• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Hakikat Novel

Dewasa ini istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama

dengan istilah Indonesia novelet (Inggis: novelette), yang berarti sebuah karya

prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak

terlalu pendek.15 Kata novel berasal dari bahasa Latin, novus yang artinya baru.

Dalam bahasa Italia novel disebut novella. Suatu prosa naratif yang lebih panjang

dari cerita pendek yang biasanya memerankan tokoh-tokoh atau peristiwa imajiner. Novel merupakan karangan sastra prosa panjang dan mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekitaranya dengan cara menonjolkan sifat dan watak tokoh-tokoh itu. Novel dalam bahasa Perancis

disebut romanz yang dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai “roman”. Nouvelle

mungkin berarti berita, kabar, informasi segar, dongeng, kisah, hikayat, dan cerita

pendek.16

Abrams mengklasifikasi tipe novel secara umum berdasarkan perbedaan materi pelajaran, penekanan, dan tujuan artistik sebagai berikut:

1. Bildungsroman and Erziehungsroman are German term signify novels of formation "or" novel of education. The subject of these novels is the development of the protagonist's mind and character, as he passes from childhood through varied experiences and usually through a spiritual crisis – into maturity and the recognition of his identity and role in the word.

2. The sociological novel emphasizes the influence of social and economic conditions on characters and events; often it also embodies an implicit or explicit thesis recommending social reform.

3. The historical novel takes its setting and some of its characters and events from history; the term is usually applied only if the historical milieu and events are fairly elaborately developed and important to the central narrative. 4. The regional novel emphasizes the setting, speech, and customs of a particular locality, not merely as local color, but as important conditions affecting the temperament of the characters, and their ways of thinking, feeling and acting: “Wessex” in Hardy’s novels, and “Yoknapatawpha County,” Mississippi, in Faulkner’s.17

Klasifikasi yang dimaksudkan Abrams di atas, bahwa novel dibagi atas empat kalsifikasi yaitu (1) novel pendidikan, subjek novel ini mengalami perkembangan pikiran dan karakter, melalui krisis spiritual dari masa kanak-kanak menuju

15 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 9-10.

16 Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2000), h. 161-162.

17 M. H. Abrams, A Glossary of Literary Terms, (New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1971), h. 112-113.

26

kedewasaan; (2) novel sosiologis yang menekankan pada kondisi sosial dan ekonomi; (3) novel sejarah yang mengambil latar peristiwa sejarah yang cukup rumit dan penting; dan (4) novel regional yang menekankan latar dan kebiasaan lokalitas tertentu, bukan saja sebagai warna lokal semata, namun tentang karakter temperamen, dan cara berpikir.

Di Indonesia sendiri novel sudah lama dikenal dan dinikmati hingga saat ini pecinta novel luar biasa. Novel adalah cerita berbentuk prosa. Prosa adalah karangan bebas yang mengekspresikan pengalaman batin pengarang mengenai masalah kehidupan dalam bentuk dan isi yang harmonis yang menimbulkan kesan estetik dalam ukuran yang luas. Ukuran yang luas di sini dapat berarti cerita dengan alur yang kompleks, suasana cerita yang beragam, dan latar cerita yang juga beragam. Novel merupakan cerita fiksi dalam bentuk tulisan atau kata-kata dan mempunyai unsur intrinsik dan ekstrinsik.

Unsur intrinsik dalam karya sastra novel meliputi tema, alur, latar, gaya bahasa, sudut pandang, penokohan, dan amanat.

1. Tema

Tema adalah gagasan yang menjalin struktur isi cerita. Tema suatu cerita

menyangkut segala persoalan.18 Untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, ia

haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Tema, walau sulit ditentukan secara pasti, bukanlah makna yang “disembunyikan”, walau belum tentu juga dilukiskan secara eksplisit. Tema sebagai makna pokok sebuah karya fiksi tidak (secara sengaja) disembunyikan karena justru hal inilah yang ditawarkan kepada pembaca. Namun, tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan

sendirinya ia akan “tersembunyi” di balik cerita yang mendukungnya.19

18 Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: CV. Yrama Widya, 2012), h. 40. 19 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 68.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa tema merupakan gagasan utama yang menyangkut segala persoalan dalam keseluruhan isi karya sastra. Tema biasanya tersirat dalam cerita, maka untuk menemukan tema pembaca harus menelaah keseluruhan cerita.

2. Tokoh dan Penokohan

Aminuddin dalam Siswanto menyebutkan tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin

suatu cerita.20 Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat, sikap,

tingkah laku atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada tokoh suatu karya oleh sastrawan disebut perwatakan. Penokohan merupakan cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita.21

Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita, dan sebaliknya, ada tokoh-tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. Tokoh yang disebut

pertama adalah tokoh utama cerita (central character, main character), sedang

yang kedua adalah tokoh tambahan (peripheral character).22

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Bahkan pada novel-novel tertentu, tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui dalam tiap halaman buku cerita yang bersangkutan.

20 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 142. 21 Kosasih, op. cit., h. 36.

28

Karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Ia selalu hadir sebagai pelaku, atau yang dikenai kejadian dan konflik, penting yang mempengaruhi perkembangan plot. Di pihak lain, pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tak langsung. Tokoh utama adalah yang dibuat sinopsisnya, yaitu dalam kegiatan pembuatan sinopsis, sedang tokoh tambahan biasanya diabaikan. Tokoh utama dalam sebuah novel, mungkin saja lebih dari seorang, walau kadar keutamaannya tak (selalu) sama. Keutamaan mereka ditentukan oleh dominasi, tak banyak penceritaan, dan pengaruhnya terhadap perkembangan plot secara keseluruhan.

Ada beberapa cara memahami watak tokoh. Cara itu adalah melalui (1) tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya, (2) gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun caranya berpakaian, (3) menunjukkan bagaimana perilakunya, (4) melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri, (5) memahami bagaimana jalan pikirannya, (6) melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya, (7) melihat tokoh lain berbincang dengannya, (8) melihat bagaimanakah tokoh-tokoh yang lain itu memberi reaksi terhadapnya, dan (9)

melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lain.23

Jadi, tokoh dan penokohan dalam karya sastra masing-masing mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Dalam karya sastra akan ada tokoh utama dan tokoh tambahan. Hadirnya tokoh tambahan hanya mendukung jalan cerita tokoh utama.

3. Alur

Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama yang menggerakkan jalan cerita melalui rumitan kearah klimaks dan

selesaian.24 Berdasarkan kriteria jumlah maksudnya banyaknya plot cerita

yang terdapat dalam sebuah karya fiksi, plot dapat dibagi menjadi dua. Plot

tunggal adalah plot yang mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan

seorang tokoh utama protagonis sebagai hero dalam sebuah novel. Sedangkan

plot sub-subplot adalah adanya dua plot cerita yang dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang dikisahkan perjalanan hidup, permasalahan, dan

konflik yang dihadapinya. Struktur plot yang demikian dalam sebuah karya

barangkali berupa adanya sebuah plot utama (main plot) dan plot-plot

tambahan (sub-subplot).25

Tasrif (dalam Burhan Nugiyantoro 2012) membedakan tahapan plot

menjadi lima bagian. Kelima tahapan itu adalah sebagai berikut:26

a. Tahap penyituasian

Tahap penyituasian merupakan tahap yang berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokok-tokok cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandasi cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.

b. Tahap pemunculan konflik

Tahap pemunculan konflik merupakan tahapan masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.

c. Tahap peningkatan konflik

Tahap peningkatan konflik merupakan konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar

24 Wahyudi Siswanto, op. cit., h. 159. 25 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 157-158. 26 Ibid., h.149-150.

30

intensitasnya. Konflik-konflik yang terjadi, internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antarkepentingan, masalah, dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tak dapat dihindari.

d. Tahap klimaks

Tahap klimaks merupakan konflik dan atau pertentangan-pertentnagan yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama.

e. Tahap penyelesaian

Tahap penyelesaian merupakan tahapan di mana konflik yang telah mencapai klimaks di beri penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain, sub-subKonflik-konflik, atau Konflik-konflik-Konflik-konflik tambahan, jika ada, juga diberi jalan keluar, cerita diakhiri.

4. Latar

Latar/setting diterjemahkan sebagai latar cerita. Abrams dalam Wahyudi

Siswanto mengemukakan latar cerita adalah tempat umum (general locale),

waktu kesejarahan (historical time), dan kebiasaan masyarakat (sosial

circumtances) dalam setiap episode atau bagian-bagian tempat.”27

Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang

lainnya.28

27 Wahyudi Siswanto. op. cit., h. 149. 28 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 227.

a. Latar Tempat

Latar tempat menyarankan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Tempat-tempat yang bernama adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata, misalnya Magelang, Yogyakarta, Juranggede, dan lain-lain. Latar tempat tanpa nama jelas biasanya hanya berupa penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu, misalnya desa, sungai, jalan, hutan, kota, kota kecamatan, dan sebagainya.

b. Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap waktu sejarah itu kemudian dipergunakan untuk mencoba masuk ke dalam suasana cerita. Pembaca berusaha memahami dan menikmati cerita berdasarkan acuan waktu yang diketahuinya yang berasal dari luar cerita yang bersangkutan. Adanya persamaan perkembangan dan atau kesejalanan waktu tersebut juga dimanfaatkan untuk mengesani pembaca seolah-olah cerita itu sebagai sungguh-sungguh ada dan terjadi.

c. Latar Sosial

Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain.

32

Jadi, latar atau setiing mengacu pada suatu tempat, hubungan waktu, dan

lingkungan sosial terjadinya peristiwa dalam cerita.

5. Sudut Pandang (Point of View)

Sudutpandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya dari tempat

itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, dan waktu dengan

gayanya sendiri.29 Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan: siapa

yang menceritakan, atau: dari posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu

dilihat.30

Sudut pandang dapat banyak macamnya tergantung dari sudut mana ia dipandang dan seberapa rinci ia dibedakan. Pembedaan sudut pandang yang akan dikemukakan berikut berdasarkan pembedaan yang telah umum dilakukan orang, yaitu bentuk persona tokoh cerita: persona ketiga dan

persona pertama.31

a. Sudut Pandang Persona Ketiga: “Dia”

Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga, gaya “dia”, narator adalah seorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya: ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya yang utama, kerap atau terus menerus disebut, dan sebagai variasi dipergunakan kata ganti. Hal ini akan mempermudah pembaca untuk mengenali siapa tokoh yang diceritakan atau siapa yang bertindak.

Sudut pandang “dia” dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya. Di satu pihak pengarang, narator, dapat bebas menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh “dia”, jadi bersifat

29 Wahyudi Siswanto, op. cit., h. 151. 30 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 246-247. 31 Ibid., h. 256.

mahatahu, di lain pihak ia terikat, mempunyai keterbatasan “pengertian” terhadap tokoh “dia” yang diceritakan itu, jadi bersifat terbatas, hanya selaku pengamat saja.

b. Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku”

Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona

pertama, first person point of view, “aku”, jadi: gaya “aku”, narator adalah

seseorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca. Kita, pembaca, menerima apa yang diceritakan oleh si “aku”, maka kita hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas seperti yang dilihat dan dirasakan tokoh si “aku” tersebut.

Dalam sudut pandang “aku”, narator hanya bersifat mahatahu bagi diri sendiri dan tidak terhadap orang-orang (tokoh) lain yang terlibat dalam cerita. Ia hanya berlaku sebagai pengamat saja terhadap tokoh-tokoh “dia” yang bukan dirinya. Sudut pandang persona pertama dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan peran dan kedudukan si “aku” dalam cerita. Si “aku” mungkin menduduki peran utama, jadi tokoh utama protagonis, mungkin hanya menduduki peran tambahan, jadi tokoh tambahan protagonis, atau berlaku sebagai saksi.

6. Gaya Bahasa

Gaya adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan

emosi pembaca. 32 Melalui ungkapan-ungkapan bahasa tertentu yang

ditampilkan dalam karya sastra, kita sering merasakan indera ikut terangsang: seolah-olah kita ikut melihat atau mendengar apa yang dilukiskan dalam karya

34

tersebut. Tentu saja kita tidak melihat dan mendengar dengan mata dan telinga telanjang, melainkan melihat dan mendengar secara imajinasi. Penggunaan kata-kata dan ungkapan yang mampu membangkitkan tanggapan indera yang

demikian dalam karya sastra disebut sebagai pencitraan.33

Kiasan atau perlambangan merupakan sebagian dari gaya bahasa. Kiasan atau perlambangan, atau disebut juga perumpamaan, biasanya dibentuk dengan memperhatikan adanya persamaan sifat, keadaan, bentuk, warna, tempat, dan waktu antara dua benda yang dibandingkan. Menurut bentuk hubungannya, ada dua macam kiasan, yaitu (1) kiasan tak langsung, dan (2) kiasan langsung. Kiasan tak langsung, antara benda dan perumpamaan

perlambangannya dihubungkan dengan kata-kata seperti: bagaikan, seperti,

bak, laksana. Kiasan langsung adalah kiasan atau perlambangan yang langsung menyebutkan kiasan atau lambangnya tanpa menggunakan kata

juga.34

Jadi, gaya bahasa berhubungan erat dengan pemilihan kata yang digunakan pengarang dalam mengkisahkan cerita sehingga memberikan suatu ciri khas pengarang dalam menarasikan ceritanya. Pengarang seringkali menggunakan citraan juga kiasan dalam karyanya. Gaya bahasa yang digunakan oleh seorang pengarang dalam karyanya secara tidak langsung menggambarkan sikap atau karakteristik pengarang tersebut.

7. Amanat

Amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karyanya. Amanat tersirat di balik kata-kata yang disusun, dan juga berada di balik tema yang diungkapkan.

Karena itu, amanat selalu berhubungan dengan tema cerita itu.35 Amanat

adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan

33 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 304.

34 Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Penerbit Angkasa Raya Padang, 1988), h. 50. 35 Kosasih, op. cit., h. 41.

pengarang kepada pembaca atau pendengar. Di dalam karya sastra modern amanat ini biasanya tersirat; di dalam karya sastra lama pada umumnya

amanat tersurat.36

Jadi dapat disimpulkan, amanat merupakan pesan moral yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karya sastranya. Bentuk penyampaian amanat di dalam karya sastra dapat disampaikan pengarang secara langsung (tersurat) atau secara tidak langsung (tersirat).

Unsur ekstrinsik yaitu unsur pembangun di luar karya sastra. Unsur ini mempengaruhi cara penyusunan cerita dalam sebuah karya satra. Selain itu, juga membantu dalam penafsiran suatu karya sehingga mendapatkan hasil yang akurat. Unsur ekstrinsik terdiri dari unsur-unsur di luar karya itu sendiri. Unsur yang dimaksud antara lain biografi pengarang, buah pemikiran pengarang, serta latar sosial-budaya yang menunjang kehadiran teks sastra. Pemahaman unsur-unsur tersebut menunjukkan bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya.

Dokumen terkait