberikan waktu yang cukup. Hal ini mengandung makna bahwa peserta didik perlu diberikan keluasan waktu dalam kegiatan pembelajaran bagi peserta yang kurang cepat dalam menguasai bahan pelajaran.
Sehingga implikasi dari ketiga teori tersebut terhadap pembelajaran adalah : 1) pembelajaran perlu lebih menekankan pada kegiatan individual meskipun dilaksanakan secara klasikal, dan perlu memperhatikan perbedaan peserta didik; 2) perlu diupayakan lingkungan belajar yang kondusif, dengan metode dan media yang bervariasi, sehingga memungkinkan setiap peserta didik belajar dengan tenang dan menyenangkan; 3) dalam pembelajaran perlu diberikan waktu yang cukup terutama dalam penyelesaian tugas dan praktek, agar setiap peserta didik dapat mengerjakan tugas belajarnya dengan baik.
2. Karakteristik Kurikulum Berbasis Kompetensi Menurut Depdiknas dalam Mulyasa (2002), bahwa:
Kurikulum berbasis kompetensi memiliki karakteristik sebagai berikut : a) Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal; b) Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman; c) Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi; d) Sumber belajar bukan hanya guru/tutor, tapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif; e) Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Kurikulum berbasis kompetensi memiliki asumsi yang mendasarinya, yaitu : a) penerapan kurikulum berbasis kompetensi menuntut peningkatan kemampuan profesional pendidiknya; b) Umumnya mengajar hanya diartikan sebagai kegiatan menyajikan materi yang terdapat dalam setiap bahan ajar; c) Peserta didik bukanlah tabung kosong, ataupun kertas putih yang dapat diisi sekehendak pendidiknya saja, namun seorang individu yang memiliki potensi yang dapat berkembang sesuai dengan penciptakan iklim kondusif yang dapat mendorong peserta didik belajar; d) Peserta didik memiliki potensi yang berbeda dan bervariasi; e) Pendidikan berfungsi mengkondisikan lingkungan untuk membantu
peserta didik mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya secara optimal; f) Kurikulum sebagai perencanaan pembelajaran harus berisi kompetensi-kompetensi potensial yang tersusun secara sistematis, sebagai jabaran dari seluruh aspek kepribadian peserta didik, pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki; g) Kurikulum sebagai proses pembelajaran harus menyediakan berbagai kemungkinan kepada seluruh peserta didik untuk mengembangkan berbagai potensinya secara optimal (Mulyasa, 2002)
3. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi
Seseorang dianggap kompeten jika mereka bisa menunjukkan secara bersamaan kombinasi yang kompleks dari pengetahuan, nilai-nilai, sikap-sikap, dan keterampilan-keterampilan dalam cara yang sesuai dengan konteks di mana mereka diharuskan untuk bertindak dalam lingkup pekerjaan yang menuntutnya.
Sebuah kurikulum berbasis kompetensi tidak menentukan berbagai kompetensi atau tugas untuk dikuasai. Sebaliknya, seperangkat standar kompetensi yang dikembangkan untuk selanjutnya akan membentuk latar belakang untuk sebuah kurikulum. Gagasan kompetensi menyatukan antara teori dan praktek, dan bahwa hal itu mengakui akan peran pentingnya dari pembelajaran dari tempat kerja dan belajar dari pengalaman yang luas (Tennant, 2006:88).
Dalam pengembangan kurikulum berbasis kompetensi, Ashan (1981) mengemukakan tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
a. Penetapan kompetensi yang akan dicapai, yaitu pernyataan tujuan (goal statement) yang ingin diperoleh peserta didik, yang menggambarkan hasil
belajar (learning outcomes) pada aspek pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap.
b. Pengembangan strategi untuk mencapai kompetensi, yaitu upaya untuk membantu peserta didik dalam menguasai kompetensi yang ditetapkan. c. Evaluasi, yang merupakan kegiatan penilaian terhadap pencapaian
kompetensi bagi setiap peserta didik. 4. Penilaian berbasis kompetensi
Penilaian berbasis kompetensi adalah bentuk penilaian yang berdasarkan pada spesifikasi dari serangkaran hasil, yang sudah sangat jelas disebutkan baik hasil yang disebutkan secara umum dan khusus, yang mana asesor, warga belajar dan siapapun yang tertarik dapat membuat penilaian dengan keputusan yang beralasan secara objektif dan penuh respek atas ketercapaian maupun ketidaktercapaian warga belajar pada hasil yang diharapkan. Penilaian pada kompetensi ini akan diakui dan menunjukkan kemajuan dari warga belajar atas dasar pencapaian hasil yang didemonstrasikan. Penilaian berbasis kompetensi ini tidak terikat oleh waktu yang disediakan dalam pendidikan formal (Wolf, 1995:1). Tiga komponen dari penilaian berbasis kompetensi yang sangat penting dan memenuhi definisi diatas, adalah :
1. The emphasis on outcomes - specifically, multiple outcomes, each distinctive and separately considered.
2. The belief that these can and should be specified to the point where they are clear and'transparent' - that assessors, assessees and 'third parties' should be able to understand what is being assessed, and what should be achieved.
3. The decoupling of assessment from particular institutions or learning programmes (Wolf, 1995:2).
Makna yang dapat diambil dari pernyataan tersebut adalah bahwa: a) dalam penilaian yang berbasis kompetensi sangat mengutamakan hasil yang terlihat nyata dan hasil yang dapat diyakini oleh penilai memang ditunjukkan oleh peserta; b) transparansi dan kejelasan dari aspek yang menjadi ukuran ketercapaian, menjadi sangat utama dalam penilaian berbasis kompetensi; c) untuk menghindari subjektivitas penilaian maka penilaian dapat dilakukan oleh pihak ketiga dengan mengacu pada standar dan ukuran yang sangat jelas.
D. Hakekat Perkembangan, Pengasuhan dan Pendidikan Anak Usia Dini