• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI

E. Hakikat Model Pembelajaran Kooperatif ( ’Cooperative Learning’ )

Hakikat model pembelajaran kooperatif akan dibahas dalam beberapa bagian, yaitu definisi pembelajaran kooperatif, unsur-unsur pembelajaran kooperatif, langkah-langkah pembelajaran kooperatif, dan macam-macam model pembelajaran kooperatif.

1. Pengertian Pembelajaran Kooperatif

Menurut Suherman (2001: 218), pembelajaran kooperatif adalah suatu kegiatan belajar yang mencakupi suatu kelompok kecil siswa yang bekerja sebagai sebuah tim untuk menyelesaikan sebuah masalah, menyelesaikan suatu tugas, atau mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan bersama

lainnya. Lie (2010: 12) juga mengungkapkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah sistem pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur dan dalam sistem ini, guru bertindak sebagai fasilitator. Sedangkan Nurhadi dan Senduk (2003) (dalam Made, 2009: 189) mengungkapkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar menciptakan interaksi yang silih asah sehingga sumber belajar bagi siswa bukan hanya guru dan buku ajar, tetapi juga sesama siswa

Dari beberapa pendapat di atas, pembelajaran kooperatif adalah suatu kegiatan belajar yang menciptakan interaksi silih asah dalam kelompok kecil siswa yang saling bekerja sama, sehingga sumber belajar bagi siswa bukan hanya guru dan buku ajar, tetapi juga sesama siswa demi mencapai tujuan bersama, dimana guru bertindak sebagai fasilitator.

2. Unsur-Unsur Pembelajaran Kooperatif

Roger dan David Johnson (dalam Lie, 2010: 31) mengatakan bahwa tidak semua belajar kelompok bisa dianggap pembelajaran kooperatif. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur dalam model pembelajaran kooperatif harus diterapkan. Hal tersebut didukung oleh Sugiyanto (2010: 40) dan Made (2009: 190). Lima unsur tersebut adalah:

a. Saling ketergantungan positif (’Positive Interdependence’)

Dalam pembelajaran kooperatif, guru menciptakan suasana yang mendorong agar siswa merasa saling membutuhkan. Hubungan yang saling membutuhkan antara siswa satu dengan siswa yang lain inilah yang disebut dengan saling ketergantungan positif. Saling ketergantungan dapat tercapai antara lain melalui: saling ketergantungan mencapai tujuan, saling ketergantungan menyelesaikan tugas, saling ketergantungan bahan/ sumber, saling ketergantungan peran, dan saling ketergantungan penghargaan/ hadiah.

b. Tanggung jawab perseorangan (’Personal Responsibility’)

Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran dalam bentuk kelompok, sehingga setiap anggota harus belajar dan menyumbangkan pikiran demi keberhasilan pekerjaan kelompok. Untuk mencapai tujuan kelompok, setiap siswa harus bertanggung jawab terhadap penguasaan materi pembelajaran secara maksimal. Tanpa adanya tanggung jawab individu, keberhasilan kelompok akan sulit tercapai.

c. Interaksi tatap muka (’Face To Face Promotive Interaction’)

Interaksi tatap muka menuntut para siswa dalam kelompok saling bertatap muka sehingga mereka dapat melakukan dialog, tidak hanya dengan guru, tetapi juga dengan sesama siswa (Nurhadi dan Senduk, 2003) (dalam Made, 2009: 191). Interaksi tatap muka memungkinkan para siswa dapat saling menjadi sumber belajar. Dalam hal ini setiap

kelompok harus diberi kesempatan untuk bertemu muka dan berdiskusi, saling berhadapan, dengan menerapkan keterampilan bekerja sama untuk menjalin hubungan sesama anggota kelompok. Selain itu, mereka juga perlu diberi kesempatan untuk saling mengenal dan menerima satu sama lain. Dengan interaksi ini diharapkan akan memudahkan dan membantu siswa dalam mempelajari suatu materi atau konsep.

d. Komunikasi antaranggota (‘Interpersonal Skill’)

Unsur ini menghendaki agar para siswa dibekali dengan berbagai keterampilan berkomunikasi. Keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat. Keterampilan berkomunikasi dalam kelompok merupakan proses yang panjang, tetapi sangat bermanfaat dan perlu ditempuh untuk memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental dan emosional para siswa. e. Pemrosesan kelompok (‘Group Processing’)

Pemrosesan mengandung arti menilai. Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif. Tujuan pemrosesan kelompok adalah meningkatkan efektifitas anggota dalam memberikan konstribusi terhadap kegiatan kolaboratif untuk mencapai tujuan kelompok.

Unsur pembelajaran kooperatif menurut Suherman (2001: 218) yaitu: a. Para siswa dalam kelompok harus merasa bahwa mereka adalah bagian

dalam sebuah tim dan mempunyai tujuan bersama yang harus dicapai. b. Para siswa dalam kelompok harus menyadari bahwa masalah yang

dihadapi dalam kelompok adalah masalah bersama dan berhasil tidaknya kelompok menjadi tanggung jawab seluruh anggota kelompok.

c. Untuk mencapai hasil maksimum, para siswa harus berinteraksi, berbicara satu dengan yang lain mendiskusikan masalah yang dihadapi. Para siswa juga harus menyadari bahwa keberhasilan masing-masing anggota mempengaruhi keberhasilan kelompok.

Unsur-unsur yang dikemukakan oleh Roger, David Johnson dan Suherman menekankan adanya interaksi antar siswa dan kesadaran siswa untuk saling membutuhkan satu sama lain, berkomunikasi dengan berdiskusi, saling bertukar pikiran dan pendapat, serta saling membantu untuk menguasai meteri. Mereka juga harus sadar bahwa masing-masing individu mempunyai tanggung jawab untuk keberhasilan kelompoknya. Mereka saling memotivasi, saling percaya satu sama lain, saling belajar hingga mencapai tujuan yang diharapkan.

3. Ciri-ciri Pembelajaran Kooperatif

Ciri-ciri pembelajaran kooperatif menurut Ibrahim, 2005: 6 (dalam Bayu, 2010: 1) dan Arends (2008: 5) antara lain:

a. Siswa bekerja sama dalam kelompok untuk menyelesaikan materi belajar.

b. Kelompok dibentuk dari siswa yang mempunyai kemampuan akademis tinggi, sedang, dan rendah serta berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin yang berbeda.

c. Penghargaan lebih berorientasi pada kelompok daripada individu.

4. Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif

Langkah-langkah pembelajaran kooperatif menurut Arends (2008: 21) tertera dalam tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1: Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Menurut Arends (2008: 21)

Fase Indikator Perilaku Guru

Fase 1 Mengklarifikasikan tujuan dan establishing set

Guru menjelaskan tujuan pelajaran dan establishing set

Fase 2 Mempresentasikan informasi Guru mempresentasikan informasi kepada siswa secara verbal atau dengan teks

Fase 3 Mengorganisasikan siswa ke dalam tim-tim belajar

Guru menjelaskan kepada siswa tata cara membentuk tim-tim belajar dan membantu kelompok untuk melakukan transisi yang efisien

Fase 4 Membantu kerja-tim dan belajar Guru membantu tim-tim belajar selama mereka mengerjakan tugasnya.

Fase 5 Mengujikan berbagai materi Guru menguji pengetahuan siswa tentang berbagai materi belajar atau kelompok-kelompok mempresentasikan hasil-hasil kerjanya

Fase 6 Memberikan pengakuan Guru mencari cara untuk mengakui usaha dan prestasi individual maupun kelompok

5. Macam-Macam Model Pembelajaran Kooperatif

a. Model STAD (Student Team Achievement Divisions)

Pembelajaran kooperatif model STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan kawan-kawannya dari Universitas John Hopkins. Model STAD dianggap paling sederhana dan paling mudah dipahami (Slavin, 1994, 1995, dalam Arends, 2008: 13). Inti dari pembelajaran kooperatif model STAD yaitu diawali dengan guru menyajikan informasi akademis baru kepada siswa setiap minggu, baik melalui penyajian verbal maupun tertulis, kemudian siswa dibagi dalam beberapa kelompok, masing-masing terdiri dari 4 atau 5 anggota kelompok, yang anggotanya heterogen baik jenis kelamin, ras, etnik, maupun kemampuannya. Tiap anggota kelompok menggunakan lembar kerja akademik, kemudian saling membantu untuk menguasai bahan ajar melalui tanya jawab, atau diskusi antar sesama anggota kelompok. Setelah itu, siswa diberi kuis individu sesuai dengan materi yang telah dibahas. Kemudian kuis diberi

skor dan tiap individu akan memperoleh skor kemajuan. Skor kemajuan bukan didasarkan pada skor absolut siswa, melainkan seberapa banyak skor itu bertambah dari rata-rata skor sebelumnya. Setiap minggu diumumkan kelompok-kelompok dengan skor perkembangan tertinggi. Kelompok yang memenuhi kriteria tertentu mendapat penghargaan/ sertifikat.

b. Model Jigsaw

Pembelajaran kooperatif model jigsaw dikembangkan oleh Elliot Aronson dan kawan-kawannya dari Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan kawan-kawannya. Langkah-langkah inti dalam model Jigsaw antara lain siswa ditempatkan ke dalam tim belajar heterogen beranggota 5 sampai 6 orang. Berbagai materi akademis disajikan kepada siswa dalam bentuk teks, dan setiap siswa bertanggung jawab untuk mempelajari satu porsi materinya. Selanjutnya, para anggota dari tim-tim yang berbeda, tetapi membicarakan topik yang sama bertemu untuk belajar dan saling membantu dalam mempelajari topik tersebut. Kelompok ini disebut dengan kelompok “ahli”. Setelah itu, siswa kembali ke kelompok “asal” dan mengajarkan sesuatu yang telah mereka pelajari dalam kelompok “ahli” kepada anggota-anggota lain di timnya masing-masing. Setelah pertemuan dan diskusi kelompok asal, siswa mengerjakan kuis secara individual yang berkaitan dengan semua topik yang telah dipelajari.

c. Model GI (Group Investigation)

Pembelajaran kooperatif model GI dikembangkan oleh Herbert Thelen, dan diperluas serta disempurnakan oleh Sharan dan kawan-kawannya dari Universitas Tel Aviv. Model ini merupakan model kooperatif yang paling kompleks dan paling sulit diimplementasikan (Arends, 2008: 14). Guru yang menggunakan model GI biasanya membagi kelasnya menjadi kelompok-kelompok heterogen yang masing-masing beranggota 5 atau 6 orang. Akan tetapi, di beberapa kasus, kelompok mungkin juga dibentuk dari minat mereka yang sama terhadap topik tertentu. Siswa memilih topik-topik untuk dipelajari, melakukan investigasi mendalam terhadap sub-sub topik yang dipilih, dan melakukan presentasi kelas.

d. Pendekatan Struktural

Pendekatan terakhir dalam pembelajaran kooperatif yaitu pendekatan struktural yang dikembangkan oleh Spencer Kagan dan kawan-kawan (Sugiyanto, 2010: 48). Walaupun mempunyai banyak persamaan dengan pendekatan sebelumnya, pendekatan ini memberikan penekanan pada penggunaan struktur tertentu yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Struktur yang dimaksud Kagan dimaksudkan sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional, seperti resitasi, dimana guru mengajukan pertanyaan kepada seluruh

anggota kelas dan siswa memberikan jawaban setelah tunjuk jari. Stuktur yang dikembangkan Kagan menghendaki siswa saling membantu dalam kelompok kecil dan lebih dicirikan penghargaan kooperatif daripada penghargaan individual (Arends, 2008: 15)

Macam-macam pendekatan struktural yaitu sebagai barikut:

1) Numbered Heads Together (NHT)

NHT dikembangkan oleh Kagan (1998) (dalam Arends, 2008: 16). Dalam model pembelajaran ini, guru membagi siswa dalam kelompok yang beranggota 3 sampai 5 orang. Masing-masing anggota diberi nomor. Kemudian guru mengajukan pertanyaan atau soal kepada kelompok, dan mereka mendiskusikan serta memastikan bahwa setiap anggota kelompok tahu jawabannya. Guru memanggil sebuah nomor dan siswa dari masing-masing kelompok yang nomornya dipanggil menjawab pertanyaan tersebut.

2) Think-Pair-Share

Think-Pair-Share dikembangkah oleh Lyman (1985) (dalam Arends, 2008: 15) dan kawan-kawannya dari Universitas Maryland. Model pembelajaran ini merupakan model pembelajaran kooperatif terstruktur yang memiliki tiga tahap, tahap pertama yaitu siswa memikirkan sebuah persoalan yang diajukan oleh guru secara individu, tahap kedua yaitu siswa berdiskusi dengan pasangannya

dan saling bertukar pendapat. Tahap ketiga yaitu membagikan jawaban kepada seluruh kelas/ presentasi kelas.

Spencer Kagan juga mengembangkan pendekatan struktural lainnya yaitu Think-Pair Square. Model pembelajaran ini mirip dengan Think-Pair-Share, hanya berbeda pada tahap ketiga, yaitu siswa berdiskusi dengan pasangan lainnya sehingga membentuk kelompok berempat, saling berdiskusi dan tahap terakhir yaitu presentasi kelas.

Dokumen terkait