• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan Hidup Tokoh Waska dalam Naskah Drama Umang-umang atawa Orkes Madun II dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pandangan Hidup Tokoh Waska dalam Naskah Drama Umang-umang atawa Orkes Madun II dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi

Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh

Yunita

NIM. 109013000060

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

PANDANGAN HIDUP TOKOH WASKA DALAM NASKAH

DRAMA UMANG-UMANG ATAWA ORKES MADUN II KARYA

ARIFIN C. NOER DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas IlmuTarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh

Yunita NIM. 109013000060

Di bawah bimbingan

Novi Diah Haryanti, M.Hum

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN

BAHASA DAN SASTRA

INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

Orkes Madun II dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA” yang disusun oleh Yunita dengan NIM 109013000060 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, telah diuji kebenarannya oleh dosen pembimbing pada tanggal 10 Maret 2014.

Jakarta, 11 Maret 2014

Pembimbing

(4)
(5)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, N a m a : Yunita

Tempat, Tgl Lahir : Tangerang, 07 Juni 1991

NIM : 109013000060

Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Judul Skripsi : “Pandangan Hidup Tokoh Waska dalam Naskah Drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II Karya Arifin C. Noer dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra”

Dosen Pembimbing : Novi Diah Haryanti, M.Hum.

dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.

Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.

Jakarta, Maret 2014 Mahasiswa Ybs.

Materai 6000

Yunita

(6)

i

Drama Umang-umang atawa Orkes Madun II dan Implikasinya terhadap

Pembelajaran Sastra”.

Sastra merupakan bagian kehidupan yang ceritanya diangkat dari peristiwa nyata. Salah satu dari karya sastra adalah drama, suatu rekaan dunia kecil di atas panggung yang melakonkan setiap peristiwa.

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan pandangan hidup seorang tokoh dalam naskah drama Umang-umang atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif. Subjek penelitian ini, yaitu pandangan hidup tokoh Waska dalam naskah drama Umang-umang atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer dan sebagai objek penelitian adalah naskah drama Umang-umang atawa Orkes Madun II yang berupa dialog-dialog. Tahapan analisis drama meliputi, pengumpulan dokumentasi kemudian dijabarkan dengan memberikan analisis.

Hasil penelitian dapat penulis simpulkan bahwa pandangan hidup tokoh Waska dalam naskah drama Umang-umang atawa Orkes Madun II, meliputi:

Pertama, ia menganggap bahwa di dunia ini tidak lagi diperlukannya cinta kasih, semua hal itu malah akan membuat lemah dan tidak bergairah dalam hidup.

Kedua, pandangannya tentang penderitaan berubah, menurutnya, penderitaan adalah ketika ia menikah dan memilii keluarga. Perempuan yang mencintainya sepenuh hati dibiarkan menderita lantaran dibiarkannya, tetapi menurutnya, penderitaan adalah ketika ia bersama dengan perempuan itu. Ia menganggap semua impian besarnya akan gagal ketika ia memiliki cinta. Cinta itu simbol kelemahan baginya. Ketiga, pandangan Waska tentang tanggung jawab yang baginya itu kekokohan hidup, tanggung jawab yang ia miliki adalah tanggung jawab terhadap waktu jika ingin menjadi orang besar. Keempat adalah pandangan hidupnya tentang harapan. Harapan baginya adalah omong kosong. Berharap sama saja menjatuhkan harga diri ke dalam lubang ketakutan.

(7)

ii

atawa Orkes Madun II Drama Script and their Implication with Literature

Study”.

Literature is a part of life that‟s the real life who lift in their story. A part of that‟s is the Drama. The microcosm on the stage who act out each event.

The purpose of this study was to describe the character wordiew in Umang-umang atawa Orkes Madun II Arifin C. Noer work.

The method used in this study is descriptive analysed method. The subject of this study is the Worldview of Waska in Umang-umang atawa Orkes Madun II Arifin C. Noer work, and as the object in this Umang-umang atawa Orkes Madun II which consist of a dialog. The step to analyze this drama script including documentation collect and then described with the analysed.

The result can the authors conclude that Waskas Worldiew in Umang-umang atawa Orkes Madun II, including: First, he regard that in this world he didn‟t needed sense of love, because that‟s all can make human weak and not exited to begin the live. Second, his Worldiew of suffer, changed. For him suffer is when he merried and choosed the family. He let the woman who love him disappear, because for him suffer is when he together with that woman, so his big dream can be continued when he throw out his sense of love. Third, for waska, the responsible of time is the requirement, because if someone can be a “Big Man” he must be responsible with the time. Fourth, his Wordview of hope. For him, hope is nonsense. Because when someone started to hoped, he can falling to the scared.

(8)

iii

serta hidayah-Nya, skripsi ini berhasil diselesaikan dengan baik. Shalawat bermutiarakan salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Saw, keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang senantiasa mengikuti jejak dan langkahnya hingga akhir zaman nanti.

Tiada kata yang dapat penulis torehkan lagi, kecuali hanyalah ucapan terima kasih yang tiada terkira atas bimbingan, dorongan serta masukan-masukan positif untuk membantu penulis dalam pembuatan skripsi ini. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Nurlena Rifai, M.A., Ph.D., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dra. Mahmudah Fitriyah, ZA, MPd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

3. Dra. Hindun, MPd., selaku sekertaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

4. Novi Diah Haryanti, M.Hum., Pembimbing yang dengan sabar dan ikhlasnya telah memberi petunjuk, bimbingan, saran, masukan, dan pengarahannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mendidik dan memberikan ilmu kepada penulis.

6. Para staf perpustakaan, baik Perpustakaan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis dalam mencari referensi untuk menyelesaikan skripsi ini.

(9)

iv

penulisan skripsi ini. Terima kasih kamu yang telah memberikan bimbingan, kasih sayang, serta semangat kepada penulis.

10.Teman-teman kosant Sarbini, Kak Tanti, Hilda, Wiwi, Bebsy, Nina, Desi, dan Manda. Terima kasih selalu menemani kala suka maupun duka. Teman curhat dan keluh kesah. Teman bersama dalam segalanya. Dalam melewati hari-hari ini tidak akan berarti tanpa ocehan dan laku kalian. 11.Sahabat-sahabatku tercinta di kampus, Hayatun, Rizki Dwi, Jelita, Bundo,

Oi, Dewi, Syena yang telah memberikan kenang-kenangan berupa persahabatan. Menjalani kuliah bersama kalian sangat menyenangkan. 12.Keluarga besar PBSI UIN ‟09, Pandawa dan Srikandi Sastra, Keluarga

besar Teater Syahid, dan Majelis Kantiniyah. Kalian adalah sahabat sekaligus pengalaman terbaik yang tidak akan pernah penulis lupakan.

Serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, semoga bantuan, bimbingan, semangat, doa, dan dukungan yang diberikan pada penulis dibalas oleh Allah Swt. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, semua itu dikarenakan keterbatasan pengalaman dan pengetahuan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan yang membangun sebagai bahan perbaikan dari berbagai pihak. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat, khususnya penulis dan umumnya bagi pembaca. Amin.

Jakarta, 11 Maret 2014

(10)

v

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan Masalah ... 6

D. Rumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penelitian ... 7

F. Manfaat Penelitian ... 7

G. Metodologi Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN TEORETIS A. Hakikat Pandangan Hidup ... 10

B. Hakikat Drama... 15

C. Unsur Intrinsik Drama ... 22

D. Unsur Ekstrinsik Drama ... 29

E. Drama sebagai Media Pembelajaran ... 30

F. Penelitian yang Relevan ... 31

BAB III BIOGRAFI PENGARANG A. Biografi Pengarang ... 34

(11)

vi

Madun II karya Arifin C. Noer. ... 42 B. Pandangan Hidup Tokoh Waska ... 73 C. Implikasi Naskah Drama terhadap Pembelajaran Sastra ... 82

BAB V PENUTUP

A. Simpulan ... 86 B. Saran ... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 88

(12)

1

A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra pada umumnya tidak pernah melepaskan diri dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat. Karya sastra menampilkan permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam kehidupan manusia yang berkaitan dengan makna dari situasi sosial dan historis dalam kehidupan manusia. Karya sastra bukan sekedar aspek permasalahan masyarakat yang sederhana. Ia merupakan lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai media, sedangkan bahasa itu sendiri adalah ciptaan sosial. Oleh karena itu, dapat digambarkan bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan yang erat kaitannya dengan kenyataan yang ada dalam kehidupan sosial.

Salah satu jenis karya sastra ialah drama, ia merupakan karya fiksi yang bentuk fisiknya berupa dialog. Sama seperti karya sastra pada umumnya, kisah di dalam drama diangkat dari kehidupan nyata. Kehidupan yang tidak terlepas dari semua keadaan yang sudah nyata adanya, seperti belajar, berteman, berkeluarga dan banyak lagi yang lainnya. Di dalam drama, semua itu disajikan secara detail oleh pengarang melalui perilaku tokoh.

Drama ditulis untuk dipentaskan, dengan demikian ia memang direncanakan untuk dihadapkan kepada penonton. Dalam situasi semacam itu, maka ada unsur penting yang harus dipenuhi, yakni keabadian tema dan kehangatan masalah sosial yang mendasari gagasannya dan yang sekaligus merupakan perhatian khalayak pada masanya. Tanpa itu drama tidak akan mendapatkan tempat dalam masyarakat.1 Demikianlah, tema dalam drama dan tentunya dalam situasi apapun tema dalam drama selalu erat kaitannya dengan perubahan sosial yang penting.

Drama dikelompokkan ke dalam karya sastra karena media yang dipergunakan untuk menyampaikan gagasan atau pikiran pengarangnya adalah

1

Sapardi Djoko Damono, Antologi Drama Indonesia, (Jakarta, The Henry Luce

(13)

bahasa. Bahasa yang digunakan sangat bermacam-macam dan dapat memberikan potret-potret kehidupan masyarakat sehari-hari, baik itu yang tercermin dari prilaku tokoh atau lingkungan sosial yang ada dalam masyarakat. Hal ini merupakan wujud pengalaman dan pengetahuan sekaligus imajinasi yang dimiliki oleh pengarang yang kemudian dikemas dengan ribuan kata-kata yang puitis. Pelibatan pengalaman inilah yang melatar belakangi terciptanya karya tersebut.

Naskah drama adalah salah satu karya sastra yang dipilih Arifin C. Noer sebagai proses kreatifnya. Banyak naskah yang kemudian digarapnya sendiri menjadi sebuah pementasan. Beralih dari itu, penelitian ini tidak menekankan pada pementasan, tetapi pada karya itu sendiri. Naskah drama yang berbeda dari karya sastra yang lain, merupakan kumpulan dialog yang berderet, bertek-tok, dan berirama keseharian. Namun demikian, naskah drama adalah bagian dari karya sastra yang mengandung unsur kesenian yang utuh.

Dalam penelitian ini, naskah drama Arifin yang diteliti adalah Umang-umang Atawa Orkes Madun II. Umang-umang adalah sebuah kelompok atau organisasi yang dipimpin oleh seorang pensiunan pelaut. Organisasi ini mempunyai kebiasaan meludahi sebagai cerminan bahwa meludahi adalah penghargaan tertinggi di kelompok tersebut. Kelompok ini sama sekali berbeda dengan kelompok yang lain. Mereka adalah komplotan manusia yang mencari tempat bagi kemiskinan, untuk memberontak dan merampok semesta.

(14)

Naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II sering dihubungkan dengan rekaman kehidupan kelam masyarakat miskin di negeri ini pada masa lampau, sekarang, atau kelak di masa depan, di mana kejahatan kerap timbul karena keterpaksaan. Hidup enggan, mati tak mau! Pilihan untuk menjadi manusia jahat yang mengingkari hati nurani merupakan satu-satunya jalan untuk bertahan hidup meskipun pilihan itu diselingi nafsu dan kepuasan. Tuhan pun akhirnya memberikan sebuah hukuman kepada komplotan perampok itu melalui pemimpinnya karena gaung kejahatan yang diteriakkannya. Tidak hanya itu, kisah percintaan Waska dengan mucikari bernama Bigayah disuguhkan secara liar dan vulgar dalam naskah lakon ini. Tetapi, kisah cinta dan kejayaan Waska makin meredup seperti api dalam lampion, termakan waktu dan juga kekekalan hidupnya bersama kaki tangannya yang setia. Upaya waska, Ranggong, dan Borok untuk membunuh diri ditampilkan dalam beberapa adegan menjelang akhir cerita, kemudian hal itu menjadi kesia-siaan, sebab melawan hukum alam seperti kematian sama artinya dengan melawan kehendak Tuhan dan itu adalah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Sebagai pekerja seni, Arifin C Noer memberi sumbangan yang besar bagi perkembangan seni peran di Indonesia. Karya-karya tulisnya berupa naskah drama yang kemudian disutradarainya dan dipentaskan oleh Teater Ketjil yang dipimpinnya, membuktikan kedudukannya sebagai salah satu pencetus bentuk teater modern. Sebagai penulis naskah dan sutradara teater, Arifin merupakan fenomena yang menarik dalam khasanah perkembangan teater modern Indonesia. Selain giat mengembangkan apa-apa yang disebutnya teater eksperimental, Arifin juga menjadikan kekayaan teater tradisi Indonesia sebagai sumber kreativitas. Hal ini diakui oleh banyak pengamat yang mengatakan bahwa teater Arifin adalah teater modern Indonesia yang meng- Indonesia.

(15)

sebagai bahan untuk pengembangannya.2 Ini jelas merupakan kecenderungan yang perlu mendapat perhatian terutama karena bahasa lisan yang beredar di beberapa masyarakat bukanlah bahasa Indonesia yang baku dan bahwa sebagian besar masyarakat di daerah masih lebih akrab dengan bahasa ibunya meskipun dalam wujud yang oleh beberapa kalangan bisa saja dianggap sebagai bahasa yang sudah rusak sebagai akibat dari adanya pengaruh timbal balik dengan bahasa Indonesia. Hal ini tidak perlu diresahkan sebab pada dasarnya drama menampilkan dialog yang tentunya bersumber pada bahasa lisan yang dalam perkembangan bahasa kita tidak ada yang disebut baku.

Dengan bahasa semacam itulah masalah yang berakar dalam-dalam pada masyarakat tertentu bisa ditangkap intinya untuk kemudian diangkat ke pentas dan selanjutnya dipergunakan sebagai salah satu bahan bagi masyarakat yang lebih luas untuk mempertimbangkan kembali konvensi moral dan sosial yang selama ini menjadi keyakinan orang ramai. Dengan cara demikianlah maka drama memiliki fungsi yang nyata dalam masyarakat. Fungsi yang nyata di sini adalah pandangan masyarakat tentang kesenian drama sebagai cara untuk menikmatinya. Sedangkan yang akan dibahas dalam penelitian ini pandangan tidak tertuju pada masyarakat saja, melainkan kepada tokoh-tokoh yang berdialog di dalam sebuah naskah drama. Pandangan itu meliputi; dalam hal ini hanya berbatas pada naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer, yaitu pandangan tentang masalah-masalah tertentu, misalnya pandangan tentang masalah sosial yang terjadi di masyarakat, pandangan tentang ideologi tokoh, dan pandangan terhadap agama/keyakinan.

Sudah kita ketahui sebelumnya, bahwa drama lahir dari kehidupan sosial masyarakat. Dalam penelitian ini, naskah drama yang digarap menggambarkan keadaan sosial yang carut-marut serta jauh dari kehidupan yang layak. Namun demikian, pembahasan dalam penelitian ini berkaitan dengan pengajaran sastra di sekolah. Pengajaran ini dimaksudkan agar siswa dapat memperoleh pengalaman sastra dan pengetahuan sastra. Salah satu upaya dalam mencapai tujuan pengajaran sastra yaitu, pengetahuan sastra

2

(16)

yang diajarkan kepada siswa hendaknya berangkat dari suatu penghayatan atas suatu karya sastra yang konkret. Hal ini dimaksudkan agar pengalaman sastra yang diajarkan pada siswa melekat dan berakar kuat.

Selain membahas masalah sosial dan pandangan hidup di lingkungan naskah dan masyarakat, pendidikan pun berperan aktif sebagai penyalur serta sarana untuk masyarakat mendapatkan pengetahuan. Pendidikan adalah sebuah wadah untuk menampung kebutaan-kebutaan pada masyarakat tentang kehidupan. Pendidikan juga menjadi pemersatu beragam bahasa yang ada di Indonesia menjadi satu bahasa saja, yaitu bahasa Indonesia. Pendidikan di sini, berkaitan dengan pengajaran sastra, karena sastra merupakan hasil karya seni yang cenderung angkuh karena mau mengungkapkan segalanya secara utuh. Namun, tanpa membaca sastra manusia tidak bisa berkaca diri untuk mengungkapkan kenyataan. Pengajaran sastra bukanlah semata-mata produk khayalan, tetapi juga hasil produk pengalaman dan berpikir. Dalam dunia pendidikan, sekolah adalah tempat utama untuk mendapatkan pengalaman serta berpikir yang kreatif dan inovatif, maka dari itu, penulis mengangkat judul “PANDANGAN HIDUP TOKOH WASKA DALAM NASKAH

DRAMA UMANG-UMANG ATAWA ORKES MADUN II KARYA ARIFIN

C. NOER DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN

SASTRA DI SMA.”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka masalah yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:

1. Kurangnya minat baca peserta didik terhadap karya sastra terutama naskah drama.

(17)

3. Kurangnya perhatian peserta didik dalam mengkaji unsur intrinsik naskah terutama pada pengkajian tokoh dan hal yang berkaitan dengan tokoh. Misalnya, kepribadian tokoh, pandangan hidup tokoh, dan pandangan-pandangan tentang masalah tertentu.

4. Kurangnya apresiasi masyarakat luas tentang drama sebagai bahan pertimbangan dalam memperkenalkan nilai edukasi kepada anak-anak. 5. Kurangnya kesempatan dalam mempelajari drama menjadikan kurangnya

minat peserta didik dalam mempelajari drama.

C. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah bertujuan membatasi banyaknya masalah yang muncul dalam penelitian ini. Pembatasan masalah juga dapat mempermudah peneliti agar objek yang diteliti lebih spesifik dan mendalam. Dalam naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II terdapat banyak permasalahan,

maka dari itu, penulis membatasi dan memfokuskan penelitian pada:

1. Unsur intrinsik naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer.

2. Pandangan hidup tokoh Waska dalam naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer.

3. Implikasi naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II terhadap pembelajaran sastra di SMA.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pembatasan masalah penelitian seperti telah dikemukakan di atas, masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimana unsur intrinsik naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer?

(18)

3. Bagaimana implikasi naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II

Karya Arifin C. Noer terhadap pembelajaran sastra di SMA?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer.

2. Mendeskripsikan Pandangan Hidup Tokoh Waska dalam Naskah Drama

Umang-umang Atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer.

3. Mendeskripsikan implikasi naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer. terhadap pembelajaran sastra di SMA.

F. Manfaat Penelitian

Drama merupakan mata rantai yang langsung menghubungkan sastra dengan kehidupan kemanusiaan. Manusia tidak terlepas dari bidang keilmuan dan seni berperan. Maka dari itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang bagus dan positif pada khazanah keilmuan dalam bidang sastra, khususnya pengetahuan tentang pandangan hidup yang terdapat dalam naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II karya Arifin C. Noer. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan wawasan yang lebih terhadap pembaca, penulis, dan pecinta sastra. Khususnya dalam dunia pendidikan, penelitian ini memberikan manfaat secara teoretis dalam mengkaji metode-metode pengajaran sastra, yaitu pada pengajaran drama, karena pengajaran drama merupakan kajian tentang aspek-aspek dan masalah-masalah kehidupan masyarakat dari sudut literer dan estetika.

G. Metodologi Penelitian

1. Tempat dan Waktu Penelitian

(19)

karya Arifin C Noer. Tempat yang digunakan dalam penelitian tidak terikat pada satu tempat, karena objek yang dikaji berupa naskah (teks) karya sastra yaitu naskah drama. Adapun waktu penelitian dimulai pada September 2013.

2. Bentuk dan Strategi Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif analisis dan studi kepustakaan. Pendekatan yang dilakukan adalah secara intrinsik (yaitu pendekatan melalui isi karya sastra itu sendiri), dan ekstrinsik (pendekatan melalui faktor luar yang mempengaruhi karya sastra).

“Metode desktiptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analis”.3 Secara etimologis, deskripsi dan analisis berarti menguraikan. Meskipun demikian, analisis yang berasal dari bahasa Yunani, analyein („ana’= atas, „lyein’ = lepas, urai), tidak diberikan arti tambahan, tidak semata-mata menguraikan, melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya. Metode gabungan yang lain, misalnya deskriptif komparatif, metode dengan cara menguraikan dan membandingkan, dan metode deskriptif induktif, metode dengan cara menguraikan yang diikuti dengan pemahaman dari dalam ke luar.

Kemudian pendekatan intrinsik atau pendekatan melalui isi karya sastra itu sendiri yang disebut pendekatan objektif. “Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang terpenting sebab pendekatan apa pun yang dilakukan pada dasarnya bertumpu atas karya sastra itu sendiri.”4

Secara histori pendekatan ini dapat ditelusuri pada zaman Aristoteles dengan pertimbangan bahwa sebuah tragedi terdiri atas unsur-unsur kesatuan, keseluruhan, kebulatan, dan keterjalinan. “Pendekatan objektif dengan

3

Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta,

Pustaka Pelajar, 2007), h. 53.

4

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1995),h.

(20)

demikian memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-unsur yang dikenal dengan analisis intrinsik.”5

3. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah teknik membaca dan mencatat, mengingat objek kajian dalam penelitian ini adalah sebuah teks, yaitu berupa naskah drama Umangiumang Atawa Orkes Madun II karya Arifin C Noer. Adapun langkah-langkah pengumpulan datanya dikelompokkan berdasarkan kriteria yang telah ditentukan sebagai berikut:

a. Mengadakan studi kepustakaan untuk pengumpulan bahan. Langkah awal penelitian ini adalah membaca beberapa pustaka yang berhubungan dengan objek penelitian untuk mendapatkan bahan;

b. Membaca naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II

untuk menganalisis keterjalinan antarunsur intrinsik dalam drama tersebut;

c. Membaca naskah drama Umang-umang Atawa Orkes Madun II

untuk menganalisis pandangan tokoh Waska terhadap kehidupan yang ada dalam naskah drama tersebut;

d. Menyimpulkan hasil analisis yang didasarkan pada analisis data secara keseluruhan.

5

(21)

10

sini tentang pandangan hidup, naskah drama serta unsur intrinsiknya, implikasi naskah terhadap pembelajaran sastra, dan juga penelitian yang relevan.

A. Hakikat Pandangan Hidup

Pemikiran merupakan hal yang mendasar ketika kita ingin atau akan melakukan sesuatu, baik dalam hal berteman, memenuhi kebutuhan hidup, bahkan mencari nafkah. Pada umumnya, sesuatu yang kita pikirkan akan menjadi tolok ukur yang membatasi kita dalam memandang atau menilai sesuatu. Pemikiran lahir ketika kita berusaha mengeja kemudian mengenal dan menjadikannya suatu pandangan terhadap hal yang ada dan terjadi di lingkungan sekitar kita. Hal tersebut tentu saja tidak selalu kebaikan, kadang sesuatu yang baik menjadi tidak baik di mata kita, sedangkan yang tidak baik senantiasa membuat kita merasa nyaman.

Sebagai makhluk yang beraktivitas baik fisik maupun psikologis, manusia memiliki kecenderungan untuk beradaptasi dengan lingkungan di mana tempat ia tinggal. Lingkungan sekitar kita sangat berpengaruh terhadap pola pikir dan cara kita memandang sesuatu. Pandangan-pandangan itu yang akan membuat kita kuat terhadap sesuatu bahkan lemah terhadap sesuatu yang lain. Manusia pasti memiliki pandangan hidup walau bagaimanapun bentuknya. Bagaimana kita memperlakukan pandangan hidup itu tergantung pada orang yang bersangkutan. Ada yang memperlakukan pandangan hidup sebagai sarana mencapai tujuan, dan ada pula yang memperlakukan sebagai penimbul kesejahteraan, ketentraman, dan sebagainya.

(22)

ideologi yang disesuaikan dengan kebudayaan dan norma yang terdapat di negara tersebut, (3) pandangan hidup hasil renungan, yaitu pandangan hidup yang relatif kebenarannya.1

Pandangan hidup banyak macamnya, akan tetapi penulis membatasi pandangan hidup tokoh dalam naskah drama ini hanya pada pandangan hidup hasil renungan, yaitu pandangan hidup yang relatif kebenarannya. Oleh karena itu, pembahasan yang dilakukan meliputi pandangan hidup tentang cinta kasih kepada sesama manusia, pandangan hidup tentang penderitaan, tanggung jawab, dan harapan. Semua itu akan penulis deskripsikan melalui karakter tokoh Waska, pemeran utama dalam naskah drama ini.

Penulis membatasi penelitian ini hanya pada pandangan hidup hasil renungan yang relatif kebenarannya saja, karena pandangan hidup yang berkaitan dengan ke-Tuhan-an dan juga tentang kenegaraan tidak tersurat dalam naskah ini.

Tokoh dalam drama adalah manusia yang mengisi panggung, yang bermain serta mempunyai masalah-masalah sosial di lingkungannya. Ia juga merupakan manusia yang berpikir kemudian bertindak. Semuanya disajikan melalui dialog serta pengadeganan di atas panggung. Biasanya, masalah-masalah yang ditemui adalah “masalah-masalah-masalah sosial yang telah menghantui manusia sejak adanya peradaban manusia karena dianggap sebagai pengganggu kesejahteraan hidup mereka sehingga merangsang warga masyarakat untuk mengidentifikasi, menganalisa, memahami, dan memikirkan cara-cara untuk mengatasinya”.2

Manusia demi kelangsungan hidupnya harus mengadakan kerja sama dengan sesama manusia. Ada yang berdasarkan ikatan perkawinan, berdasarkan kesamaan profesi, dan lain sebagainya. Manusia dalam kehidupannya memiliki tiga fungsi, pertama sebagai makhluk Tuhan, kedua sebagai individu, dan ketiga sebagai makhluk sosial. Dari ketiga hal itu, manusia harus memulai peradaban yang baik, yaitu di mana sebagai makhluk individu harus memenuhi kebutuhan pribadinya. Menurut Koentjaraningrat, “peradaban ialah bagian-bagian kebudayaan yang halus dan indah seperti

1

M. Habib Mustopo, Ilmu Budaya Dasar, (Surabaya: Usaha Nasional: 1988), h. 173

2

Drs. Lies Sudibyo, dkk. Ilmu Sosial Budaya Dasar. (Yogyakarta: C.V Andi OFFSET,

(23)

kesenian”.3

Oleh sebab itu, dalam menjalani kehidupan ini, manusia haruslah berhati-hati dan memiliki rasa keindahan. Akan tetapi, yang ditampilkan dalam naskah ini adalah keadaan yang sebaliknya. Lakon yang bermain adalah kelompok manusia yang memiliki kesamaan nasib, yaitu nasib terbuang. Terbuang dari kebiasaan-kebiasaan yang seharusnya dijalani oleh manusia pada umumnya, karena “drama juga kadang-kadang mencemoohkan sepenuhnya pada tindakan amoral masyarakat”.4

1. Pandangan Hidup Tentang Cinta Kasih

Menurut KBBI, cinta adalah rasa sangat suka (kepada) atau rasa sayang (kepada), ataupun rasa sangat kasih atau sangat tertarik hatinya. Sedangkan kata kasih, artinya perasaan sayang atau cinta (kepada) atau menaruh belas kasihan. “Cinta kasih adalah ungkapan perasaan yang diwujudkan dengan tingkah laku, seperti dengan kata-kata atau pernyataan, dengan tulisan, dengan gerak, atau dengan media lainnya”.5

Ungkapan itu dapat ditujukan kepada lawan jenis, orang tua, teman, dan lainnya. Misalnya ungkapan dengan kata-kata, yaitu, aku cinta kamu, aku sayang kamu, atau terimakasih telah menyayangiku setulusnya. Ungkapan dengan tingkah laku, misalnya pelukan, ciuman, menjabat tangan, dan rangkulan. Ungkapan dengan media misalnya dengan memberikan setangkai bunga, hadiah, dan sebagainya.

Setiap manusia membutuhkan cinta kasih antarsesamanya, karena “cinta kasih adalah kebutuhan kodrati manusia yang merupakan bagian yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia “.6 “Namun demikian

, soal pemberian cinta kasih yang sempurna bukanlah yang hanya datang dari satu arah, misalnya dari orang tua saja, tetapi juga sebaliknya, dari anak ke orang

3

Dr. Elly M. Setiadi, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar edisi kedua (Bandung: Prenada

Media Group, 2007), h. 45

4

Dr. Suwardi Endraswara, Teori Pengkajian Sosiologi Sastra (Yogyakarta: UNY Press,

2012), h. 52

5

Lies Soedibyo, Op,cit., h. 41

6

(24)

tuanya (to give and to take), jadi, cinta kasih baru terasa apabila ada dua pihak yang sama-sama saling menerima sekaligus juga saling member”.7

2. Pandangan Hidup Tentang Penderitaan

Selain memiliki serta mengalami rasa cinta kasih, manusia juga memiliki atau juga pernah mengalami perasaan yang tidak menyenangkan seperti sakit hati, siksaan, dan rasa tidak enak, itu semua terjadi karena manusia memiliki perasaan dan pikiran. Rasa tidak enak ini kadang bersarang di dalam lingkungan kehidupan manusia, kadang juga di dalam hati atau dalam pikiran. Rasa tidak menyenangkan ini bisa berupa tidak mendapat pekerjaan, terasing, gagal dalam tujuan hidup, tidak memiliki cinta dan sebagainya. Perasaan-perasaan di atas adalah perasaan derita atau penderitaan. “Penderitaan dari kata derita yang berasal dari bahasa Sansekerta “dhra” artinya menahan atau mengannggung”.8

Biasanya, yang termasuk penderitaan ialah keluh kesah, kesengsaraan, kelapran, kekenyangan, kepanasan, daln lain-lain. “Penderitaan adalah beban fisik atau jiwa manusia yang dapat menekan diri manusia”.9

Penderitaan biasanya berupa rasa tidak menyenangkan yang sedang dialami oleh manusia dalam keadaan yang tidak diduga-duga. Penderitaan bersifat manusiawi, ia merupakan hal yang wajib kita alami.

Koneksi antara perilaku manusia di dunia nyata dan kinerja sosial yang dramatis adalah dua hal yang saling terkait. Realitas dunia dan aktivitas sosial, hampir selalu ditampilkan dalam drama. Seakan-akan, drama juga memuat konvensi sebagai dokumen sosial. Ketika drama membangun gedung khusus untuk ritual dan pertunjukan dalam berbagai jenis, dari proses peradilan untuk bercinta, ketika kita menetapkan adegan dan berdandan atau dalam bentuk gaun yang diturunkan sedikit jelas konvensi ini ada kemiripan

7

Drs. Supartono Widyosiswoyo,M.M., Ilmu Budaya Dasar. (Bogor: Ghalia Indonesia,

1992), h. 50

8

Drs. Djoko Widagdho, dkk., Ilmu Budaya Dasar. (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), h.

81

9

(25)

dengan kehidupan sosial.10 Hingga sampai sekarang saya pahami, drama jelas merupakan sebuah interpretasi perilaku sosial sehari-hari dan tindakan konsekuensial yang ditawarkan secara estetis.

3. Pandangan Hidup Tentang Tanggung Jawab

Setelah rasa cinta kasih dan penderitaan, manusia juga memiliki pandangan tentang tanggung jawab dan harapan. Sebagai manusia yang normal, tentulah mempunyai tanggung jawab dan harapan dalam hidupnya. Hidup manusia di samping sebagai makhluk Tuhan dan makhluk individu, juga merupakan makhluk sosial, hidup dalam lingkungan masyarakat. Di dalam interaksi sosial manusia diberi tanggung jawab, di samping ia memiliki hak juga memiliki kewajiban, dituntut adanya pengabdian dan pengorbanan.

Sebagai makhluk sosial yang beradab dan berbudaya manusia menilai dan dinilai. Oleh karena itu, untuk mengerti dan menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya itu baik atau tidak baik, maka dilakukan pertimbangan-pertimbangan. Tanggung jawab adalah ciri manusia beradab. Dengan demikian tanggung jawab berfungsi menyadari akibat baik buruknya perbuatan yang dilakukan manusia. Menurut Suyadi MP, “tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja, tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya”.11

“Apabila dikaji, tanggung jawab itu adalah kewajiban atau beban yang harus dipikul atau dipenuhi sebagai akibat dari perbuatan pihak yang berbuat, atau akibat dan perbuatan pihak lain, atau sebagai pengabdian, pengorbanan pihak lain”.12

Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan dengan segala fungsi dan potensinya yang tunduk kepada aturan hukum alam, mengalami kelahiran, pertumbuhan, perkembangan, dan mati, dan seterusnya, serta terkait serta berinteraksi dengan alam dan lingkungannya dalam

10

Suwardi, Op,cit., h. 52-53

11

Lies Soedibyo, Op,cit., h. 103

12

(26)

sebuah hubungan timbal balik baik itu positif, maupun negatif.13

4. Pandangan Hidup Tentang Harapan

Sebagai manusia, selama ia masih hidup, pastilah memiliki perasaan berharap. Perbuatan atau tindakan yang mengandung motif, merupakan tindakan yang mempunyai pengharapan, artinya bahwa tindakan-tindakan itu ditujukan pada satu titik sasaran akhir, yaitu sebagai hasil imbalan atau upah dari jerih payah yang telah dilaklukannya.

Menurut KBBI, harapan adalah keinginan untuk dijadikan kenyataan. Oleh karena itu, harapan adalah keinginan yang timbul dalam diri manusia berupa cita-cita atau keinginan yang akan dicapainya lewat perbuatan serta tindakan. Tindakan dan perbuatan itu bisa bersifat pisitif dan negatif.

Bekerja dan belajar tanpa mengenal lelah adalah wujud pengekspresian untuk mewujudkan harapan. Harapan-harapan itu meliputi: “harapan untuk memperoleh kelangsungan hidup, memperoleh keamanan, untuk memiliki hak dan kewajiban untuk mencintai dan dicintai, memperoleh status atau untuk diterima atau diakui di lingkungannya, dan harapan untuk memperoleh perwujudan dan cita-cita”14.

B.Hakikat Drama

1. Pengertian Drama dan Naskah Drama

“Drama adalah salah satu bentuk genre sastra. Kata drama berasal dari bahasa Yunani Dramoi yang artinya berbuat, bertindak, bereaksi, dan menirukan”.15 “Drama atau sandiwara adalah seni yang mengungkapkan pikiran atau perasaan orang dengan mempergunakan laku jasmani, dan ucapan kata-kata”.16 Ini maksudnya adalah drama merupakan bagian dari

13

Elly, Op,cit., h. 178

14

Djoko Widagdho, Op,cit., h.187

15

Sihabudi, dkk, Bahasa Indonesia 2 edisi pertama (Surabaya: Amanah Pustaka, 2009),

h. 7

16

(27)

seni yang tidak hanya berkumpul dalam imaji seseorang, melainkan dipertontonkan di hadapan orang banyak/penonton.

Drama adalah sebuah genre sastra yang penampilan fisiknya memperlihatkan secara verbal adanya dialogue atau cakapan di antara tokoh-tokoh yang ada. “Selain didominasi oleh cakapan yang langsung itu, lazimnya sebuah karya drama juga memperlihatkan adanya semacam petunjuk pemanggungan yang akan memberikan gambaran tentang suasana, lokasi, atau apa yang dilakukan oleh tokoh”.17

Drama, yaitu kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan atau diproyeksikan di atas pentas sebagai suatu bentuk kwalitet komunikasi, situasi, aksi, (dan segala apa yang terlihat dalam pentas baik secara obyektip maupun subyektip) yang menimbulkan perhatian, kehebatan, keterenyuhan, dan ketegangan perasaan pada pendengar atau penontonnya di mana konflik sikap dan sifat manusia sebagai tulang punggungnya.18

Drama, like poetry and fiction, is an art of words—mainly words of dialogue. People talking is the basic dramatic situation. Drama is distinguished from the other forms of literature by performability and by the objectivity that performability implies.19

Dilihat dari beberapa pengertian drama di atas, drama memiliki dua dimensi, yaitu drama sebagai teks sastra dan drama sebagai seni pertunjukan atau seni lakon. Drama sebagai seni pertunjukan atau seni lakon adalah perpaduan yang harmonis antara sekian banyak seni yang mewujudkan suatu kisah kehidupan di atas pentas. Pertunjukan drama haruslah indah dan menjelma menjadi kenikmatan yang diterima oleh pikiran penontonnya. Naskah drama akan senantiasa berada di dalam pikiran pembaca saja jika tidak dipentaskan. Akan tetapi, jika naskah drama itu sudah berada di tangan seorang sutradara, pastilah kita akan melihat potret kehidupan yang ada di sekitar kita. Sedangkan sebagai genre

17

Melani Budianta, dkk, Membaca Sastra (Magelang: Indonesia Tera, 2006), h. 95

18

Adhy Asmara dr, Apresiasi Drama, (Yogyakarta: C.V. Nur Cahaya, 1979), h. 12

19

(28)

sastra, drama ditulis dengan menggunakan bahasa yang memikat dan elegan. Drama dapat ditulis oleh pengarangnya dengan menggunakan bahasa yang puitis.

Adapun para ahli yang memberikan definisi kata drama, yaitu: Aris Toteles Mendefinisikan drama sebagai tiruan manusia dalam gerak-gerik. Menurut Balthazar Verhagen, drama adalah kesenian yang melukiskan sikap dan sifat manusia dengan gerak. Moulton mendefinisikannya sebagai kehidupan yang dilukiskan dengan gerak. Ferdinand Brunetierre mendefinisikan drama sebagai kehendak manusia yang diungkapkan dengan action. Sedangkan Alvin B. Kernan menjelaskan bahwa drama berasal dari kata “dram”yang berarti berbuat (to do) atau (to act).20

“Menurut John E. Dietrich, “drama adalah suatu ceritera dalam bentuk dialog (antawacana) tentang konflik (pertentangan) manusia, diproyeksikan dengan ucapan dan perbuatan dari sebuah panggung kepada penonton”.21 Dengan kata lain “drama merupakan bentuk yang paling kongkrit yang secara artistik dapat menceritakan kembali situasi kemanusiaan, dan hubungan kemanusiaan”.22

Sebagai istilah “drama” dan “teater” ini datang atau kita pinjam dari khazanah kebudayaan Barat. Secara lebih khusus, asal kedua istilah ini adalah dari kebudayaan atau tradisi bersastra di Yunani yang pada awalnya, baik drama maupun teater muncul dari rangkaian upacara keagamaan, suatu ritual pemujaan terhadap para dewa.23 Pada masa awal pertumbuhannya di Barat, sebagai bentuk upacara agama, drama dilaksanakan di lapangan terbuka. Para penonton duduk melingkar atau membentuk setengah lingkaran, sedangkan upacara dilakukan di tengah

20

Drs. Hasanuddin, M.Hum, Drama Karya dalam Dua Dimensi, (Bandung: Angkasa,

1996), h. 2

21

R.H. Prasmadji, B.A, Teknik Menyutradarai Drama Konvensional, (Jakarta: Balai

Pustaka: 1984), h. 10

22

Rizanur Gani, Pengajaran Sastra Indonesia, (Jakarta: Departemen pendidikan dan

kebudayaan: 1988), h. 253

23

(29)

lingkaran tersebut. sementara pada teater di Yunani khususnya, tempat penonton berada membentuk setengah lingkaran yang semakin besar radiusnya, semakin tinggi tempat duduk penonton bersangkutan.24

“Perkembangan drama, pada gilirannya kemudian memperlihatkan adanya pergeseran dari ritual keagamaan menuju kepada suatu eratoria, suatu seni berbicara yang mempertimbangkan intonasi untuk mendapatkan efektivitas komunikasi”.25

Dari oratoria ini, kemudian perkembangan memperlihatkan adanya dua kecenderungan besar. Di satu pihak, ada kecenderungan eratoria yang sarat dengan musik sebagai elemen utamanya, yang hingga kini kita kenal dengan teater, dan dipihak lain muncul pula bentuk eratoria yang hanya mengandalkan cakapan atau dialog sebagai elemen utama seperti yang kini kita kenal sebagai naskah drama.

“Naskah berasal dari bahasa Inggris manuskrip dan bahasa Prancis

manuscript, karangan yang ditulis tangan atau diketik, yang dipergunakan sebagai dasar untuk mencetaknya".26 Naskah pada umumnya adalah sebuah tulisan tangan yang dibukukan, yang bercerita tentang kehidupan yang sangat lengkap dan panjang. Sedangkan naskah drama adalah kumpulan dialog serta terdapat alur pemanggungan di dalamnya. Naskah drama juga bisa diartikan sebagai rentetan tanya jawab antar lakon/peran yang dibalut dengan bahasa keseharian. Walaupun semua karya sastra sudah dipentaskan di kepala pembacanya, tetapi tetap saja naskah drama yang ditulis dalam bentuk dialog memiliki kemungkinan akan dipentaskan. Naskah drama juga sama halnya dengan prosa dan novel, memiliki konflik dan unsur intrinsik yang sama. Hanya saja naskah drama berbentuk dialog dan merupakan bahan dasar sebuah pementasan. Tidak akan sempurna sebuah naskah drama apabila tidak dipentaskan.

24

Ibid, h. 99

25

Ibid, h. 100

26

Hasanuddin M. Hum, Ensiklopedi Sastra Indonesia, (Bandung: Penerbit Titian Ilmu

(30)

“Naskah drama adalah suatu cerita drama dalam bentuk antawacana (dialog) atau dalam bentuk tanya jawab antarpelaku”.27 Naskah drama sangat beragam coraknya, ada naskah drama yang ringan, berbobot, dan ada pula yang rumit, naskah drama yang berbobot (baik) adalah naskah yang bersifat naratif dan konflik karakter, karena mudah dimengerti baik sebagai karya sastra maupun sebagai seni pertunjukan.28 Suatu naskah drama yang baik adalah naskah yang memiliki persyaratan nilai dramatik dan teatrikal, yaitu tidak mengandung masalah yang atau pertanyaan yang sulit ditemukan jawabannya, dialognya menggunakan bahasa keseharian, dan tema yang diungkapkan menyangkut soal kehidupan. Naskah yang rumit yaitu naskah yang alur ceritanya sulit ditangkap, temanya anti tema, plotnya anti plot, sehingga jika dipentaskan, penonton harus membacanya terlebih dahulu. Bagaimanapun naskah drama adalah ciptaan manusia yang harus mengandung keindahan dan hakikatnya tersimpul dalam suatu perpaduan yang harmonis antara kehidupan perasaan yang indah yang ditulis oleh seniman. Sebagai karya sastra ia menjelma dalam kata-kata, sedangkan dalam pertunjukan ia menjelma dalam perpaduan yang harmonis antara sekian banyak seni yang mewujudkan suatu kisah kehidupan di atas pentas.

Sifat-sifat naskah yaitu: (1) estetis, mencerminkan dan memupuk rasa keindahan, (2) etis, membimbing kea rah peradaban dan kesusilaan bangsa dan manusia, (3) edukatif, membawa ke arah kemajuan (bersifat mendidik), (4) konsultif, memberikan penerangan dan penyuluhan atas problema dalam masyarakat, (5) rekreatif, memberikan hiburan kepada publik atau penonton.29

2. Karakteristik Drama dan Bagian Pembantu Drama

Pada umumnya, drama memiliki dua dimensi, yaitu drama sebagai karya sastra yang memiliki unsur cerita dan juga sebagai seni pertunjukan

27

R.H. prasmadji, B.A, Op,cit., h. 17

28

Tuti Mutia, Religiusitas naskah drama Kapai-KapaiKarya Arifin C. Noer, Skripsi,

tidak dipublikasikan, 2012, h. 15

29

(31)

yang tidak terlepas dari seni lakon dan seni teater. Biarpun kedua aspek tersebut terpisah, yang satu berupa naskah dan yang satu lagi berupa pementasan, tetapi keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisah. Naskah drama ditulis dengan memperhatikan segi pemanggungan, sedangkan pementasan tidak terlepas dari alur naskah itu sendiri.

Drama memiliki jenis berdasarkan temanya, yaitu drama tragedi atau duka cerita, yaitu drama yang penuh dengan kesedihan, kemalangan. Hal ini disebabkan pelaku utama dari awal cerita sampai akhir pertunjukan senantiasa kandas dalam melawan nasibnya yang buruk. Contoh lakon drama tragedi yang buruk adalah Kapai-kapai karya Arifin C. Noer.30 Komedi atau suka cerita yaitu drama penggeli hati. Di mana isinya penuh dengan sindiran atau kecaman terhadap orang-orang atau suatu keadaan pelaku yang dilebih-lebihkan, drama tragedi dan komedi, yaitu drama yang penuh dengan kesedihan, tetapi juga hal-hal yang mengembirakan-menggelikan hati, opera, yaitu drama yang berisikan nyanyian dan musik pada sebagian besar penampilannya, operette, yaitu drama jenis opera tapi yang lebih pendek, tableau, drama tanpa kata-kata dari si pelaku, mirip pantomim, dagelan, yaitu suatu pementasan cerita yang sudah dipenuhi unsur-unsur lawakan/badutan, drama minikata, yaitu drama yang pada saat dipentaskannya boleh dikatakan hampir tidak menggunakan dialog sama sekali, dan sendratari, seni drama tari, tanpa dialog dari pemainnya. Dilihat dari jenis drama yang telah dipaparkan, Umang-umang Atawa Orkes Madun II ini termasuk ke dalam drama jenis tragedi atau duka cerita.

“Sebagai naskah lakon atau naskah yang akan dipentaskan, drama memiliki beberapa bagian pembantu, antara lain: (1) Babak, merupakan bagian terbesar dalam sebuah lakon drama. Lakon itu sendiri bisa saja hanya terdiri dari satu, dua, tiga, atau empat babak dan mungkin pula lebih”. 31

Dalam lakon Umang-umang Atawa Orkes Madun II ini terdiri

30

Adhy asmara, Op,cit., h. 50

31

(32)

dari 3 babak dan 76 halaman. Dan di setiap babaknya ditandai dengan bunyi lonceng. ”Bagian pertama. Lonceng dua kal”.32

(2) Adegan, adalah bagian dalam babak lakon drama. Sebuah adegan hanya akan menggambarkan satu suasana yang merupakan rangkaian dari rentetan suasana-suasana yang terdapat dalam pembabakan lakon drama tersebut. “Rombongan waska makin banyak muncul tak beraturan untuk kemudian menyebar dan menyelinap menjauhi pentas.”33(3) Prolog, kata pendahuluan dalam suatu lakon drama sebagai pengantar tentang suatu lakon yang akan disajikan nanti kepada penonton. Dalam naskah drama ini, tidak terdapat prolog, tetapi langsung diawali dengan bunyi lonceng dan adegan. Mungkin jika dipentaskan, prolog akan dibuat oleh seorang sutradara. (4) Dialog atau percakapan, tapi akan lebih tepat kalau disebut wawankata karena antara tokoh-tokoh dalam lakon drama satu sama lainnya adalah lawan untuk kata-kata yang dilemparkan oleh masing-masing tokoh itu sendiri.

Waska : Borok!!

Borok : Gua di kuburan cina, Waska34

(5) Monolog, adalah percakapan seorang pelaku (aktor) dengan dirinya sendiri.35

Waska: Aku pernah mengharap, tapi aku tidak pernah mendapat. Aku pernah memilih, tapi aku ditolak, selalu ditolak. Kemiskinan telah menodongku, kelaparan telah menodongku dan aku tak rela dicincang oleh kemiskinan dan kelaparan, maka kutodongkan kekayaan dan makanan.36

32

Arifin C. Noer, Umang-umang atawa Orkes Madun II, tidak dipublikasikan, h. 1

33

Ibid, h. 1

34

Ibid, h. 3

35

Adhy asmara, Op,cit., h. 48

36

(33)

C. Unsur Intrinsik Drama

“Drama naskah disebut juga sastra lakon”.37

Sebagai salah satu bentuk karya sastra, maka drama tidak terlepas dari unsur intrinsik sebuah karya seperti pada roman maupun puisi. Kesenian drama, meskipun merupakan seni yang otonom, tetapi ia juga merupakan gabungan dari unsur-unsur kesenian lain; seperti karya sastra dalam penulisan lakonnya, seni peran atau seni laku yang dikenal lebih lanjut dengan mimik atau pantomimik, seni deklamasi dan kadang-kadang ditambah pula dengan seni musik, seni suara, seni tari. Daya tarik lainnya dengan adanya seni arsitek teater yang mempunyai ciri-ciri yang khas. Tetapi dari kesemuanya itu, unsur yang paling pokok dalam seni drama, yaitu, pemain (lakon dalam pertunjukan), panggung (tempat pertunjukan), dan penonton. Apabila salah satu di antara ketiga tersebut tidak ada, maka drama tidak dikatakan sebagai seni pertunjukan.

“Sebagai prosa, khususnya, pada karya drama pun dapat dijumpai pula adanya elemen-elemen tokoh, alur, dan kerangka situasi cerita yang saling menunjang satu dengan lainnya”.38

Sebagai pembaca karya sastra, khususnya drama, tugas kita tidaklah habis hanya dengan membaca saja, akan tetapi ada hal-hal yang harus kita ketahui atau kita pelajari, misalnya, bagaimana cerita itu tercipta atau apa yang terkandung di dalam karya sastra tersebut. Untuk itu, kita perlu mengkajinya, karena hal-hal tersebut tidak disampaikan secara eksplisit oleh pengarang.

1. Tema

Hal pertama yang harus kita ketahui dalam sebuah karya drama adalah tema. “Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan”.39 Setiap karya sastra,

37

Herman J Waluyo, Drama: Teori dan Pengajarannya, (Yogyakarta: Hanindita Graha

Widia, 2001), h. 6

38

Melani, Op,cit., h. 106

39

Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), h.

(34)

termasuk drama pasti memiliki tema yang merupakan gagasan umum dari keseluruhan cerita, tema itu sendiri membicarakan tentang ide pokok atau hal yang mendasari isi cerita. Tema tidak disampaikan langsung oleh pengarang kepada pembaca, akan tetapi ia hadir secara implisit melalui isi cerita.

“Tema merupakan “struktur dalam” dari sebuah karya sastra”.40

Dalam drama, tema akan dikembangkan melalui alur dramatik dalam plot oleh tokoh-tokoh dengan perwatakan yang memungkinkan konflik dan diformulasikan dalam bentuk dialog. Dialog tersebut yang merunutkan tema dari para lakon/naskah. “Semakin kuat, lengkap, dan mendalam pengalaman jiwa pengarangnya akan semakin kuat tema yang dikemukakan”.41 Tema yang kuat, lengkap, dan mendalam biasanya lahir karena pengarang berada dalam suasana jiwa yang luar biasa. Suasana di mana ia menjadi lakon dalam naskah/pementasannya. Konflik batin di dalam sebuah naskah drama haruslah benar-benar dihayati oleh pengarang, karena dengan tema semacam itu, pembaca akan lebih mudah dan cepat menangkap dan menafsirkan tema yang dimaksud oleh pengarang.

2. Plot/Alur

Plot merupakan unsur utama pembangun karya drama. Plot atau alur sebuah cerita ini sangat penting tujuannya karena untuk melihat kesinambungan antara masing-masing penyajian peristiwa dalam karya sastra. Stanton mengemukakan bahwa “plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain”.42 Plot ini sendiri merupakan kegiatan dalam memilih cerita, misalnya di tahap awal itu dinamakan pengenalan, jadi setiap cerita terdapat bagiannya yang sudah disusun secara apik dan indah oleh pengarang. Tahapan di dalam plot berfungsi untuk mengetahui urutan waktu penceritaan sebagaimana tahapan awal di dalam sebuah karya berisikan tentang informasi penting yang

40

Herman, Op,cit., h.26

41

Ibid, h. 24

42

(35)

berkaitan dengan peristiwa-peristiwa pada tahap selanjutnya. Biasanya, tahap pertama disebut tahap pengenalan. Pada tahap ini pengarang memperkenalkan tokoh-tokoh dramanya dengan watak masing-masing. Pada tahap kedua, alur peristiwa yang terjadi di dalam sebuah karya biasanya ditandai dengan adanya konflik antarpelaku yang merupakan bagian paling menegangkan di dalam sebuah karya. biasanya konflik di sini tidak terlalu serius, hanya pertikaian awal antarpelaku atau masalah yang dialami oleh para lakon. Dari tahap pengenalan sebelumnya, sekarang sudah lebih mendalam karena adanya pertikaian.

Kemudian tahap ketiga yang merupakan tahap klimaks atau titik puncak cerita. biasanya, konflik yang meningkat itu akan meningkat terus sampai mencapai titik gawat dari sebuah cerita. Pengarang yang pintar memanjakan pembaca, pasti akan dibuat geregetan karena keingintahuan pembaca terhadap akhir cerita yang dibaca. Akhirnya, tahap ini disebut tahap peleraian yang menampilkan adegan klimaks suatu karya. Di mana dalam tahap ini konflik sudah mereda atau menurun. Tokoh-tokoh yang memanaskan situasi atau meruncingkan konflik telah mati atau menemukan jalan pemecahan. Dalam naskah drama Arifin C. Noer, biasanya akhir dalam ceritanya membutuhkan penjelasan akhir seperti cerita dalam wayang. Akan tetapi dalam naskah drama yang dibahas ini, akhir ceritanya menggantung karena merupakan naskah caturlogi yang berkesinambungan dengan naskah-naskah yang lainnya. Naskah drama Umang-umang ini merupakan serial kedua dari caturlogi Orkes Madun, maka dari itu akhir ceritanya tidak ada penjelasan.

3. Tokoh dan Penokohan

(36)

ia menggambarkan watak tokoh-tokoh itu”.43 Tokoh di dalam sebuah cerita haruslah jelas dan memiliki karakter yang kuat untuk membangun cerita dan menciptakan suasana yang merujuk pada sifat dan sikap para tokoh sehingga dapat ditafsirkan oleh pembaca. “Tokoh menurut Abrams, adalah orang -(orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan”.44

Tokoh memanglah ciptaan pengarang dari imajinasinya, tapi tokoh merupakan seseorang yang hidup secara wajar sebagaimana ia menjalani kehidupan ini. Berlaku baik, memiliki moral yang bagus, dan merencanakan berbagai hal selayaknya manusia yang memiliki kehidupan dan kebiasaan.

Tokoh atau penokohan erat kaitannya dengan perwatakan. Di dalam sebuah drama, watak tokoh disajikan melalui dialog-dialog yang dilontarkan oleh para lakon. Biasanya, hal itu berhubungan dengan nama, jenis kelamin, tipe fisik, jabatan, dan keadaan jiwanya. Pada naskah drama Arifin ini, tokoh-tokoh disajikan lewat sutradara yang memainkan dramanya sendiri yaitu sebagai tokoh utama. Ia sangat jelas menggambarkan keadaan fisik serta kejiwaan tokoh tersebut. “Dalam wayang kulit atau wayang orang, tokoh -tokohnya sudah memiliki watak yang khas, yang didukung pula dengan gerak-gerik, suara, panjang pendeknya dialog, jenis kalimat, dan ungkapan yang digunakan”.45

Ciri khas naskah drama Arifin adalah dalam tokohnya ia menyisipkan tokoh wayang sebagai pusat cerita atau malah membalikkan watak yang sebenarnya dimiliki wayang menjadi berbeda di tangannya. Akan tetapi tetap saja ia tidak terlepas oleh ketradisionalan dalam karyanya.

4. Dialog

Ciri khas suatu drama adalah naskah yang berbentuk percakapan atau dialog. Ragam bahasa dalam dialog antar tokoh merupakan ragam lisan yang

43

Nani Tuloli, Teori Fiksi, (Gorontalo: Nurul Jannah, 2000), h. 30

44

Burhan, Op,cit., h. 165

45

(37)

komunikatif. Untuk mengetahui sifat dan sikap seorang tokoh, dalam karya drama, kita mengetahuinya lewat dialog-dialog yang berfungsi sebagai tuturan dari tokoh satu ke tokoh lainnya. Di dalam dialog terdapat informasi tentang cerita, atau ide-ide, bahkan hal-hal yang bersifat pandangan hidup. Dialog dalam drama haruslah ragam bahasa tutur karena jika pembicaraan sepasang kekasih tidaklah harus menggunakan kelengkapan bahasa. Dialognya haruslah akrab dan intim, jika kalimatnya lengkap, maka dialog antarkekasih tersebut tidak akan hidup.

Dialog merupakan kumpulan tanya-jawab antarpelaku yang berfungsi menciptakan peristiwa di dalam karya drama. Salah satu hal yang membedakan karya drama dengan karya yang lainnya yaitu, bahwa karya drama berbentuk dialog. Dialog melancarkan cerita atau lakon, mencerminkan pikiran tokoh cerita, mengungkapkan watak para tokoh cerita, dan dialog juga berfungsi menggerakan cerita dan melihat watak atau kepribadian tokoh cerita. Biasanya pada awal cerita dialog-dialog yang disajikan adalah dialog yang panjang, karena sebagai penjelasan tentang tokoh-tokoh yang dimaikan. “Dialog juga harus bersifat estetis, artinya memiliki keindahan bahasa”.46

Hal ini disebabkan karena kenyataan yang ditampilkan di pentas harus lebih indah dari kenyataan yang benar-benar terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam naskah drama umang-umang yang akan dibahas ini pun memiliki keindahan dialog yang disajikan, karena naskah drama juga merupakan keperluan pementasan dan juga merupakan karya sastra. Maka dari itu, bahasa yang digunakan haruslah mengandung keindahan bahasa dan tetap saja mengandung unsur bahasa lisan atau bahasa keseharian.

Seorang pengarang drama yang sudah berpengalaman tentulah akan mampu memadukan unsur estetis dan unsur komunikatif itu. Arifin C. Noer adalah salah satu pengarang yang memadukan unsur kecapakan tersebut, karena pada saat mencipta karya drama, pengarang yang berasal dari pentas seni ini akan membayangkan kemungkinan pementasan.

46

(38)

5. Latar/Setting

Selain berbentuk dialog, drama juga tidak terlepas oleh “latar atau

setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan”.47

Latar termasuk bagian penting di dalam sebuah karya drama, karena dari situ pembaca akan mengetahui kejadian apa dan kapan peristiwa itu terjadi. Jika di dalam pementasan, latar berperan untuk memudahkan pemain sekaligus sutradara untuk merealisasikan kegiatannya di panggung. Membaca sebuah karya drama, tentu saja kita dihadapkan pada tempat atau lokasi-lokasi kejadian serta waktu kejadian peristiwa, misalnya, nama kota, nama jalan, desa, pagi, sore, malam, dan lain-lain yang menandai jalannya alur cerita.

Menurut Sudjiman, unsur yang membangun latar dapat dikatakan “bahwa segala keterangan, petunjuk, pengacuan, yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra”.48 Latar dalam karya sastra tidak benar-benar disajikan pengarang secara jelas dan gamblang, melainkan mereka bersifat eksplisit, seperti kepercayaan, kebudayaan, adat istiadat, dan sebagainya. Begitu juga pada latar waktunya tidak dijelaskan dengan angka, tetapi disajikan lewat peristiwa yang sedang terjadi pada saat itu. Ini dimaksudkan agar pembaca tidak hanya terfokus pada karya drama itu saja, tetapi menelusuri lebih dalam lagi apa yang terjadi dan apa yang dimiliki oleh latar yang membawa peristiwa itu terjadi.

“Latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial”.49

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan, atau paling tidak tak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Kejelasan waktu dalam karya drama

47

Burhan, Op,cit., h. 216

48

Nani Tuloli, Op,Cit., h. 52

49

(39)

biasanya ditandai keadaan sosial di suatu daerah tertentu, keadaan yang sedang hangat dibicarakan bahkan dialami oleh sebagian masyarakat. Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.50 Bagi pembaca, latar sosial disajikan oleh pengarang lewat status sosial tokoh, kebiasaan hidup, adat istiadat, pandangan hidup, tradisi, cara berpikir, cara bertindak, dan juga keyakinan.

6. Amanat

Di setiap karya sastra, ada hal-hal yang mengilhami kita atau hal yang harus kita ambil dan kita perbaiki untuk kehidupan kita. Sebut saja itu adalah upah kita setelah beberapa waktu membacanya bahkan mementaskannya (untuk karya drama). Hal itu, dalam karya fiksi disebut amanat. Amanat sendiri lahir ketika kita sudah selesai membaca, mengkaji, bahkan mementaskannya. Ia berisi pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca lewat tulisannya.

Amanat dalam sebuah drama akan lebih mudah dihayati, jika drama itu dipentaskan. Amanat biasanya memberikan manfaat dalam kehidupan secara praktis. Ia merupakan pesan dari pengarang yang memerlukan penafsiran sebagai bentuk bahwa kita mampu memetik manfaatnya. Setiap pembaca berbeda-beda menafsirkan makna karya itu bagi dirinya, dan semuanya cenderung dibenarkan. Misalnya seperti kisah wayang yang diambil dari Mahabarata biasanya memberikan amanat bahwa kebaikan akan mengalahkan kejahatan. Amanat tersebut merupakan perang bagi diri sendiri yang sebagai manusia memiliki sisi baik dan sisi jahat. Begitulah drama yang dipentaskan memang sangatlah lekat dengan kehidupan kita.

“Dalam naskah drama diperlukan juga petunjuk teknis, yang sering pula disebut teks samping”.51

Teks samping ini memberikan petunjuk teknis tentang tokoh, waktu, suasana pentas, musik, keluar masuknya aktor atau

50

Ibid, h. 233

51

(40)

aktris, keras lemahnya dialog, dan sebagainya. Teks samping ini biasanya ditulis dengan tulisan yang berbeda dari dialog, biasanya ditulis miring atau huruf kapital semua. Dalam naskah drama Umang-umang ini, teks samping ditulis dengan hurup kapital. Teks samping sangat berguna untuk memberikan petunjuk kepada pemain jika naskah drama ini dipentaskan, dan juga kepada pembaca jika tidak dipentaskan. Untuk keperluan pementasan, teks samping memberikan petunjuk kapan aktor harus diam, jeda antarkedua pemain, suara berbisik, keadaan pemain seperti batuk, dan sebagainya. Di dalam naskah itu dijelaskan secara jelas dan gamblang, yang berbeda hanya di dalam naskah drama hal itu ditulis, sedangkan dalam pementasan teks samping berupa panduan atau bisa disebut bukan dialog.

D. Unsur Ekstrinsik Drama

Unsur ekstrinsik merupakan unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung, ia memengaruhi terciptanya sebuah karya lewat latar belakang sosial pengarang. “Ekstrinsik ialah unsur-unsur pengaruh luar (eksplanasi) dan unsur lahiriah yang terdapat dalam karya sastra itu”.52 Menurut Welleck dan Warren, bagian yang termasuk unsur “ekstrinsik karya sastra adalah keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya sastra yang ditulisnya”.53 Misalnya karya Arifin ini, ia memasukan unsur Cirebon lewat nama-nama tokoh dalam naskahnya. “Unsur ekstrinsik berikutnya adalah keadaan psikologi, baik yang berupa psikologi pengarang (yang mencakup proses kreatifnya), psikologi pembaca, maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya”.54

Misalnya keadaan psikologis pengarang memengaruhi keadaan tema, bahasa, serta alur cerita dalam karyanya.

52

P. Suparman Natawijaya, Apresiasi Sastra dan Budaya, (Jakarta: PT Interma, 1982),

h. 101

53

Burhan, Op,cit., h. 24

54

(41)

E. Drama sebagai Media Pembelajaran

“Pengajaran drama di sekolah dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan, yaitu: (1) pengajaran teks drama yang termasuk sastra, dan (2) pementasan drama yang termasuk bidang teater”.55

Media pembelajaran secara umum adalah alat bantu proses belajar-mengajar yang digunakan untuk merangsang pikiran, perasaan, perhatian, serta keterampilan siswa sehingga terjadinya proses pembelajaran.

Sebagai media pembelajaran, drama dapat dikategorikan sebagai pembelajaran teori drama dan pembelajaran apresiasi drama.Masing-masing pembelajaran ini terdiri atas dua jenis, yaitu teori tentang teks naskah drama dan apresiasi pementasan drama. Dalam apresiasi itulah, naskah maupun pementasan adalah hal penting karena teori termasuk dalam kawasan kognitif, dan apresiasi dalam kawasan afektif. Untuk meningkatkan daya apresiasi siswa, maka langkah yang ditempuh adalah meningkatkan kemampuan membaca karya sastra, dalam hal ini adalah naskah drama. Hal ini dimaksudkan agar siswa memiliki pengetahuan luas tentang sastra, seni, dan budaya yang terkandung di dalam drama (baik dalam segi pementasan dan teori serta karya).

Mempelajari naskah drama, dapat memperkaya kemampuan membaca dan memahami jalan cerita, tema, masalah tentang masyarakat, dan juga melalui dialog-dialog pelakunya, siswa juga belajar tentang bahasa lisan dan kemampuan tampil percaya diri di depan kelas.Pengajaran drama juga dapat melatih keterampilan berbahasa siswa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Siswa akan menyimak naskah yang dibacakan oleh siswa lainnya yang kemudian ia menganalisis naskah tersebut menjadi tulisan yang kemudian membacakan juga hasil analisisnya di depan kelas.Drama sangat penting bagi bagi pendidikan karena dapat mengungkapkan lebih banyak tentang kemanusiaan dalam segala kekompekan dan konflik-konfliknya itulah yang membentuk pembelajaran drama. “Drama tidak hanya cermin

55

(42)

lingkungan, tetapi juga membantu kita untuk menanggulanginya, menumbuhkan rasa simpati, imajinasi, dan pengertian”.56

Drama yang baik diajarkan di sekolah harus memiliki tujuan-tujuan khusus, yaitu: (1) pengembangan kenikmatan dan keterampilan membaca dan menafsirkan drama, dan memperkenalkan siswa dengan sejumlah karya yang signifikan. (2) pengenalan tradisi drama dan dan peranannya dalam sejarah kemanusiaan. (3) pengembangan dasar dan citrarasa terhadap drama, film, dan televise. (4) perangsangan perhatian terhadap permainan drama dari penunjangan selera masyarakat. (5) peningkatan pengertian siswa tentang pentingnya drama sebagai sumber pemekaran kawasan terhadap masalah-masalah pribadi dan sosial.57

Apabila tujuan-tujuan di atas dapat dilaksanakan dengan baik, maka drama mendapat tempat di dalam kurikulum, sehingga keterampilan-keterampilan drama dapat dikembangkan dalam bentuk proses belajar-mengajar yang terpola.

F. Penelitian yang Relevan

Adapun penelitian yang relevan ini dilakukan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti menyontek karya orang lain dan sebagainya. Untuk menhindari hal-hal tersebut, akan penulis paparkan tentang perbedaan di antara masing-masing judul dan masalah yang dibahas.

Skripsi yang berjudul “Religiusitas Naskah Drama Kapai-Kapai Karya Arifin C. Noer dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Drama” karya Tuti Mutia ini adalah skripsi Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada tahun 2013. Mendeskripsikan tentang nilai-nilai religi yang terkandung dalam naskah tersebut. Hasil penelitiannya meliputi: Pertama, religiusitas otentik atau religiusitas secara langsung, yaitu penuntutan ke arah yang lebih baik, dalam hal ini adalah sikap tolong-menolong, kesungguhan, kepasrahan, dan

56

Rizanur Gani, Op,cit., h. 258

57

(43)

ketakwaan. Kedua, religiusitas agamis atau religiusitas tidak langsung dalam menanggapi Tuhan, manusia melewati jalur agama tertentu yang bersifat formal dan resmi (bukan syariat): I‟tikadiyah, amaliyah. Naskah drama Kapai-kapai karya Arifin C. Noer merupakan naskah yang religiusitas yang religiusitas yang ditampilkan melalui tokoh utama dan kakek sebagai tokoh tambahan. Nilai religi yang disampaikan pengarang dapat dijadikan sebagai media pembelajaran yang sesuai dan mendidik.58 Persamaan yang terdapat dalam skripsi ini adalah sama-sama meneliti na

Referensi

Dokumen terkait

Menurut pandangan Wolff (dalam Faruk, 2003:3), sosiologi sastra dipandang sebagai disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah

Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra.. Malang: Yayasan Asih

Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil kemampuan mengevaluasi pemeran tokoh dalam pementasan

buku, artikel, jurnal, dan dokumen-dokumen lain yang berhubungan dengan naskah lakon dan orientasi masa depan tokoh remaja.. hal ini kajian terhadap naskah lakon

Ujaran yang dilakukan oleh Waska kepada Jonathan tersebut dikatakan melanggar maksim kemurahan, karena memaksimalkan cacian kepada orang lain dan meminimalkan pujian

Karena hal inilah, Danar tetap melangsungkan pernihakan dengan Ratna karena ia tidak tahu bahwa Tania juga mencintainya. Dalam novel ini, tokoh Dede menjadi jalan keluar bagi

Dalam landasan teori ini akan di bahas tiga hal yaitu, 1) penelitian yang relevan dengan penelitian ini, 2) unsur-unsur intrinsik naskah drama “Malaikat Tersesat dan Termos

Pada adegan 9 babak 3, halaman 142, kecemasan neurotik Jumena terdapat dalam halusinasinya yaitu ketika Jumena melihat Euis, Juki, Sabaruddin, Emod, Warya, Markaba, dan Lodod,