• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORETIS

B. Hakikat Drama

B.Hakikat Drama

1. Pengertian Drama dan Naskah Drama

“Drama adalah salah satu bentuk genre sastra. Kata drama berasal dari bahasa Yunani Dramoi yang artinya berbuat, bertindak, bereaksi, dan menirukan”.15 “Drama atau sandiwara adalah seni yang mengungkapkan pikiran atau perasaan orang dengan mempergunakan laku jasmani, dan ucapan kata-kata”.16

Ini maksudnya adalah drama merupakan bagian dari

13

Elly, Op,cit., h. 178

14

Djoko Widagdho, Op,cit., h.187

15

Sihabudi, dkk, Bahasa Indonesia 2 edisi pertama (Surabaya: Amanah Pustaka, 2009),

h. 7

16

seni yang tidak hanya berkumpul dalam imaji seseorang, melainkan dipertontonkan di hadapan orang banyak/penonton.

Drama adalah sebuah genre sastra yang penampilan fisiknya memperlihatkan secara verbal adanya dialogue atau cakapan di antara tokoh-tokoh yang ada. “Selain didominasi oleh cakapan yang langsung itu, lazimnya sebuah karya drama juga memperlihatkan adanya semacam petunjuk pemanggungan yang akan memberikan gambaran tentang suasana, lokasi, atau apa yang dilakukan oleh tokoh”.17

Drama, yaitu kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan atau diproyeksikan di atas pentas sebagai suatu bentuk kwalitet komunikasi, situasi, aksi, (dan segala apa yang terlihat dalam pentas baik secara obyektip maupun subyektip) yang menimbulkan perhatian, kehebatan, keterenyuhan, dan ketegangan perasaan pada pendengar atau penontonnya di mana konflik sikap dan sifat manusia sebagai tulang punggungnya.18

Drama, like poetry and fiction, is an art of words—mainly words of dialogue. People talking is the basic dramatic situation. Drama is distinguished from the other forms of literature by performability and by the objectivity that performability implies.19

Dilihat dari beberapa pengertian drama di atas, drama memiliki dua dimensi, yaitu drama sebagai teks sastra dan drama sebagai seni pertunjukan atau seni lakon. Drama sebagai seni pertunjukan atau seni lakon adalah perpaduan yang harmonis antara sekian banyak seni yang mewujudkan suatu kisah kehidupan di atas pentas. Pertunjukan drama haruslah indah dan menjelma menjadi kenikmatan yang diterima oleh pikiran penontonnya. Naskah drama akan senantiasa berada di dalam pikiran pembaca saja jika tidak dipentaskan. Akan tetapi, jika naskah drama itu sudah berada di tangan seorang sutradara, pastilah kita akan melihat potret kehidupan yang ada di sekitar kita. Sedangkan sebagai genre

17

Melani Budianta, dkk, Membaca Sastra (Magelang: Indonesia Tera, 2006), h. 95

18

Adhy Asmara dr, Apresiasi Drama, (Yogyakarta: C.V. Nur Cahaya, 1979), h. 12

19

sastra, drama ditulis dengan menggunakan bahasa yang memikat dan elegan. Drama dapat ditulis oleh pengarangnya dengan menggunakan bahasa yang puitis.

Adapun para ahli yang memberikan definisi kata drama, yaitu: Aris Toteles Mendefinisikan drama sebagai tiruan manusia dalam gerak-gerik. Menurut Balthazar Verhagen, drama adalah kesenian yang melukiskan sikap dan sifat manusia dengan gerak. Moulton mendefinisikannya sebagai kehidupan yang dilukiskan dengan gerak. Ferdinand Brunetierre mendefinisikan drama sebagai kehendak manusia yang diungkapkan dengan action. Sedangkan Alvin B. Kernan menjelaskan bahwa drama berasal dari kata “dram”yang berarti berbuat (to do) atau (to act).20

“Menurut John E. Dietrich, “drama adalah suatu ceritera dalam bentuk dialog (antawacana) tentang konflik (pertentangan) manusia, diproyeksikan dengan ucapan dan perbuatan dari sebuah panggung kepada penonton”.21 Dengan kata lain “drama merupakan bentuk yang paling kongkrit yang secara artistik dapat menceritakan kembali situasi kemanusiaan, dan hubungan kemanusiaan”.22

Sebagai istilah “drama” dan “teater” ini datang atau kita pinjam dari khazanah kebudayaan Barat. Secara lebih khusus, asal kedua istilah ini adalah dari kebudayaan atau tradisi bersastra di Yunani yang pada awalnya, baik drama maupun teater muncul dari rangkaian upacara keagamaan, suatu ritual pemujaan terhadap para dewa.23 Pada masa awal pertumbuhannya di Barat, sebagai bentuk upacara agama, drama dilaksanakan di lapangan terbuka. Para penonton duduk melingkar atau membentuk setengah lingkaran, sedangkan upacara dilakukan di tengah

20

Drs. Hasanuddin, M.Hum, Drama Karya dalam Dua Dimensi, (Bandung: Angkasa,

1996), h. 2

21

R.H. Prasmadji, B.A, Teknik Menyutradarai Drama Konvensional, (Jakarta: Balai

Pustaka: 1984), h. 10

22

Rizanur Gani, Pengajaran Sastra Indonesia, (Jakarta: Departemen pendidikan dan

kebudayaan: 1988), h. 253

23

lingkaran tersebut. sementara pada teater di Yunani khususnya, tempat penonton berada membentuk setengah lingkaran yang semakin besar radiusnya, semakin tinggi tempat duduk penonton bersangkutan.24

“Perkembangan drama, pada gilirannya kemudian memperlihatkan adanya pergeseran dari ritual keagamaan menuju kepada suatu eratoria, suatu seni berbicara yang mempertimbangkan intonasi untuk mendapatkan efektivitas komunikasi”.25

Dari oratoria ini, kemudian perkembangan memperlihatkan adanya dua kecenderungan besar. Di satu pihak, ada kecenderungan eratoria yang sarat dengan musik sebagai elemen utamanya, yang hingga kini kita kenal dengan teater, dan dipihak lain muncul pula bentuk eratoria yang hanya mengandalkan cakapan atau dialog sebagai elemen utama seperti yang kini kita kenal sebagai naskah drama.

“Naskah berasal dari bahasa Inggris manuskrip dan bahasa Prancis

manuscript, karangan yang ditulis tangan atau diketik, yang dipergunakan sebagai dasar untuk mencetaknya".26 Naskah pada umumnya adalah sebuah tulisan tangan yang dibukukan, yang bercerita tentang kehidupan yang sangat lengkap dan panjang. Sedangkan naskah drama adalah kumpulan dialog serta terdapat alur pemanggungan di dalamnya. Naskah drama juga bisa diartikan sebagai rentetan tanya jawab antar lakon/peran yang dibalut dengan bahasa keseharian. Walaupun semua karya sastra sudah dipentaskan di kepala pembacanya, tetapi tetap saja naskah drama yang ditulis dalam bentuk dialog memiliki kemungkinan akan dipentaskan. Naskah drama juga sama halnya dengan prosa dan novel, memiliki konflik dan unsur intrinsik yang sama. Hanya saja naskah drama berbentuk dialog dan merupakan bahan dasar sebuah pementasan. Tidak akan sempurna sebuah naskah drama apabila tidak dipentaskan.

24 Ibid, h. 99 25 Ibid, h. 100 26

Hasanuddin M. Hum, Ensiklopedi Sastra Indonesia, (Bandung: Penerbit Titian Ilmu

“Naskah drama adalah suatu cerita drama dalam bentuk antawacana (dialog) atau dalam bentuk tanya jawab antarpelaku”.27

Naskah drama sangat beragam coraknya, ada naskah drama yang ringan, berbobot, dan ada pula yang rumit, naskah drama yang berbobot (baik) adalah naskah yang bersifat naratif dan konflik karakter, karena mudah dimengerti baik sebagai karya sastra maupun sebagai seni pertunjukan.28 Suatu naskah drama yang baik adalah naskah yang memiliki persyaratan nilai dramatik dan teatrikal, yaitu tidak mengandung masalah yang atau pertanyaan yang sulit ditemukan jawabannya, dialognya menggunakan bahasa keseharian, dan tema yang diungkapkan menyangkut soal kehidupan. Naskah yang rumit yaitu naskah yang alur ceritanya sulit ditangkap, temanya anti tema, plotnya anti plot, sehingga jika dipentaskan, penonton harus membacanya terlebih dahulu. Bagaimanapun naskah drama adalah ciptaan manusia yang harus mengandung keindahan dan hakikatnya tersimpul dalam suatu perpaduan yang harmonis antara kehidupan perasaan yang indah yang ditulis oleh seniman. Sebagai karya sastra ia menjelma dalam kata-kata, sedangkan dalam pertunjukan ia menjelma dalam perpaduan yang harmonis antara sekian banyak seni yang mewujudkan suatu kisah kehidupan di atas pentas.

Sifat-sifat naskah yaitu: (1) estetis, mencerminkan dan memupuk rasa keindahan, (2) etis, membimbing kea rah peradaban dan kesusilaan bangsa dan manusia, (3) edukatif, membawa ke arah kemajuan (bersifat mendidik), (4) konsultif, memberikan penerangan dan penyuluhan atas problema dalam masyarakat, (5) rekreatif, memberikan hiburan kepada publik atau penonton.29

2. Karakteristik Drama dan Bagian Pembantu Drama

Pada umumnya, drama memiliki dua dimensi, yaitu drama sebagai karya sastra yang memiliki unsur cerita dan juga sebagai seni pertunjukan

27

R.H. prasmadji, B.A, Op,cit., h. 17

28

Tuti Mutia, Religiusitas naskah drama Kapai-KapaiKarya Arifin C. Noer, Skripsi,

tidak dipublikasikan, 2012, h. 15

29

yang tidak terlepas dari seni lakon dan seni teater. Biarpun kedua aspek tersebut terpisah, yang satu berupa naskah dan yang satu lagi berupa pementasan, tetapi keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisah. Naskah drama ditulis dengan memperhatikan segi pemanggungan, sedangkan pementasan tidak terlepas dari alur naskah itu sendiri.

Drama memiliki jenis berdasarkan temanya, yaitu drama tragedi atau duka cerita, yaitu drama yang penuh dengan kesedihan, kemalangan. Hal ini disebabkan pelaku utama dari awal cerita sampai akhir pertunjukan senantiasa kandas dalam melawan nasibnya yang buruk. Contoh lakon drama tragedi yang buruk adalah Kapai-kapai karya Arifin C. Noer.30 Komedi atau suka cerita yaitu drama penggeli hati. Di mana isinya penuh dengan sindiran atau kecaman terhadap orang-orang atau suatu keadaan pelaku yang dilebih-lebihkan, drama tragedi dan komedi, yaitu drama yang penuh dengan kesedihan, tetapi juga hal-hal yang mengembirakan-menggelikan hati, opera, yaitu drama yang berisikan nyanyian dan musik pada sebagian besar penampilannya, operette, yaitu drama jenis opera tapi yang lebih pendek, tableau, drama tanpa kata-kata dari si pelaku, mirip pantomim, dagelan, yaitu suatu pementasan cerita yang sudah dipenuhi unsur-unsur lawakan/badutan, drama minikata, yaitu drama yang pada saat dipentaskannya boleh dikatakan hampir tidak menggunakan dialog sama sekali, dan sendratari, seni drama tari, tanpa dialog dari pemainnya. Dilihat dari jenis drama yang telah dipaparkan, Umang-umang Atawa Orkes Madun II ini termasuk ke dalam drama jenis tragedi atau duka cerita.

“Sebagai naskah lakon atau naskah yang akan dipentaskan, drama memiliki beberapa bagian pembantu, antara lain: (1) Babak, merupakan bagian terbesar dalam sebuah lakon drama. Lakon itu sendiri bisa saja hanya terdiri dari satu, dua, tiga, atau empat babak dan mungkin pula lebih”. 31

Dalam lakon Umang-umang Atawa Orkes Madun II ini terdiri

30

Adhy asmara, Op,cit., h. 50

31

dari 3 babak dan 76 halaman. Dan di setiap babaknya ditandai dengan bunyi lonceng. ”Bagian pertama. Lonceng dua kal”.32

(2) Adegan, adalah bagian dalam babak lakon drama. Sebuah adegan hanya akan menggambarkan satu suasana yang merupakan rangkaian dari rentetan suasana-suasana yang terdapat dalam pembabakan lakon drama tersebut. “Rombongan waska makin banyak muncul tak beraturan untuk kemudian menyebar dan menyelinap menjauhi pentas.”33

(3) Prolog, kata pendahuluan dalam suatu lakon drama sebagai pengantar tentang suatu lakon yang akan disajikan nanti kepada penonton. Dalam naskah drama ini, tidak terdapat prolog, tetapi langsung diawali dengan bunyi lonceng dan adegan. Mungkin jika dipentaskan, prolog akan dibuat oleh seorang sutradara. (4) Dialog atau percakapan, tapi akan lebih tepat kalau disebut wawankata karena antara tokoh-tokoh dalam lakon drama satu sama lainnya adalah lawan untuk kata-kata yang dilemparkan oleh masing-masing tokoh itu sendiri.

Waska : Borok!!

Borok : Gua di kuburan cina, Waska34

(5) Monolog, adalah percakapan seorang pelaku (aktor) dengan dirinya sendiri.35

Waska: Aku pernah mengharap, tapi aku tidak pernah mendapat. Aku pernah memilih, tapi aku ditolak, selalu ditolak. Kemiskinan telah menodongku, kelaparan telah menodongku dan aku tak rela dicincang oleh kemiskinan dan kelaparan, maka kutodongkan kekayaan dan makanan.36

32

Arifin C. Noer, Umang-umang atawa Orkes Madun II, tidak dipublikasikan, h. 1

33

Ibid, h. 1

34

Ibid, h. 3

35

Adhy asmara, Op,cit., h. 48

36

Dokumen terkait