• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI. A. Landasan Teori. 1. Kurikulum KTSP Berbasis Kompetensi. a. Pengertian Kurikulum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI. A. Landasan Teori. 1. Kurikulum KTSP Berbasis Kompetensi. a. Pengertian Kurikulum"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user BAB II KAJIAN TEORI

A. Landasan Teori

1. Kurikulum KTSP Berbasis Kompetensi a. Pengertian Kurikulum

Kurikulum merupakan alat yang sangat penting bagi keberhasilan dalam proses pendidikan. Dalam perkembangannya, sudah berulang kali diadakan berbagai perubahan serta perbaikan kurikulum yang ditujukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan yang diperlukan di dunia pendidikan. Hal tersebut bertujuan untuk mencapai hasil pendidikan yang optimal.

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 (PP19/2005) tentang Standar Nasional Pendidikan, Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik.

Oleh sebab itu kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah.

(2)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kurikulum merupakan serangkaian program yang berisi rencana-rencana pelajaran yang telah disusun sedemikian rupa yang dapat dipakai secara langsung oleh guru dalam mengajar. Dengan penerapan kurikulum yang tepat, maka diharapkan sasaran dan tujuan pendidikan dapat tercapai dengan baik.

b. Pengertian Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah sebuah kurikulum operasional pendidikan yang disusun dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP secara yuridis diamanatkan oleh Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (BSNP 2006:3).

Menurut Mulyasa (2006: 12), KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun, dikembangkan, dan dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan yang sudah siap dan mampu mengembangkannya dengan memperhatikan Undang- Undang Nomor 20 Pasal 36 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Penyusunan KTSP oleh sekolah dimulai tahun ajaran 2006/2007 dengan mengacu pada Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk Pendidikan Dasar dan Menengah sebagaimana yang diterbitkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional masing-

(3)

masing Nomor 22 Tahun 2006 dan Nomor 23 Tahun 2006, serta Panduan Pengembangan KTSP yang dikeluarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP 2006: 3).

Penyusunan KTSP sangat diperlukan untuk mengakomodasi semua potensi yang ada di daerah untuk meningkatkan kualitas satuan pendidikan dalam bidang akademis maupun non akademis, memelihara budaya setempat, mengikuti perkembangan IPTEK yang dilandasi iman dan takwa (Hasan, 2006: 1).

Pada panduan penyusunan Penyusunan KTSP selain melibatkan kepala sekolah, guru, karyawan, dan juga melibatkan komite sekolah serta bila perlu melibatkan para ahli dari perguruan tinggi. Dengan keterlibatan komite sekolah dalam penyusunan KTSP, maka KTSP yang disusun akan sesuai dengan apresiasi masyarakat, situasi, dan kondisi lingkungan, serta kebutuhan masyarakat (BSNP 2006: 5).

c. Tujuan, Landasan Pengembangan dan Karakteristik KTSP

Menurut Mulyasa (2006: 22), tujuan diterapkannya KTSP antara lain untuk:

1) Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengembangkan kurikulum, mengelola, dan memberdayakan sumberdaya yang tersedia.

(4)

2) Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam mengembangkan kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama.

3) Meningkatkan kompetisi yang sehat antar satuan pendidikan tentang kualitas pendidikan yang akan dicapai.

Landasan Pengembangan KTSP dijelaskan oleh Mulyasa (2006:

24), sebagai berikut:

1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan .

3) Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi.

4) Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan.

5) Permendiknas Nomor24Tahun2006 tentang pelaksanaan Permendiknas Nomor 22 dan 23.

Menurut Mulyasa (2006: 24), karakteristik KTSP bisa diketahui antara lain dari bagaimana sekolah dan satuan pendidikan dapat mengoptimalkan kinerja, proses pembelajaran, pengelolaan sumber belajar, profesionalisme tenaga kependidikan, serta sistem penilaian.

Berdasarkan uraian diatas, dapat dikemukakan beberapa karakteristik KTSP sebagai berikut: pemberian otonomi luas kepada sekolah dan satuan pendidikan, partisipasi masyarakat dan orang tua yang tinggi,

(5)

kepemimpinan yang demokratis, dan profesional, serta tim kerja yang kompak dan transparan.

d. Pengembangan KTSP

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip seperti, (1) Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik, dan lingkungannya, (2) Beragam dan terpadu, (3) Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, (4) Relevan dengan kebutuhan kehidupan, (5) Menyeluruh dan berkesinambungan, (6) Belajar sepanjang hayat, (7) Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah (BSNP, 2006).

e. Komponen KTSP

1) Tujuan Pendidikan Tingkat Satuan Pendidikan

Tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah dirumuskan kepada tujuan umum pendidikan berikut:

a) Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.

(6)

b) Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.

c) Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya (BSNP, 2006).

2) Struktur dan Muatan Kurikulum KTSP

Struktur dan muatan kurikulum KTSP pada jenjang Pendidikan dasar dan menengah yang tertuang dalam Standar Isi meliputi 5 kelompok mata pelajaran, antara lain:

a) Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia.

b) Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian. c.

Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.

c) Kelompok mata pelajaran estetika.

d) Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan.

(BSNP, 2006).

Kelompok mata pelajaran tersebut dilaksanakan melalui muatan dan/ atau kegiatan pembelajaran sebagaimana diuraikan dalam PP 19/ 2005 pasal 7. Muatan KTSP meliputi sejumlah mata pelajaran yang keluasan dan kedalamannya merupakan beban belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan. Disamping itu materi

(7)

muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri termasuk ke dalam isi kurikulum.

3) Kalender Pendidikan

Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat menyusun kalender pendidikan sesuai dengan kebutuhan daerah, karakteristik sekolah, kebutuhan peserta didik, dan masyarakat dengan memperhatikan kalender pendidikan sesuai yang dimuat dalam Standar Isi.

Dalam hal pengembangan Silabus dapat dilakukan oleh para guru secara mandiri atau berkelompok dalam satu sekolah atau beberapa sekolah, kelompok Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan Dinas Pendidikan.

2. Pengertian Sejarah

Pengertian sejarah sekarang ini, yang setelah dilihat secara umum dari para ahli ialah memiliki makna sebagai cerita, atau kejadian yang benar- benar telah terjadi pada masa lalu. Kemudian, disusul oleh Depdiknas yang memberikan pengertian sejarah sebagai mata pelajaran yang menanamkan pengetahuan dan nilai-nilai mengenai proses perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia dari masa lampau hingga kini (Depdiknas,2003:1). Namun, yang jelas kata kuncinya bahwa sejarah merupakan suatu penggambaran ataupun rekonstruksi peristiwa, kisah,

(8)

maupun cerita, yang benar-benar telah terjadi pada masa lalu. Pada umumnya, para ahli sepakat untuk membagi peranan dan kedudukan sejarah yang terbagi atas tiga hal, yakni sejarah sebagai peristiwa, sejarah sebagai ilmu, sejarah sebagai cerita (Ismaun, 1993:277).

a. Sejarah Sebagai Peristiwa

Adalah sesuatu yang terjadi pada masyarakat manusia di masa lampau. Para ahli pun mengelompokkan sejarah agar dapat memudahkan kita untuk memahaminya yaitu:

1) Pembagian sejarah secara sistematis, yaitu pembagian sejarah atas beberapa tema. Contoh : sejarah sosial, politik, sejarah kebudayaan, sejarah perekonomian, sejarah agama, sejarah pendidikan, sejarah kesehatan, sejarah intelektual, dan sebagainya.

2) Pembagian sejarah berdasarkan periode waktu. Contoh: sejarah Indonesia, dimulai dari zaman prasejarah, zaman pengaruh Hindu- Buddha, zaman pengaruh Islam, zaman kekuasaan Belanda, zaman pergerakan nasional, zaman pendudukan Jepang, zaman kemerdekaan, zaman Revolusi Fisik, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.

3) Pembagian sejarah berdasarkan unsur ruang. Dalam sejarah regional dapat menyangkut sejarah dunia, tetapi ruang lingkupnya lebih terbatas oleh persamaan karakteristik, baik fisik maupun sosial budayanya.Contoh :Sejarah Eropa, sejarah Asia, Tenggrara, sejarah Afrika Utara,dan sebagainnya.

(9)

Sejarah sebagai peristiwa sering pula disebut sejarah sebagai kenyataan dan serba objektif (Ismaun, 1993:279)Artinya, peristiwa- peristiwa tersebut benar-benar terjadi dan didukung oleh evidensi-evidensi yang menguatkan, seperti berupa saksi mata(witness) yang dijadikan sumber-sumber sejarah (historical sources), peninggalan-peninggalan (relics atau remains), dan catatan-catatan (records) (Lucey, 1984:27).

Selain itu, dapat pula peristiwa itu diketahui dari sumber- sumber yang bersifat lisan yang disampaikan dari mulut ke mulut. Menurut Sjamsudin (1996:78), ada dua macam sumber lisan. Pertama, sejarah lisan (oral history), contohnya ingatan lisan (oral reminiscence), yaitu ingatan tangan pertama yang dituturkan secara lisan oleh orang-orang yang diwawancarai oleh sejarawan. Kedua, tradisi lisan (oral tradition), yaitu narasi dan deskripsi dari orang-orang dan peristiwa-peristiwa pada masa lalu yang disampaikan dari mulut ke mulut selama beberapa generasi.

b. Sejarah Sebagai Ilmu

Sejarah dikategorikan sebagai ilmu karena dalam sejarah pun memiliki “batang tubuh keilmuan” (the body of knowledge), metodologi yang spesifik. Sejarah pun memiliki struktur keilmuan tersendiri, baik dalam fakta, konsep, maupun generalisasinya (Banks,1977:211-219;

Sjamsuddin, 1996:7-19). Kedudukan sejarah di dalam ilmu pengetahuan digolongkan ke dalam beberapa kelompok.

(10)

1) Ilmu Sosial, karena menjelaskan perilaku sosial. Fokus kajiannya menyangkut proses-proses sosial(pengaruh timbal balik antara kehidupan aspek sosial yang berkaitan satu sama lainnya) beserta perubahan-perubahan sosial.

2) Seni atau art. Sejarah digolongkan dalam sastra. Herodotus (484- 425SM) yang digelari sebagai :Bapak Sejarah” beliaulah yang telah memulai sejarah itu sebagai cerita (story telling), dan sejak saat itu sejarah telah dimasukkan ke dalam ilmu-ilmu kemanusiaan atau humaniora (Sjamsuddin, 1996:189-190). Sejarah dikategorikan sebagai ilmu humaniora, terutama karena dalam sejarah memelihara dan merekam warisan budaya serta menafsirkan makna perkembangan umat manusia. Itulah sebabnya dalam tahap historigrafi dan eksplanasinya, sejarah memerlukan sentuhan-sentuhan estetika atau keindahan (Ismaun, 1993:282-283).

c. Sejarah Sebagai Cerita

Dalam sejarah sebagai cerita merupakan sesuatu karya yang dipengaruhi oleh subjektivitas sejarawan. Artinya, memuat unsur-unsur dari subjek, si penulis /sejarawan sebagai subjek turut serta mempengaruhi atau memberi “warna”, atau “rasa” sesuai dengan

“kacamata” atau selera subjek (Kartodirdjo, 1992:62). Dilihat dari ruang lingkupnya, terutama pembagian sejarah secara tematik, Sjamsuddin (1996:

(11)

203-221) dan Burke (2000:444) mengelompokkannya dalam belasan jenis sejarah, yaitu sejarah sosial; sejarah ekonomi; sejarah kebudayaan;

sejarah demografi; sejarah politik; sejarah kebudayaan rakyat; sejarah intelektual; sejarah keluarga; sejarah etnis; sejarah psikologi dan psikologi histori; sejarah pendidikan; sejarah medis.

Pembelajaran mengenai sejarah dikategorikan sebagai bagian dari Ilmu budaya (Humaniora). Akan tetapi di saat sekarang ini sejarah lebih sering dikategorikan sebagai Ilmu sosial, terutama bila menyangkut peruntutan sejarah secara kronologis (Syadiashare.com). Menurut Abdurahman (2007:14) sejarah berasal dari bahasa Arab “syajarah”, yang artinya pohon dalam bahasa asing lainnya istilah sejarah disebut histore (Prancis), geschichte (Jerman), histoire / geschiedemis (Belanda) dan history (Inggris). Sejarah adalah sebuah ilmu yang berusaha menemukan, mengungkapkan, serta memahami nilai dan makna budaya yang terkandung dalam peristiwa-peristiwa masa lampau (Abdurahman, 2007:14). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan sejarah adalah riwayat kejadian masa lampau yang benar-benar terjadi atau riwayat asal usul keturunan terutama untuk raja-raja yang memerintah.

Sejarah sebagai cabang ilmu pengetahuan, berarti mempelajari dan menerjemahkan informasi dari catatan-catatan yang dibuat oleh orang- perorang, keluarga, dan komunitas. Pengetahuan akan sejarah melingkupi:

(12)

pengetahuan akan kejadian-kejadian yang sudah lampau serta pengetahuan akan cara berpikir secara historis. Jadi berdasarkan beberapa referensi di atas peneliti menyimpulkan sejarah merupakan suatu ilmu yang berfungsi mempelajari, menemukan dan mengungkap kejadian yang berhubungan dengan manusia pada masa lampau.

Terminologi "sejarah" dikenal sebelumnya dari bahasa Arab, syajaratun, yang berarti pohon kayu. Arti ini dimaknai dalam silsilah (family tree), asal-usul, pertumbuhan dan perkembangan yang kontinuitas dari suatu komunitas atau peristiwa (Sjamsuddin, 1996:2). Sedangkan makna yang berkembang kemudian adalah sejarah yang diambil dari bahasa Yunani kuno, historia yang berarti belajar dengan cara bertanya (inquiry). Kemudian dialihkan ke bahasa Inggris, history, yang diartikan sebagai sejarah.

Hampir sama dengan batasan di atas, namun secara rinci dan tegas batasan sejarah menjadi jelas terpisah dengan peristiwa alam pada perkembangan berikutnya. Seperti yang disampaikan oleh Woolever dan Scoot (1988, 115) bahwa," sejarah adalah kajian tentang masa lampau manusia, aktivitas manusia di bidang politik, militer, sosial, agama, ilmu pengetahuan dan hasil kreativitasnya (seni, musik, literatur dan lainnya)". Lebih lanjut, batasan sejarah, yang terkait dengan penekanan pada konsep waktu kelampauan ini berkembang pula. Seperti yang diungkapkan oleh Amy Von Heyking (2003),"sejarah bukanlah cerita

(13)

masa lampau, dan bukan catatan peristiwa sejarah yang teijadi di masa lalu, melainkan sebuah bentuk kegiatan inquiry yang menolong kita membangun sebuah pemahaman dari kehidupan kita baik secara individu maupun kolektif dalam waktu tertentu". Ungkapan Heyking ini, tidak terlepas dari pemahaman bahwa sejarah adalah sebuah disiplin ilmu yang merupakan hasil interpretasi yang diperlukan kejelasan kevaliditasan, dan kredibilitas bukti sejarah tersebut dalam kaitannya untuk dianalisis, dibangun dan dibangun kembali narasi tentang masyarakat, peristiwa, dan gagasan di masa lampau ( Foster dan Yeager,1999 ; Mc Neil, 2000).

Dari perkembangan pengertian sejarah di atas, jelaslah bahwa unsur-unsur yang melekat pada sejarah adalah manusia, peristiwa, masa lalu, catatan/rekaman peristiwa, tempat/ruang kejadian dan kronologis, kegiatan interpretasi dari suatu peristiwa masa lampau secara ilmiah. Sidi Gazalba (1981 : 2) ; Gross (1978:92), dan Lucey (1984 : 9), menekankan pada tiga aspek utama yang menggambarkan secara keseluruhan dari pengertian sejarah, yaitu peristiwa, manusia dan waktu. Peristiwa yang terjadi hanya satu kali, bersifat unik. Peran manusia dalam melakoni peristiwa tersebut dan waktu teijadinya peristiwa tersebut. Dapat dikatakan bahwa menurut ungkapan tersebut, bukan sejarah, jika tanpa tiga aspek tersebut.

(14)

Berkaitan dengan upaya pemahaman dan perekonstruksian sejarah, maka sejarah juga merupakan sebuah kajian tentang peristiwa masa lalu yang tidak pernah final dikarenakan tidak lengkapnya.

Sejarah sebagai suatu kajian tentang masa lampau memberikan catatan- catatan yang tidak lengkap. Seperti yang diungkapkan oleh Lucy dan Mark O'hara (2001:1),"...as the study of everything that has happened, which given the incomplete record available, would inevitabel be less than full story but would still be extremely large and complex".

Pemahaman dan kajian tentang sejarah terus berkembang.

Sejarah yang semula hanya terbatas pada cerita masa lalu, kemudian masuk pada kelompok ilmu pengetahuan, berkat jasa bapak sejarah, Heradotus, Oleh sebab itu sebagai sebuah kajian peristiwa manusia masa lalu, sejarah sangat memerlukan ketrampilan berpikir kritis. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Mc Neil (2000:1), bahwa," history knowledge is no more and less than carefully and critically constructed collective memory. Dengan kata lain, pengetahuan sejarah itu tidak lebih kurang adalah koleksi ingatan yang dibangun secara hati-hati dan kritis.

Dimensi waktu dalam sejarah, terus disadari bukan hanya untuk upaya perekonstruksian, tetapi lebih dari itu. Sejarah bukan hanya nostalgia atas kejadian lampau, tetapi sebagai sebuah dialog yang terus menerus ke masa sekarang dan akan datang. Sejarah adalah suatu dialog tanpa akhir antara masa sekarang dan masa lampau (Carr, 1965 :

(15)

35). Masa sekarang diketahui melalui penjelasan tentang masa lampau.

Namun dialog tersebut hanya dapat dicapai melalui penelusuran jejak- jejak sejarahnya. Sebagaimana juga dinyatakan oleh Coolingwood (2001:140) yang menyatakan bahwa, the past is the explanation of the present, but the past only known by analyzing its traces in the present.

Terkait dengan penulisan sejarah yang akurat, objektif serta tidak pernah final, karena dibatasi oleh catatan sejarah. Keterbatasan catatan sumber sejzirah, menurut Commager (dalam Woolever dan Scoot, 1988:

118), adalah disebabkan penulisan atau catatan sejarah cenderung dibuat oleh kelompok yang menang perang, dan bukan oleh kelompok yang kalah, atau tersisih. Ditambahkan Commager (dalam Woolever dan Scoot, 1988:

119-120) adanya faktor lain yang menyebabkan biasnya sejarah, yaitu (1) membesarkan, membuat spektakuler suatu kejadian atau individu, (2) penulisan sejarah yang dipengaruhi oleh rasa kesukuan dan nasionalisme sejarawan, (3) memberikan penilaian terhadap peristiwa masa lalu dengan standar dan nilai yang berlaku sekarang, (4) membiarkan pengetahuan tentang peristiwa yang belakangan tetjadi mempengaruhi kita dalam- menganalisis, misal sebab akibat.

Mengenai permasalahan ketidaklengkapan data catatan sejarah, maka Woolever dan Scoot (1988) membagi sejarawan ke dalam dua golongan, berdasarkan tulisan sejarah yang dihasilkannya, yaitu

"descriptive (narrative historians)" dan "scieniific historians. Jika

(16)

golongan sejarawan yang pertama lebih diarahkan penulisan sejarah pada kegiatan humanis dan kurang memiliki karakteristik objektif dari ilmu sosial, maka sejarawan golongan kedua memiliki komitmen pada sifat, metode, pendekatan ilmu dalam mengupas dan merekonstruksi masa lalu.

Sebagai suatu mata pelajaran di sekolah, sejarah merupakan mata pelajaran yang tertua dibandingkan disiplin ilmu sosial lainnya. Pendidikan sejarah diajarkan di sekolah sejak zaman penjajahan, sesudah kemerdekaan hingga sekarang (Hasan, 2000:9). Pemberian pendidikan sejarah ini lebih diorientasikan kepada kepentingan penguasa/pemerintah yang ada mulai dari Belanda dan Jepang. Anhar Gonggong (2003) mengatakan dalam periode tertentu pelajaran sejarah di Indonesia sesudah kemerdekaan juga dijadikan alat penopang kekuasaan. Untuk mengurangi hal tersebut, Anhar Gonggong menyarankan agar dalam pengertian pendidikan sejarah harus diberikan di depan kelas sebagai sejarah dalam pengertian ilmu, tidak dalam pengertian politik.

Pendidikan sejarah tidak hanya dimaknai sebagai alat untuk memberikan pemahaman tentang kemegahan dan kegagalan suatu bangsa di masa lampau, tetapi juga memperkenalkan pebeiajar terhadap disiplin ilmu sejarah (berpikir keilmuan) (Hasan, 2003). Dalam konteks makna pendidikan sejarah yang pertama, maka pendidikan sejarah cenderung bersifat transmisi dalam implementasinya, atau lebih fokus pada sisi manusia, generasi penerus. Sedangkan yang kedua menempatkan sejarah

(17)

seperti tradisi kedua "social studies, as a social sciences", atau dapat dikatakan lebih memfokuskan pada sisi disiplin ilmu. Hal ini menekankan pendidikan sejarah kepada kualitas berpikir, mempelajari dan mengembangkan berbagai ketrampilan yang diperlukan dalam ilmu sejarah. Menurut Hamid Hasan (2003) fokus kurikulum pendidikan sejarah hendaklah menjadikan manusia dan ilmu sebagai salah satu sumber dan bukan satu-satunya.

Peranan pendidikan sejarah sebagai salah satu tiang atau landasan utama bagi pendidikan IPS (Wiriaatmadja (1992:12), terutama untuk penanaman nilai- nilai seperti pengenalan jati diri, empati, toleransi yang akan menumbuhkan sense of belonging dan sense of solidarity. Nilai-nilai ini diperlukan untuk membentuk identitas nasional. Di tengah era globalisasi, yang disebut juga era neoliberalisme oleh Mansour Fakih (2001), pembentukan identitas nasional tidaklah mudah. Salah satunya tentangan dari cyber media, yang mengakibatkan transnasional. Sebagai contoh adalah peristiwa sengketa Ambalat antara Indonesia dengan Malaysia, masyarakat Indonesia serentak bertambah semangat nasionalismenya, tidak saja yang ada di Indonesia, juga yang ada di negara- negara lain. Contoh lain, betapa singkat dan mudah terbakar emosi masyarakat dunia pemeluk Islam, saat tayangan televisi menayangkan serangan Amerika atas Irak, atau juga tindakan sembrono tentara Amerika terhadap Al-Quran di penjara Guantenamo. Oleh karena itu menurut Von

(18)

Laue (1995:22) pengajaran sejarah di masa depan haruslah memiliki ciri (1) sejarah yang tidak menekankan hanya pada sejarah nasional dan lokal, tetapi juga diperlukan sejarah global.(2) sejarah yang berintikan adanya hubungan yang selaras sesama manusia dengan landasan saling menyayangi dan memperkokoh kesetiakawanan, dan bukan sebaliknya, (3) sejarah yang memiliki pandangan ke masa depan dengan bertolak dari peristiwa masa lampau.

Di dalam proses pengajaran sejarah guru diberi kesempatan untuk merancang pengembangan kualitas kesejarahan ini dalam suatu proses pendidikan yang sinergis (Hasan, 2000). Kemampuan, inovasi guru dalam mengorganisasikan materi, tujuan, pembelajaran, fasilitas pembelajaran dan pola evaluasi yang akan digunakan akan menentukan keberhasilan belajar siswa (Hasan, 1996) . Secara lebih luas paparan mengenai apa dan bagaimana tujuan dan manfaat yang diharapkan diperoleh oleh siswa sebagai subjek belajar dalam skala kecil, dan warga bangsa dalam skala besar.

a. Peran Sejarah

Sejarah sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia dan tidak pernah lepas dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kaitannya dengan belajar sejarah, kita dapat mengambil manfaat sejarah karena beberapa alasan, diantaranya:

(19)

1) Dapat mengakui keberadaan setiap manusia di masa lampau dan akan terus hidup abadi hingga saat ini dan saat mendatang.

2) Dapat mempersiapkan diri untuk menyampaikan kejadian masa lalu dan masa sekarang kepada generasi berikutnya sebagai bahan pengetahuan dan pengalaman.

3) Dapat menyakinkan orang berdasarkan alasan peristiwa di masa lampau.

4) Dapat memperbaiki hidup sendiri dengan merujuk kepada peristiwa di masa lalu untuk diambil pelajaran dan hikmah sehingga bisa bermanfaat untuk di masa depan.

Selanjutnya dapat diuraikan manfaat-manfaat mempelajari sejarah sebagai berikut:

1) Edukatif, Bahwa pelajaran-pelajaran sejarah memberikan kebijaksanaan dan kearifan. Ucapan “Belajarlah dari Sejarah“ atau

“Sejarah mengajarkan kepada kita” atau “Perhatikanlah pelajaran- pelajaran yang diberikan oleh sejarah”. Dengan ucapan-ucapan itu dinyatakan bahwa fungsi dan kegunaan sejarah ialah memberikan pelajaran.

2) Inspiratif, Sejarah memberikan ilham atau inspirasi kepada kita, tindakan-tindakan kepahlawanan dan peristiwa-peristiwa gemilang pada masa lalu dapat mengilhami kita semua pada taraf perjuangan yang sekarang. Peristiwa-peristiwa besar mengilhami kita agar

(20)

mencetuskan peristiwa yang besar pula. Di Indonesia sejarah yang berfungsi inspiratif seringkali dijalin di sekitar perjuangan para pahlawan pembela kemerdekaan selama masa imperialisme dan kolonialisme Barat.

3) Instruktif, Misalnya, kegunaan dalam rangka pengajaran dalam salah satu kejuruan atau keterampilan seperti navigasi, teknologi, persenjataan, jurnalistik, taktik militer dan sebagainya. Fungsi dan kegunaan sejarah ini disebut sebagai kegunaan yang bersifat instruktif karena mempunyai peran membantu kegiatan menyampaikan pengetahuan atau keterampilan (instruksi).

4) Rekreatif, Seperti halnya dalam karya sastra yakni cerita atau roman, sejarah juga memberikan kesenangan estetis, karena bentuk dan susunannya yang serasi dan indah. Kita dapat terpesona oleh kisah sejarah yang baik sebagaimana kita dapat terpesona oleh sebuah roman yang bagus. Dengan sendirinya kegunaan yang bersifat rekreatif ini baru dapat dirasakan jika sejarawan berhasil mengangkat aspek seni dari cerita sejarah yang disajikan.

5) Memberikan Kesadaran Waktu

Kesadaran waktu yang dimaksud adalah kehidupan dengan segala perubahan, pertumbuhan, dan perkembangannya terus berjalan melewati waktu. Kesadaran itu dikenal juga sebagai kesadaran akan adanya gerak sejarah. Kesadaran tersebut

(21)

memandang peristiwa-peristiwa sejarah sebagai sesuatu yang terus bergerak dari masa silam bermuara ke masa kini dan berlanjut ke masa depan. Waktu terus berjalan pada saat seorang atau suatu bangsa mulai menjadi tua dan digantikan oleh generasi berikutnya.

Bahkan waktu terus berjalan pada saat seseorang atau suatu bangsa hanya bersenang-senang dan bermalas-malasan, atau sebaliknya, seseorang atau suatu bangsa sedang membuat karya- karya besar. Dengan memiliki kesadaran sejarah yang baik, seseorang akan senantiasa berupaya mengukir sejarah kehidupannya sebaik-baiknya.

Suatu bangsa adalah suatu kelompok sosial yang ditinjau dari berbagai segi memiliki banyak perbedaan. Terbentuknya suatu bangsa disebabkan adanya kesamaan sejarah besar di masa lampau dan adanya kesamaan keinginan untuk membuat sejarah besar bersama di masa yang akan datang. Sebagai contoh Bangsa Indonesia sejak zaman prasejarah telah memiliki kesamaan sejarah. Kemudian memiliki zaman keemasan pada zaman Sriwijaya, Mataram Hindu-Buddha, dan Majapahit. Setelah itu bangsa Indonesia mengalami masa penjajahan selama ratusan tahun. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia tersebut menjadi ingatan kolektif yang dapat menimbulkan rasa solidaritas dan mempertebal semangat kebangsaan.

(22)

Sejarah mencatat bahwa peranan manusia dalam menentukan arah dunia, baik dari segi politik, agama, budaya, ekonomi, maupun sosial. Bentuk-bentuk penindasan terhadap harga diri manusia, baik itu imperialisme, kolonialisme, atau perbudakan, telah melahirkan kesadaran dalam diri segenap insan bahwa penjajahan dalam segala bentuknya harus dihapuskan guna terjalinnya perdamaian dan kedamaian. Dengan demikian, peristiwa-peristiwa tragis yang pernah ada tak lagi berulang. Akhirnya dapatlah kita simpulkan, bahwa sejarah merupakan perbendaharaan atau khazanah pedoman yang mencerminkan pengaman umat manusia pada masa lampau untuk dapat kita fahami dan dijadikan pelajaran bagi kehidupan kita sekarang maupun petunjuk arah bagi cita-cita kehidupan di masa depan.

Perubahan zaman yang disebabkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi, membawa pengaruh terhadap keberadaan mata pelajaran sejarah di sekolah. Siswa mulai mempertanyakan tujuan dan manfaat yang didapatnya dari pelajaran tersebut, selain bernostalgia dengan peristiwa masa lampau. Isu tentang proses dan hasil belajar sejarah yang kurang menyenangkan selama ini, termasuk juga sikap, anggapan siswa dan masyarakat yang ditujukan terhadap mata pelajaran sejarah menjadi bahan diskusi, pemikiran dari para sejarawan dan pakar pendidikan sejarah.

(23)

Sebagaimana ungkapan Collingwood di atas sehubungan dengan kaitan dimensi waktu dalam sejarah, dialog antara dimensi waktu lalu dan sekarang bahkan masa depan tidak pernah terputus.

Masing-masing dimensi memiliki posisi yang strategis. Masa lalu diperlukan untuk menjelaskan, memahami kehidupan yang dijalani manusia sekarang ini dan seterusnya dapat digunakan untuk kebaikan kehidupan masa depan. Jadi sejarah bukanlah ilmu pendidikan yang disampaikan hanya untuk bernostalgia. Seperti dipertegas oleh Frankel (2003) yang menyatakan," ....History is the study of the past the past causes the present, andso the future...".

Sementara itu "ancaman" atas keberadaan pelajaran sejarah di sekolah sangat dikaitkan oleh masyarakat dengan anggapan keberhasilan hidup (materi, ekonomi). Mackinolty (2001:5) mengungkapkan bahwa pelajaran sejarah dipertanyakan kerelevanannya untuk dipelajari terkait dengan kemajuan teknologi yang menekankan pada hasil produksi, ekonomi, kebendaan.

Selain itu pentingnya pelajaran sejarah ini diberikan di sekolah sangat terkait dengan perkembangan bangsa, bukan sekedar keinginan melainkan merupakan kebutuhan nasional. Dinyatakan oleh Cleaf (1991:38), bahwa melalui mata pelajaran sejarah dapat menolong siswa mengembangkan pemahaman dan apresiasi terhadap warisan dan tradisi-tradisi, serta mereka akan mampu membandingkan

(24)

kemajuan yang diperoleh bangsanya dibandingkan dengan bangsa lain. Selain itu melalui mata pelajaran sejarah seyogyanya siswa dapat memahami dan mengapresiasikan peristiwa-peristiwa sejarah itu sendiri (Syamsuddin, 1999).

Dari penelitian Stanton Burgess Tumer (1987) yang memfokuskan bagaimana pendapat siswa, guru, instruktur, administratur dan orang tua tentang kegunaan sejarah, mendapatkan suatu kesimpulan bahwa topik-topik yang relevan dengan kehidupan siswa dianggap sebagai kurikulum sejarah yang disarankan untuk menolong siswa mendapatkan manfaat dari belajar sejarah.

Dalam pembelajaran sejarah selain memberikan kesadaran kepada peserta didik bahwa perubahan yang tetjadi merupakan kejadian biasa, juga membiasakan siswa akan situasi konflik dan kemudian belajar menghadapinya dengan pengetahuan bagaimana mengelola {conflict management) dan mengatasi konflik (conflict resolution) (Wiriatmadja, 2002).

Sejarah juga mengajarkan manusia untuk bijaksana dalam memandang berbagai peristiwa yang kontroversial di masa lalu, sehingga kita mampu melakukan refleksi terhadap berbagai kecenderungan dalam menjalani kehidupan saat ini. Di samping itu, sejarah juga juga memberikan makna pemahaman, apresiasi dan pengertian terhadap berbagai masalah yang tumbuh dan berkembang

(25)

di masyarakat (Jarolimek, 1996).

Lebih khusus pendidikan sejarah adalah dasar bagi terbinanya identitas nasional yang merupakan salah satu modal utama membangun bangsa (Widja, 1989). Hal senada dikatakan oleh Buckhardt (dalam Jacques Barzun, 1991) bahwa tujuan pendidikan sejarah adalah (1) menempa identitas nasional, (2) memelihara hubungan integrative dalam ruang lingkup yang luas, dalam kehidupan intemasional;(3) menanamkan nilai-nilai kewargaan dan etika.

Jorgensen (1993) juga mengatakan bahwa dengan mempelajari sejarah kita dapat menemukan identitas diri pribadi, masyarakat dan bangsa, sehingga menyadarkan akan perbedaan dan perubahan lingkungan, sekaligus membangun pemahaman yang memadai menyangkut makna dari sejarah yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, karena kemampuan untuk menangkap makna dari sejarah akan menjadi dasar bagi setiap manusia untuk mengembangkan sikap positif terhadap diri dan lingkungannya.

Sejarah juga mengajak setiap orang untuk mampu bersikap bijak dalam menyikapi berbagai masalah di masyarakat dengan bercermin pada masa lalu (Hasan. 1996).

Dalam bukunya The Methods and Skills of History, Conal Furay dan Michael J Salevouris (2000), memaparkan beberapa kegunaan pendidikan sejarah, salah satunya yang penting juga adalah

(26)

memberikan siswa kesempatan untuk mendapatkan pengalaman dalam menganalisis dan menginterpretasi informasi sejarah atau memberikan ketrampilan analisis dan ketrampilan berkomunikasi.

Hal tersebut searah dengan tujuan pendidikan sejarah bagi siswa di jenjang SD/SMP yaitu," untuk mengembangkan wawasan kebangsaan dari berbagai peristiwa sejarah, mengembangkan ketrampilan berpikir logis dan kritis, serta menghargai sikap kepahlawanan dan menerapkannya dalam kehidupan sehari- hari".

Sedangkan untuk jenjang SMA, tujuan pendidikan sejarah diberikan untuk mengembangkan; ketrampilan berpikir kesejarahan, kemampuan mengkaji sumber-sumber sejarah, kemampuan menulis cerita sejarah dan menerapkan cara berpikir kesejarahan dalam menganalisis peristiwa di sekitarnya (Hasan, 2003:290-291).

b. Tujuan Sejarah

Mata pelajaran Sejarah Indonesia bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut :

1) Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya konsep waktu dan tempat/ruang dalam rangka memahami perubahan dan keberlanjutan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di Indonesia;

(27)

2) Mengembangkan kemampuan berpikir historis (historical thinking) yang menjadi dasar untuk kemampuan berpikir logis, kreatif, inspiratif, dan inovatif;

3) Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau;

4) Menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap diri sendiri, masyarakat, dan proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang;

5) Menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air, melahirkan empati dan perilaku toleran yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat dan bangsa;

6) Mengembangkan perilaku yang didasarkan pada nilai dan moral yang mencerminkan karakter diri, masyarakat dan bangsa; dan 7) Menanamkan sikap berorientasi kepada masa kini dan masa depan.

Secara rinci dan sistematis, Notosusanto (1979:4-10) mengidentifikasi empat jenis kegunaan sejarah, yakni fungsi edukatif, fungsi inspiratif, fungsi instruktif, dan fungsi rekreasi.

(28)

1) Fungsi Edukatif

Artinya, bahwa sejarah membawa dan mengajarkan kebijaksanaan ataupun kearifan-kearifan. Hal itu dikemukakan dalam ungkapan John Seeley yang mempertautkan masa lampau dengan sekarang, we study history, so that we may be wise before the event. Oleh karena itu, penting pula ungkapan-ungkapan, seperti belajarlah dari sejarah atau sejarah mengajarkan kepada kita.

2) Fungsi Inspiratif

Artinya, dengan mempelajari sejarah dapat memberikan inspirasi atau ilham. Dan juga, sejarah dapat memberikan spirit dan moral.

Menurut spiritual Prancis Henry Bergson sebagai elan vital, yaitu sebagai energi hidup atau daya pendorong hidup yang memungkinkan segala pergerakan dalam kehidupan dan tindak tanduk manusia.

3) Fungsi Instruktif

Bahwa dengan belajar sejarah dapat berperan dalam proses pembelajaran pada salah satu kejuruan atau keterampilan tertentu, seperti navigasi, jurnalistik, senjata/militer, dan sebagainya.

4) Fungsi Rekreasi

Artinya, dengan belajar sejarah dapat memberikan rasa kesenangan maupun keindahan. Seorang pembelajar sejarah dapat terpesona oleh kisah sejarah yang mengagumkan atau menarik perhatian

(29)

membaca, baik itu berupa roman maupun cerita-cerita peristiwa lainnya. Selain itu, sejarah dapat memberikan kesenangan lainnya, seperti “pesona perlawatan” yang dipaparkan dan digambarkan kepada kita melalui berbagai evidensi dan imaji. Sebab dengan mempelajari berbagai peristiwa menarik di berbagai tempat negara dan bangsa, kita ibarat berwisata ke berbagai negara di dunia.

3. Pembelajaran Sejarah

Kochhar (2008) mengatakan bahwa sejarah adalah ilmu tentang manusia. Sejarah berkaitan dengan ilmu hanya apabila sejarah menkaji tentang kerja keras manusia dan pencapaian yang di perolehnya. Sejarah menguamakan kajian tentang orang-orang yang “ menaklukan daratan dan lautan tanpa beristiahat” dari pada mereka yang “berdiri dan menunggu”.

Mahasiswa tentang pentingnya sejarah leluhur bangsa. Terciptanya bangsa yang besar yaitu dengan tatap menghargai sejarah bangsanya sendiri dari awal-awal perjuangan melawan penjajah sampai dengan terciptanya kemerdekaan suatu bangsa. Pengajaran sejarah bersifat meneliti kehidupan masa lampau yang didukung dengan penemuan-penemuan masa lampau/prasejarah. Prinsip pembelajaran sejarah adalah salah satu wahana untuk mencerdaskan bangsa. Dengan sifatnya yang unik, sejarah perpijak pada fakta masa lampau yang di analisis untk memahami masa kini dan diproyeksikan untuk merencanakan kehidupan masa depan.

(30)

Dengan adanya prinsip pembelajaran sejarah kita bisa tahu metode belajar sejarah yang bagai manakah yang kita inginkan, prinsip-prinsip pembelajaran sejarah memberi pengetahuan tentang sejarah dan seluk- beluknya sesuai kebutuhan.

Menurut Prof. Dr.A Chaedar Alwasilah, MA memberikan batasan terhadap istilah belajar,mengajar, dan pembelajaran, yaitu: belajar (learning), mengajar (teaching), dan pembelajaran (instruction). Pada hakikatnya pembelajaran adalah proses mengajar dengan metode dan teknik yang berbeda-beda, salah satunya dengan tanya jawab antara mahasiswa dengan Dosen. Dengan teknik berkelompok, sehingga dengan berkelompok dapat berkomunikasi mahasiswa bisa saling bertukar pikiran satu sama lain.

Pembelajaran adalah proses memberi informasi dengan mengelola lingkungan pembelajaran dengan efektif dan efisien (Abdul Rohman : 2008).

Maksudnya, dalam menjalankan proses belajar mengajar, pembimbing tidak saja harus mengajar pengetahuan kepada siswa, namun juga harus mengajarkan norma-norma yang ada dalam masyarakat.

Mengajar juga disebut membimbing pengalaman anak, bagaimana agar anak tersebut dapat aktif beraktivitas dalam lingkungannya. Dari pembimbingan pengalaman tersebut diharapkan anak memperoleh kecakapan, sikap dan karakter yang baik, sehingga siswa dapat mengembangkan mentalnya untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan dan bisa bisa mengembangkan bakatnya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi pengalaman

(31)

dengan lingkungan itulah yang harus diberikan pembimbing kepada anak didik, karena sumber dari belajar itu sendiri adalah pengalaman agar siswa nantinya selain dapat pengetahuan yang maksimal juga dapat mengahadapi masalah-masalah dalam kehidupannya. Selain itu, siswa dapat terjun kedalam lingkungan soialnya, menerapkan norma-norma, pikiran, dan perasaanya kedalam pribadi anak tersebut.

Beberapa diskusi tentang tujuan pembelajaran sejarah yang diajarkan dalam organisasi pendidikan di Indonesia. Dari diskusi tersebut terdapat tujuan bahwa untuk mewujudkan sejarah dalam skema pendidikan, sejarah perlu diajarkan sampai kelas sepuluh. Menyesuaikan dengan pola pendidikan baru, sejarah yang diajarkan di sekolah dasar menjadi bagian dari ilmu sosial, kisah-kisah dan cerita dari tokoh dan peristiwa umumnya yang akan dipelajari. Di kelas bawah dan menengah sejarah dipelajari sebagai bagian dari ilmu sosial. Di kelas menengah sejarah yang diajarkan yaitu sejarah tentang kehidupan peradaban masyarakat India dimulai dari zaman prasejarah sampai perkembangan saat ini.

Perkembangan historis dari negara-negara di dunia pun juga dipelajari, namun materi yang diajarkan dari historis tersebut khusus bagi negara yang yang mempunyai nilai penting bagi sejarah pada umat manusia pada umumnya, “sebagai tambahan dalam konteks ini, gerakan kaum sosialis, perang dunia, bangkitnya Asia, Afrika, Amerika Latin, dan masalah perdamaian dan kerja sama internasional serta tata ekonomi baru

(32)

diperkenalkan ...” (Kochhar, 2008:21).Dari pernyataan tersebut materi yang diajarkan kepada siswa bukan hanya dari aspek politik sejarah, namun juga pada aspek ekonominya sehinnga para siswa mengetahui perkembangan dunia masa sekarang serta masalah yang terjadi pada negara tersebut pada saat ini.

Jadi, sejarah merupakan mata pelajaran inti yang harus diajarkan sampai tingkat sepuluh sebagai salah satu mata pelajaran yang penting dalam dunia pendidikan.

Menurut teori Kochhar (2008), sasaran umum pembelajaran sejarah yaitu untuk mengembangkan pemahaman tentang diri sendiri. Maksudnya yaitu dalam pembelajaran sejarah digunakan untuk mengetahui siapa diri kita sendiri, minat dan kebiasaan yang dimiliki oleh seseorang adalah warisan yang dimiliki untuk memahami identitasnya sendiri. Seorang generasi baru politikus dan suatu generasi baru negarawan tidak akan mengetahui struktur negara yang didasar Undang-Undang dan pada generasi baru seperti anak- anak tidak akan mengetahui perjuangan yang dilakukan oleh para pemimpin awal untuk memperoleh kemerdekaan dan peran dari masing-masing tokoh tersebut tanpa pembelajaran sejarah.

(33)

4. Profesionalisme Guru Sejarah a. Kompetensi Guru

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan WJS Purwadarminto (1999: 405), pengertian kompetensi adalah kekuasaan untuk menentukan atau memutuskan suatu hal. Pengertian dasar kompetensi adalah kemampuan atau kecakapan.

Menurut pendapat C. Lynn (1985: 33), bahwa “competence my range from recall and understanding of fact and concepts, to advanced motor skill, to teaching behaviours and profesional values”. Kompetensi dapat meliputi pengulangan kembali fakta-fakta dan konsep-konsep sampai pada ketrampilan motor lanjut hingga pada perilaku-perilaku pembelajaran dan nilai-nilai profesional.

Spencer dan Spencer dalam Hamzah B. Uno (2007: 63), kompetensi merupakan karakteristik yang menonjol bagi seseorang dan menjadi cara-cara berperilaku dan berfikir dalam segala situasi, dan berlangsung dalam periode waktu yang lama. Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa kompetensi menunjuk pada kinerja seseorang dalam suatu pekerjaan yang bisa dilihat dari pikiran, sikap, dan perilaku.

Lebih lanjut Spencer dan Spencer dalam Hamzah B. Uno (2007: 63), membagi lima karakteristik kompetensi yaitu sebagai berikut.

1) Motif, yaitu sesuatu yang orang pikirkan dan inginkan yang

(34)

menyebabkan sesuatu.

2) Sifat, yaitu karakteritik fisik tanggapan konsisten terhadap situasi.

3) Konsep diri, yaitu sikap, nilai, dan image dari sesorang.

4) Pengetahuan, yaitu informasi yang dimiliki seseorang dalam bidang tertentu.

5) Ketrampilan, yaitu kemampuan untuk melakukan tugas-tugas yang berkaitan dengan fisik dan mental.

Menurut E. Mulyasa (2004: 37-38), kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Pada sistem pengajaran, kompetensi digunakan untuk mendeskripsikan kemampuan profesional yaitu kemampuan untuk menunjukkan pengetahuan dan konseptualisasi pada tingkat yang lebih tinggi. Kompetensi ini dapat diperoleh melalui pendidikan, pelatihan dan pengalaman lain sesuai tingkat kompetensinya.

Menurut Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kompetensi merupakan seperangkat penguasaan kemampuan,

(35)

ketrampilan, nilai, dan sikap yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai guru yang bersumber dari pendidikan, pelatihan, dan pengalamannya sehingga dapat menjalankan tugas mengajarnya secara profesional.

Dalam hubungannya dengan tenaga kependidikan, kompetensi merujuk pada perbuatan yang bersifat rasional dan memenuhi sertifikasi tertentu dalam melaksanakan tugas kependidikan. Tenaga kependidikan dalam hal ini adalah guru. Guru harus memilki kompetensi yang memadai agar dapat menjalankan tugas dengan baik. Menurut Piet Sahertian (1994: 73), “Kompetensi guru adalah kemampuan melakukan tugas mengajar dan mendidik yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan”. Suparlan (2006: 85) berpendapat bahwa

“Kompetensi guru melakukan kombinasi kompleks dari pengetahuan, sikap, ketrampilan dan nilai-nilai yang ditujukkan guru dalam konteks kinerja yang diberikan kepadanya”.

Menurut Sumitro dkk (2002: 70), “Sekolah memerlukan guru yang memiliki kompetensi mengajar dan mendidik inovatif, kreati, manusiawi, cukup waktu untuk menekuni profesionalitasnya, dapat menjaga wibawanya di mata peserta didik dan masyarakat sehingga mampu meningkatkan mutu pendidikan”.

Kemampuan mengajar adalah kemampuan esensial yang harus

(36)

dimilki oleh guru, tidak lain karena tugas yang paling utama adalah mengajar. Dalam proses pembelajaran, guru menghadapi siswa-siswa yang dinamis, baik sebagai akibat dari dinamika internal yang berasal dari dalam diri siswa maupun sebagai akibat tuntutan dinamika lingkungan yang sedikit banyak berpengaruh terhadap siswa. Oleh karena itu, kemampuan mengajar harus dinamis juga sebagai tuntutan- tuntutan siswa yang tak terelakkan. Kemampuan mengajar guru sebenarnya merupakan pencerminan guru atas kompetensinya.

Kompetensi ini terdiri dari berbagai komponen penting.

Nana Sudjana (2002: 17), mengutip pendapat Cooper bahwa ada empat kompetensi yang harus dimiliki guru, yaitu:

1) Mempuyai pengetahuan tentang belajar tingkah laku manusia.

2) Mempunyai pengetahuan dan menguasai bidang studi yang dibinanya.

3) Mempunyai sikap yang tepat tentang dirinya, sekolah, teman sejawat dan bidang studi yang dibinanya.

4) Mempunyai kemampuan tentang teknik mengajar

Sementara itu menurut pendapat Glasser yang dikutip Nana Sudjana (2002: 18), yang menyebutkan ada empat yang harus dikuasi oleh guru, meliputi: “1) Menguasai bahan pelajaran, 2) Kemampuan mendiagnosa tingkah laku siswa, 3) Kemampuan melaksanakan proses pembelajaran, 4) Kemampuan mengukur hasil belajar siswa”.

(37)

Pada tahun 1970-an terkenal wacana tentang apa yang disebut sebagai pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi atau “Competency Based Training Education (CBTE)”. Pada saat itu, Direktorat Pendidkan

Guru dan Tenaga Teknis (Disguntentis) pernah mengeluarkan “buku saku” tentang sepuluh kompetensi guru, yaitu:

1) Memiliki kepribadian sebagai guru.

2) Menguasai landasan pendidikan.

3) Menguasai bahan pengajaran.

4) Menyusun program pengajaran.

5) Melaksanakan proses belajar mengajar.

6) Melaksanakan penilaian pendidikan.

7) Melaksanakan bimbingan.

8) Melaksanakan administrasi.

9) Menjalin kerjasama dan interaksi dengan guru, sejawat, dan masyarakat.

10) Melaksanakan penelitian sederhana (Suparlan, 2006: 81-82).

Kesepuluh kompetensi di atas diharapkan dimiliki guru secara maksimal agar proses belajar mengajar akan lebih efektif sehingga menghasilkan peserta didik yang kompeten. Menurut Suparlan (2006:

83). “Kompetensi minimal yang harus dimiliki guru meliputi: menguasai materi, metode dan system penilaian, namun jika tidak dilandasi

(38)

penguasaan kepribadian keguruan dan ketrampilan lainnya, guru tidak akan dapat melaksanakan tugasnya secara profesional”.

Jika guru menguasai dan melaksanakan kesepuluh kompetensi tersebut dalam proses pembelajaran, baik di dalam maupun di luar sekolah maka guru itu diharapkan dapat menjadi guru yang efektif. Guru yang mampu melaksanakan tugas profesionalnya dengan baik.

Terkait dengan penguasaan materi bahan ajar, guru dituntut dapat menggunakan strategi dan metode mengajar yang tepat serta melaksanakan penilaian hasil belajar yang terus-menerus dan jujur.

Selain itu penguasaan materi, guru juga dituntut memiliki antusiasme yang tinggi dalam arti memiliki semangat senang mengajar dengan penuh kasih sayang. Kemampuan dan kemauan guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya akan menjadi syarat utama bagi terbentuknya guru yang efektif.

b. Media Pembelajaran

Heinich (Supriadie, 1996:67) mengemukakan “media secara harfiah berarti perantara (between) yakni perantara sumber pesan dengan penerima pesan”. Sedangkan Gagne (Sadiman,2003:6) mengemukakan bahwa “media adalah berbagai komponen dalam lingkungan siswa yang

(39)

dapat merangsangnya untuk belajar.”

Media berasal dari kata medium yang berasal dari bahasa latin yang berarti perantara atau pengantar. Jadi dapat disimpulkan bahwa media adalah perantara sumber-sumber dari berbagai elemen-elemen penting di dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang siswa untuk belajar.

Istilah media yang digunakan dalam bidang pembelajaran disebut media pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, alat bantu atau media tidak hanya dapat memperlancar proses komunikasi akan tetapi dapat merangsang siswa untuk merespon dengan cepat tentang pesan (message) yang disampaikan.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa media merupakan suatu alat dalam menyampaikan materi. Akan tetapi apabila media tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya, maka media tersebut tidak efektif dan tidak dapat menyampaikan isi pesan kepada siswa. Oleh karena itu, media perlu dirancang dengan memperhatikan ciri-ciri dan karakteristik dari sasaran dan kesesuaian dengan tujuan instruksional yang telah ditetapkan. Media pembelajaran yang dirancang dengan baik dan benar akan dapat merangsang komunikasi siswa dengan sumber media tersebut.

Awalnya, media hanyalah alat bantu yang digunakan guru untuk menerangkan pelajaran. Alat bantu pertama yang digunakan adalah alat

(40)

bantu visual, yakni berupa sarana yang dapat memberikan pengalaman visual kepada siswa, antara lain untuk mendorong motivasi belajar, memperjelas dan mempermudah konsep yang abstrak dan mempertinggi daya serap belajar. Kemudian, pada abad ke-20 lahirlah alat bantu audio visual terutama yang menggunakan pengalaman kongkrit untuk menghindari verbalisme (Susilana dan Riyana, 2008:7).

Media pembelajaran dapat mempertinggi daya serap atau retensi belajar siswa dalam proses pembelajaran yang pada akhirnya diharapkan dapat mempertinggi hasil belajar siswa.

Menurut Susilana dan Riyana (2008:9) dalam kaitannya dengan fungsi media pembelajaran, dapat ditekankan beberapa hal sebagai berikut:

1) Penggunaan media pembelajaran bukan merupakan fungsi tambahan, tetapi memiliki fungsi tersendiri sebagai sarana bantu untuk mewujudkan situasi pembelajaran yang lebih efektif.

2) Media pembelajaran merupakan bagian integral dari keseluruhan proses pembelajaran. Hal ini mengandung pengertian bahwa media pembelajaran sebagai salah satu komponen yang tidak berdiri sendiri tetapi saling berhubungan dengan komponen lainnya dalam rangka menciptakan situasi belajar yang diharapkan.

3) Media pembelajaran dalam penggunaannya harus relevan dengan

(41)

kompetensi yang ingin dicapai dan isi pembelajaran itu sendiri.

Fungsi ini mengandung makna bahwa penggunaan media dalam pembelajaran harus selalu melihat kepada kompetensi dan bahan ajar.

4) Media pembelajaran bukan berfungsi sebagai alat hiburan, dengan demikian tidak diperkenankan menggunakannya hanya sekedar untuk permainan atau memancing perhatian siswa semata.

5) Media pembelajaran bisa berfungsi untuk mempercepat proses belajar.Fungsi ini mengandung arti bahwa dengan media pembelajaran siswa dapat menangkap tujuan dan bahan ajar lebih mudah dan lebih cepat.

6) Media pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan kualitas proses belajar mengajar. Pada umumnya hasil belajar siswa dengan menggunakan media akan tahan lama mengendap sehingga kualitas pembelajaran memiliki nilai yang tinggi.

7) Media pembelajaran meletakkan dasar-dasar yang konkret untuk berpikir, oleh karena itu dapat mengurangi terjadinya penyakit verbalisme.

Menurut Munadi (2008:36) analisis fungsi yang didasarkan pada medianya dan didasarkan pada penggunanya. Pertama, analisis fungsi yang didasarkan pada media terdapat tiga fungsi media pembelajaran, yakni; 1) media pembelajaran berfungsi sebagai sumber belajar; 2)

(42)

fungsi semantik; 3) fungsi manipulatif. Kedua, analisis fungsi yang didasarkan atas penggunanya (anak didik) terdapat dua fungsi yakni 4) fungsi psikologis dan 5) fungsi sosio-kultural.

Secara lebih rinci Munadi (2008: 37) menjabarkan fungsi media pembelajaran sebagai berikut:

1) Fungsi media pembelajaran sebagai sumber belajar

Secara teknis, media pembelajaran berfungsi sebagai sumber belajar.

Dalam kalimat “sumber belajar” ini tersirat makna keaktifan, yakni sebagai penyalur, penyampai, penghubung dan lain-lain. Media pembelajaran dapat mengantikan fungsi guru terutama sebagai sumber belajar.

2) Fungsi Semantik

Fungsi semantik yaitu “kemampuan media dalam menambah perbendaharaan kata (simbol verbal) yang makna atau maksudnya benar-benar dipahami anak didik (tidak verbalistik).”

3) Fungsi Manipulatif

Fungsi manipulatif didasarkan pada ciri-ciri (karakteristik) umum yang dimiliki oleh media tersebut. Berdasarkan karakteristik umum ini, media memiliki dua kemampuan, yakni mengatasi batas-batas ruang dan waktu dan mengatasi keterbatasan indrawi.

4) Fungsi Psikologi

Fungsi psikologi terbagi menjadi lima yaitu:

(43)

a) Fungsi atensi; media pembelajaran dapat meningkatkan (attention) siswa terhadap materi ajar. Oleh karena itu media pembelajaran harus dibuat semenarik mungkin sehingga dapat menarik dan memfokuskan perhatian siswa.

b) Fungsi afektif; Yaitu menggugah perasaan, emosi, dan tingkat penerimaan atau penolakan siswa terhadap sesuatu. Media pembelajaran yang tepat guna dapat meningkatkan sambutan atau penerimaan siswa terhadap stimulus tertentu.

c) Fungsi kognitif; Siswa yang belajar melalui media pembelajaran akan memperoleh dan menggunakan bentuk-bentuk representasi yang mewakili objek-objek yang dihadapi baik objek itu berupa orang, benda, atau kejadian atau peristiwa.

d) Fungsi imajinatif; Media pembelajaran dapat meningkatkan dan mengembangkan imajinasi siswa. Imajinasi ini mencakup penimbulan atau kreasi objek-objek baru sebagai rencana bagi masa mendatang, atau dapat juga mengambil bentuk fantasi (khayalan) yang didominasi kuat sekali oleh pikiran-pikiran autistik.

e) Fungsi motivasi; Motivasi merupakan seni yang mendorong siswa untuk melakukan kegiatan belajar sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Motivasi merupakan dorongan pihak luar dalam hal ini guru yang mendorong, mengaktifkan dan menggerakkan siswanya

(44)

secara sadar untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran dengan melalui bantuan media pembelajaran.

5) Fungsi Sosio Kultural

Fungsi media dilihat dari sosio kultural, yakni mengatasi hambatan sosio kultural antara peserta komunikasi pembelajaran. masalah ini dapat diatasi salah satunya dengan menggunakan media pembelajaran. Media pembelajaran memiliki kemampuan dalam memberikan rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman, dan menimbulkan persepsi yang sama.

Selain itu, media pembelajaran mempunyai manfaat yang dapat menarik minat dan motivasi belajar siswa. Miarso (2009:458) merumuskan manfaat media pembelajaran dari berbagai kajian teoritik maupun empirik sebagai berikut:

1) media mampu memberikan rangsangan yang bervariasi kepada otak kita sehingga dapat berfungsi secara optimal.

2) media dapat mengatasi keterbatasan pengalaman yang dimiliki oleh para pelajar.

3) media dapat melampaui batas ruang kelas.

4) media memungkinkan adanya interaksi langsung antara pelajar dengan lingkungannya.

5) media menghasilkan keseragaman pengamatan. media memberikan pengalaman dan persepsi yang sama. pengamatan yang dilakukan oleh

(45)

pelajar bisa bersama-sama diarahkan kepada hal-hal penting yang dimaksudkan oleh guru.

6) media membangkitkan keinginan dan minat baru. dengan menggunakan media pembelajaran, horizon pengalaman anak semakin luas, persepsi semakin tajam, konsep-konsep dengan sendirinya semakin lengkap. akibatnya keinginan dan minat untuk belajar selalu muncul.

7) media membangkitkan motivasi dan merangsang untuk belajar, misalnya pemasangan gambar-gambar di papan tempel, pemutaran film, mendengarkan rekaman, atau radio merupakan rangsangan yang membangkitkan keinginan siswa untuk belajar.

8) media memberikan pengalaman yang integral atau menyeluruh dari sesuatu yang konkrit maupun abstrak.

9) media memberikan kesempatan kepada pelajar untuk belajar mandiri, pada tempat, waktu, dan kecepatan yang ditentukan sendiri.

10) media meningkatkan kemampuan keterbacaan baru (new literacy), yaitu kemampuan untuk membedakan dan menafsirkan objek, tindakan, dan lambang yang tampak, baik yang alami maupun buatan manusia, yang terdapat dalam lingkungan.

11) media mampu meningkatkan efek sosialisasi, yaitu dengan meningkatknya kesadaran akan dunia sekitar.

12) media dapat meningkatkan kemampuan ekspresi diri guru maupun

(46)

pelajar.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas mengenai fungsi dan manfaat media pembelajaran dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran mempunyai peranan yang sangat penting yakni salah satunya sebagai alat yang dapat merangsang perhatian siswa dan membangkitkan motivasi belajar siswa sehingga terciptanya suasana pembelajaran yang lebih efektif dan yang diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

Media juga seringkali diartikan sebagai alat yang dapat dilihat dan di dengar. Alat-alat ini dipakai dalam pengajaran dengan maksud untuk membuat cara berkomunikasi lebih efektif dan efisien. Dengan menggunakan alat-alat ini, guru dan siswa dapat berkomunikasi lebih mantap, hidup dan interaksinya bersifat banyak arah. Seperti yang dikemukakan oleh Hamalik (1986:4) bahwa hubungan komunikasi akan berjalan lancar dengan hasil yang maksimal apabila menggunakan alat bantu yang disebut dengan media komunikasi, dalam Arsyad (2006:4).

Sedangkan menurut Gagne dan Briggs (1975:4) , media pembelajaran meliputi alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi pengajaran, yang terdiri dari: buku, tape recorder, benda asli atau nyata, video camera, video recorder, film, slide (gambar bingkai), foto, gambar, grafik, televisi, dan komputer. Dengan kata lain media adalah komponen sumber belajar atau wahana fisik yang mengandung materi instruksional

(47)

di lingkungan siswa yang dapat merangsang siswa untuk belajar, dalam Arsyad (2006:4).

Berdasarkan beberapa pendapat diatas tentang pengertian media dapat diambil kesimpulan bahwa: (1) media adalah alat yang dapat membantu proses belajar mengajar yang berfungsi memperjelas makna pesan yang disampaikan sehingga tujuan pengajaran dapat tercapai dengan sempurna, (2) media berperan sebagai perangsang belajar dan dapat menumbuhkan motivasi belajar sehingga siswa tidak menjadi bosan dalam meraih tujuan-tujuan belajar, (3) adapun yang disampaikan oleh guru mesti menggunakan media, paling tidak yang digunakan adalah media verbal yaitu berupa kata-kata yang diucapkannya dihadapan siswa, (4) segala sesuatu yang terdapat di lingkungan sekolah, baik berupa manusia ataupun bukan manusia yang pada permulaannya tidak dilibatkan dalam proses belajar mengajar setelah dirancang dan dipakai dalam kegiatan tersebut. Lingkungan itu berstatus media sebagai alat perangsang belajar.

Dalam perkembangannya, media pengajaran mengikuti perkembangan teknologi. Teknologi yang paling tua yang dimanfaatkan dalam proses belajar adalah percetakan yang bekerja atas dasar prinsip mekanis. Kemudian teknologi audio-visual yang menggabungkan penemuan mekanik dan elektronik untuk tujuan pengajaran. Teknologi yang muncul terakhir adalah teknologi mikroprosessor yang melahirkan

(48)

pemakaian komputer dan kegiatan interaktif (Arsyad, 2010: 157).

Berdasarkan perkembangan teknologi tersebut, Asyar (2011:45) mengelompokkan jenis media menjadi empat jenis, yaitu:

1) media visual, yaitu jenis media yang digunakan hanya mengandalkan indera penglihatan semata-mata dari peserta didik. dengan media ini, pengalaman belajar yang dialami peserta didik sangat terganung pada penglihatannya.

2) media audio, adalah jenis media yang digunakan dalam proses pembelajaran yang hanya melibtkan indera pendengaran peserta didik.

semakin baik kemampuan pendengaran maka akan semakin banyak pengalaman yang akan diterima peserta didik.

3) media audio-visual, adalah jenis media yang di gunakan dalam pembelajaran yang melibatkan pendengaran dan penglihatan sekaligus dalam proses pembelajaran. pesan dan informasi dalam media ini dapat disalurkan berupa pesan verbal dan nonverbal yang mengandalkan kemampuan mendengar dan melihat dari peserta didik.

4) multimedia, yaitu media yang melibatkan beberapa jenis media dan peralatan secara terintegrasi dalam suatu proses atau kegiatan pembelajaran. dalam pembelajaran multimedia melibatkan indera penglihatan dan pendengaran melalui media teks, visual diam, visual gerak, dan audio serta media interaktif yang berbasis komputer dan teknologi komunikasi dan informasi.

(49)

c. Kemampuan/Evaluasi

Kata evaluasi merupakan pengindonesiaan dari kata evaluation dalam bahasa Inggris, yang lazim diartikan dengan penaksiran atau penilaian. Kata kerjanya adalah evaluate yang berarti menaksir atau menilai. Sedangkan orang yang menilai atau menaksir disebut sebagai evaluator (Echols, 1975).

Sejumlah ahli mengemukakan pemahaman evaluasi secara etimologis, seperti Grounlund, Nurkancana, dan Raka Joni. Menurut Grounlund (1976) ” a system atic process of determining the extent to which instructional objectives are achieved by pupil ”. Nurkancana (1983) menyatakan bahwa evaluasi dilakukan berkenaan dengan proses kegiatan untuk menentukan nilai sesuatu. Sementara Raka Joni ( 1975) mengartikan evaluasi sebagai suatu proses dimana kita mempertimbangkan sesuatu barang atau gejala dengan mempertimbangkan patokan-patokan tertentu, patokan tersebut mengandung pengertian baik-tidak baik, memadai tidak memadai, memenuhi syarat tidak memenuhi syarat, dengan perkataan lain menggunakan value judgment.

Dengan pengertian di atas maka dapat dikemukakan bahwa evaluasi adalah suatu proses menentukan nilai seseorang dengan menggunakan patokan-patokan tertentu untuk mencapai tujuan.

(50)

Sementara evaluasi hasil belajar pembelajaran adalah suatu proses menetukan nilai prestasi belajar pembelajar dengan menggunakan patokan-patokan tertentu guna mencapai tujuan pengajaran yang telah ditentukan sebelumnya.

Untuk memperjelas lagi, ada beberapa perumusan penilaian sebagai padanan kata evaluasi menurut beberapa ahli diantaranya:

1) Adam (1964), menjelaskan bahwa kita mengukur berbagai kemampuan anak didik. Bila kita melangkah lebih jauh lagi dalam menginterpretasikan skor sebagai hasil pengukuran itu dengan menggunakan standar tertentu untuk menentukan nilai dalam suatu kerangka maksud pendidikan dan pelatihan atas dasar beberapa pertimbangan lain untuk membuat penilaian, maka kita tidak lagi membatasi diri kita dalam pengukuran karena telah mengevaluasi kemampuan atau kemajuan anak didik.

2) Robert L. Thorndike dan Elizabeth Hagen (1961), menjelaskan bahwa evaluasi berhubungan dengan pengukuran . Dalam beberapa hal evaluasi lebih luas, karena evaluasi juga termasuk penilaian penilaian formal dan penilaian intuitif mengenai kemajuan peserta didik.

Evaluasi juga mencakup penilaian tentang apa yang baik dan apa yang diharapkan. Dengan demikian hasil pengukuran yang benar merupakan dasar yang kokoh untuk melakukan penilaian.

(51)

3) Arikunto (1990), penilaian lebih menekankan kepada proses pembuatan keputusan terhadap sesuatu ukuran baik-buruk yang bersifat kuantitatif. Sedangkan pengukuran menekankan proses penentuan kualitas sesuatu yang dibandingkan dengan satuan ukuran tertentu. Sehingga dari batasan pengukuran dan penilaian di atas dapat disimpulkan bahwa pengukuran dilakukan apabila kegiatan penilaian membutuhkannya, bila kegiatan pengukuran tidak membutuhkan maka kegiatan pengukuran tidak perlu dilakukan.

Selanjutnya hasil pengukuran yang bersifat kuantitatif akan diolah dan dibandingkan dengan kriteria sehingga didapat hasil penilaian yang bersifat kualitatif.

4) Ralph Tyler (1950) menyatakan bahwa Evaluasi merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan bagaimana tujuan pendidikan sudah tercapai.

Terdapat beberapa istilah yang sering disalahartikan dalam kegiatan evaluasi, yaitu evaluasi (evaluation), penilaian (assessment), pengukuran (measurement), dan tes (test). Dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 ayat 21 dijelaskan bahwa

“evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan”. Selanjutnya, dalam

(52)

PP.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab I pasal 1 ayat 17 dikemukakan bahwa “penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik”.

Istilah pengukuran (measurement) mengandung arti “the act or process of ascertaining the extent or quantity of something” (Wand and Brown, 1957 : 1). Hopkins dan Antes (1990) mengartikan pengukuran sebagai “suatu proses yang menghasilkan gambaran berupa angka-angka berdasarkan hasil pengamatan mengenai beberapa ciri (atribute) tentang suatu objek, orang atau peristiwa”. Dengan demikian, evaluasi dan penilaian berkenaan dengan kualitas daripada sesuatu, sedangkan pengukuran berkenaan dengan kuantitas (yang menunjukkan angka- angka) daripada sesuatu. Oleh karena itu, dalam proses pengukuran diperlukan alat ukur yang standar. Misalnya, bila ingin mengukur IQ diperlukan alat ukur yang disebut dengan tes, bila ingin mengukur suhu badan diperlukan alat yang disebut dengan termometer, dan sebagainya.

Secara umum, tujuan evaluasi pembelajaran adalah untuk mengetahui efektivitas proses pembelajaran yang telah dilaksanakan.

Indikator efektivitas dapat dilihat dari perubahan tingkah laku yang terjadi pada peserta didik. Perubahan tingkah laku itu dibandingkan dengan perubahan tingkah laku yang diharapkan sesuai dengan

(53)

kompetensi, tujuan dan isi program pembelajaran. Adapun secara khusus, tujuan evaluasi adalah untuk :

1) Mengetahui tingkat penguasaan peserta didik terhadap kompetensi yang telah ditetapkan.

2) Mengetahui kesulitan-kesulitan yang dialami peserta didik dalam proses belajar, sehingga dapat dilakukan diagnosis dan kemungkinan memberikan remedial teaching.

3) Mengetahui efisiensi dan efektifitas strategi pembelajaran yang digunakan guru, baik yang menyangkut metode, media maupun sumber-sumber belajar.

Depdiknas (2003 : 6) mengemukakan tujuan evaluasi pembelajaran adalah untuk (a) melihat produktivitas dan efektivitas kegiatan belajar-mengajar, (b) memperbaiki dan menyempurnakan kegiatan guru, (c) memperbaiki, menyempurnakan dan mengembangkan program belajar-mengajar, (d) mengetahui kesulitan-kesulitan apa yang dihadapi oleh siswa selama kegiatan belajar dan mencarikan jalan keluarnya, dan (e) menempatkan siswa dalam situasi belajar- mengajar yang tepat sesuai dengan kemampuannya.

Adapun fungsi evaluasi adalah :

1) Secara psikologis, peserta didik perlu mengetahui prestasi belajarnya, sehingga ia merasakan kepuasan dan ketenangan. Untuk itu, guru/instruktur perlu melakukan penilaian terhadap prestasi

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga saat suatu gambar atau tulisan yang memiliki hyperlink di klik, maka akan menuju ke sumber lain sesuai alamat tujuan dari link tersebut.. Bagaimana cara memberi label

Menurut Law Lim Un Tung, dkk (2010: B-76), komputer vision bertujuan untuk membuat suatu keputusan yang berguna tentang obyek fisik nyata dan pemandangan

Titik – titik penelitian/titik amat pada permukaan bumi adalah tempat atau daerah yang akan diteliti berapa besar nilai percepatan tanah maksimum dari seluruh

Perubahan ini sangat esensial, karena sebagai penuntun dalam proses pembelajaran, pendidik (guru) berhak memanfaatkan media dalam konteks belajar. Media pembelajaran

Ujian lisan, untuk memperoleh data tentang performansi tertentu, dengan cara berkomunikasi dua arah antara penilai atau guru dengan peserta didik melalui tanya jawab atau

Tata Usaha pada UPTD Tindak Darurat Dinas Cipta Karya dan Tata Kota Samarinda Eselon

Menurut Depkes RI (2002), Perencanaan kebutuhan obat merupakan salah satu aspek penting dan menentukan dalam pengelolaan obat, karena perencanaan kebutuhan obat

Penggunaan media gambar terhadap hasil belajar pada pelajaran matematika sebagai upaya pengajaran terencana dalam membina pengetahuan sikap dan keterampilan para siswa melalui