• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI. A. Hakekat Pelatihan In-Service Berbasis Kompetensi. 1. Konsep dan Karakteristik Pelatihan Berbasis Kompetensi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI. A. Hakekat Pelatihan In-Service Berbasis Kompetensi. 1. Konsep dan Karakteristik Pelatihan Berbasis Kompetensi"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

21 BAB II KAJIAN TEORI

A. Hakekat Pelatihan In-Service Berbasis Kompetensi

1. Konsep dan Karakteristik Pelatihan Berbasis Kompetensi

Pelatihan Berbasis Kompetensi (Competency Based Training) secara umum adalah “suatu cara pendekatan pelatihan yang menekankan pada apa yang dapat dikerjakan seseorang sebagai hasil dari pelatihan. Deskripsi mengenai kompetensi timbul dari pengembangan dan milik dari daftar atribut yang relevan seperti pengetahuan, kemampuan-kemampuan, keterampilan-keterampilan dan sikap-sikap” (Haris, 1995:36).

Sistem pendidikan dan pelatihan memberikan penekanan lebih khusus pada tercapainya kompetensi individu dan sistem penilaian. Kunci dari sistem pelatihan berbasis kompetensi adalah sertifikasi yang berdasarkan pada pencapaian kompetensi daripada penyelesaian berdasarkan waktu dari sebuah kursus atau program pelatihan.

Menurut Hatton (1997:118), pendidikan dan pelatihan yang dilaksanakan harus berkaitan dengan pekerjaan yang akan dihadapi oleh pembelajar. Disebutkan bahwa : “… adults need to be aquipped with skills appropriate for this clients…training programs are tailored to be concurrent with work, there by supporting the work-related needs of learners”.

Konsep tersebut diatas menunjukkan bahwa pelatihan perlu dikaitkan dengan pemberian keterampilan yang tepat dan pekerjaan sesuai kebutuhan

(2)

pembelajar, sehingga program pelatihan perlu dibuat bersamaan dan didukung oleh kebutuhan pekerjaan yang akan dihadapi pembelajar. Sehingga tujuan pelatihan menurut Hatton (1997:271) adalah untuk meningkatkan cara-cara kerja dengan teknologi dan untuk meningkatkan kecakapan guna memperoleh kesempatan kerja.

Karakteristik dari program pendidikan dan pelatihan yang berbasis kompetensi menurut Elam dalam Burke (1989 : 102 ), meliputi:

a. Kompetensi adalah berasal dari peran, menentukan dalam hal perilaku dan dibuat oleh publik;

b. Kriteria penilaian berbasiskan pada kompetensi, menentukan tingkat penguasaan dan dibuat oleh publik;

c. Penilaiannya membutuhkan kinerja/penampilan sebagai bukti utama tetapi membutuhkan pula pengetahuan dalam perhitungan/penilaiannya;

d. Tingkat kemajuan masing-masing individu warga belajar tergantung pada kompetensi yang ditunjukkan;

e. Program pembelajaran memfasilitasi pengembangan dan evaluasi dari kompetensi-kompetensi yang lebih khusus/spesifik.

Implikasi dari karakteristik diatas, adalah pelatihan berbasis kompetensi kecenderungannya mengacu pada ciri-ciri sebagai berikut yaitu :

a. Pembelajarannya individual;

b. Diberikan umpan balik untuk peserta didik;

c. Penekanannya lebih pada keluar daripada persyaratan masuk dalam program; d. Program yang sistematis/Systematic program;

(3)

e. Menggunakan modul pembelajaran/Modularisation;

f. Mengutamakan peserta didik dan akuntabilitas dari program yang dijalankan. Berbagai implikasi tersebut selanjutnya akan memiliki konsekuensi lain bagi terlaksananya program dengan baik, diantaranya adalah perlu dilakukan upaya-upaya :

a. Pengaturan lapangan untuk belajar/field setting for learning b. Berbasis luas untuk pengambilan keputusan

c. Penyediaan bahan protokol dan pelatihan

d. Partisipasi peserta didik dalam pengambilan keputusan e. Berorientasi penelitian dan regenerasi

f. Melanjutkan karir

g. Integrasi/penyatuan peran

Berdasarkan karakteristik beserta implikasi diatas, maka dalam model pelatihan in-service berbasis kompetensi bagi baby sitter yang akan dikembangkan, dirancang untuk menggabungkan bentuk belajar mandiri (self-paced learning), modul-modul kerja, penyusunan profil kompetensi yang diharapkan, dan juga gabungan antara pembelajaran yang berbasiskan pada kerja dan tugas.

Model pelatihan berbasis kompetensi memiliki perbedaan yang cukup signifikan apabila dibandingkan dengan model pelatihan tradisional. Perbandingan antara karakteristik dari pendidikan dan pelatihan yang berbasis kompetensi dengan model pelatihan yang tradisional ditunjukkan dalam tabel sebagai berikut:

(4)

Tabel 2.1

Perbandingan Pelatihan Tradisional dan Pelatihan Berbasis Kompetensi Program-program tradisional Program-program pendidikan dan

pelatihan berbasis kompetensi Memfokuskan pada isi/materi Berdasarkan pada kompetensi

Berdasarkan waktu Berdasarkan unjuk kerja di tempat kerja

Penekanannya pada masukan Penekanannya pada keluaran

Kebutuhan kelompok Kebutuhan individu

Kegiatan kelompok Kegiatan individu

Mata ajar/subjek Modul/unit

Sedikit atau tanpa RPL RPL sebagai komponen yang terintegrasi

Umpan balik yang tertunda Umpan balik segera Pendekatan pembelajaran dan gaya

belajar yang dipersempit (contoh : memfokuskan pada buku teks)

Pendekatan penyampaian yang lebih fleksibel

Pengalaman lapangan yang terbatas Pengaturan yang kolaboratif antara tempat kerja dan penyedia

Guru/pelatih sebagai ahli dan satu satunya penyedia kuliah, demonstrasi

Guru/pelatih sebagai nara sumber dan mentor, satu dari banyak sumber belajar.

Peserta didik sebagai penerima pembelajaran

Peserta didik belajar lebih mandiri dan memiliki tanggung jawab pada belajarnya sendiri.

Tujuannya belajarnya bersifat umum Hasil pembelajarannya lebih khusus/spesifik

Penilaian berdasarkan referensi norma Penilaian berdasarkan kriteria Kriterianya subjektif, terkadang tidak

ditetapkan

Kriterianya lebih objektif, ditetapkan di hadapan umum

Penekanannya pada penilaian pengetahuan

Penekanannya pada penilaian kompetensi

Nilai akhir Kompeten atau tidak kompeten (atau

nilai kompetensi) Sumber: Burke (1989: 130)

Perbedaan antara karakteristik pelatihan berbasis kompetensi dan pelatihan tradisional di atas memberikan tuntunan pada model pelatihan in-service berbasis kompetensi yang akan dikembangkan dalam pelatihan bagi baby sitter, sehingga akan lebih mengarah pada pencapaian kompetensi dari baby sitter. Adapun

(5)

apabila dibutuhkan, beberapa karakteristik dalam model pelatihan tradisional pun akan tetap digunakan namun disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi yang ada. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan pelatihan berbasis kompetensi sebagaimana menurut Pedoman Penyusunan Program Pelatihan Berbasis Kompetensi, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas (2006 : 37) disebutkan bahwa:

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan pelatihan berbasis kompetensi, yaitu (a) standar kompetensi yang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan; (b) pengidentifikasikan semua pengetahuan dan ketrampilan serta sikap kerja yang dibutuhkan dalam suatu pekerjaan, yang tercermin dalam standar kompetensi; (c) mekanisme untuk mencapai pengetahuan dan keterampilan serta sikap kerja sesuai dengan tuntutan standar kompetensi; (d) metode untuk menguji kompetensi tersebut; (e) sertifikasi dari kompetensi yang telah dicapai.

Selanjutnya ada beberapa unsur yang perlu mendapatkan penekanan dalam pelatihan berbasis kompetensi yaitu:

(a) kegiatan yang direncanakan dengan sengaja; (b) ada rumuskan kompetensi yang hendak dicapai; (c) ada sasaran (peserta didik) dan sumber belajar; (d) ada kegiatan belajar dan pelatihan; (e) penekanan pada bidang keahlian dan keterampilan; (f) dilaksanakan dalam waktu yang relatif singkat, dan (g) menggunakan sarana dan prasarana pendukung (Mulyasa, 2002:67).

Sejalan dengan apa yang telah disampaikan dalam (Harris, et.al :2009), maka pada dasarnya pelatihan berbasis kompetensi memiliki karakteristik lain yaitu: (a) berdasarkan pada Standar Kompetensi; (b) isi dari pelatihan mengarah kepada kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan tugas tertentu; (c) pelatihan dapat berupa on-job, off-job, atau kombinasi keduanya; (d) adanya fleksibilitas waktu untuk mencapai suatu kompetensi; (e) adanya pengakuan

(6)

terhadap kompetensi mutakhir/yang dimiliki saat ini; (f) pengujian berdasarkan kriteria tertentu; (g) pengujian dilakukan jika peserta pelatihan sudah siap, (h) menekankan pada kesanggupan untuk mentransfer pengetahuan dan ketrampilan pada situasi baru, (i) berfokus pada peserta pelatihan (perlu pendekatan individual/mandiri, kelompok dan klasikal), (j) materi pelatihan, penekanannya pada output dan outcome (hasil pelatihan), (k) penekanan pada apa yang harus dikerjakan,(l) penilaian kinerja berdasarkan kriteria unjuk kerja, (m) pencapaian kualifikasi kompetensi dapat melalui beberapa jalur.

Berdasarkan rumusan definisi dan pendapat tersebut maka dapat dijelaskan dalam definisi operasional pelatihan in-service berbasis kompetensi akan berorientasi pada ketercapaian kompetensi yang harus dimiliki pada profesi tertentu, yang dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan kompetensi baby sitter sesuai dengan kebutuhannya. Adapun mengenai pelaksanaan pelatihan yang dilakukan ditujukan untuk mencapai standar kompetensi yang ditentukan. Untuk selanjutnya penilaian kepada kompetensi dapat dijadikan indikator utama dalam menentukan efektivitas model pelatihan yang dilaksanakan.

2. Pengertian Pelatihan In-Service Berbasis Kompetensi

Sistem pelatihan in-service berbasis kompetensi adalah pelatihan yang dibangun untuk tantangan pelatihan yang memberikan penyediaan pelatihan yang tepat pada saat yang tepat untuk orang yang tepat, dengan memaksimalkan relevansi, ketepatan waktu dan ketersediaan pelatihan. Pelatihan in-service berbasis kompetensi pun memberikan jaminan bahwa sumber-sumber pelatihan yang digunakan dalam pelatihan memiliki prioritas utama untuk memenuhi

(7)

kebutuhan dalam pelayanan (Rycus, 2000:80). Salah satu kondisi yang menentukan kualitas, efektifitas dan relevansi pelatihan in-service adalah kemampuan mengidentifikasi kebutuhan belajar individu secara akurat. Hal ini akan membawa dampak keberhasilan pelatihan secara positif pada penampilan pekerjaan dan hasil pada organisasi.

Konsep dan prinsip pelatihan in-service berbasis kompetensi pada dasarnya mengacu pada konsep dan karakteristik pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi, meskipun tekanan utama pada pelatihan in-service berbasis kompetensi sangat mengutamakan pemenuhan kebutuhan pada pelayanan yang telah berjalan. Sehingga penentuan kompetensi yang menjadi tujuan pelatihan ditentukan berdasarkan pada prioritas kebutuhan dan kesenjangan kompetensi yang terjadi di dunia kerja. Pelatihan in-service dilakukan untuk dapat meningkatkan kompetensi yang masih belum terpenuhi.

3. Elemen-Elemen dalam Sistem Pelatihan In-Service Berbasis Kompetensi Sistem pelatihan in-service berbasis kompetensi bertujuan untuk mendapatkan orang yang tepat untuk pelatihan yang tepat pada saat yang tepat. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, dibutuhkan berbagai elemen yang secara sistematis membangun sistem pelatihan ini, diantaranya adalah tersedianya infrastruktur formal dengan komponen pengelolaan yang terpusat dan terdesentralisasi, staf manajemen yang tersusun dengan baik, teknologi, data kebutuhan pelatihan yang lengkap dan sesuai prioritas, mekanisme perencanaan, pengelolaan dan evaluasi aktivitas program, sistem yang akan mengembangkan dan memperbaharui kurikulum, pelatih dan sumber pelatihan lainnya, sistem

(8)

penyampaian pelatihan yang mudah diakses dan efisien, serta strategi pembelajaran yang secara formal dapat memaksimalkan pembelajaran dalam pelatihan.

Aktivitas yang penting untuk dibangun dan diimplementasikan pada sebuah sistem pelatihan in-service berbasis kompetensi yang komprehensif menurut Rycus (2000:96) dapat dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu :

a. Mendefinisikan target peserta pelatihan b. Melakukan analisis tugas dalam pekerjaan

Pelatihan in-service berbasis kompetensi bertujuan utama untuk mendukung ketercapaian praktek terbaik, sehingga penting sekali untuk mendefinisikan dan menggabungkan standar unjuk kerja yang merefleksikan best practice dan aktivitas-aktivitas pekerjaan yang penting untuk membutuhkan best practice tersebut. Tujuan dari pelatihan ini dapat terwujud dengan baik bila dapat dilakukan dengan sebuah kelompok kepemimpinan yang meliputi manajer agen/penyalur tenaga kerja dan supervisor, manajer pelatihan, tenaga ahli di bidang pekerjaan anak, dan praktisi pelayanan yang berpengalaman. Melalui kolaborasi proses perencanaan, tim ini mendefinisikan dan memformalkan misi organisasi, menetapkan standar dari best practice yang akan diimplementasikan melalui organisasi dan menetapkan hasil performance organisasi yang diharapkan.

Keseluruhan aktivitas pekerjaan akan menjadi dasar dari pengembangan deskripsi posisi formal bagi seluruh staf di organisasi. Ketika deskripsi posisi terformulasi secara tepat, maka hal tersebut akan digunakan untuk mengelola penampilan kerja individu dengan secara akurat menetapkan tuntutan pekerjaan

(9)

dan harapan performance yang selanjutnya secara berurutan dievaluasi tingkat ketercapaiannya. Keseluruhan akrivitas kerja harus secara periodik direview dan diperbaharui untuk merefleksikan perubahan di dalam misi organisasi, keinginan hasil performance atau standar best practice.

c. Membangun kompetensi-kompetensi

Kompetensi adalah seperangkat elemen-elemen yang terdiri dari pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam mengefektifkan penampilan dari sebuah tugas pekerjaan. Seseorang yang kompeten memiliki kemampuan dari pengetahuan dan keterampilan yang menjadi syarat untuk pemenuhan penampilan dalam pekerjaannya. Ketika pekerjaan atau analisis tugas dipenuhi dan deskripsi posisi diselesaikan, kita dapat mengidentifikasi pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dan menjadi prasyarat bagi penampilan dari semua tanggung jawab pekerjaan yang disetujui di dalam organisasi. Pernyataan hasil dari pengetahuan dan keterampilan selanjutnya dikelompokkan, diorganisasikan secara hirarki, dan diurutkan, membentuk sebuah kompetensi-kompetensi yang diharapkan. Kumpulan kompetensi-kompetensi secara umum dibangun untuk setiap kelompok kerja yang akan menjadi target dalam pelatihan. Kumpulan kompetensi-kompetensi ini termasuk semua pengetahuan dan keterampilan yang secara potensial dibutuhkan oleh pekerja dalam kelompok kerja tertentu untuk menunjukkan tugas pekerjaaan yang diperiksa. Pengetahuan dan keterampilan yang tidak penting dalam memenuhi urutan tugas pekerjaan dikeluarkan dari daftar kumpulan kompetensi-kompetensi yang disusun.

(10)

Karakteristik dari pelatihan in-service berbasis kompetensi adalah bahwa kumpulan kompetensi-kompetensi menunjukkan semua komponen-komponen dari sistem pelatihan termasuk penilaian kebutuhan pelatihan individual, identifikasi dan seleksi kurikulum pelatihan, penilaian dan seleksi pelatih, pengembangan perencanaan pelatihan, dan aktivitas pembelajaran. Untuk menjadikan akrivitas kerja yang benar, maka kumpulan kompetensi-kompetensi yang akan dijadikan tujuan pelatihan harus secara rutin, periodik direview dan direvisi untuk merefleksikan perubahan dalam standar praktek dan kebutuhan pekerjaan.

d. Penilaian kebutuhan pelatihan individu (Individual Training Need Assessment (ITNA)

e. Identifikasi dan Pemilihan kurikulum f. Mengembangkan perencanaan pelatihan g. Menyelenggarakan Pelatihan

h. Mengimplementasikan aktivitas pembelajaran/Transfer of Learning i. Melakukan evaluasi dan balikan

Elemen-elemen di dalam sebuah sistem pelatihan in-service berbasis kompetensi yang disampaikan dalam Rycus (2000) sejalan dengan apa yang disampaikan pada kajian disertasi Weatherman (1976:58), dimana pelatihan in-service mengalami beberapa tahapan penting yang meliputi :

a. Menilai kebutuhan kompetensi, tahapan ini meliputi deskripsi pekerjaan bersamaan dengan analisis kenyataan secara lokal dan nasional.

(11)

b. Melakukan spesifikasi kompetensi, tahapan ini meliputi menyusun pernyataan kompetensi dan memberikan laporan mengenai pentingnya kompetensi ini dalam pekerjaan di lapangan.

c. Menjelaskan komponen-komponen kompetensi, tahapan ini ditentukan elemen kompetensi, urutan dan kriteria unjuk kerja sebagai performance yang harus ditunjukkan dalam pekerjaan

d. Mengidentifikasi prosedur pencapaian kompetensinya. Pada tahapan ini ditentukan isi, metode, materi dari program pelatihan.

e. Membangun penilaian, meliputi proses spesifikasi kriteria dan ukuran dari kompetensi yang akan dinilai. tahapan ini merupakan tahapan yang paling penting dalam mendesain program pelatihan berbasis kompetensi.

Kelima elemen tersebut mendasari pula apa yang dijadikan model pelatihan in-service berbasis kompetensi dalam pelatihan baby sitter yang dilaksanakan.

4. Pengelolaan dan Model-Model Pelatihan a. Pengelolaan Pelatihan

Pengelolaan pelatihan secara umum menurut Sudjana (2000), “meliputi kegiatan : perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi’. Siagian dalam Sudjana (2000:186) mengatakan langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam pengorganisasian program pelatihan adalah:

1) Penentuan kebutuhan

Pedoman tipe analisis kebutuhan penilaian dalam menentukan kebutuhan pelatihan, yaitu: (a) analisis organisasi adalah penilaian kebutuhan pelatihan pada tingkat organisasi. Hal yang disoroti adalah mencari bagian dalam organisasi yang

(12)

membutuhkan pelatihan. Pada tingkat ini kebutuhan pelatihan seyogyanya dianalisis oleh manajer yang menentukan tujuan organisasi; (b) analisis operasional yaitu penilaian kebutuhan pelatihan pada tingkat jabatan. Maksudnya apakah sebenarnya yang dibutuhkan dalam aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan, untuk dapat melaksanakan pekerjaan atau tugas dari suatu jabatan; (c) analisis personalia, yaitu penilaian kebutuhan pada tingkat individu dengan menentukan siapa yang menentukan siapa yang memerlukan pelatihan dan pelatihan apa yang diperlukan.

Hal ini sejalan dengan penentuan kebutuhan pelatihan yang diungkapkan dalam Bramley (1996:47) mengenai three levels of analysis yaitu : (a) analisis pada tingkat organisasi, digunakan untuk menentukan sasaran yang tepat untuk dilakukan pelatihan. Fokusnya adalah pada keseluruhan analisis antara lain, pada tujuan organisasi, rencana bisnis jangka pendek, pandangan jangka panjang tentang bagaimana lingkungan bisa berubah dalam beberapa tahun ke depan, kolam keterampilan yang tersedia saat ini , indeks efektivitas dan benchmark terhadap pesaing; (b) Analisis pada tingkat pekerjaan, yang melibatkan pengumpulan data tentang suatu pekerjaan tertentu atau sekelompok pekerjaan. Analisis ini akan menentukan standar yang diperlukan yaitu melingkupi pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlukan dalam rangka untuk mencapai standar tersebut; (c) analisis individu/perorangan yang berfokus pada seberapa baik seorang karyawan pada bidang tertentu melaksanakan berbagai tugas yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang terbaik.

(13)

2) Penentuan sasaran

Dalam hal penentuan sasaran dan tujuan penelitian harus melalui proses penilaian yang dapat menerjemahkan kebutuhan-kebutuhan sasaran pelatihan. Hasil dari proses penilaian diperoleh informasi mengenai : (a) bagian dari organisasi tersebut yang mempunyai masalah terkait dengan kemampuan tenaga kerja; (b) pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dibutuhkan dalam pelaksanaan tugas sesuai dengan yang diharapkan; (c) individu atau kelompok yang memerlukan pelatihan dan materi pelatihan yang diperlukan; (d) sasaran pelatihan yang sesuai dengan harapan.

3) Penetapan isi program

Beberapa komponen penting yang perlu disusun dan ditetapkan berdasarkan hasil penilaian kebutuhan pelatihan agar rancangan program pelatihan tepat dan lengkap yaitu: (a) rumusan yang lebih rinci dan dapat diukur pelatihan; (b) penetapan kriteria untuk seleksi peserta pelatihan; (c) pemilihan materi pelatihan yang relevan dengan tujuan yang ingin dicapai; (d) pemilihan metode pelatihan; (e) pemilihan dan penetapan pelatihan; (f) penetapan lamanya pelatihan sesuai dengan tujuan dan materi yang diberikan; (g) rencana evaluasi pelatihan; (h) penetapan waktu pelaksanaan, fasilitas dan dana yang dibutuhkan.

4) Identifikasi prinsip-prinsip belajar

Pada tahapan ini dilakukan identifikasi mengenai prinsip-prinsip belajar yang akan dilaksanakan dalam pelatihan yang akan dilaksanakan.

(14)

5) Pelaksanaan program

Pelaksanaan program adalah sebuah tahapan implementasi program yang direncanakan sebelumnya sehingga tujuan program dapat tercapai.

6) Identifikasi manfaat

Pada tahapan ini dilakukan refleksi dan muatan manfaat dari program yang dilaksanakan. Identifikasi manfaat dapat meningkatkan nilai tambah dari program sehingga menjadi masukan untuk tindak lanjut maupun evaluasi program yang dilaksanakan.

7) Penilaian pelaksanaan program

Pada tahapan penilaian program, dilakukan berbagai alat dan teknik untuk dapat mengungkap data penilaian pada program yang dilaksanakan. Berdasarkan pendapat (Kirkpatriks, 2006:74) dikemukakan ada empat level evaluasi dalam pelatihan, yang ditunjukkan pada ilustrasi tabel struktur di bawah ini:

(15)

Tabel 2.2

Struktur Level Evaluasi Pelatihan Kirkpatriks Level Tipe Evaluasi (Apa yang diukur) Deskripsi dan karakteristik evaluasi Contoh alat dan metode evaluasi Relevansi dan Praktek

1 Reaksi Evaluasi reaksi adalah bagaimana peserta pelatihan merasakan pelatihan atau pengalaman belajar peserta. Format balikan 'Happy sheets', Reaksi verbal, survey dan kuesioner setelah pelatihan

Cepat dan mudah dilakukan Tidak mahal untuk mendapatkan atau menganalisanya 2 Pembelajaran Evaluasi pembelajaran adalah ukuran dari peningkatan dalam pengetahuan, sebelum dan sesudah pelatihan Tipe penilaian atau tes sebelum dan sesudah pelatihan Wawancara atau observasi dapat juga dilakukan sebelum dan sesudah pelatihan Relatif sederhana untuk mengatur, yang jelas untuk keterampilan terukur Tidak mudah untuk pembelajaran yang kompleks 3 Tingkah laku Evaluasi tingkah

laku adalah sejauh mana peserta pelatihan menggunakan hasil belajar dan perubahan dalam tingkah laku mereka. Observasi dan wawancara dari waktu ke waktu untuk menilai perubahan, relevansi perubahan dan kesinambungan perubahan. Pengukuran perubahan tingkah laku biasanya membutuhkan kerjasama dan keterampilan dari manager lini.

4 Hasil Evaluasi hasil

adalah efek pada bisnis atau lingkungan oleh peserta pelatihan Pengukuran ini sudah tersedia dalam sistem manajemen normal dan laporan, tantangannya adalah berhubungan dengan peserta Individual tidak sulit, tidak seperti organisasi secara keseluruhan. Proses harus jelas atribut

(16)

b. Model-Model Pelatihan

Ada berbagai model pelatihan yang memiliki langkah-langkah tersendiri sesuai dengan tujuan dan orientasi pelatihan itu sendiri. Salah satu model diantaranya yaitu model tujuh langkah (The Seven-Step Model) yang dikembangkan oleh Parker, yaitu: 1) melaksanakan identifikasi dan analisis kebutuhan latihan; 2) merumuskan dan mengembangkan tujuan-tujuan pelatihan; 3) merancang kurikulum latihan; 4) memilih dan mengembangkan metode latihan; 5) menentukan pendekatan evaluasi latihan; 6) melaksanakan program latihan; 7) melakukan pengukuran hasil latihan.

Sedangkan model lain yang dikembangkan oleh Sudjana (2000:13) yaitu tentang Model Latihan Partisipatif (Partisipatory Training Model) yang memiliki langkah-langkah sebagai berikut: 1) rekrutmen peserta latihan; 2) identifikasi kebutuhan, sumber dan kemungkinan hambatan; 3) merumuskan dan menetapkan tujuan umum dan khusus; 4) menyusun alat evaluasi awal dan akhir pelatihan; 5) menyusun urutan kegiatan latihan, menentukan bahan belajar, dan memilih metode dan teknik pelatihan; 6) latihan untuk pelatih; 7) melaksanakan evaluasi awal bagi peserta latihan; 8) mengimplementasikan program latihan; 9) melakukan evaluasi akhir bagi peserta latihan; 10) evaluasi program pelatihan

Sekaitan dengan jenis-jenis model pelatihan berdasarkan pada pengembangan kurikulumnya, Arif (1994:75) mengemukakan beberapa model pelatihan sebagai berikut: 1) model pelatihan yang berorientasi pada tujuan; 2) model pelatihan yang berorientasi pada kebutuhan peserta; 3) model pelatihan yang berorientasi pada kompetensi; 4) model pelatihan yang bersifat kombinasi.

(17)

Penelitian ini lebih pada sebuah model pelatihan yang berorientasi pada kompetensi. Model ini secara bagan konseptual menurut Arif (1994:78) ditunjukkan dengan gambar sebagai berikut :

Bagan 2.1

Model Pelatihan yang Berorientasi pada Kompetensi

PELAKSANAAN LATIHAN EVALUASI LATIHAN P E N Y U S U N A N K U R I K U ALOKASI WAKTU TIAP SPB EVALUASI BELAJAR SPB MEDIA BELAJAR SPB METODE PENYAMPAIAN SILABI DAN MAKALAH SPB TUJUAN PB DAN SB PEMILIHAN PENGETAHUAN KETERAMPILAN DAN SIKAP SESUAI DENGAN

TUJUAN LATIHAN

PERUMUSAN TUJUAN

JENIS KOMPETENSI CALON PESERTA

TINGKAT PENGUASAAN KOMPETENSI OLEH CALON PESERTA

(18)

5. Strategi dan Pendekatan Pembelajaran dalam Pelatihan Berbasis Kompetensi

a. Konsep pembelajaran orang dewasa/andragogi 1) Pengertian Andragogi

Andragogi didefinisikan sebagai pembelajaran orang dewasa. Knowles dalam publikasinya yang berjudul “The Adult Learner, A Neglected Species” mengungkapkan teori belajar yang tepat bagi orang dewasa atau yang dikenal dengan istilah andragogi. Kata andragogi berasal dari bahasa Yunani, yaitu andr yang artinya orang dewasa dan agoga yang berarti membimbing atau mebina. Istilah lain yang sering dipergunakan sebagai perbandingan adalah pedagogi yang diambil dari kata padi artinya anak dan agagos artinya membimbing membina. Dengan demikian, andragogi dirumuskan sebagai suatu ilmu membantu orang dewasa belajar.

Dalam berbagai pelatihan sering kali ditemukan praktik pembelajaran bagi orang dewasa yang bersifat andragogi namun dilakukan dengan cara-cara pedagogis. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa aspek pembelajaran yang berlaku bagi anak dianggap dapat diberlakukan pula bagi kegiatan pembelajaran orang dewasa. Namun oleh karena orang dewasa merupakan individu yang sudah mandiri dan mampu mengarahkan dirinya sendiri, maka dalam andragogi yang terpenting adalah bagaimana dalam proses interaksi belajar itu sebagai kegiatan belajar mandiri yang bertumpu kepada pembelajar dan bukan kegiatan seorang pelatih yang mengajarkan sesuatu.

(19)

Andragogi secara harfiah dapat diartikan sebagai seni dan pengetahuan mengajar orang dewasa. Dalam memberikan defenisi tentang andragogi lebih cenderung diartikan sebagai seni dan pengetahuan membelajarkan orang dewasa. Pendidikan orang dewasa dapat diartikan sebagai keseluruhan proses pendidikan terorganisisir yang diarahkan agar orang dewasa mampu mengembangkan kemampuan, keterampilan, pengetahuan, meningkatkan kulaifikasi teknis atau profesionalitas dalam upaya mewujudkan kemampuan ganda sebagai pribadi yang utuh sehingga dapat beradaptasi dengan pengembangan sosial budaya, ekonomi, dan teknologi secara bebas, seimbang, serta berkesinambungan. Oleh karena itu pendidikan orang dewasa mencakup keseluruhan aspek pengalaman belajar yang dibutuhkan orang dewasa sesuai bidang keahlian dan kemampuan masing-masing.

2) Prinsip Andragogi

Pada dasarnya prinsip utama andragogi adalah “apa yang dipelajari pembelajar, bukan apa yang diajarkan pengajar”. Artinya, hasil akhir yang dinilai adalah apa yang diperoleh orang dewasa dari suatu pertemuan pendidikan atau latihan dan bukan apa yang dilakukan pengajar atau pelatih atau penceramah dalam pertemuan itu.

Beberapa prinsip andragogi, antara lain:

a) Pertumbuhan orang dewasa dimulai pertengahan masa remaja (adolescence) sampai dewasa

b) Orang dewasa tidak menginginkan orang lain memandang dirinya atau diperlakukan seperti anak-anak

(20)

c) Orang dewasa mengharapkan pengakuan dari orang lain secara otonom dan dijamin keamanannya

d) Orang dewasa menjaga identitas dirinya dengan cara penolakan dan ketidakseimbangan akan setiap usaha orang lain untuk menekan, memaksa, dan manipulasi tingkah laku yang ditunjukan terhadap dirinya.

Andragogi bukan objek yang dibentuk dan dipengaruhi untuk menyesuaikan diri dan keinginan memegang otoritas di atas dirinya sendiri, akan tetapi tujuan kegiatan belajar dalam pendidikan orang dewasa lebih mengarah pada upaya pencapaian identitas dirinya sendiri untuk menjadi dirinya sendiri. Kegiatan belajar bertujuan mengantarkan individu untuk menjadi pribadi atau menemukan jati dirinya. Belajar atau pendidikan merupakan process of becoming a person dan bukan proses pembentukan atau process of being shaped yaitu proses pengendalian dan manipulasi agar sesuai dengan orang lain, atau belajar merupakan proses untuk mencapai aktualisasi diri (self actualization).

Dalam diri orang dewasa telah tumbuh kematangan konsep dirinya sehingga timbul kebutuhan psikologi yang mendalam yaitu keinginan dipandang dan diperlukan sebagai peribadi utuh yang mampu mengarahkan dirinya sendiri. Dalam tingkatan pengembangan ini individu sudah dapat memecahkan segala persoalan logis, berpikir secara ilmiah, dapat memecahkan masalah-masalah verbal yang kompleks atau sudah tercapai kematangan struktur kognitif. Dalam periode ini individu mulai mengembangkan pengertian akan diri (self) atau identitas (identity) yang dapat dikonsepsikan terpisah dari dunia luar disekitarnya. Berbeda dengan anak-anak, remaja (adolescence) mampu mengerti dan

(21)

membedakan nilai-nilai, keadaan benda-benda didekatnya tetapi juga kemungkinan keadaan benda-benda itu. Nilai-nilai yang diharapkan selalu diabandingkan dengan nilai yang aktual. Oleh karena itu, sejak pertengahan masa remaja individu mengembangkan pengertian diri (sense of identity).

3) Asumsi dalam Andragogi

Dalam andragogi ada empat asumsi pokok yang digunakan, yaitu: a) Konsep Diri

Konsep diri pada anak-anak masih tergantung, sedangkan pada orang dewasa konsep dirinya sudah mandiri. Oleh sebab itu orang dewasa membutuhkan penghargaan dari orang lain dimana dia telah mampu menentukan dirinya sendiri (self determination) dan mengarahkan dirinya (self direction). Orang dewasa juga mempunyai kebutuhan psikologis yang dalam agar menjadi mandiri, meskipun dalam situasi tertentu ada ketergantungan. Pelatihan harus mempertimbangkan iklim ini, baik suasana pembelajaran maupun dalam proses pelatihannya.

b) Peranan Pengalaman

Sesuai dengan perjalanan waktu seorang individu tumbuh dan berkembang manuju ke arah kematangan. Dengan pengalamannya, menjadikan seorang individu sebagai sumber belajar dan pada saat yang bersamaan individu tersebut memberikan dasar yang luas untuk belajar dan memperoleh pengalaman baru. Oleh sebab itu, dalam andragogi lebih mengembangkan teknik yang bertumpu pada pengalaman atau experiental learning cycle. Pelatihan lebih banyak menggunakan diskusi kelompok, curah pendapat, kerja laboratorium, melakukan

(22)

praktek dan sebagainya yang pada dasarnya berupaya untuk melibatkan peran serta peserta pelatihan.

c) Kesiapan Belajar

Bagi orang dewasa, kesiapan belajar bukan ditentukan kebutuhan atau tekanan akademik ataupun biologisnya, tetapi lebih oleh tuntutan perkembangan dan perubahan tugas dan peranan sosialnya, sebagai pekerja, orang tua atau pemimpin organisasi.

d) Orientasi Belajar

Pada anak, orientasi belajar pada materi pembelajaran (subject matter centered orientation) sedangkan orang dewasa cenderung memiliki orientasi belajar yang berpusat pada pemecahan permasalahan yang dihadapi (problem centered orientation). Bagi orang dewasa dibutuhkan hasil belajar untuk dapat dipergunakan dengan segera. Untuk itu materi pelatihan hendaknya bersifat praktis dan dapat segera diterapkan dalam kenyataan sehari-hari.

Dalam penelitian ini, sasaran pelatihan adalah baby sitter dan fasilitator sebagai orang dewasa. Dengan demikian penerapan kemampuan atau keterampilan dalam program peningkatan kompetensi memperhatikan karakteristik baby sitter dan fasilitator sebagai orang dewasa. Makna dewasa dapat dipahami sebagai sebuah tahapan dalam rentangan rangkaian kehidupan manusia, dimulai dari anak-anak, remaja, kemudian dewasa. Konsep orang dewasa (adult) secara umum dapat diberi arti sebagai orang yang telah memiliki kematangan fungsi-fungsi biologis atau fungsi sosial dan psikologis dalam

(23)

segi-segi pertimbangan, tanggung jawab, kemandirian dan pelaksanaan peran-peran sosial dalam kehidupan, bukan pada kedewasaan dalam arti fisik.

Dalam andragogi, perlu mempersiapkan perangkat atau prosedur untuk mendorong dan melibatkan secara aktif seluruh peserta didik. Proses ini yang dikenal dengan pendekatan partisipatif. Pendekatan partisipatif dalam proses belajar melibatkan elemen-elemen yaitu; (1) menciptakan iklim dan suasana yang mendukung proses belajar mandiri, (2) menciptakan mekanisme dan prosedur untuk perencanaan bersama dan partisipatif, (3) diagnosis kebutuhan-kebutuhan belajar yang spesifik, (4) merumuskan tujuan-tujuan program yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan belajar, (5) merencanakan pola pengalaman belajar, (6) melakukan dan menggunakan pengalaman belajar dan mendiagnosis kembali kebutuhan-kebutuhan belajar. Hal ini yang disebut dengan model proses.

Implikasi dari model pembelajaran tersebut maka dalam memproses interaksi belajar dalam pelatihan orang dewasa termasuk pelatihan ditempat kerja, kegiatan dan peranan tutor dan fasilitator tidak sekedar memindahkan pengetahuan dan keterampilan kepada peserta dalam proses interaksi belajar mandiri, yaitu proses belajar untuk memahami permasalahan yang dihadapinya secara nyata, memahami kebutuhan belajarnya sendiri, dapat merumuskan tujuan belajar, dan mendiagnosis kembali kebutuhan belajarnya sesuai dengan perkembangan yang terjadi dari waktu ke waktu. Tugas dan peranan fasilitator tidak bisa memaksakan program atau kurikulum yang direncanakan tanpa adanya analisis kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi peserta pelatihan.

(24)

4) Langkah-Langkah dalam Andragogi

Dalam pelaksanaan kegiatan andragogi, perlu ditempuh langkah-langkah pokok penciptaan iklim pembelajaran yang kondusif. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan upaya menciptakan dan mengembangkan iklim dan suasana yang kondusif dalam proses yang andragogis, yaitu:

a) Pengaturan Lingkungan Fisik

Pengaturan lingkungan fisik merupakan salah satu unsur dimana orang dewasa merasa terbiasa, aman, nyaman dan mudah. Untuk itu perlu dibuat senyaman mungkin dalam hal penataan dan peralatan hendaknya disesuaikan dengan kondisi orang dewasa, alat peraga dengar dan lihat yang dipergunakan hendaknya disesuaikan dengan kondisi fisik orang dewasa, dan penataan ruangan, pengaturan meja, kursi dan peralatan lainnya hendaknya memungkinkan terjadinya interaksi sosial

b) Pengaturan Lingkungan Sosial Dan Psikologis

Iklim psikologis hendaknya merupakan salah satu faktor yang membuat orang dewasa merasa diterima, dihargai dan didukung. Oleh karena itu sangat diharapkan peran fasilitator dalam pelatihan antara lain: fasilitator lebih bersifat membantu dan mendukung, mengembangkan suasana bersahabat, informal dan santai melalui kegiatan bina suasana dan berbagai permaianan yang sesuai, menciptakan suasana demokratis dan kebebasan untuk menyatakan pendapat tanpa rasa takut, mengembangkan semangat kebersamaan, menghindari banyaknya pengarahan dari pejabat-pejabat pemerintah, dan menyusun kontrak belajar yang disepakati.

(25)

c) Diagnosis Kebutuhan Belajar

Dalam andragogi tekanan lebih banyak diberikan pada keterlibatan seluruh peserta pelatihan dalam suatu proses melakukan diagnosis kebutuhan belajarnya, antara lain melibatkan seluruh pihak terkait (stakeholder) terutama pihak yang terkena dampak langsung atas kegiatan itu, membangun dan mengembangkan suatu model kompetensi atas prestasi ideal yang diharapkan, menyediakan berbagai pengalaman yang dibutuhkan, melakukan analisis perbandingan antara yang diterapkan dengan kenyataan yang ada, misalkan pada pencapaian kompetensi tertentu.

d) Proses Perencanaan

Dalam perencanaan pelatihan hendaknya melibatkan semua pihak terkait, terutama yang akan terkena dampak langsung atas kegiatan pelatihan tersebut. Tampaknya ada suatu hukum kecenderungan dari sifat manusia bahwa mereka akan merasa commited terhadap suatu keputusan apabila mereka terlibat dan berperan serta dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu kegiatan yang dilakukan adalah melibatkan peserta untuk menyusun rencana pelatihan, baik yang menyangkut penentuan materi pembelajaran, penentuan waktu dan lain-lain, menemui dan mendiskusikan segala hal dengan berbagai pihak terkait pada pelatihan, menerjemahkan kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasi ke dalam tujuan yang diharapkan dan ke dalam materi pelatihan, menentukan pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas diantara pihak terkait siapa yang melakukan, apa dan kapan dilakukan.

(26)

e) Memformulasikan Tujuan

Setelah menganalisis hasil-hasil identifikasi kebutuhan dan permasalahan yang ada, langkah selanjutnya adalah merumuskan tujuan yang disepakati bersama dalam proses perencanaan partisipatif. Dalam merumuskan tujuan hendaknya dilakukan dalam bentuk deskripsi tingkah laku yang akan dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut di atas.

f) Mengembangkan Model Umum

Ini merupakan aspek seni dan arsitektural dari perencanaan pelatihan dimana harus disusun secara harmonis antara beberapa kegiatan belajar seperti kegiatan diskusi kelompok besar, kelompok kecil, urutan materi dan lain sebagainya. Dalam hal ini tentu harus diperhitungkan pula kebutuhan waktu dalam membahas satu persoalan dan penetapan waktu yang sesuai.

g) Menetapkan Materi Dan Teknik Pembelajaran

Dalam menetapkan materi dan metode atau teknik pembelajaran hendaknya memperhatikan beberapa hal, yaitu materi pelatihan atau pembelajaran hendaknya ditekankan pada pengalaman-pengalaman nyata dari peserta pelatihan, materi pelatihan hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan berorientasi pada aplikasi praktis, metode dan teknik yang dipilih hendaknya menghindari teknik yang bersifat pemindahan pengatahuan dari fasilitator kepada peserta, dan metode dan teknik yang dipilih hendaknya tidak bersifat satu arah namun lebih bersifat partisipatif.

(27)

h) Evaluasi

Pendekatan evaluasi secara konvensional pedagogi kurang efektif untuk diterapkan bagi orang dewasa. Untuk itu pendekatan ini tidak cocok dan tidaklah cukup untuk menilai hasil belajar orang dewasa. Ada beberapa pokok dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar bagi orang dewasa yakni evaluasi hendaknya berorientasi pada pengukuran perubahan perilaku setelah mengikuti proses pembelajaran/pelatihan, evaluasi sebaiknya dilaksanakan melalui pengujian terhadap dan oleh peserta pelatihan itu sendiri (self evaluation), perubahan positif perilaku merupakan tolak ukur keberhasilan, ruang lingkup materi evaluasi ditetapkan bersama secara partisipatif atau berdasarkan kesepakatan bersama seluruh pihak terkait yang terlibat, evaluasi ditujukan untuk menilai efektifitas dan efesiensi penyelenggaraan program pelatihan yang mencakup kekuatan maupun kelemahan program, dan menilai efektifitas materi yang dibahas dalam kaitannya dengan perubahan sikap dan perilaku.

Pelatihan yang dapat memberikan motivasi belajar pada orang dewasa menurut Blanchard & Thacker (2007:66 ), ditentukan oleh: a) relevansi pelatihan, nilai-nilai dan kesiapan belajar dari peserta; b) memberikan kesempatan pada peserta pelatihan mengontrol sendiri pembelajaran mereka; c) melibatkan peserta pelatihan ke dalam proses pelatihan itu sendiri

Dalam membangun program pelatihan yang profesional bagi pekerjanya Rae (1997 : 36), dikemukakan sembilan prinsip penting yaitu : a) mengetahui kekuatan dan kelemahan peserta pelatihan yang berkaitan dengan motivasi untuk belajar dan mendesain pelatihan untuk tujuan tersebut; b) tujuan pembelajaran

(28)

berkaitan dengan tujuan organisasi dan menunjukkan bagaimana pembelajaran sangat penting bagi kesuksesan peserta dan organisasi; c) menjelaskan tujuan dan arah program dengan jelas sejak awal pelatihan; d) melibatkan peserta lebih awal dengan memaksimalkan perhatian, harapan dan ingatan; e) menggunakan aktivitas pembelajaran yang sistematis, secara logis berkaitan dengan tahapan pembelajarannya sehingga peserta pelatihan menguasai tahapan yang lebih rendah dalam pembelajaran sebelum bergerak menuju level yang lebih tinggi; f) menggunakan variasi metode pelatihan; g) menggunakan pekerjaan yang realistik atau materi pelatihan yang relevan dengan kehidupan; h) mengikuti peserta dan bekerja bersama-sama dan berbagi pengalaman; i) menunjukkan kejelasan dalam umpan balik dan memberikan dukungan penuh untuk menumbuhkan penilaian diri. Prinsip-prinsip ini dapat digunakan dalam program pelatihan oleh pelatih dalam menciptakan lingkungan belajar kelompok yang efektif meskipun pada peserta dengan karakteristik peserta yang bervariasi sekalipun.

b. Model Pembelajaran Tuntas (Mastery Learning)

Definisi model mastery learning (pembelajaran tuntas) adalah pembelajaran yang bertujuan untuk menyediakan lingkungan belajar yang sesuai dengan mempertimbangkan perbedaan individual siswa sehingga mereka tidak menghambat kegiatan target pembelajaran. Menurut Bloom (1981), teori pembelajaran tuntas (Mastery learning theory) didasarkan pada gagasan bahwa Cognitive Introduction Behaviors (seperti pra-belajar yang dianggap perlu untuk belajar satu unit) yang karakteristik siswa, tingkat motivasi untuk mempelajari

(29)

unit (Emotional Introduction fitures) dan kualitas pengajaran kegiatan adalah indikator dasar pembelajaran dalam menghasilkan output.

Belajar tuntas dilandasi oleh dua asumsi, yaitu 1) adanya korelasi antara tingkat keberhasilan dengan kemampuan potensi atau bakat. Hal ini dilandasi oleh teori bakat yang dikemukakan oleh Caroll (1963:77) bahwa apabila para peserta didik didistribusikan secara normal dengan memperhatikan kemampuannya secara potensial untuk beberapa bidang pengajaran, kemudian mereka diberi pengajaran yang sama, dan hasil belajarnya diukur, ternyata akan menunjukkan distribusi normal; 2) apabila pelajaran dilaksanakan secara sistematis, maka semua peserta didik akan mampu menguasai bahan yang disajikan kepadanya. Menurut Caroll (1963) pada dasarnya bakat bukanlah merupakan indeks kemampuan seseorang, namun sebagai ukuran kecepatan belajar (measures of learning rate), artinya seseorang dengan bakat tinggi memerlukan waktu relatif sedikit untuk mencapai taraf penguasaan bahan dibandingkan dengan peserta didik yang memiliki bakat rendah.

Beberapa variabel yang digunakan oleh pendidik untuk mengaktifkan pembelajaran tuntas (mastery learning) yaitu variabel petunjuk, penguatan, partisipasi siswa, umpan balik dan koreksi. Variabel-variabel tersebut digambarkan oleh Bloom (1981) sebagai kegiatan mengajar yang berkualitas. Menurut teori ini, jika fitur pengenalan terhadap siswa (aspek kognitif dan afektif siswa) yang terkait dengan kegiatan mengajar adalah positif dilakukan, maka hasil belajar akan mencapai tingkat yang tinggi. Dengan hasil yang tinggi tersebut

(30)

maka perbedaan antara para siswa akan berada di tingkat minimum (Sever, 1997:55).

Variabel-variabel mastery learning ditunjukkan pada gambar dibawah ini :

Bagan 2.2

The Variables of Mastery Learning (Wong, 2002:96)

Teori-teori pembelajaran tuntas (mastery learning) diakibatkan dari perubahan radikal dalam tanggung jawab untuk guru; tindakan menyalahkan kegagalan siswa yang lebih menyalahkan pada instruksi pembelajaran bukan karena adanya kesenjangan pada kemampuan di pihak mahasiswa. Dalam jenis lingkungan pembelajaran ini, ada tuntutan untuk menyediakan waktu yang cukup dan menggunakan strategi pengajaran yang tepat sehingga semua siswa dapat mencapai tingkat yang sama belajar (Bloom,1981).

Pembelajaran tuntas (mastery learning) merupakan strategi pembelajaran berbasis pada prinsip bahwa semua siswa dapat belajar serangkaian tujuan yang wajar dengan instruksi yang tepat dan waktu yang cukup untuk belajar. Mastery learning menempatkan teknik tutoring dan pembelajaran individual dalam situasi kelompok pembelajaran dan membawa strategi pembelajaran untuk kesuksesan

(31)

siswa untuk hampir semua siswa dari kelompok tertentu. Dalam bentuk yang lengkap, model pembelajaran tuntas (mastery learning model) meliputi filsafat, struktur kurikulum, model pembelajaran, yaitu kesejajaran penilaian siswa, dan pendekatan mengajar.

Strategi pembelajaran mastery yang dikembangkan oleh Bloom (1968) meliputi tiga bagian, yaitu mengidentifikasi prakondisi, mengembangkan prosedur operasional dan hasil belajar. Dalam implementasinya dalam pembelajaran dapat dilakukan : 1) Corrective Technique, yaitu semacam pembelajaran remedial yang dilakukan dengan memberikan pengajaran terhadap tujuan yang gagal dicapai oleh peserta didik, dengan prosedur dan metoda yang berbeda dari sebelumnya; 2) Memberikan tambahan waktu kepada peserta didik yang membutuhkan (belum menguasai bahan secara tuntas). Sehingga secara teknisnya dalam mastery learning di sebuah pelatihan dapat dilakukan pendekatan :

1) Secara jelas menyebutkan tujuan yang mewakili maksud kursus;

2) Kurikulum dibagi menjadi unit-unit pembelajaran yang relatif kecil, masing-masing unit terdiri dari tujuan dan penilaian sendiri;

3) Bahan pembelajaran bahan dan strategi pengajaran diidentifikasi, meliputi pengajaran, model, praktek, evaluasi formatif, mengajar kembali, penguatan, dan termasuk evaluasi sumatif;

4) Setiap unit diawali dengan tes diagnostik singkat, atau penilaian formatif; 5) Hasil tes formatif digunakan untuk memberikan instruksi tambahan, atau

kegiatan korektif untuk membantu pelajar mengatasi masalah (Mulyasa, 2002:97).

Dalam pengembangan kurikulum, mastery learning tidak berfokus pada konten, namun pada proses untuk menguasai itu. Bahan kurikulum dapat dirancang oleh desainer instruksional di rumah atau melalui pendekatan tim dengan berbagai profesional dalam pengaturan diberikan baik di sekolah atau industri. Bahan instruksional juga dapat diperoleh sebagai bahan yang diolah dari

(32)

sumber komersial luar. Kombinasi ini juga sangat dimungkinkan terjadi. Materi pembelajaran yang dikembangkan atau diperoleh, para guru harus mengevaluasi material yang mereka rencanakan untuk digunakan dalam rangka untuk memastikan bahwa mereka cocok dengan tujuan pembelajaran yang telah diatur untuk program pembelajaran tertentu.

Keuntungan terbesar dari pendekatan mastery adalah untuk mempercepat dalam bekerja. Hal ini berarti, kita mulai dengan mencari tahu apa yang siswa/warga belajar tahu, dan kemudian membantu mereka belajar untuk mempelajari hal apa yang mereka perlu tahu dalam rangka untuk menunjukkan penguasaan (mastery). Menggunakan pendekatan mastery juga artinya menyediakan fleksibilitas untuk menampung instruksi gaya pembelajaran individual, kebutuhan dan kepentingan.

c. Pembelajaran Berdasarkan Pengalaman (Experential based Learning)

Experential Learning (EBL) adalah sebuah pendekatan dalam pembelajaran yang berbasiskan pada pengalaman. Menurut Lee Andresen, Boud & Ruth Cohen (Folley, 2000:103), EBL didasarkan pada seperangkat asumsi tentang belajar dari pengalaman.

Seperangkat asumsi yang diidentifikasi dalam (Folley, 2000:105) oleh Boud et al (1993:87) yaitu:

a) Pengalaman adalah dasar dan stimulus untuk belajar. b) Pembelajar aktif membangun pengalaman mereka sendiri. c) Peserta didik adalah proses holistik.

(33)

e) Belajar dipengaruhi oleh konteks sosioemosional di mana ia terjadi.

EBL menuntut tiga faktor yang masing-masing dapat beroperasi, pada tingkat tertentu, yaitu :

a) Keterlibatan seluruh orang, baik dalam kecerdasan, perasaan dan indera. Misalnya, dalam pembelajaran melalui permainan peran (role plays) dan permainan, proses bermain atau bertindak yang biasanya melibatkan pemikiran, beberapa atau lain melibatkan indera dan berbagai perasaan. Belajar terjadi melalui semua kegiatan ini.

b) Pengakuan dan menggunakan secara aktif semua pengalaman hidup pembelajar yang relevan dan pengalaman belajar. Dimana belajar baru akan bisa berhubungan dengan pengalaman pribadi, artinya diturunkan dan diintegrasikan ke dalam nilai-nilai pemahaman dari pembelajar.

c) Refleksi yang berkelanjutan pada pengalaman sebelumnya dalam rangka untuk menambah dan mengubah menjadi pemahaman yang lebih dalam. Proses ini berlangsung selama pembelajar hidup dan memiliki ingatan. Kualitas pemikiran reflektif yang dibawa oleh pelajar memiliki tingkat signifikansi dalam hasil pembelajaran yang lebih besar dari pada sifat pengalaman itu sendiri. Belajar adalah. proses dimana pengetahuan diciptakan melalui transformasi pengalaman

Dalam prakteknya, EBL bervariasi pelaksanaannya dengan mengacu pada tiga kemungkinan yang merupakan faktor-faktor yang menentukan dalam dapat atau tidak dapatnya faktor tersebut diterapkan dalam contoh kasus tertentu. Faktor-faktor tersebut meliputi :

(34)

a) Intensionalitas desain. Kegiatan belajar dirancang dengan sengaja secara terstruktur. Rancangannya meliputi simulasi, permainan, roleplay, visualisasi, diskusi kelompok, sosiodrama dan hypotheticals.

b) Fasilitasi. Hal ini adalah adanya keterlibatan orang lain, yaitu meliputi (guru, pemimpin, pelatih, terapis). Ketika orang-orang tersebut terlibat, maka hasil akan sangat mungkin dipengaruhi oleh tingkat keterampilan mereka dalam melaksanakan proses fasilitasi. EBL sering menganggap bahwa hubungan yang relatif sejajar antara fasilitator dan peserta didik, akan mengakibatkan kemungkinan negosiasi, dan akan memberikan kontrol yang besar serta otonomi dari pelajar.

c) Penilaian hasil pembelajaran. Dalam hal pelaksanaan penilaian, lebih banyak tergantung pada dengan cara apa dilakukan, oleh siapa, dan untuk apa tujuan penilaian itu dilakukan. EBL lebih banyak perhatian dengan proses sebagai hasil dari pembelajaran, dan prosedur penilaian harus sesuai dengan hal tersebut. Tugas-tugas penilaian sama dengan dengan EBL termasuk proyek-proyek individu atau kelompok, esai-esai kritis yang dialami oleh pembelajar dalam pengalamannya, membaca log, mempelajari jurnal, negosiasi dalam kontrak pembelajaran, penilaian antar sejawat dan penilaian diri sendiri (self-assessment). Sehingga penilaian mungkin akan meliputi berbagai mode presentasi lebih daripada menulis, sehingga akan terjadi penilaian yang holistik, sesuai konteks dan kompleksitas dari belajar dapat dibuktikan secara nyata.

(35)

d. Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem based Learning)

Menurut Boud & Felletti (1991) dalam (Folley, 2000:110), gagasan utama dari Problem based Learning (PBL) bahwa titik awal untuk belajar harus dari suatu permasalahan, pertanyaan atau teka-teki yang dengan hal tersebut warga belajar berkeinginan untuk memecahkannya. Masalah yang diajukan dalam program PBL menjadi sangat penting untuk dapat dilaksanakan praktiknya dan oleh karena sangat pentingnya penentuan masalah tersebut maka banyak program pendidikan kejuruan tradisional yang menghindar dari pendekatan ini. Kesulitan-kesulitan tersebut meliputi isu relevansi, pengalaman belajar warga belajar, dan yang berhubungan dengan pendekatan awal-akhir di banyak kursus, dimana semua pengetahuan harus disediakan pada pertama kali.

Para pendukung pembelajaran berbasis masalah juga berpendapat bahwa pengetahuan yang tidak pernah statis dan tidak pernah dapat benar-benar diakomodasi dalam program kerja sehingga memandang tujuan program pra-pekerjaan adalah mengembangkan keterampilan untuk belajar pengetahuan baru dengan cepat, efektif dan mandiri. Untuk menjawab tujuan program tersebut dikatakan bahwa pendekatan berbasis masalah sebagai cara untuk mengembangkan keterampilan ini.

Chappell, Gonczi & Hager dalam Folley (2000) mengungkapkan bahwa pendekatan berbasis kompetensi untuk orang dewasa belajar sangat berbeda dari yang digunakan oleh gerakan CBT. Proses pembelajaran dan kontennya terintegrasi. Pembelajaran mandiri menjadi fitur kurikulum. Kegiatan bersama dan belajar kelompok termasuk didalamnya yang lebih pada pembelajaran kolaboratif

(36)

dan kontrak belajar; penilaian diri (self-assessment) menjadi ciri utama dari proses belajar. Salah satu contoh dari pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran ini dan yang telah digunakan secara luas adalah pembelajaran berbasis masalah (PBL).

Boud dan Felletti (1991) dalam Folley (2000) juga menyarankan bahwa PBL melayani dua tujuan yang berbeda. Tujuan pertama yaitu menyangkut praktik dan pengembangan dari sejumlah kompetensi umum, termasuk :

a) beradaptasi dan berpartisipasi dalam perubahan; b) menangani masalah;

c) membuat keputusan beralasan; d) penalaran kritis dan kreatif;

e) mengadopsi pendekatan yang lebih holistik untuk bekerja; f) berlatih empati dan berkolaborasi dalam kelompok; g) mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan pribadi; h) melakukan self-directed learning.

Tujuan kedua, Boud dan Felletti (1991) juga menyarankan bahwa PBL memenuhi kondisi untuk orang dewasa yang efektif belajar dengan memungkinkan peserta didik untuk menentukan dan memecahkan masalah; dengan mengintegrasikan belajar, dan dengan mendorong pembelajaran kumulatif, pembelajaran untuk memahami dan belajar melalui refleksi.

Pembelajaran berbasis masalah telah digunakan terutama dalam pendidikan dan pelatihan profesi. Sejumlah sekolah keperawatan, teknik, optometri, arsitektur

(37)

hukum, dan bisnis telah menggunakan pendekatan kurikulum ini (Boud & Felletti 1991; Boud 1985).

Prinsip-prinsip yang mendasari pembelajaran berbasis masalah menurut Barrows dan Tamlyn dalam Boud (1985:14), yaitu :

a) Masalah diangkat saat pertama dalam urutan belajar, sebelum ada persiapan atau belajar telah terjadi.

b) Situasi permasalahan disajikan kepada siswa dengan cara yang sama seperti yang ada dalam kenyataan.

c) Siswa bekerja dengan permasalahan yang diangkat, dengan cara yang memungkinkannya meningkatkan kemampuan dengan berbagai alasan dan menantang dengan menerapkan pengetahuan serta mengevaluasi sesuai dengan tingkatan belajar dari warga belajar tersebut. Bidang kebutuhan pembelajaran diidentifikasi pada proses dalam penyelesaian permasalahan tersebut sebagai untuk menjadi panduan untuk proses belajar mandiri/individual learning. d) Keterampilan dan pengetahuan yang diperoleh melalui pembelajaran dengan

masalah tersebut, diterapkan kembali ke masalah, untuk mengevaluasi efektivitas pembelajaran dan untuk memperkuat hasil belajar.

e) Pembelajaran yang terjadi dalam penyelesaian masalah dan dalam proses pembelajaran mandiri (individual learning) dirangkum dan diintegrasikan ke dalam pengetahuan dan keterampilan siswa yang telah terbentuk.

Pembelajaran berbasis masalah banyak digunakan oleh pendidik dalam profesi dan dapat digolongkan sebagai bentuk pendidikan berbasis praktek (Boud dan Feletti, 1991: 36). Saat ini banyak profesi mengidentifikasi cara

(38)

bagaimana inisiatif dalam PBL dapat dimanfaatkan dalam mempersiapkan banyak para profesional dan bahkan digunakan oleh beberapa disiplin ilmu yang lebih tradisional, seperti ekonomi (Courvisanos, 1985:27). Meskipun dapat dilihat bahwa pada setiap bentuk studi yang dimulai dari situasi praktek mungkin akan memulai dengan masalah-masalah praktis bukan dari pertimbangan teoritis. Pendekatan yang banyak digunakan tersebut konsisten dengan teori pembelajaran berbasis pengalaman (Jarvis et al, 1998:46-58.)

e. Pelatihan dalam Pekerjaan (On The Job Training)

Pengertian on the job training (OJT) berdasarkan sejarah kemunculannya dibagi menjadi dua makna yaitu : Informal OJT dan Formal OJT. Makna dari informal OJT adalah konsep yang sejak dahulu dilakukan ketika kita ingin memberikan kesempatan kepada seorang pegawai dengan latihan pada orang lain yang sudah berkecimpung di dunia pekerjaan tersebut. Informal OJT adalah kenyataan yang terjadi dalam setiap organisasi, dimana yang sudah mampu melakukan berbagi pengetahuan dengan yang belum tahu dalam suatu organisasi sesuai dengan kebutuhan tanpa ada materi pelatihan tertentu, instrumen evaluasi maupun catatan.(Piskurich, 2000:88).

Karakteristik informal OJT dalam (Blanchard & Thacker, 2007:243), yaitu : a) Tidak disiapkan dengan baik

b) Dilakukan dalam basis berjalan apa adanya tanpa ada persiapan isi atau proses c) Tidak ada tujuan yang dibangun atau menjadi acuan selama pelatihan

d) Pelatih dipilih berdasarkan keahlian teknik bukan kemampuan dalam melatih e) Pelatih tidak melalui pelatihan formal dalam bagaimana melatih

(39)

Metode pelatihan ini paling sering digunakan terutama dalam bisnis kecil. Informal OJT adalah metode yang paling disukai dalam melatih pegawai untuk teknologi baru dan meningkatkan keterampilan untuk teknologi terbaru. (Swamidass dalam Blanchard&Thacker,2007:243).

Makna formal OJT adalah kebalikan dari informal OJT, artinya dalam formal OJT sesuatu dilakukan melalui perencanaan yang matang dan persiapan baik dalam materi maupun pemateri serta berbagai komponen lain yang diperlukan dalam OJT. Meskipun apabila memperhatikan efisiensi waktu dan biaya, apabila sesuatu yang diajarkan adalah mudah dilakukan, mudah dijelaskan atau sedikit signifikansinya pada pekerjaan, informal OJT mungkin dapat dilakukan. Tetapi apabila keterampilan dan pengetahuannya menjadi kompleks dan kritis pada pekerjaan serta membutuhkan bukti bahwa pegawai dapat melakukan tugas, ini akan menjadi masalah apabila hanya mengandalkan OJT secara informal. Pembelajaran informal sendiri mungkin dapat dilakukan namun pembelajaran dengan tanpa ada evaluasi untuk memverifikasi wilayah yang sudah dikuasai atau perlu diulang, serta tanpa adanya komponen kunci dari desain program pelatihan, tujuan pembelajaran dan penampilan, materi target pelatihan, dan instrumen evaluasi tentunya tidak dapat dilakukan apabila tuntutannya sudah semakin besar pada pekerjaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa OJT informal tidak dapat diakui dapat meningkatkan keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan dalam melakukan pekerjaan.

Untuk dapat melaksanakan OJT dengan sukses, ada beberapa tantangan yang besar yaitu:

(40)

a) Waktu yang dibutuhkan untuk mempersiapkan program, dimana harus ada ahli yang berpengalaman dalam pekerjaan tersebut dalam mempersiapkan program. Beberapa persiapan yang dilakukan yaitu persiapannya pada materi pembelajaran, membangun keterampilan dalam menjelaskan program, beradaptasi dengan gaya belajar individu, menyiapkan evaluasi dan bekerjasama dengan peserta pelatihan.

b) Hilangnya waktu dalam mempersiapkan ini, menjadikan harus melepaskan pekerjaan yang biasa dilakukan (Piskurich, 2000:20).

Dalam membangun OJT ada beberapa tahapan yang harus dilakukan yaitu: a) Analisis kebutuhan, dimana pada tahapan ini, melibatkan perbandingan apa

yang ada dan apa yang diharapkan dengan menyusun intervensi dalam pelatihan

b) Analisis situasi, yang pada tahapan ini melibatkan penilaian dari peserta pelatihan dan analisa sumber yang tersedia untuk desain dan mengimplementasikan pelatihan

c) Penentuan pekerjaan dan analisis tugas. Pada tahapan ini melibatkan mengidentifikasi keterampilan dan pengetahuan yang harus dibangun untuk menunjukan kompetensi dari suatu pekerjaan

d) Spesifikasi tujuan dari tingkah laku, dimana menulis standar penampilan yang terukur dan menspesifikasikan kondisi dimana penampilan akan terlihat.

e) Menseleksi, mendesain dan memproduksi materi pelatihan. Pada tahapan ini melibatkan menyeleksi, mendesain dan memproduksi metode dan media yang akan digunakan dalam program pelatihan

f) Menseleksi, mendesain dan memproduksi materi evaluasi, yaitu meliputi menyeleksi, mendesain dan memproduksi instrumen yang digunakan dalam menentukan tujuan tingkah laku yang sudah dicapai

(41)

Desain dan tahapan dalam OJT dilakukan oleh desainer pelatihan dan expert dalam materi tersebut. Ada dua hal esensial yang harus dibangun oleh pendesain program, yaitu :

a) Petunjuk/panduan untuk pelatih/fasilitator/pendamping b) Petunjuk/panduan untuk peserta pelatihan

Karakteristik pelatih/fasilitator/pendamping yang harus dilibatkan adalah : a) Paling utama dan pertama adalah pengetahuan yang mendalam pada subjek

tersebut artinya materi pelatihan harus sangat jelas dan mudah untuk dipahami dan dilakukan

b) Kesungguhan dari pelatih dalam menjalankannya, dimana pelatihan memakan waktu dan tenaga juga emosi. Hal yang juga penting adalah dalam saat pemilihan pelatih juga harus bijaksana dan tepat.

Penyiapan pelatih OJT harus melalui pelatihan bagi pelatih OJT. Pelatih OJT harus dilatih, dan jangan hanya pada tataran mengetahui, bahkan harus dites dalam kemampuan dalam prakteknya. Prinsip dari pembelajaran orang dewasa harus dijalankan dalam peserta OJT, yaitu :

a) Orang dewasa membawa pengalaman pada situasi pembelajaran b) Orang dewasa memilih variasi

c) Orang dewasa ingin belajar

d) Orang dewasa belajar terbaik dengan melakukan e) Perlakukan orang dewasa sebagai orang dewasa f) Lakukan kemudahan dalam pelatihan

(42)

Keterampilan pelatihan secara umum, dimana pelatih OJT harus sadar dengan hal-hal ini yaitu :

a) Penampilan fisik

(1)Hadapi wajah peserta dan buat kontak mata sebanyak mungkin dengan peserta

(2)Hindari tingkah laku yang dapat mengganggu pesan yang ingin disampaikan dalam pelatihan

b) Mengobservasi

(1)Lihat pada bahasa tubuh peserta (2)Lihat pada muka peserta

c) Mendengarkan

(1)Dengar apa yang dikatakan oleh peserta

(2)Ulangi apa yang dikatakan oleh peserta untuk memahami maksud perkataannya

d) Bertanya

Dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik, yaitu :

(1)Kelompok : Tepat dengan menggunakan pertanyaan terbuka dan pertanyaan tertutup

(2)Langsung : Dapat digunakan pertanyaan langsung

(3)Tidak langsung : Pertanyaan disampaikan melalui orang lain

(4)Mengembalikan : Pertanyaan diberikan dengan mengembalikan jawaban pada peserta lain untuk melihat opini yang ada

(43)

Keterampilan lain yang harus dimiliki oleh pelatih/fasilitator adalah keterampilan one and one. Keterampilan tersebut berkaitan dengan keterampilan menyelesaikan permasalahan (George M. Piskurich, 2000:121-130). Beberapa tahapan keterampilan yang dilakukan adalah keterampilan dalam 1) Merencanakan; 2) Mempersiapkan; dan 3) Mempresentasikan.

Dalam Blanchard & Thacker (2007:216) dikatakan bahwa OJT formal harus dengan hati-hati membangun mengikuti tingkatan pembelajaran. Pembelajaran biasanya akan melalui tahapan sebagai berikut:

a) Peserta pelatihan mengobservasi dari pegawai/pelatih yang lebih berpengalaman dan terlatih yang berkaitan dengan penampilan dalam tugas yang berkaitan dengan pekerjaan

b) Prosedur dan teknik yang digunakan didiskusikan sebelum, selama dan setelah pelatih mendemonstrasikan bagaimana tugas pekerjaan dilakukan

c) Peserta pelatihan memulai menunjukkan tugas pekerjaan ketika pelatih menentukan bahwa peserta pelatihan telah siap

d) Pelatih memberikan arahan yang berkelanjutan dan balikan/masukan

e) Peserta pelatihan secara bertahap diberikan pekerjaan sedikit demi sedikit untuk menunjukkan keahliannya sampai dia dapat menunjukkan hasil pekerjaan atas usahanya sendiri

Proses pengajaran secara umum dapat dilihat dengan secara formal dalam detail sebagai teknik pengajaran pekerjaan Job Instruction Technique (JIT). JIT menggunakan strategi behavioral dengan fokus pada pengembangan keterampilan. Bagaimanapun juga bahwa pada hampir semua pekerjaan, tujuan

(44)

pengetahuan akan selalu terlibat. JIT dibangun selama Perang dunia II dan berlanjut menjadi standar dalam mengevaluasi program OJT. JIT meliputi empat tahapan, yaitu :

a) Prepare-Persiapan

b) Present-Menampilkan

c) Try Out-Menguji coba

d) Follow up-Mengikuti untuk melakukan pengecekan

Tabel 2.3

JIT Instruction Learning Sequence

Basic of instruction Areas of learning affected Prepare

1. Break down the job

2. Prepare an instruction plan 3. Put the learner as ease

Attention and Motivation

Present 1. Tell 2. Show 3. Demonstrate 4. Explain Retention: Symbolic coding Cognitive Organization Try Out

1. Have the learner talk through the job

2. Have the learner instruct the supervisor on how the job is done

3. Let the learner do the job

4. Provide feed back, both positive and negative

5. Let the learner practice

Retention:/penyimpanan Symbolic Rehearsal Behavioral reproduction

Follow up

1. Check progress frequently at first

2. Tell the learner whom to go for help

3. Gradually taper off progress checks

Behavioral reproduction

Sumber : Gold, L. Job Instruction: Four Steps to Success. Training and Development Journal (September 1981:28-32) dalam Blanchard & Thacker, 2007:244)

(45)

B. Hakekat Kompetensi Baby Sitter Profesional 1. Pengertian Kompetensi

Definisi kompetensi yang termuat dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 1 ayat 10 menjelaskan bahwa : “Kompetensi adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan”. Sehingga kompetensi kerja merupakan suatu keterampilan yang dimiliki oleh seseorang terhadap segala aspek pekerjaan yang akan dijalankan dan keterampilan tersebut membuatnya merasa mampu untuk bisa mencapai berbagai tujuan dalam pekerjaannya.

Menurut McAschan (Mulyasa,2002:77) mengenai pengertian kompetensi dikemukakan bahwa kompetensi ‘... is a knowledge, skills, and abilities or capabilities that a person achieved, which become part of his or her being to the extent he or she can satisfactory perform particular cognitive, afective, and psychomotor behaviours.’ Dalam pengetian tersebut kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya. Bahkan Finch & Crunkilton dalam Mulyasa (2002:59) pun menekankan bahwa “kompetensi adalah penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan, sikap, dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan dalam melaksanakan pekerjaan tertentu”.

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu yang harus guru lakukan adalah melakukan pemilihan dan penentuan metode yang bagaimanan akan dipilih untuk mencapai tujuan pengajaran6. Pemilihan dan penentuan metode

Bulutangkis merupakan cabang olahraga yang membutuhkan daya tahan keseluruhan, di samping menunjukkan ciri sebagai aktivitas jasmani yang memerlukan kemampuan

Aspek-Aspek pada Model Konseptual Pelatihan Peningkatan Keterampilan Teknis bermuatan Nilai-Nilai Estetis bagi Perajin Mebel Kayu dalam Perspektif Pendidikan Orang

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode mnemonic dengan teknik numeric untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh metode ini terhadap peningkatan prestasi

Berdasarkan beberapa pendapat diatas tentang pengertian media dapat diambil kesimpulan bahwa: (1) media adalah alat yang dapat membantu proses belajar mengajar

Teknik metode collaborative learning ini adalah membagi siswa dalam suatu kelompok, masinsg-masing siswa belajar dari temannya satu kelompok kemudian menjelaskan didepan

42) Metode pembelajaran yaitu suatu cara atau pola yang khas, untuk memaksimalkan manfaat dari berbagai prinsip dasar Pendidikan dan juga berbagai teknik beserta

Untuk lebih memahami lagi tentang metode brainstorming berikut menurut Guntar (Nurafifah, Nurlaelah, Usdiyana; 2016, hlm. 95) Teknik brainstorming adalah teknik