WARNA LOKAL DALAM NOVEL ISINGA
KARYA DOROTHEA ROSA HERLIANY DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Endah Kurniasari
NIM 1111013000042
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
i
ABSTRAK
ENDAH KURNIASARI, 1111013000042, “Warna Lokal dalam Novel Isinga
karya Dorothea Rosa Herliany dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing Ahmad Bahtiar, M.Hum, April 2016.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi wujud warna lokal dalam
novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany yang kemudian diharapkan dapat
dijadikan sumber bahan pembelajaran sastra. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian warna lokal meliputi lingkungan fisik dan unsur sosial-budaya. Lingkungan fisik berupa flora dan fauna khas Papua yakni, babi, burung cenderawasih, kanguru, buah pandan merah, pohon soang, anggrek dan gaharu. Unsur sosial meliputi kelas sosial: masyarakat pantai dan masyarakat pedalaman; dinamika sosial: penyimpangan sosial (pencurian, pembunuhan, dan penculikan), mobilitas sosial (Meage menjadi pemimpin Farandus); kelompok sosial: masyarakat Aitubu dan Masyarakat Hobone, dan Orang Yebikon; lembaga sosial: polisi dan tentara. Unsur budaya
meliputi bahasa: kata dalam bahasa Papua (fili, hunuke, ka, kamehe, kitorang, dll)
dan kalimat dalam bahasa Papua (Akahi paekehi yae ewelende, wali onomi
honomi eungekende, hamang nenaeisele emei roibuyae helemende, dll); sistem pengetahuan: tentang tata cara hidup orang di bawah Pegunungan Megafu; organisasi sosial: kepemimpinan dalam sebuah desa, gotong-royong; sistem
peralatan hidup dan teknologi: alat produksi (kamehe, kayu dan batu, fili), senjata
(busur dan anak panah), wadah (kantong labu), makanan (betatas, binatang hasil buruan dari hutan), pakaian (noken, cawat, manik-manik warna-warni, kalung,
gigi babi, hiasan telinga, koteka, baju zirah), tempat berlindung: (humia, yowi),
alat transportasi (perahu); sistem religi: sistem keyakinan (kepercayaan pada roh
leluhur), sistem upacara keagamaan (upacara syukur, upacara wit atau inisiasi,
upacara muruwal, upacara menstruasi pertama, upacara perdamaian, upacara perkawinan), umat yang menganut religi (agama Kristen yang dibawa oleh
Pendeta Ruben); kesenian: seni suara instrumental (tifa), seni tari (hunuke); sistem
mata pencaharian hidup (berkebun, menangkap ikan, berburu, berdagang).
ii
Teaching Tarbiyah, SyarifHidayatullah State Islamic University Jakarta, in April 2016.Supervisor: Ahmad Bahtiar, M.Hum
The purpose of this study is to describe local color in Isinga, a novel by
Dorothea Rosa Herliany which is expected to be used as a literary learning material. Qualitative descriptive method is used in this research. Results of local color includes the physical environment and socio-cultural elements. The physical environment of Flora and Fauna typical of Papua is pig, cenderawasih birds, kangoroo, red pandan fruits, soang trees, orchid and aloe. The social element of social class includes: seaside communities and tribal communities; social dynamics includes: social deviations (theft and murder), social mobility (Meage becomes leader of Farandus), social group includes: Aitubu community and Hobone Community, and People of Yebikon; social institutions: police and
soldiers. Cultural elements of language includes: word in Papua language (fili,
hunuke, ka, kamehe, kitorang, etc) and sentence in Papua language (Akahi paekehi yae ewelende, wali onomi honomi eungekende, hamang nenaeisele emei roibuyae helemende, etc), knowledge sytem includes: about the way of life under Megafu Highlands; social organization: leadership in a village, cooperation; life
equipment system and technology: production tool (kamehe, wood and stone, fili),
weapon (bow and arrow), container (pumpkin bag), food (betatas, hunted animals from jungle), clothes (noken, loincloth, colorful beads, necklace, pig tooth, ear
accessories, sheath, armor), haven: (humia, yowi), transportation vehicles (boat);
religious system: belief system (belief in ancestral spirit), system of religious
ceremonies (thanksgiving ceremonies, wit ceremonies or initiation, muruwal
ceremonies, first menstruation ceremonies, piece ceremonies, marriage ceremonies), people who embrace religion (christianity that was brought by Pastor
Ruben); art: instrumental sound art (tifa), dance (hunuke); livelihood system (farm,
fishing, hunt, trade).
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan rahmat, karunia, beserta nikmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Warna Lokal dalam Novel Isinga karya
Dorothea Rosa Herliany dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di
SMA”.
Skripsi ini, penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan
gelar sarjana pendidikan (S.Pd.). Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan
ide atau gagasan baru yang lebih kreatif dan inovatif di masa yang akan datang.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai rintangan. Tanpa
bantuan dan peran serta berbagai pihak skripsi ini tidak mungkin terwujud. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A, selaku Dekan FITK UIN Jakarta
yang telah mempermudah dan melancarkan penyelesaian skripsi ini;
2. Makyun Subuki, M. Hum, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia yang telah memberikan ilmu dan mempermudah
dalam penyelesaian skripsi ini;
3. Dona Aji Karunia Putra, M.A, selaku Penasehat Akademik yang telah
memberikan masukan dan mempermudah dalam penyelesaian skripsi
ini;
4. Ahmad Bahtiar, M.Hum, selaku dosen pembimbing skripsi yang
bersedia membantu serta mempermudah dalam penyelesaian skripsi ini.
Terima kasih atas ide, saran, arahan, motivasi, bimbingan, serta
kesabaran Bapak selama ini;
5. Bapak dan Ibu Dosen Program Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia yang telah memberikan banyak ilmu selama masa studi
penulis;
6. Sudarsana dan Pani Iswanti, kedua orang tua penulis yang telah
iv
telah memberikan semangat dalam canda dan tawa serta motivasi;
8. Seluruh mahasiswa PBSI, khususnya kelas B angkatan 2011, terima
kasih atas pengalaman dan pembelajaran berharga serta semangat yang
penulis dapatkan selama masa studi dan untuk motivasi untuk segera
menyelesaikan skripsi;
9. Sahabat seperjuangan, teman berdiskusi, berbagi ilmu dan pengalaman,
motivator hebat. Kepada Dinda Kadarwati, Ika Sutiandari, dan Sari
Satriyati yang sangat berpengaruh dalam menyemangati penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini;
10.Ananda Fadly Rahman, terima kasih atas semangat, bantuan, dan
doanya yang sangat berarti bagi penulis;
11.Seluruh anggota HMJ PBSI, kakak dan adik yang memberikan
pengalaman dan pembelajaran dan selalu memberi semangat dan
dukungan serta menjadi motivasi penulis selama ini;
12.Seluruh kakak, adik dan teman kader HMI, khususnya Komtar yang
memberikan pengalaman dan pembelajaran berharga serta semangat
yang penulis dapatkan selama masa studi dan motivasi untuk segera
menyelesaikan skripsi;
Semoga segala bentuk bantuan, dukungan, dan partipasi yang diberikan
kepada penulis mendapat pahala dan balasan lebih baik yang berlipat ganda dari
Allah swt. Amin.
Jakarta, 9 Mei 2015
Penulis
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQOSAH
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 5
C. Batasan Masalah ... 6
D. Rumusan Masalah ... 6
E. Tujuan Penelitian ... 6
F. Manfaat Penelitian ... 7
G. Metode Penelitian ... 8
1. Pendekatan Penelitian... 8
2. Subjek dan Objek Penelitian ... 10
3. Sumber Data ... 10
4. Teknik Pengumpulan Data ... 11
5. Teknik Analisis Data ... 11
BAB II LANDASAN TEORI ... 13
A. Warna Lokal ... 13
1. Lingkungan Fisik ... 15
2. Unsur-unsur Sosial ... 16
a. Kelas Sosial ... 17
b. Dinamika Sosial ... 17
c. Kelompok Sosial ... 18
vi
3) Organisasi Sosial ... 21
4) Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi ... 21
5) Sistem Mata Pencaharian Hidup ... 22
6) Sistem Religi ... 23
7) Kesenian... 23
B. Hakikat Novel ... 24
1. Tema ... 26
2. Tokoh dan Penokohan ... 27
3. Alur... 29
4. Latar... 30
a. Latar Tempat... 31
b. Latar Waktu ... 31
c. Latar Sosial ... 31
5. Sudut Pandang ... 32
6. Gaya Bahasa ... 33
7. Amanat ... 34
C. Pendekatan Sosiologi Sastra ... 35
D. Pembelajaran Sastra di Sekolah ... 37
E. Penelitian yang Relevan ... 40
BAB III ANALISIS DAN HASIL PEMBAHASAN ... 44
A. Biogarafi Pengarang ... 44
B. Sinopsis Novel Isinga ... 46
C. Analisis Unsur Intrinsik Novel Isinga ... 48
1. Tema ... 48
2. Tokoh dan Penokohan ... 54
3. Alur... 78
vii
a. Latar Tempat... 83
b. Latar Waktu ... 97
c. Latar Sosial ... 101
5. Sudut Pandang ... 104
6. Gaya Bahasa ... 105
7. Amanat ... 107
D. Analisis Warna Lokal dalam Novel Isinga ... 109
1. Lingkungan Fisik ... 110
2. Unsur-unsur Sosial ... 115
a. Kelas Sosial ... 116
b. Dinamika Sosial ... 117
c. Kelompok Sosial ... 120
d. Lembaga Sosial ... 123
3. Unsur-unsur Budaya ... 126
1) Bahasa ... 126
2) Sistem Pengetahuan ... 133
3) Organisasi Sosial ... 142
4) Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi ... 144
5) Sistem Religi ... 152
6) Kesenian... 156
7) Sistem Mata Pencaharian Hidup ... 158
E. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA ... 161
BAB IV PENUTUP ... 164
A. Simpulan ... 164
B. Saran ... 166
DAFTAR PUSTAKA ... 167
LAMPIRAN
1
A.
Latar Belakang Masalah
Secara geometris Indonesia terletak di antara Benua Asia dan Benua Australia,
serta Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Kemudian secara astronomis
Indonesia terletak pada 6o LU (Lintang Utara) – 11o LS (Lintang Selatan) dan
antara 95o BT (Bujur Timur) – 141o BT (Bujur Timur).1 Indonesia terkenal
sebagai negara kepulauan dengan beragam macam suku dan budaya dari Sabang
hingga Merauke. Terdiri dari wilayah dengan kondisi geografis yang bervariasi
mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir, dataran rendah, pedesaan, hingga
perkotaan. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat peradaban kelompok-kelompok
suku bangsa dan masyarakat di Indonesia yang berbeda. Perbedaan bentuk muka
bumi seperti daerah pantai, dataran rendah, dan pegunungan membuat penduduk
beradaptasi dengan kondisi geografis alamnya. Adaptasi itu dapat terwujud dalam
bentuk perubahan tingkah laku maupun perubahan ciri fisik. Perubahan keadaan
alam dan proses adaptasi inilah yang menyebabkan adanya keanekaragaman suku
bangsa di Indonesia. Setiap suku bangsa memiliki identitas sosial dan budaya
yang berbeda-beda, seperti bahasa, adat istiadat serta tradisi, sistem kepercayaan
dan sebagainya. Dengan identitas yang berbeda beda ini, dapat dikatakan bahwa
Indonesia memiliki kearifan lokal yang sangat beragam.
Karya sastra merupakan potret kehidupan sosial. Sastra menampilkan
gambaran kehidupan dan kehidupan adalah kenyataan budaya. Kebudayaan
adalah hasil pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial, yakni melalui proses
belajar dari lingkungannya. Dari hasil belajar, manusia dapat memperoleh
berbagai macam pengetahuan dan pengalamannya. Sastra tidak berangkat dari
ketiadaan budaya. Sastra adalah hasil budaya yang di dalamnya jelas
2
terepresentasikan nilai-nilai budaya. Sastra lahir oleh pengarang sebagai anggota
masyarakat yang terkait status sosial tertentu. Melalui karya sastra pengarang
memaparkan sebuah potret kehidupan sosial. Sebagai hasil budaya karya sastra
menyuarakan sejumlah pengalaman batiniah manusia berupa problematik
kemanusiaan yang berada di sekitar lingkungan yang melingkupinya. Kondisi
tersebut dapat mengakibatkan keberadaan kandungan karya sastra di Indonesia
juga sebanyak etnis dan budaya itu. Kekuatan budaya lokal suatu etnis dapat
dijadikan bahan bagi seorang pengarang untuk menciptakan sebuah karya sastra.
Novel merupakan karya sastra berbentuk prosa lebih panjang dan kompleks
dari pada cerpen, yang mengekspresikan sesuatu tentang kualitas atau nilai
pengalaman manusia. Novel mengandung rangkaian peristiwa kehidupan
seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya yang penceritaannya yakni dengan
menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku atau tokoh. Novel tidak hanya sebagai
alat hiburan, tetapi juga sebagai bentuk seni yang mempelajari dan meneliti
segi-segi kehidupan. Novel merupakan hasil cipta, rasa, dan seni manusia yang dapat
dihayati dan dipelajari. Oleh karena itu, sebagai karya sastra novel merupakan
salah satu jenis dari bacaan masyarakat yang turut memberikan pengaruh besar
terhadap pembentukan pola pikir masyarakat pembacanya. Novel sebagai salah
satu media alternatif bacaan juga harus mampu memberikan hal-hal positif yang
ada di dalamnya.
Di Indonesia sendiri novel sudah lama dikenal dan dinikmati hingga saat ini.
Perkembangan novel di Indonesia berkembang cukup pesat, terbukti dengan
hadirnya berbagai macam novel yang telah diterbitkan dalam bentuk dan isi yang
beragam. Pada dasarnya, novel selalu hadir sebagai sebuah potret kehidupan
manusia dalam mengarungi kehidupannya. Novel juga merupakan gambaran
lingkungan masyarakat yang hidup di suatu masa dan suatu tempat. Tokoh dan
peristiwa yang disajikan dalam novel merupakan pantulan realitas yang
ditampilkan oleh pengarang dari suatu keadaan tertentu. Melalui novel pengarang
mengungkapkan peristiwa yang berisi persoalan sosial, kebudayaan, dan
Warna lokal turut mewarnai perkembangan kesusastraan Indonesia. Bahkan,
sekitar tahun 1980-an, warna lokal menjadi kecenderungan dalam kesusastraan
Indonesia sehingga membuat kesusastraan Indonesia memiliki keragaman yang
menunjukkan kekayaan budaya Indonesia. Sebagian besar karya sastra Indonesia
yang mengandung warna lokal ditulis oleh pengarang yang berasal dari daerah
yang bersangkutan. Korie Layun Rampan dalam Upacara (1978) menunjukkan
kehidupan sosial budaya masyarakat Dayak. Ahmad Tohari dalam Ronggeng
Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), dan Jantera Bianglala
(1986) menunjukkan kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa. Demikian juga,
Linus Suryadi dalam Pengakuan Pariyem (1981), Arswendo dalam Canting
(1986), serta Umar Kayam dalam Sri Sumarah dan Bawuk (1985) dan Para
Priyayi (1990) menunjukkan kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa. Putu
Wijaya dalam Bila Malam Bertambah Malam (1971) menunjukkan kehidupan
sosial budaya masyarakat Bali. Novel yang berlatar lokal budaya Papua belum
banyak ditulis oleh para pengarang novel. Adapun beberapa novel yang berlatar
lokal budaya Papua yaitu karya Ani Sekarningsih dengan novel Namaku Teweraut
(2002), Dewi Linggasari dengan novel Sali (2007), Anindita S. Thyaf dengan
novel Tanah Tabu (2009) dan Dorothea Rosa Herliany dengan novel Isinga
(2015). Pengarang yang mengangkat warna lokal Papua tersebut berasal dari luar
Papua.
Warna lokal adalah lokalitas yang menggambarkan ciri khas dari suatu daerah
dalam karya sastra. Warna lokal yang dibangun dengan istilah atau ungkapan dari
bahasa daerah tertentu bertujuan untuk meningkatkan corak kedaerahan karya
sastra. Selain itu, penggunaan warna lokal dalam karya sastra dimaksudkan
pengarang untuk memperkenalkan budaya lokal kepada pembaca. Warna lokal
tidak hanya berupa pemakaian bahasa atau dialek kedaerahan, tetapi terdapat adat
istiadat, kesenian daerah, tingkah laku manusia, dan lain-lain. Sastra warna lokal
menonjolkan unsur latar atau setting yang digunakan dalam membangun isi cerita.
Latar ini menjadi tiga bagian, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
4
budaya suatu daerah. Para sastrawan umumnya masih menjaga, mempertahankan,
bahkan mengembangkan warna lokal. Penggunaan warna lokal akan dapat
menghalangi gejala globalisasi sosial dan budaya.
H.A.R. Tilaar dalam bukunya Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam
Era Globalisasi menyebutkan bahwa proses globalisasi bergerak sejalan dalam tiga arena kehidupan manusia: arena ekonomi, politik, dan budaya. Dalam arena
budaya proses globalisasi menyatakan diri dalam pengaturan sosial dalam
kaitannya dengan pertukaran dan ekspresi simbol mengenai fakta, pengertian,
kepercayaan, selera, dan nilai-nilai.2
Sastra warna lokal mempunyai peranan penting dalam memperkenalkan
budaya lokal, sekaligus menjadi salah satu langkah dalam pembentukan karakter
peserta didik dalam menghargai budaya bangsa dan mengantisipasi pengaruh
budaya luar akibat globalisasi terutama pada peserta didik. Adanya warna lokal
dalam karya sastra dapat dimanfaatkan oleh guru dalam pembelajaran sastra
sebagai sarana untuk menanamkan rasa cinta kebudayaan kepada peserta didik.
Memberikan pembelajaran sastra khususnya mengenai warna lokal peserta didik
akan lebih menyadari bahwa Indonesia memiliki berbagai macam kebudayaan
yang mesti dilestarikan. Di samping itu, peserta didik akan lebih memahami
tradisi dan budaya bangsa.
Salah satu pengarang yang mengangkat tema warna lokal adalah Dorothea
Rosa Herliany. Dorothea Rosa Herliany yang akrab dipanggil Rosa lahir di
Magelang, 20 Oktober 1963. Sastrawan yang aktif melahirkan karya berupa
kumpulan puisi, kumpulan cerpen, cerita anak, cerita rakyat, novel, dan tulisan
non fiksi. Karya-karyanya tersebut telah mendapatkan sejumlah penghargaan
diantaranya, yaitu Puisi Lingkungan Hidup Terbaik dari Menteri Lingkungan
Hidup (1994), Sastrawan Terbaik dari Persatuan Wartawan Jawa Tengah (1995),
Budayawan Terbaik dari Pemerintah Daerah Magelang (1995), Satu dari 19
Wanita Ternama 1997, Majalah Femina (1997), Menerima Anugerah Seni dari
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI (2004).
Novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany terbit pada Januari 2015. Novel
ini kental dengan budaya kearifan lokal tanah Papua. Isinga berarti ibu atau
perempuan di Papua. Kisahnya bercerita tentang kehidupan Irewa, perempuan di
perkampungan Aitubu, yang harus rela menjadi yonime, yakni alat pendamai dua
perkampungan yang bermusuhan. Dua perkampungan itu adalah Aitubu dan
Hobone. Cerita yang sarat akan nilai kearifan lokal tanah Papua di dalamnya
membuat penulis memilih novel ini menjadi objek penelitian.
Alasan dipilihnya novel Isinga sebagai objek penelitian adalah: Pertama,
novel Isinga mengangkat kearifan lokal Papua yang belum banyak ditulis oleh
para pengarang novel sehingga belum banyak penelitian mengenai warna lokal
Papua. Kedua, latar sosial budaya Papua yang kental dalam cerita membuat
penulis merasa perlu menganalisis warna lokal yang terdapat dalam novel Isinga.
Ketiga, ceritanya yang mengandung wawasan kebudayaan membuat novel ini dapat dijadikan bahan baca karya sastra siswa maupun bahan telaah kebudayaan
Papua bagi siswa. Keempat, novel Isinga adalah novel yang baru terbit Januari
2015, sejauh data yang diketahui novel ini belum pernah dianalisis maupun
digunakan sebagai objek penelitian sebelumnya.
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan maka penulis akan
mengambil judul “Warna Lokal dalam Novel Isinga Karya Dorothea Rosa
Herliany dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA” untuk
penelitian. Pertama novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany akan diteliti unsur
intrinsiknya untuk mengetahui struktur novel, kedua setelah diteliti unsur
intrinsiknya dilanjutkan dengan analisis warna lokal dengan pendekatan sosiologi
sastra meliputi aspek sosial dan budaya. Unsur sosial meliputi kelas sosial,
6
unsur budaya yang meliputi, bahasa sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem
peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan
kesenian yang terdapat dalam novel.
B.
Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah tersebut, maka beberapa masalah yang
dapat diidentifikasikan adalah sebagai berikut:
1. Sedikit pengarang yang mengangkat latar budaya lokal Papua dalam novel.
2. Sedikit pengarang yang mengangkat latar budaya Papua berasal dari Papua.
3. Sedikit penelitian mengenai warna lokal terutama warna lokal Papua.
4. Pengaruh budaya luar akibat globalisasi mengikis budaya lokal bangsa.
5. Sedikitnya pengetahuan peserta didik tentang kekayaan dan keberagaman
budaya yang ada di Indonesia.
C.
Batasan Masalah
Dari sejumlah identifikasi masalah yang ada, banyak permasalahan yang dapat
diteliti dalam novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany. Untuk menghindari
terlalu luasnya pembahasan dan agar penulisan skripsi ini lebih terarah maka
penulis membatasi penelitian, yaitu pada permasalahan Warna Lokal dalam Novel
Isinga Karya Dorothea Rosa Herliany dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA.
D.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan batasan
masalah seperti telah diuraikan sebelumnya, maka masalah dalam penelitian ini
akan dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana wujud warna lokal yang terdapat dalam novel Isinga karya
Dorothea Rosa Herliany?
2. Bagaimana implikasi warna lokal dalam novel Isinga karya Dorothea Rosa
E.
Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca untuk
mendalami makna suatu karya sastra, sebagai bekal meningkatkan apresiasi dan
wawasan masyarakat terhadap karya sastra. Secara khusus penelitaian ini
bertujuan untuk:
1. Mengungkapkan wujud warna lokal yang terdapat dalam novel Isinga
karya Dorothea Rosa Herliany.
2. Menjelaskan implikasi warna lokal dalam novel Isinga karya Dorothea
Rosa Herliany terhadap pembelajaran sastra di SMA.
F.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memiliki manfaat yang mencakup aspek
teoretis maupun praktis.
1. Manfaat Teoretis
a. Mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
diharapkan dapat menggunakan penelitian ini untuk digunakan dalam
memotivasi ide atau gagasan baru yang lebih kreatif dan inovatif di
masa yang akan datang, demi kemajuan diri dan mahasiswa dan juga
memberikan ilmu pengetahuan berupa warna lokal kepada mahasiswa.
b. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat memperoleh pengalaman
langsung dalam menganalisis sebuah karya sastra, memperoleh
pengetahuan mengenai warna lokal dan memberi dorongan kepada
peneliti lain untuk melaksanakan penelitian sejenis.
c. Pembaca diharapkan dapat memahami warna lokal dan sebagai bahan
untuk perbandingan dengan penelitian-penelitian yang telah ada
sebelumnya dalam meneliti warna lokal setelah membaca penelitian ini.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi guru
1) Dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai warna lokal
8
2) Dapat menjadi alternatif acuan bahan bacaan pada pembelajaran
membaca di sekolah dan meningkatkan kecintaan terhadap budaya
lokal kepada siswa.
b. Bagi siswa
1) Dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai warna lokal
yang terdapat dalam novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany.
2) Dapat membangkitkan minat siswa untuk lebih menyenangi karya
sastra khususnya novel.
3) Dapat mendorong siswa agar tidak sekadar dapat membaca karya
sastra saja, namun dapat melakukan pengkajian lebih mendalam
terhadap karya, sehingga membaca karya sastra bukan sekadar
untuk mencari hiburan dan mengisi waktu luang namun juga
memperoleh pengetahuan.
4) Dapat menumbuhkan dan meningkatkan kecintaan terhadap
budaya lokal kepada siswa, sehingga siswa dapat melestarikannya.
G.
Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik analisis
konten (content analysis) yang seringkali digunakan untuk menelaah isi dari
suatu dokumen. Analisis konten ialah strategi untuk menangkap pesan karya
sastra. Analisis konten dalam bidang sastra tergolong upaya pemahaman karya
dari aspek ekstrinsik. Aspek ekstrinsik tersebut dibedah, dihayati, dan dibahas
mendalam. Adapun unsur ekstrinsik yang menarik perhatian analisis konten,
yaitu meliputi: (a) pesan moral/etika, (b) nilai pendidikan (didaktis), (c) nilai
itu, analisis konten hendaknya mengungkapkan kandungan nilai tertentu
dalam karya sastra.3
Dalam bidang sastra sebagian besar data diperoleh secara kualitatif.
Dengan demikian, komponen penting dalam analisis ini adalah adanya
masalah yang akan dikonsultasikan lewat teori. Itulah sebabnya, karya sastra
yang dibedah melalui analisis konten harus memenuhi syarat-syarat memuat
nilai-nilai dan pesan yang jelas.
Suwardi Endraswara menjabarkan tentang prosedural analisis konten
dalam bidang sastra hendaknya memenuhi syarat-syarat: (a) teks sastra perlu
diproses secara sistematis, (b) teks tersebut dicari unit analisis dan
dikategorikan sesuai acuan teori, (c) proses analisis harus mampu
menyumbangkan kesepahaman teori, (d) proses analisis berdasarkan pada
deskripsi, (e) analisis dilakukan secara kualitatif.4
Menurut Ratna, metode kualitatif dan analisis isi secara keseluruhan
memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikan data dalam bentuk
deskripsi. Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah,
yaitu data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya. Dalam
penelitian karya sastra, akan dilibatkan pengarang, lingkungan sosial di mana
pengarang berada, termasuk unsur-unsur kebudayaan pada umumnya.
Sebagaimana metode kualitatif, dasar pelaksanaan metode analisis isi adalah
penafsiran. Apabila proses penafsiran dalam metode kualitatif memberikan
perhatian pada situasi alamiah, maka dasar penafsiran dalam metode analisis
isi memberikan perhatian pada isi pesan. Oleh karena itulah, metode analisis
3 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: CAPS, 2013), Yogyakarta: CAPS, 2013), h. 161.
10
isi dilakukan dalam dokumen-dokumen yang padat isi. Dalam karya sastra,
dilakukan untuk meneliti gaya tulisan seorang pengarang.5
Pendekatan penelitian sastra yang dipakai adalah pendekatan sosiologi
sastra dengan memfokuskan pada analisis sosiologi sastra, khususnya
sosiologi karya dengan metode analisis teks untuk mengetahui strukturnya,
kemudian digunakan untuk memahami lebih dalam lagi gejala sosial di luar
sastra. Penelitian diakhiri dengan kesimpulan dari seluruh penjelasan dan hasil
analisis yang telah dilakukan. Tujuan dalam analisis konten adalah
menjelaskan pokok-pokok paling penting dalam sebuah manuskrip atau
dokumen.
Dilihat dari penjelasan di atas, maka metode analisis konten akan
digunakan untuk mengungkap, memahami, dan menangkap kandungan warna
lokal dalam novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany. Penelitian diawali
dengan memberikan paparan mengenai novel Isinga karya Dorothea Rosa
Herliany lalu menganalisis unsur intrinsik dan unsur sosial budaya yang
terdapat di dalam novel tersebut sesuai dengan rumusan masalah, pendekatan,
dan landasan teori yang dipakai. Selanjutnya data disimpulkan untuk
memperoleh gambaran makna yang terkandung di dalamnya. Selanjutnya
makna tersebut dianalisis dengan tujuan menemukan kandungan warna lokal
dalam novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany. Penulis menggunakan
pendekatan objektif untuk menganalisis novel Isinga. Pendekatan objektif
adalah pendekatan yang menitikberatkan kepada teks karya sastra itu sendiri.
2. Subjek dan Objek Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah warna lokal
dalam novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany. Sedangkan objek
penelitiannya adalah novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany.
3. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu data primer
dan data sekunder. “Sumber primer adalah sumber data yang langsung
memberikan data kepada pengumpul data, sedangkan sumber sekunder adalah
sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data.”6
Dalam ilmu sastra sumber data penelitian adalah karya, naskah, data
penelitiannya, sebagai data formal adalah kata-kata, kalimat, dan wacana.7
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah novel Isinga karya Dorothea
Rosa Herliany, cetakan pertama pada bulan Januari 2015 yang diterbitkan oleh
PT Gramedia Pustaka Utama. Sedangkan, sumber data sekunder dalam
penelitian ini adalah karya-karya tulis ilmiah, buku-buku, dan artikel di surat
kabar, yang berkaitan dengan referensi mengenai warna lokal.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan teknik pengumpulan
data yaitu teknik inventarisasi, teknik baca simak, dan teknik pencatatan.
a. Teknik Inventarisasi
Teknik inventarisasi dilakukan dengan cara mencari dan
mengumpulkan sejumlah data yang berkaitan dengan subjek penelitian.
Dalam hal ini ialah novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany.
b. Teknik Baca Simak
Teknik baca simak dilakukan dengan cara membaca dengan secara
seksama terhadap isi novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany. Teknik
ini dilakukan berulang-ulang untuk memperoleh informasi yang akurat.
Informasi ini berkenaan dengan seluruh isi cerita yang berkaitan dengan
warna lokal dalam novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany.
6 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 225.
12
c. Teknik Pencatatan
Pencatatan dilakukan setelah proses memperoleh informasi dengan
teknik baca simak. Pencatatan dilakukan mulai dari bagian-bagian dalam
kalimat, frase-frase hingga ke bagian terbesar secara keseluruhan isi teks
dalam novel.
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah
identifikasi, klasifikasi, analisis, dan deskripsi.
a. Identifikasi
Setelah data terkumpul, penulis membaca secara kritis dengan
mengidentifikasi novel yang dijadikan sumber data dalam penelitian.
b. Klasifikasi
Setelah diidentifikasi, data novel diseleksi dan diklasifikasikan sesuai
dengan hasil identifikasi, yaitu unsur-unsur intrinsik serta warna lokal
dalam novel Isinga karya Dorothea Rosa Herliany dan
menghubungkannya dengan pembelajaran sastra di SMA.
c. Analisis
Selanjutnya seluruh data dari hasil proses pengklasifikasian dianalisis
dan ditafsirkan maknanya.
d. Deskripsi
Hasil analisis dalam novel disusun secara sistematis sehingga
memudahkan dalam mendeskripsikan makna dari setiap unsur yang
13
A.
Warna Lokal
Warna lokal merupakan suatu cara untuk mengangkat suasana kedaerahan
yang mendeskripsikan tentang latar, tokoh, dan penokohan, serta nilai-nilai
budaya. Warna lokal memiliki ciri khas tertentu yang berkaitan dengan
peristiwa-peristiwa kedaerahan. “Pelukisan tempat tertentu dengan sifat khasnya secara rinci
biasanya menjadi bersifat kedaerahan, atau berupa pengangkatan suasana
daerah.”1 Selain itu warna lokal dijadikan sebagai tolak ukur untuk membedakan
ciri khas daerah yang satu dengan daerah yang lain.
Pengangkatan suasana kedaerahan, sesuatu yang mencerminkan unsur
local color, akan menyebabkan latar tempat menjadi unsur yang dominan dalam karya yang bersangkutan. Tempat menjadi sesuatu yang bersifat khas, tipikal, dan fungsional. Ia akan mempengaruhi pengaluran dan penokohan, dan karenanya menjadi koheren dengan cerita secara keseluruhan. Namun, perlu ditegaskan bahwa sifat ketipikalan daerah tak hanya ditentukan oleh rincinya deskripsi lokasi, melainkan terlebih harus
didukung oleh sifat kehidupan sosial masyarakat penghuninya.2
Novel yang berlatar lokal budaya Papua belum banyak ditulis oleh para
pengarang novel. Adapun beberapa novel yang berlatar lokal budaya Papua yaitu
karya Ani Sekarningsih dengan novel Namaku Teweraut (2002), Dewi Linggasari
dengan novel Sali (2007), Anindita S. Thyaf dengan novel Tanah Tabu (2009)
dan Dorothea Rosa Herliany dengan novel Isinga (2015). Pengarang tersebut
berasal dari luar Papua. Pengarang novel berlatar lokal budaya Papua tidaklah
harus ditulis oleh orang Papua. Sebab, sebuah karya sastra mempunyai potensi
yang sangat besar sebagai medium imajinasi untuk pemahaman lintas budaya.
1 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS, 2012), h. 228.
14
Di Indonesia praksis lintas budaya yang sangat mengesankan adalah penciptaan kisah Si Doel Anak Jakarta oleh Aman Datuk Majoindo di tahun 1940-an. Pengarang dari Sumatra Barat ini pergi merantau ke Jakarta ketika berumur 23 tahun, dan hidup sebagai pekerja kasar (pegawai toko, kuli di Tanjung Priok) yang bergaul dengan berbagai kalangan, termasuk masyarakat Betawi. Barangkali kehidupannya yang keras di Jakarta membuat ia bersimpati kepada masyarakat Betawi yang pada waktu itu belum sempat menikmati buah-buah modernitas dan melahirkan karya sastra pertama yang ditulis dalam dialek Betawi. Si Doel adalah hasil sebuah penghayatan lintas budaya. Karya Aman Datuk Madjoindo menunjukkan bahwa representasi yang penuh empati dan menyentuh tentang suatu budaya tertentu dapat ditulis oleh bukan “pemilik asli”
budaya.3
Karya Aman Datuk Madjoindo yang dijelaskan Melani Budianta,
menunjukkan bahwa representasi yang penuh empati dan menyentuh tentang
suatu budaya tertentu dapat ditulis oleh bukan "pemilik asli" budaya tersebut.
Dengan demikian, novel berlatar lokal Papua pun dapat ditulis oleh orang di luar
Papua.
Warna lokal mensyaratkan adanya corak yang khas yang tidak dimiliki oleh
sesuatu di luar lokal tersebut. “Warna lokal yang tajam menggambarkan bukan
saja waktu dan tempat terjadinya peristiwa, tetapi juga sosial budaya dan
tokoh-tokoh serta kebiasaan setempat di dalam sebuah cerita. Ada pula penulis yang
bahkan memasukkan dialek setempat, terutama di dalam percakapan atau dialog
di antara tokoh-tokoh di dalam cerita itu, untuk mempertajam warna lokal itu.”4
Dalam karya sastra munculnya warna lokal ini akan menyebabkan latar
menjadi unsur yang menjadi bagian utama dalam karya yang bersangkutan. Jadi
mencakup unsur tempat, waktu, dan sosial budaya sekaligus. Latar tempat
mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam karya sastra.
Latar waktu menunjuk pada waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan
dalam karya sastra. Sementara itu, latar sosial budaya mengacu pada berbagai
3 Melani Budianta, “Sastra dan Interaksi Lintas Budaya”, 2002, (www.bahasa-sastra.web.id/melanie.asp) diunduh pada tanggal 29 April 2016 pukul 09:58 WIB.
masalah berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, pandangan hidup, cara
berpikir, cara bersikap, dan lainnya. Latar sosial memang dapat meyakinkan
penggambaran suasana kedaerahan, warna lokal, warna setempat daerah tertentu
melalui kehidupan sosial masyarakat. “Dalam kesusastraan dunia, keberhasilan
memotret situasi sosial yang didukung oleh warna lokal inilah yang acapkali
mengantarkan sastrawannya memperoleh penghargaan yang membanggakan.
Karya-karya sastra seperti itu pula yang cenderung menjadi karya-karya
monumental”.5
Karya sastra warna lokal adalah karya-karya yang melukiskan ciri khas suatu
wilayah tertentu. Sastra warna lokal ditandai oleh pemanfaatan setting, pengarang
berfungsi sebagai wisatawan. Sastra warna lokal menyajikan informasi permukaan
mengenai lokasi tertentu, dengan cara melukiskan unsur-unsur yang kelihatan
seperti lingkungan fisik dan unsur sosial budaya sebagai dekorasi tanpa
mendalami kehidupan yang sesungguhnya.6
1.
Lingkungan Fisik
Lingkungan merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yang
perkembangannnya dipengaruhi oleh manusia serta alam sekitar. Lingkungan
merupakan kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan sumber
daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan fauna yang
tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang
meliputi ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan
lingkungan fisik tersebut.
“Ilmu lingkungan mempelajari tempat dan peranan manusia di antara
makhluk hidup dan komponen kehidupan lainnya. Ilmu yang mempelajari
bagaimana manusia harus menempatkan dirinya dalam ekosistem atau dalam
5 Maman S. Mahayana, Bermain dengan Cerpen: Apresiasi dan Kritik Cerpen Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 203.
16
lingkungan hidupnya.”7 Dalam lingkungan terdapat komponen yaitu abiotik
dan biotik. Komponen abiotik adalah segala yang tidak bernyawa seperti tanah,
udara, air, iklim, kelembaban, cahaya, bunyi. Sedangkan komponen biotik
adalah segala sesuatu yang bernyawa seperti tumbuhan, hewan, manusia dan
mikro-organisme (virus dan bakteri).
Lingkungan fisik termasuk ke dalam komponen abiotik, atau biasa disebut
dengan kebendaan. Dalam hal ini, lingkungan fisik yang terdapat di dalam
sebuah daerah dapat berupa keadaan alam seperti gunung, sungai, atau pun
sawah. Lingkungan fisik selalu berubah oleh adanya berbagai macam gaya
alam baik yang berkekuatan besar maupun kecil.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa lingkungan merupakan keadaan alam yang
terbentuk dari komponen hidup dan tak hidup. Lingkungan fisik merupakan
komponen abiotik yang mencakup keadaan sumber daya alam seperti tanah,
air, laut, gunung dan sebagainya dan mengharuskan manusia serta makhluk
hidup lainnya untuk menempatkan diri dalam lingkungan tersebut.
2.
Unsur-unsur Sosial
Sosiologi berarti ilmu yang berbicara mengenai masyarakat atau mengenai
peranan manusia sebagai makhluk sosial yang saling berhubungan dengan
manusia lain dan lingkungannya. Dengan sendirinya unsur sosial membangun
suatu kesatuan dan berhubungan antara satu dengan lainnya di dalam
kehidupan. Dalam perjalanan kehidupannya manusia senantiasa hidup dalam
sistem sosial yang sudah terbentuk di dalam lingkungan masyarakatnya.
Sistem sosial diartikan sebagai hubungan antara unsur-unsur sosial atau
bagian bagian di dalam kehidupan sosial masyarakat yang saling
mempengaruhi. Unsur-unsur sosial yang pokok di antaranya adalah kelas
sosial, kelompok sosial, dinamika sosial, dan lembaga-lembaga sosial.
Kemudian nilai-nilai akan dijadikan sebagai ukuran dalam bertingkah laku
tentang mana yang baik atau tidak baik. Selain nilai, norma yang ada di suatu
sistem sosial tersebut akan dijadikan sebagai peraturan yang berlaku di dalam
suatu masyarakat.
a. Kelas Sosial
Kelas Sosial sebenarnya berada dalam ruang lingkup kajian yang lebih
sempit, artinya kelas sosial lebih merujuk pada satu lapisan atau strata
tertentu dalam sebuah stratifikasi sosial. “Kelas sosial berarti
pengelompokan orang berdasarkan nilai budaya, sikap, perilaku sosial
yang secara umum sama. Misalnya masyarakat kelas menengah ke atas
berbeda karakteristik dengan masyarakat menengah ke bawah.”8
Dalam sehari-hari dapat dilihat dari sikap dan gaya hidup di antara
kelas tertentu. Secara sederhana, perbedaan kelas sosial bisa terjadi dan
dilihat dari perbedaan-perbedaan besaran penghasilan rata-rata seseorang
atau sekelompok orang dalam kesehariannya atau setiap bulannya.
Sekelompok orang yang berpenghasilan tinggi akan berbeda dengan
sekelompok orang yang berpenghasilan rendah.
Proses terjadinya pelapisan sosial yang terjadi dengan sendirinya
berangkat dari kondisi perbedaan kemampuan individu atau
antar-kelompok sosial. Secara sederhana dapat disebutkan bahwa setiap individu
manusia memiliki perbedaan kemampuan dalam memenuhi aset kebutuhan
hidupnya.
b. Dinamika Sosial
Dinamika sosial merupakan hal-hal yang berhubungan dengan
perubahan-perubahan yang terjadi di dalam kehidupan sosial. “Suatu
perubahan sosial tidak lain adalah penyimpangan kolektif dari pola-pola
18
yang telah mapan. Oleh karena itu, perubahan sosial dapat menimbulkan
gangguan pada keseimbangan sosial yang ada.”9 Objek pembahasan
dinamika sosial meliputi: pengendalian sosial, penyimpangan sosial, dan
mobilitas sosial.
Pengendalian sosial merupakan cara atau proses pengawasan baik yang
direncanakan maupun yang tidak direncanakan untuk mengajak, mendidik
bahkan memaksa warga masyarakat agar para anggota masyarakat
mematuhi norma dan nilai yang berlaku. Dalam pengendalian sosial,
struktur sosial memiliki alat-alat pengendalian yang berupa nilai-nilai dan
norma yang dilengkapi dengan unsur kelembagaannya.
Penyimpangan sosial merupakan perilaku sejumlah orang yang
dianggap tidak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku sehingga
penyimpangan tersebut menimbulkan reaksi-reaksi seperti pergunjingan
masyarakat. Walaupun sudah ada nilai dan norma sebagai pedoman
tingkah laku, akan tetapi pola kehidupan yang teratur masih sulit untuk
dicapai. Hal ini diakibatkan kecenderungan manusia itu sendiri yang selalu
ingin menyimpang dari tatanan tingkah laku tersebut.
Mobilitas sosial merupakan peristiwa sosial di mana individu atau
kelompok bergerak atau berpindah kelas sosial satu ke lapisan sosial
lainnya.
c. Kelompok Sosial
Hampir semua manusia pada awalnya merupakan anggota kelompok
sosial yang dinamakan keluarga. Walaupun anggota-anggota keluarga tadi
selalu menyebar, pada waktu-waktu tertentu mereka pasti akan berkumpul.
Setiap anggota mempunyai pengalaman-pengalaman masing-masing
dalam hubungannya dengan kelompok-kelompok sosial lainnya di luar
rumah. Bila mereka berkumpul, terjadilah tukar menukar pengalaman di
antara mereka, tetapi para anggota keluarga tersebut mungkin telah
mengalami perubahan yang tidak disadarinya. Saling tukar-menukar
pengalaman disebut dengan pengalaman sosial di dalam kehidupan
berkelompok, yang mempunyai pengaruh besar di dalam pembentukan
kepribadian orang-orang yang bersangkutan.
“Setiap individu adalah anggota dari seuatu kelompok. Tetapi tidak
setiap warga dari suatu masyarakat hanya menjadi anggota dari satu
kelompok tertentu, ia bisa menjadi anggota lebih dari satu kelompok
sosial”10 Kelompok sosial merupakan akibat dari kedudukan manusia
sebagai makhluk sosial yang selalu berkecenderungan berkelompok
dengan manusia lainnya. Kelompok sosial juga dipahami sebagai
pemilihan kelompok manusia atas dasar perbedaan dan persamaan
karakter, watak, ciri, tujuan, kesukaan, dan sebagainya.
d. Lembaga Sosial
Jika di kehidupan sosial terdapat tatanan perilaku yang digunakan
untuk mengatur perilaku anggota-anggota masyarakatnya, maka tatanan
tersebut tidak akan menghasilkan apa-apa jika tidak dilengkapi dengan
lembaga sosial sebagai alat kontrol atas perilaku anggota masyarakat
tersebut. Di dalam kelompok sosial, tidak semua orang berperilaku sesuai
dengan harapan kelompok.
Istilah lembaga sosial (sosial institution) di sini, artinya bahwa
lembaga sosial lebih menunjuk pada suatu bentuk perilaku sosial anggota masyarakat dalam kehidupan bersama, sekaligus juga mengandung pengertian yang abstrak perihal adanya norma-norma dan
peraturan-peraturan tertentu yang menjadi ciri lembaga tersebut.11
10 Elly M. Setiadi, dkk., Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), Ed. 2. Cet. 3, h. 99.
20
Dalam pengertian sosiologis, lembaga dapat dilukiskan sebagai suatu
organ yang berfungsi dalam kehidupan masyarakat. Lembaga sosial baik
secara formal maupun informal dibuat dengan tujuan untuk mengikat
perilaku anggota masyarakat agar berperilaku sesuai dengan tatanan aturan
yang menjadi kesepakatan sosial.
3.
Unsur-unsur Budaya
Koentjaraningrat mengajukan definisi kebudayaan sebagai seluruh sistem
gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan manusia dengan belajar.12
Koentjaraningrat berpendapat bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yang
dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur yang dapat
disebut sebagai isi pokok dari tiap kebudayaan di dunia itu adalah: 1) Bahasa,
2) Sistem pengetahuan, 3) Organisasi sosial, 4) Sistem peralatan hidup dan
teknologi, 5) Sistem mata pencaharian hidup, 6) Sistem religi, 7). Kesenian.13
1) Bahasa
Bahasa atau sistem perlambangan manusia yang lisan ataupun tertulis
untuk berkomunikasi satu dengan lainnya. Pembahasan ini
mendeskripsikan tentang ciri-ciri terpenting dari bahasa yang diucapkan
oleh suku bangsa yang bersangkutan beserta variasi dari bahasa tersebut.
Deskripsi dari bahasa suku bangsa dalam pembahasan ini tidak begitu
dalam seperti deskripsi mendalam oleh seorang ahli bahasa.
2) Sistem Pengetahuan
Uraian mengenai pokok-pokok khusus yang merupakan isi dari sistem
pengetahuan dalam suatu kebudayaan merupakan suatu uraian tentang
cabang-cabang ilmu pengetahuan. Cabang-cabang itu dibagi berdasarkan
12 Eko A. Meinarno, dkk. Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat: Pandangan Antropologi dan Sosiologi, (Jakarta: Salemba Humanika, 2011), h. 90.
pokok perhatiannya. Pengetahuan tentang alam sekitar, pengetahuan
tentang alam flora dan fauna, pengetahuan tentang tubuh manusia dalam
kebudayaan-kebudayaan, seperti ilmu untuk menyembuhkan penyakit, dan
pengetahuan tentang sifat dan tingkah laku manusia adalah pengetahuan
yang teramat penting dalam suatu masyarakat. Seperti pengetahuan
tentang sopan santun pergaulan, adat-istiadat, sistem norma, hukum adat,
pengetahuan tentang sejarah tempat asal masyarakat itu menetap juga
sangat penting.
3) Organisasi Sosial
Setiap kehidupan masyarakat diatur oleh adat-istiadat dan
aturan-aturan mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan tempat
individu itu hidup dan bergaul. Kesatuan sosial yang paling dekat dan
mesra adalah kesatuan kekerabatannya, yaitu keluarga inti yang dekat dan
kaum kerabat lain. Ada juga kesatuan-kesatuan di luar kaum kerabat,
tetapi masih di dalam lingkungan komunitas. Tiap masyarakat, termasuk
masyarakat desa terbagi ke dalam lapisan-lapisan.
Dalam suatu masyarakat, persoalan yang banyak mendapat perhatian
yaitu persoalan pembagian kerja dalam suatu desa, berbagai aktivitas kerja
sama atau gotong-royong dalam masyarakat desa, hubungan dan sikap
antara pemimpin dan pengikut dalam komunitas desa (yakni soal prosedur
mendapat keputusan bersama, dan lainnya).
4) Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Teknologi atau biasa sering dikatakan sebagai cara-cara memproduksi,
memakai, dan memelihara segala peralatan hidup setiap suku bangsa.
Teknologi tradisional adalah teknologi yang belum dipengaruhi oleh
teknologi yang berasal dari kebudayaan “Barat”. Teknologi tradisional
mengenai tujuh macam sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik yang
22
produksi, senjata, wadah, makanan, pakaian, tempat berlindung dan
perumahan, serta alat-alat transportasi.
Alat produksi, yang dimaksud adalah alat untuk melaksanakan suatu
pekerjaan mulai dari alat sederhana, contohnya seperti batu untuk
menumbuk terigu sampai kepada alat untuk menenum kain. Senjata
adalah alat yang digunakan untuk melindungi diri, maupun digunakan
sebagai alat untuk membantu kegiatan sehari-hari. Wadah, adalah alat dan
tempat untuk menimbun, memuat dan menyimpan barang. Makanan,
dianggap sebagai barang yang dapat dibicarakan dalam teknologi dan
kebudayaan fisik. Makanan dapat menjadi simbol dari suatu daerah,
makanan khas tiap suku bangsa memiliki sistem pengolahan yang
berbeda-beda. Cara mengolah, memasak, dan menyajikan makanan
tersebut berbeda pula. Pakaian sebagai perhiasan badan juga menjadi ciri
kebudayaan dari tampilan luar seseorang. Tempat berlindung dan
perumahan, beragam jenis dan bentuk tempat berlindung. Alat-alat
transportasi, dalam kebudayaan manusia seperti rakit, perahu, kereta
beroda, dan lainnya.
5) Sistem Mata Pencaharian Hidup
Sistem mata pencaharian atau sistem ekonomi yang diperhatikan
adalah sistem produksi lokalnya termasuk sumber alam, cara
mengumpulkan modal, proses konsumsinya, cara pengerahan dan
pengaturan tenaga kerja, serta sistem distribusi di pasar-pasar yang dekat
saja. Pengaruh industri terhadap daerah pedesaan dan sekitarnya mulai
menjalar sampai ke sistem mata pencaharian. Dalam mempelajari suatu
masyarakat desa yang hidup berdasarkan mata pencahariannya, kita juga
harus menaruh perhatian terhadap sumber alam, tenaga kerja, serta
pemasarannya. Masalah sumber alam, terletak pada bagaimana usaha
6) Sistem Religi
Sistem religi dalam suatu kebudayaan mempunyai tiga unsur yaitu
sistem keyakinan, sistem upacara keagamaan, dan suatu umat yang
menganut religi itu. Adapun sistem keyakinan biasanya tercantum dalam
suatu himpunan buku-buku yang dianggap sebagai buku suci. Keyakinan
mengandung konsepsi tentang dewa yang baik maupun jahat, konsepsi
tentang makhluk halus, konsepsi tentang roh leluhur, konsepsi tentang
hidup, konsepsi tentang dunia, konsepsi tentang ilmu gaib, dan sebagainya.
Kemudian sistem upacara keagamaan mengandung empat aspek yakni
tempat upacara keagamaan dilakukan, saat upacara keagamaan dijalankan,
benda-benda dan alat upacara, orang yang melakukan dan memimpin
upacara. Mengenai umat yang menganut keyakinan, biasanya
dideskripsikan mengenai pengikut suatu kepercayaan dan hubungan satu
dengan yang lainnya.
7) Kesenian
Kesenian merupakan segala ekspresi hasrat manusia terhadap
keindahan di dalam suatu kebudayaan. Hasil kesenian yang diciptakan
oleh seniman di setiap daerah tentu beraneka ragam. Dipandang dari sudut
cara kesenian sebagai ekspresi hasrat manusia akan keindahan, maka ada
dua lapangan besar, yaitu seni rupa atau kesenian yang dinikmati oleh
manusia dengan mata (seni patung, seni relief, seni lukis dan gambar, dan
seni rias). Seni suara atau kesenian yang dinikmati oleh manusia dengan
telinga (seni vokal, seni instrumental). Suatu lapangan kesenian yang
meliputi kedua bagian tersebut adalah seni gerak atau seni tari, karena
kesenian ini dapat dinikmati dengan mata maupun telinga. Akhirnya ada
lapangan kesenian yang mencakup semuanya, yaitu seni drama. Lapangan
kesenian ini mengandung unsur-unsur dari seni rias, seni musik, seni sastra,
dan seni tari. Seni drama bisa bersifat dengan teknologi modern seperti
24
Tiap unsur kebudayaan menjelma dalam ketiga wujud kebudayaan, yakni
wujudnya berupa sistem budaya, sistem sosial, dan kebudayaan fisik. Wujud
sistem budaya dari suatu unsur kebudayaan universal berupa adat. Sedangkan
sistem sosial dari suatu unsur kebudayaan dapat berupa aktivitas-aktivitas
sosial. Kemudian ketujuh unsur kebudayaan universal itu masing-masingnya
mempunyai wujud fisik, wujud fisik ini dapat berupa benda-benda
kebudayaan.
Pertama, wujud ini adalah wujud ideal dari kebudayaan. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma peraturan dan sebagainya. Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepala-kepala. Atau dengan perkataan lain, dalam alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan bersangkutan itu hidup. Ide-ide dan gagasan-gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu masyarakat, memberi jiwa kepada masyarakat itu. Gagasan-gagasan itu tidak berada lepas satu dari yang lain melainkan selalu berkaitan, menjadi suatu sistem. Para ahli antropologi dan sosiologi menyebut sistem ini sistem budaya. Istilah lain untuk menyebut wujud ideal dari kebudayaan ini, yaitu adat, atau adat istiadat dalam bentuk jamak.
Kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud ini merupakan wujud kebudayaan yang disebut sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain, selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, sistem sosial ini bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, di foto, dan didokumentasi.
Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ini disebut kebudayaan fisik, karena berupa seluruh total hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya manusia dalam masyarakat. Sifatnya konkret dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat,
dan difoto.14
B.
Hakikat Novel
Dewasa ini istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama
dengan istilah Indonesia novelet (Inggis: novelette), yang berarti sebuah karya
prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak
terlalu pendek.15 Kata novel berasal dari bahasa Latin, novus yang artinya baru.
Dalam bahasa Italia novel disebut novella. Suatu prosa naratif yang lebih panjang
dari cerita pendek yang biasanya memerankan tokoh-tokoh atau peristiwa imajiner.
Novel merupakan karangan sastra prosa panjang dan mengandung rangkaian
cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekitaranya dengan cara
menonjolkan sifat dan watak tokoh-tokoh itu. Novel dalam bahasa Perancis
disebut romanz yang dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai “roman”. Nouvelle
mungkin berarti berita, kabar, informasi segar, dongeng, kisah, hikayat, dan cerita
pendek.16
Abrams mengklasifikasi tipe novel secara umum berdasarkan perbedaan
materi pelajaran, penekanan, dan tujuan artistik sebagai berikut:
1. Bildungsroman and Erziehungsroman are German term signify novels of formation "or" novel of education. The subject of these novels is the development of the protagonist's mind and character, as he passes from childhood through varied experiences and usually through a spiritual crisis – into maturity and the recognition of his identity and role in the word.
2. The sociological novel emphasizes the influence of social and economic conditions on characters and events; often it also embodies an implicit or explicit thesis recommending social reform.
3. The historical novel takes its setting and some of its characters and events from history; the term is usually applied only if the historical milieu and events are fairly elaborately developed and important to the central narrative. 4. The regional novel emphasizes the setting, speech, and customs of a particular locality, not merely as local color, but as important conditions affecting the temperament of the characters, and their ways of thinking, feeling and acting: “Wessex” in Hardy’s novels, and “Yoknapatawpha County,” Mississippi, in Faulkner’s.17
Klasifikasi yang dimaksudkan Abrams di atas, bahwa novel dibagi atas empat
kalsifikasi yaitu (1) novel pendidikan, subjek novel ini mengalami perkembangan
pikiran dan karakter, melalui krisis spiritual dari masa kanak-kanak menuju
15 Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 9-10.
16 Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2000), h. 161-162.
26
kedewasaan; (2) novel sosiologis yang menekankan pada kondisi sosial dan
ekonomi; (3) novel sejarah yang mengambil latar peristiwa sejarah yang cukup
rumit dan penting; dan (4) novel regional yang menekankan latar dan kebiasaan
lokalitas tertentu, bukan saja sebagai warna lokal semata, namun tentang karakter
temperamen, dan cara berpikir.
Di Indonesia sendiri novel sudah lama dikenal dan dinikmati hingga saat ini
pecinta novel luar biasa. Novel adalah cerita berbentuk prosa. Prosa adalah
karangan bebas yang mengekspresikan pengalaman batin pengarang mengenai
masalah kehidupan dalam bentuk dan isi yang harmonis yang menimbulkan kesan
estetik dalam ukuran yang luas. Ukuran yang luas di sini dapat berarti cerita
dengan alur yang kompleks, suasana cerita yang beragam, dan latar cerita yang
juga beragam. Novel merupakan cerita fiksi dalam bentuk tulisan atau kata-kata
dan mempunyai unsur intrinsik dan ekstrinsik.
Unsur intrinsik dalam karya sastra novel meliputi tema, alur, latar, gaya
bahasa, sudut pandang, penokohan, dan amanat.
1. Tema
Tema adalah gagasan yang menjalin struktur isi cerita. Tema suatu cerita
menyangkut segala persoalan.18 Untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, ia
haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan
bagian-bagian tertentu cerita. Tema, walau sulit ditentukan secara pasti, bukanlah
makna yang “disembunyikan”, walau belum tentu juga dilukiskan secara
eksplisit. Tema sebagai makna pokok sebuah karya fiksi tidak (secara sengaja)
disembunyikan karena justru hal inilah yang ditawarkan kepada pembaca.
Namun, tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan
sendirinya ia akan “tersembunyi” di balik cerita yang mendukungnya.19
Jadi, dapat disimpulkan bahwa tema merupakan gagasan utama yang
menyangkut segala persoalan dalam keseluruhan isi karya sastra. Tema
biasanya tersirat dalam cerita, maka untuk menemukan tema pembaca harus
menelaah keseluruhan cerita.
2. Tokoh dan Penokohan
Aminuddin dalam Siswanto menyebutkan tokoh adalah pelaku yang
mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin
suatu cerita.20 Tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat, sikap,
tingkah laku atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada tokoh suatu
karya oleh sastrawan disebut perwatakan. Penokohan merupakan cara
pengarang menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam
cerita.21
Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah
cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus
sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita, dan sebaliknya, ada
tokoh-tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu
pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. Tokoh yang disebut
pertama adalah tokoh utama cerita (central character, main character), sedang
yang kedua adalah tokoh tambahan (peripheral character).22
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel
yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik
sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Bahkan pada
novel-novel tertentu, tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat
ditemui dalam tiap halaman buku cerita yang bersangkutan.
20 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 142. 21 Kosasih, op. cit., h. 36.
28
Karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan
dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menentukan perkembangan plot secara
keseluruhan. Ia selalu hadir sebagai pelaku, atau yang dikenai kejadian dan
konflik, penting yang mempengaruhi perkembangan plot. Di pihak lain,
pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit,
tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan
tokoh utama, secara langsung ataupun tak langsung. Tokoh utama adalah yang
dibuat sinopsisnya, yaitu dalam kegiatan pembuatan sinopsis, sedang tokoh
tambahan biasanya diabaikan. Tokoh utama dalam sebuah novel, mungkin
saja lebih dari seorang, walau kadar keutamaannya tak (selalu) sama.
Keutamaan mereka ditentukan oleh dominasi, tak banyak penceritaan, dan
pengaruhnya terhadap perkembangan plot secara keseluruhan.
Ada beberapa cara memahami watak tokoh. Cara itu adalah melalui (1)
tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya, (2) gambaran yang
diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun
caranya berpakaian, (3) menunjukkan bagaimana perilakunya, (4) melihat
bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri, (5) memahami
bagaimana jalan pikirannya, (6) melihat bagaimana tokoh lain berbicara
tentangnya, (7) melihat tokoh lain berbincang dengannya, (8) melihat
bagaimanakah tokoh-tokoh yang lain itu memberi reaksi terhadapnya, dan (9)
melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lain.23
Jadi, tokoh dan penokohan dalam karya sastra masing-masing mempunyai
sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu. Dalam karya sastra akan
ada tokoh utama dan tokoh tambahan. Hadirnya tokoh tambahan hanya
mendukung jalan cerita tokoh utama.
3. Alur
Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama
yang menggerakkan jalan cerita melalui rumitan kearah klimaks dan
selesaian.24 Berdasarkan kriteria jumlah maksudnya banyaknya plot cerita
yang terdapat dalam sebuah karya fiksi, plot dapat dibagi menjadi dua. Plot
tunggal adalah plot yang mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan
seorang tokoh utama protagonis sebagai hero dalam sebuah novel. Sedangkan
plot sub-subplot adalah adanya dua plot cerita yang dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang dikisahkan perjalanan hidup, permasalahan, dan
konflik yang dihadapinya. Struktur plot yang demikian dalam sebuah karya
barangkali berupa adanya sebuah plot utama (main plot) dan plot-plot
tambahan (sub-subplot).25
Tasrif (dalam Burhan Nugiyantoro 2012) membedakan tahapan plot
menjadi lima bagian. Kelima tahapan itu adalah sebagai berikut:26
a. Tahap penyituasian
Tahap penyituasian merupakan tahap yang berisi pelukisan dan
pengenalan situasi latar dan tokok-tokok cerita. Tahap ini merupakan
tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain yang
terutama berfungsi untuk melandasi cerita yang dikisahkan pada tahap
berikutnya.
b. Tahap pemunculan konflik
Tahap pemunculan konflik merupakan tahapan masalah-masalah dan
peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik, dan konflik itu
sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik
pada tahap berikutnya.
c. Tahap peningkatan konflik
Tahap peningkatan konflik merupakan konflik yang telah dimunculkan
pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar
30
intensitasnya. Konflik-konflik yang terjadi, internal, eksternal, ataupun
keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antarkepentingan,
masalah, dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tak dapat dihindari.
d. Tahap klimaks
Tahap klimaks merupakan konflik dan atau pertentangan-pertentnagan
yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita
mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh
tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya
konflik utama.
e. Tahap penyelesaian
Tahap penyelesaian merupakan tahapan di mana konflik yang telah
mencapai klimaks di beri penyelesaian, ketegangan dikendorkan.
Konflik-konflik yang lain, sub-subKonflik-konflik, atau Konflik-konflik-Konflik-konflik tambahan, jika ada,
juga diberi jalan keluar, cerita diakhiri.
4. Latar
Latar/setting diterjemahkan sebagai latar cerita. Abrams dalam Wahyudi
Siswanto mengemukakan latar cerita adalah tempat umum (general locale),
waktu kesejarahan (historical time), dan kebiasaan masyarakat (sosial
circumtances) dalam setiap episode atau bagian-bagian tempat.”27
Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat,
waktu, dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan
permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada
kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang
lainnya.28
a. Latar Tempat
Latar tempat menyarankan pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan
mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu,
mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Tempat-tempat yang bernama
adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata, misalnya Magelang,
Yogyakarta, Juranggede, dan lain-lain. Latar tempat tanpa nama jelas
biasanya hanya berupa penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempat
tertentu, misalnya desa, sungai, jalan, hutan, kota, kota kecamatan, dan
sebagainya.
b. Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah
“kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang
ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Pengetahuan
dan persepsi pembaca terhadap waktu sejarah itu kemudian dipergunakan
untuk mencoba masuk ke dalam suasana cerita. Pembaca berusaha
memahami dan menikmati cerita berdasarkan acuan waktu yang
diketahuinya yang berasal dari luar cerita yang bersangkutan. Adanya
persamaan perkembangan dan atau kesejalanan waktu tersebut juga
dimanfaatkan untuk mengesani pembaca seolah-olah cerita itu sebagai
sungguh-sungguh ada dan terjadi.
c. Latar Sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya
fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah
dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup,
adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan
32
Jadi, latar atau setiing mengacu pada suatu tempat, hubungan waktu, dan
lingkungan sosial terjadinya peristiwa dalam cerita.
5. Sudut Pandang (Point of View)
Sudutpandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya dari tempat
itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, dan waktu dengan
gayanya sendiri.29 Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan: siapa
yang menceritakan, atau: dari posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu
dilihat.30
Sudut pandang dapat banyak macamnya tergantung dari sudut mana ia
dipandang dan seberapa rinci ia dibedakan. Pembedaan sudut pandang yang
akan dikemukakan berikut berdasarkan pembedaan yang telah umum
dilakukan orang, yaitu bentuk persona tokoh cerita: persona ketiga dan
persona pertama.31
a. Sudut Pandang Persona Ketiga: “Dia”
Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona
ketiga, gaya “dia”, narator adalah seorang yang berada di luar cerita yang
menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata
gantinya: ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya yang
utama, kerap atau terus menerus disebut, dan sebagai variasi
dipergunakan kata ganti. Hal ini akan mempermudah pembaca untuk
mengenali siapa tokoh yang diceritakan atau siapa yang bertindak.
Sudut pandang “dia” dapat