• Tidak ada hasil yang ditemukan

WARNA LOKAL BETAWI DALAM NOVEL KRONIK BETAWI KARYA RATIH KUMALA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "WARNA LOKAL BETAWI DALAM NOVEL KRONIK BETAWI KARYA RATIH KUMALA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

JAKARTA 2021

WARNA LOKAL BETAWI DALAM NOVEL KRONIK BETAWI

KARYA RATIH KUMALA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

(S.Pd.)

Oleh

ROBBY RINALDI

NIM 11160130000051

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

JAKARTA 2021

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

WARNA LOKAL BETAWI DALAM NOVEL KRONIK BETAWI KARYA RATIH KUMALA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN

BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh Robby Rinaldi NIM. 11160130000051

Menyetujui Pembimbing

Ahmad Bahtiar, M. Hum. NIP. 19760118 200912 1 002

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(3)
(4)
(5)

i

ABSTRAK

Robby Rinaldi, NIM. 11160130000051, “Warna Lokal Betawi dalam Novel Kronik Betawi Karya Ratih Kumala dan Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Dosen Pembimbing: Ahmad Bahtiar, M. Hum.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui warna lokal Betawi yang terdapat dalam novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala yang diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran di SMA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dengan subjek warna lokal dan menggunakan pendekatan sosiologi sastra karena karya sastra lahir dari masyarakat dan nilai yang ada di karya sastra akan kembali kepada masyarakat sehingga penciptaan karya sastra mengandung nilai manfaat kepada para pembaca. Berdasarkan temuan dan hasil analisis yang dilakukan novel ini, dapat diketahui bahwa novel Kronik Betawi memuat unsur sosial dan unsur budaya. Hasil analisis unsur sosial; pertama, kelas sosial dipandang dari segi profesi yakni profesi tukang ojek dalam Betawi dipandang rendah daripada menjadi juragan kontrakan yang dinilai lebih tinggi; kedua, dinamika sosial berupa pengendalian sosial berupa Islam menjadikan masyarakat Betawi menjadi satu dan penyimpangan sosial yakni dominasi kaum lelaki pasca menikah; ketiga, kelompok sosial ditemukan kelima penari yang ingin pergi ke luar negeri untuk menari; keempat, lembaga sosial Setia Warga pimpinan. Hasil analisis selanjutnya dari segi unsur budaya; pertama, sistem religi Betawi seperti melepas haji, nyambut haji, selametan, tradisi lebaran, pemberian nama Islam; kedua, sistem pengetahuan Betawi seperti Si Pitung, Si Doel, roti buaya, Piare Calon None Pengantin, dan Haji Bokir; ketiga, teknologi tradisional Betawi seperti golok dan bale; keempat, sistem kemasyarakatan Betawi seperti Betawi terbentuk dari masyarakat heterogen yang berada lama di Batavia, pasca menikah biasanya orang Betawi tinggal tidak jauh dari keluarga besarnya, penghormatan kepada yang lebih tua saat tradisi lebaran idul fitri, panggilan sapaan kepada yang lebih tua atau muda dalam Betawi; kelima, mata pencarian orang Betawi seperti usaha sapi perah, juragan kontrakan, kesenian sebagai mata pencarian, dan profesi modern seperti pengusaha percetakan; keenam, kesenian Betawi seperti tari topeng, tanjidor, ondel-ondel, gambang kromong, lenong, pencak silat, rebana, lagu kicir-kicir, lagu keroncong Kemayoran, makanan sayur asem, rendang, opor ayam, kue pancong, combro; ketujuh, bahasa Betawi seperti penggunaan bahasa Betawi dialek kota atau tengah dan variasi bahasa Betawi.

Kata kunci: Warna Lokal, Novel Kronik Betawi, Kualitatif, Unsur Sosial- Budaya.

(6)

ii

ABSTRACT

Robby Rinaldi, NIM. 11160130000051, "Betawi Local Colors in Kronik Betawi a

Novel written by Ratih Kumala and Its Implications to Learn Indonesian Language and Literature in High School", Department of Indonesian Language and Literature Education in Faculty of Education and Teacher Training, Syarif Hidayatullah Islamic State University, Jakarta. Supervisor: Ahmad Bahtiar, M. Hum.

This study aims to determine the local Betawi colors contained in the novel Kronik Betawi by Ratih Kumala, which is expected to be used as learning material in High School. This Research used qualitative method, with the subject of local colors and used the sociology of literature approach because literature works created from society. Than, the values that exist in literature will be back to the community, so the creation of literature works contains useful values for the readers. Based on the findings and results of the analysis carried out by this novel, it can be seen that the Kronik Betawi novel contains social elements and cultural elements. The results of the analysis of social elements; first, social class was seen from a professional point of view, call it that the driver of motorcycle in Betawi considered lower than being a landlord which is looked higher upon; second, social dynamics, in the form social control, Islam makes Betawi people become one and the form of social deviations, domination of men after marriage; third, social group such as five dancer want to abroad; fourth, the social institution is Setia Warga group. The results of the subsequent cell analysis in terms of cultural elements; first, the Betawi religious system, such as welcome departure the hajj, welcome home the hajj, Selametan, Eid tradition in Betawi, giving name of Islam; second, the Betawi knowledge system such as Si Pitung, Si Doel, crocodile bread, Piare Calon None Pengantin, Haji Bokir; third, Betawi traditional technology such as golok and bale ; fourth, the Betawi social system such as Betawi is formed from heterogeneous communities that have been living in Batavia for a long time, after marriage Betawi people usually live not far from their big family, respect for the elders during the Eid al-Fitr tradition, the nickname for the older or younger in Betawi; fifth, the livelihoods of the Betawi people, such as a cattle raiser, rented skipper, art as a livelihood, and a fashion profession such as a printing business; sixth, Betawi arts such as topeng dance, tanjidor, ondel-ondel, gambang kromong, lenong, pencak silat, rebana, kicir-kicir songs, Kemayoran keroncong songs, sayur asem food, rendang, opor, pancong cake, combro; seventh, the Betawi language, such as the use of the city or middle dialect of the Betawi language and variations of the Betawi language.

Keywords: Local Color, Kronik Betawi Novel , Qualitative , Socio-Cultural

(7)

iii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia, serta nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Warna Lokal Betawi dalam Novel Kronik Betawi Karya Ratih Kumala dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”.

Penulis menyusun skripsi ini untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana pendidikan. Dengan demikian, skripsi ini dapat terwujud dari berbagai pihak yang membantu penulis. Oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dr. Sururin, M. Ag., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Makyun Subuki, M. Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Novi Diah Haryanti, M. Hum., Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ahmad Bahtiar, M. Hum., dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, arahan dan motivasi, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Rosida Erowati, M. Hum., dosen penasihat akademik yang telah membantu masalah akademik.

6. Seluruh dosen dan staf Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, khususnya jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan pengalaman untuk penulis selama perkuliahan.

7. Orangtua yang sangat terhormat Bapak Nawiri dan Ibu Munawaroh, serta Kanda Lina Silvi Agtari dan Bripka Totok Setiawan, dan seluruh keluarga besar.

(8)

iv

8. Calon istri atau pacar yang mendampingi dan memotivasi penulis selama proses penyusunan skripsi.

9. Kanda dan Yunda HMI Komisariat Tarbiyah Cabang Ciputat yang telah memberikan pengalaman berharga seperti 3A: Akademis, Aktivis, dan Asmara.

10. Teman-teman tongkrongan sekaligus ngopi yakni: Dudodit, Paris Adventure, Geng Kapak (PES Football), Bocah Jambu Trubus 3, IRSOS, Anak Kosan Bu RT Pisangan, dan yang lain, yang telah menjadi tempat penyegaran otak selama penulis pusing mengerjakan skripsi.

11. Teman-teman seperjuangan PBSI B angkatan 2016, khususnya M. Bagus Aldhino, Rizky A. Imansyah, M. Roihan, Ahmad Fahri, Malik Abdul Karim yang selalu berdialektika selama proses perkuliahan.

12. Para ilmuwan dan ahli yang membantu penulis selama proses pencarian data sehingga namanya penulis gunakan dalam catatan kaki.

13. Semua pihak yang memberikan motivasi dan doa kepada penulis.

Semoga semua nilai positif yang telah diberikan kepada penulis dibalas oleh Allah SWT. Dengan segala hormat, penulis selalu terbuka untuk menerima kritik dan saran terkait skripsi ini. Semoga skripsi ini menjadi manfaat bagi semua pihak.

Jakarta, 24 Januari 2021

(9)

v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 4 C. Batasan Masalah ... 4 D. Rumusan Masalah... 5 E. Tujuan Penelitian ... 5 F. Manfaat Penelitian ... 5 G. Metodologi Penelitian... 6 1. Objek Penelitian ... 6 2. Metode Penelitian ... 6 3. Sumber Data ... 6

4. Teknik Analisis Data ... 6

BAB II KAJIAN TEORI ... 8

A. Hakikat Novel ... 8 B. Pengertian Novel ... 8 C. Unsur-unsur Novel ... 9 1. Tema ... 9 2. Tokoh ... 10 3. Alur ... 11 4. Latar ... 13 5. Sudut Pandang ... 14 6. Gaya Bahasa ... 15 7. Amanat ... 16 D. Sosiologi Sastra ... 16 E. Warna Lokal ... 18 1. Unsur-unsur Sosial ... 21 a. Kelas Sosial ... 21 b. Dinamika Sosial ... 21 c. Kelompok Sosial ... 22

(10)

vi

a. Sistem Religi ... 24

b. Sistem Organisasi Kemasyarakatan ... 24

c. Sistem Pengetahuan ... 24

d. Sistem Mata Pencarian Hidup ... 25

e. Sistem Teknologi ... 25

f. Bahasa ... 26

g. Kesenian ... 26

F. Pembelajaran Sastra di Sekolah ... 26

G. Penelitian Relevan ... 29

BAB III BIOGRAFI DAN PANDANGAN PENGARANG ... 33

A. Biografi Ratih Kumala... 33

B. Karya Ratih Kumala ... 34

C. Pandangan Ratih Kumala Sebagai Penulis ... 36

D. Pandangan Ratih Kumala Terhadap Novel Kronik Betawi ... 37

BAB IV KAJIAN ANALISIS ... 40

A. Analisis Unsur Intrinsik ... 40

1. Tema ... 40 2. Tokoh ... 41 3. Alur ... 49 4. Latar ... 53 5. Sudut Pandang ... 57 6. Gaya Bahasa ... 59 7. Amanat ... 61

B. Analisis Warna Lokal ... 61

1. Unsur-unsur Sosial ... 61 a. Kelas Sosial ... 61 b. Dinamika Sosial ... 63 c. Kelompok Sosial ... 65 d. Lembaga Sosial ... 66 2. Unsur-unsur Budaya ... 67 a. Sistem Religi ... 67 b. Sistem Pengetahuan ... 71 c. Sistem Teknologi ... 75 d. Sistem Kemasyarakatan ... 77

e. Sistem Mata Pencarian ... 80

(11)

vii BAB V PENUTUP ... 98 A. Simpulan ... 98 B. Saran ... 99 DAFTAR PUSTAKA ... 101 LAMPIRAN BIOGRAFI PENULIS

(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara sederhana warna lokal bisa diartikan sebagai ciri khas daerah. Adapun dalam hal lain warna lokal sebagai bentuk atau cara meningkatkan corak identitas budaya yang mengakibatkan budaya tersebut tetap ada. Selain itu, masalah utama warna lokal Betawi adalah hilangnya eksistensi kearifan lokal Betawi.

Contoh kasus warna lokal dari Betawi adalah ondel-ondel. Namun ondel- ondel menjadi perbincangan yang hangat di publik karena kurangnya apresiasi masyarakat. Budayawan Betawi Yahya Andi Saputra dalam detik.com (22/12/2018) mengatakan ondel-ondel ataupun kesenian lainnya memang sejak dulu dijadikan sarana hiburan sekaligus sebagai mata pencarian. Orang dulu menjadikan ondel-ondel sebagai mata pencarian tidak lantas mengabaikan unsur pelestarian budaya. Contohnya adalah ondel-ondel digunakan ketika pesta perkawinan, pergelaran acara hari besar nasional, dan festival budaya. Yahya menambahkan pada zaman sekarang ondel-ondel mengabaikan kearifan lokal. Tujuan utamanya hanya untuk mencari uang seperti pengamen ondel-ondel. Oknum tersebut salah karena ketika ada pengamen ondel-ondel berkeliling mengakibatkan keadaan menjadi tidak tertib, bahkan meresahkan masyarakat.1 Dengan demikian pendapat Yahya Andi secara kontektsual mengenai perbandingan penggunaan ondel-ondel dahulu dengan yang sekarang. Hal tersebut menjadi masalah serius karena demi meningkatkan corak warna lokal Betawi.

Selain itu, warna lokal juga berkaitan dengan bahasa. Bahasa dengan sastra sangat berhubungan, karena sastra adalah praktik berbahasa. Sastra warna lokal dapat ditemukan di dalam novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala. Warna lokal

1

Eva Safitri, Budayawan Betawi Setuju Pengamen Ondel-ondel Ditertibkan, Asal

(13)

dalam novel ini sangat kaya, namun anehnya belum ada peneliti yang membahas dari segi warna lokal.

Sastra warna lokal mempunyai andil yang begitu besar dalam pelestarian budaya bangsa. Dalam pendidikan, materi sastra di sekolah kebanyakan menggunakan sastra klasik, seperti karya Chairil Anwar, WS Rendra, Armin Pane, dan Ahmad Tohari. Namun jarang sekali materi yang dibawakan dari penulis terbaru seperti Ratih Kumala yang menulis novel Kronik Betawi. Dengan demikian materi warna lokal di sekolah jarang dibahas di sekolah yang mengakibatkan para peserta didik tidak tahu tentang sastra warna lokal.

Selain itu, ada permasalahan lain perihal warna lokal Betawi di sekolah. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena dampak globalisasi bisa menggerus budaya lokal, akibatnya budaya modern lebih dihargai daripada budaya tradisional. LKB (Lembaga Kebudayaan Betawi) mendorong budaya Betawi masuk muatan lokal di sekolah. Ketua LKB Beki Marda dalam Jawa Pos (17/05/19) menyatakan bahwa faktor kesulitan budaya Betawi ke anak muda bukan karena faktor internal saja, melainkan adapula faktor eksternal seperti budaya asing yang terus menekan dari berbagai aspek.2 Dengan demikian dua poin penting dari pendapat Beki bahwa pengaruh globalisasi bisa berdampak negatif bagi budaya Betawi dan mendesak pemerintah supaya budaya Betawi masuk dalam muatan lokal di sekolah.

Implikasi sastra warna lokal ke dunia pendidikan dalam novel Kronik Betawi bisa dijadikan pembentukan karakter peserta didik seperti apresiasi sastra dan juga mengenalkan kearifan lokal Betawi kepada peserta didik. Sedangkan bagi guru, adanya novel ini dapat dijadikan sumber pembelajaran. Dengan demikian novel Kronik Betawi bisa diimplikasikan kepada peserta didik sebagai generasi pemuda mendatang dan diharapkan mampu bertindak untuk menjaga warisan budaya bangsa.

Selanjutnya mengerucut kepada pengarang novel Kronik Betawi yakni Ratih Kumala. Ratih Kumala lahir di Jakarta pada 1980. Novel pertamanya Tabula Rasa (Grasindo 2004, GPU 2014), memenangkan Sayembara Menulis Novel Dewan

2

Jawa Pos, LKB Dorong Budaya Betawi Masuk Muatan Lokal di Sekolah, dalam www.jawapos.com., Diakses pada Minggu, 19 Mei 2019 pukul 13.13 WIB.

(14)

Kesenian Jakarta 2003. Novel keduanya Genesis (Insist Press, 2005). Kumpulan cerita pendeknya, Larutan Senja (Gramedia Pustaka Utama, 2006). Karya keempatnya Kronik Betawi berupa novel yang terbit pada 2009 di Gramedia Pustaka Utama. Karya kelimanya berupa novel Gadis Kretek (GPU, 2012) dan buku keenamnya kumpulan cerpen Bastian dan Jamur Ajaib (GPU, 2015). Novelnya Gadis Kretek (GPU, 2012) yang masuk dalam Top 5 kategori prosa Khatulistiwa Literary Award 2012 dan telah diterjemahkan ke Bahasa Inggris – Cigarette Girl (GPU, 2015), bahasa Jerman – Das Zigarettenmadchen (culturbooks publishing, 2015). Selain menulis fiksi, Ratih juga menulis skenario untuk televisi layar lebar.3 Berdasarkan data tersebut karier Ratih sangat progresif. Tidak heran kalau ia berhasil meraih prestasi.

Novel Kronik Betawi adalah karya Ratih Kumala keempat yang bercerita tentang Jakarta dan anak daerahnya yang tergusur dan tergeser. Tiga tokoh utama novel ini, Haji Jaelani, Haji Jarkasi, dan Juleha, masing-masing berkisah tentang problema mereka sebagai anak Betawi. Novel ini bersetting dari zaman penjajahan (sekitar tahun 40-an) hingga Reformasi (1998).4 Novel Kronik Betawi berkonten kearifan lokal Betawi yang tengah terjadi di tengah masyarakat. Transisi dari tradisional ke modern sangat jelas diceritakan oleh Ratih Kumala. Bisa disimpulkan bahwa novel Kronik Betawi lahir dari seorang penulis berdarah Betawi yang tinggal di masyarakat Betawi. Itu artinya sastra lahir dari masyarakat dan dikembalikan nilai yang ada di dalam karya sastra tersebut kepada masyarakat yang mengandung manfaat di dalamnya. Para ahli menyebutnya dengan sosiologi sastra, sebab sastra dan masyarakat saling berhubungan.

Berbeda dengan tiga buku sebelumnya, dalam novel ini Ratih Kumala merasa telah berkembang lebih dewasa. Ia tidak lagi terpesona dengan metafora- metafora, melainkan lebih suka bercerita dengan cara sederhana dan apa adanya. Mengingat Kronik Betawi adalah novel tentang Betawi, Ratih juga sengaja menggunakan bahasa Betawi dalam dialognya. Novel Kronik Betawi sebelum

3

Ratih Kumala, Ratih Kumala, dalam www.ratihkumala.com. diakses pada Minggu, 12 Mei 2019 pukul 14.27 WIB.

4

(15)

terbit sebagai buku, juga pernah dipublikasikan sebagai cerita bersambung di harian Republika.5

Berdasarkan penjelasan dari peneliti, dengan demikian peneliti tertarik untuk meneliti novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala terbitan PT Gramedia Pustaka Utama pada 2009. Peneliti beralasan karena novel tersebut bercerita cukup kaya tentang warna lokal Betawi dan juga latar belakang peneliti adalah Betawi. Bisa disimpulkan penelitian terhadap novel Kronik Betawi berhubungan dekat dengan latar belakang peneliti. Penelitian ini juga akan diimplikasikan ke pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah. Demikian judul penelitian adalah Warna Lokal Betawi dalam Novel Kronik Betawi Karya Ratih Kumala dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di SMA.

B. Identifikasi Masalah

Sesuai dengan latar belakang masalah, maka identifikasi masalah dapat dinyatakan sebagai berikut:

1. Hilangnya eksistensi warna lokal Betawi.

2. Belum ada penelitian warna lokal terhadap novel Kronik Betawi.

3. Rendahnya materi sastra warna lokal dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah.

4. Belum ada muatan lokal budaya Betawi di sekolah wilayah Jakarta.

C. Batasan Masalah

Batasan masalah bertujuan membatasi banyaknya masalah yang muncul dalam penelitian ini. Batasan masalah juga dapat mempermudah peneliti agar objek yang diteliti lebih spesifik dan mendalam. Pada novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala terdapat banyak temuan masalah, peneliti membatasi dan memfokuskan penelitian pada:

1. Mendeskripsikan warna lokal Betawi dalam novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala.

5

(16)

2. Mengimplikasikan hasil analisis warna lokal pada novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah, maka rumusan masalah dalam penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana warna lokal Betawi dalam novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala?

2. Bagaimana implikasi warna lokal dalam novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan di atas, maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan warna lokal Betawi dalam novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala.

2. Mendeskripsikan implikasi warna lokal dalam novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca, peneliti, dan penikmat sastra untuk dapat mengetahui warna lokal Betawi melalui sebuah novel. Penelitian ini diharapkan bisa menambah ilmu pengetahuan khususnya tentang warna lokal Betawi bagi pembaca, peneliti, dan penikmat sastra, terutama dunia pendidikan bagi peserta didik dan guru di sekolah. Pihak-pihak terkait tersebut agar dapat mengapresiasi karya sastra dan wawasan tentang dunia sastra yang difungsikan sebagai bahan kajian tentang budaya suatu masyarakat.

(17)

G. Metodologi Penelitian 1. Objek Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala dengan subjek warna lokal. Penelitian dimulai pada Februari 2020 sampai dengan Februari 2021. Tempat yang digunakan dalam penelitian seperti perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah dan perpustakaan nasional. Tempat penelitian fleksibel karena objek yang diteliti berupa teks karya sastra yang terdapat pada novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala yang terbit pada 2009 oleh PT Gramedia Pustaka Utama dengan tebal kurang-lebih sebanyak 255 halaman.

2. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara untuk membedah objek yang diteliti. Metode penelitian yang digunakan yakni kualitatif dengan penyajian deskriptif. Ratna berpendapat bahwa metode kualitatif memanfaatkan metode penafsiran kemudian menyajikannya dalam bentuk deskripsi dari objek yang diteliti.6 Ciri dari metode kualitatif yakni memberikan perhatian utama pada makna dan pesan sesuai dengan hakikat objek, yaitu sebagai studi kultural.7 Dengan demikian teks sastra menyajikan kata-kata tekstual atau kontekstual, wacana, dan kalimat sehingga metode ini tepat digunakan pada teks sastra.

3. Sumber Data

Sumber data dibagi menjadi dua: primer dan sekunder. Sumber data primer pada penelitian ini adalah novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala. Sedangkan sumber data sekunder adalah buku ilmiah, jurnal, skripsi, dan media online.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah identifikasi, klasifikasi, analisis, dan deskripsi.

6

Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 46.

7

(18)

a. Identifikasi

Setelah data terkumpul, peneliti membaca secara kritis dengan mengidentifikasi novel yang dijadikan sumber data dalam penelitian. b. Klasifikasi

Setelah diidentifikasi, data novel diseleksi dan diklasifikasikan sesuai dengan hasil identifikasi, yaitu unsur-unsur intrinsik serta warna lokal dalam novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA.

c. Analisis

Selanjutnya seluruh data dari hasil proses pengklasifikasian dianalisis dan ditafsirkan maknanya.

d. Deskripsi

Hasil analisis dalam novel disusun secara sistematis sehingga memudahkan dalam mendeskripsikan makna dari setiap unsur yang terkandung dalam novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala.

(19)

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Hakikat Novel 1. Pengertian Novel

Abrams berpendapat bahwa novel berasal dari bahasa Inggris novel, Italia novella, Jerman novelle kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia menjadi novel. Abrams menyimpulkan novel merupakan sebuah barang baru yang kecil.1 Novel berbeda dengan cerita pendek, berdasarkan dari segi formalitas (bentuk) novel memuat cerita yang kompleks dan menjelaskan kejadian secara spesifik. Adapun cerita pendek dari segi formalitas memuat cerita yang eksplisit (tersirat) dan cenderung lebih pendek dalam hal cerita.2 Wahyudi Siswanto dan Saini K.M. memberikan pengertian bahwa novel merupakan cerita berbentuk prosa dalam ukuran luas. Ukuran luas di sini dapat berarti cerita dengan plot (alur) yang kompleks, karakter yang banyak, tema yang kompleks, suasana yang beragam, dan setting cerita yang beragam pula.3 Bisa disimpulkan bahwa novel merupakan bentuk cerita kompleks dengan kisah di dalamnya yang sangat detil.

Dengan demikian novel merupakan karya fiksi yang memuat cerita yang panjang atau kompleks. Novel juga biasanya ketika dibaca cenderung lama untuk diselesaikan, beda halnya dengan cerpen yang cenderung dibaca cepat selesai.4

1

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012), h. 9.

2 Ibid., h. 10. 3

Jakob Sumardjo dan Sainy K.M., Apresiasi Kesusastraan, (Jakarta: PT Gramedia, 1986), h. 29.

4

Burhan Nurgiyantoro, Loc. Cit., h. 10.

(20)

2. Unsur-unsur Novel

Novel bagaikan bangunan yang membutuhkan unsur pembangun supaya bangunan tersebut tampak indah dan menarik. Unsur-unsur yang ada di dalam novel saling melengkapi untuk menciptakan gagasan penulis supaya tercipta dunia imajinasi yang diidealkan. Novel mempunyai unsur pembangun yang berada di dalamnya yang disebut unsur intrinsik.

Nurgiyantoro menyatakan bahwa unsur intrinsik adalah sistem yang terdapat di dalam novel itu sendiri seperti: tema, amanat, sudut pandang, tokoh/penokohan, alur, latar, gaya bahasa.5 Dengan demikian unsur novel adalah suatu sistem yang saling berhubungan yang mengakibatkan terciptanya novel lengkap atau padu. Unsur intrinsik bisa dibilang unsur secara tekstual atau unsur yang ada di dalam teks itu sendiri.

a. Tema

Stanton memberikan pernyataan bahwa tema merupakan sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Ada banyak cerita yang menggambarkan dan menelaah kejadian atau emosi yang dialami manusia seperti cinta, derita, rasa takut, kedewasaan, keyakinan, pengkhianatan manusia terhadap diri sendiri, disilusi, atau bahkan usia tua. 6

Stanton mengibaratkan tema seperti maksud dalam sebuah gurauan; setiap orang paham maksud dalam sebuah gurauan, tetapi mengalami kesulitan ketika diminta untuk menjelaskannya.7 Stanton melanjutkan cara paling efektif untuk menemukan tema adalah mengamati secara teliti setiap konflik yang ada di dalam cerita.8

5

Burhan Nurgiyantoro, Teori ..., Op. Cit., h. 23.

6

Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 36- 37.

7 Ibid., h. 39. 8

(21)

11Ibid., h. 177.

Pendapat lain dari Nurgiyantoro bahwa tema dibagi menjadi dua yakni tema pokok dan tema tambahan. Tema pokok merupakan makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya sastra. Adapun, tema tambahan merupakan sub tema bagian kecil yang menjadi pendukung terhadap tema pokok.9

Cerita mempunyai maksud, tujuan, makna tekstual atau

kontekstual. Setiap karya sastra mempunyai tema yang dimaksudkan pengarang kepada pembaca. Pengarang biasanya menyelipkan tema dalam bentuk tersirat. Demikian tema bisa dibilang merupakan benang merah atau konsep kerangka cerita.

b. Tokoh

Tokoh merupakan sosok atau pelaku yang berada di dalam cerita sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita. Abrams dalam Nurgiyantoro mengemukakan, tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.10

Tokoh-tokoh dalam cerita fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis, yaitu sebagai berikut:

1) Jika dilihat dari peran tokoh dalam perkembangan plot, maka dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian atau yang dikenai kejadian. Sedangkan tokoh tambahan kehadirannya hanya jika ada kaitannya dengan tokoh utama.11

9

Burhan Nurgiyantoro, Teori ..., Op. Cit., h. 82-83.

(22)

14 Robert Stanton, Op. Cit., h. 26.

2) Jika dilihat dari fungsi penampilan tokoh, maka dapat dibedakan

menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh

protagonis yakni tokoh yang merupakan pengejewantahan nilai- nilai yang ideal. Sedangkan tokoh antanogis merupakan tokoh penyebab terjadinya konflik yang berposisi dengan tokoh protagonis.12

3) Jika dilihat dari perwatakan tokoh, maka dapat dibedakan menjadi tokoh sederhana dan tokoh bulat. Tokoh sederhana adalah tokoh yang memiliki kualitas pribadi tertentu saja. Sedangkan tokoh bulat adalah tokoh yang dapat menampilkan watak dan tingkah laku yang beragam, bahkan tampak bertentangan dan sulit diduga.13

Peran tokoh merupakan hak subjektif pengarang dalam novel. Novel tanpa adanya tokoh tidak akan hidup, maka tokoh merupakan unsur yang melekat dan wajib hadir dalam kisah cerita apapun. Terkait

permasalahan tokoh utama/tambahan, protagonis/antagonis,

sederhana/bulat, hal tersebut merupakan idealisme pengarang dalam mengemas tokoh di dalam novel. Pengarang yang berkualitas tentunya memberikan peran tokoh yang berkualitas pula seperti pemberian nama yang unik dan mengandung maksud tertentu, sikap atau emosi dari tokoh yang sulit diterka, dan atau tokoh dalam cerita mewakili zaman ketika cerita itu dibuat.

c. Alur

Stanton menyatakan bahwa alur adalah rangkaian-rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita.14 Samsuddin menambahkan istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang berhubungan secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan

12 Ibid., h. 178-179. 13 Ibid., h. 182-183.

(23)

atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya. Peristiwa kausal tidak hanya terbatas pada hal-hal yang fisik saja, seperti ujaran atau tindakan, tetapi juga mencakup perubahan sikap karakter, kilasan- kilasan pandangannya keputusuan-keputusannya, dan segala yang menjadi variabel dalam dirinya.15

Berikut tambahan dari Tasrif dalam Nurgiyantoro tentang pembagian plot yang secara rinci dibagi menjadi lima:

1) Tahap situation: tahap penyituasian, tahap yang terutama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita.

2) Tahap generating circumstances: tahap pemunculan konflik, pada tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik dan

akan berkembang menjadi konflik-konflik pada tahap

berikutnya.

3) Tahap rising action: tahap peningkatan konflik, konflik yang

telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin

berkembang. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti semakin menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi tepat dalam bentuk internal dan eksternal, pertentangan, benturan-benturan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindari. 4) Tahap climax: tahap klimaks, konflik yang terjadi, yang

dilakukan dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadi konflik utama. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks.

15 Samsuddin, Pengkajian Prosa Fiksi Berbasis Intertekstual, (Yogyakarta: Deepublish,

(24)

5) Tahap denoument: tahap penyelesaian ketika konflik yang telah mencapai klimaks diberi jalan keluar, cerita diakhiri. Tahap ini sesuai dengan tahap akhir di atas.16

Berdasarkan penjelasan tersebut, alur/plot secara general dapat dibagi menjadi peristiwa awal, peristiwa tengah, dan peristiwa akhir. Ketiga poin itu merupakan bentuk simpulan yang telah dijelaskan para ahli.

d. Latar

Abrams berpendapat bahwa latar menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan.17 Pendapat lain dari Nurgiyantoro bahwa latar adalah segala keterangan mengenai waktu, ruang, suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra. Kesesuaian antara persepsi dan deskripsi latar cerita akan memberikan kesan yang lebih meyakinkan bahwa cerita sungguh ada dan terjadi.18

Sehubungan dengan pendapat Nurgiyantoro mengenai deskripsi latar Nurgiyantoro juga menjelaskan bahwa unsur latar dapat dibedkaan ke dalam tiga unsur pokok:

1) Latar tempat, menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas.

2) Latar waktu, berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.

16

Burhan Nurgiyantoro, Teori ..., Op. Cit., h. 149-150.

17

Ni Nyoman Karmini, Teori Pengkajian Prosa Fiksi dan Drama, (Bali: Pustaka Larasan, 2011), h. 67.

18

(25)

3) Latar sosial, menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar ini berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, dan bersikap.19

e. Sudut Pandang

Sudut pandang (point of view) menurut Siswanto merupakan tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu, dan gayanya sendiri.20 Menurut Nurgiyantoro sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.21 Sementara Pradopo berpendapat bahwa sudut pandang digunakan oleh pengarang sebagai pusat pengisahan yang menerangkan siapa yang bercerita.22 Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa sudut pandang adalah alat untuk memposisikan pengarang dalam cerita. Pengarang menempatkan dirinya ketika menulis kisah cerita melalui sudut pandang tergantung cara pengarang memposisikan dirinya.

Nurgiyantoro membedakan sudut pandang berdasarkan perbedaan yang telah umum, yaitu bentuk persona tokoh cerita, orang ketiga dan orang pertama.23 Berikut penjelasan kedua sudut pandang tersebut:

1) Sudut Pandang Orang Ketiga: Dia

Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang orang ketiga memposisikan narator di luar cerita yang menampilkan

19 Burhan Nurgiyantoro, Teori ..., Op. Cit., h. 227-234. 20

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 151.

21 Burhan Nurgiyantoro, Loc. Cit., h. 248. 22

Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 75.

23

(26)

tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama atau kata ganti. Dalam sudut pandang ini. Dia dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu Dia bersifat serba tahu yang menjadikan narator dapat bebas menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh dan Dia bersifat terbatas atau sebagai pengamat.

2) Sudut Pandang Orang Pertama: Aku

Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang orang pertama terletak pada seorang narator yang ikut terlibat dalam cerita. Dalam sudut pandang ini, Aku dibedakan menjadi dua macam, yaitu Aku sebagai tokoh utama yang hadir untuk mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik. Sedangkan Aku sebagai tokoh tambahan yang dikisahkan dibiarkan untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya.

f. Gaya Bahasa

Bahasa adalah media dalam karya sastra supaya dapat tersampaikan maksud atau pesan pengarang kepada pembaca. Berikut definisi gaya bahasa menurut Keraf

“Dilihat dari segi bahasa, gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa. Gaya bahasa memungkinkan kita dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan seseorang yang mempergunakan bahasa itu. Semakin baik gaya bahasanya, semakin baik pula penilaian orang terhadapnya; semakin buruk gaya bahasa seseorang, semakin buruk pula penilaian diberikan padanya.

Akhirnya style atau gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang

memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai

bahasa).”24

24

(27)

Pengarang menyampaikan ide pemikirannya melalui bahasa yang hasilnya berupa karya sastra. Keraf membahas ragam gaya bahasa dan mengelompokkannya ke dalam empat bagian, yaitu gaya bahasa perbandingan, pertentangan, pertautan, dan perulangan.25 Dengan demikian gaya bahasa digunakan pengarang sebagai media untuk menyampaikan ekspresinya.

g. Amanat

Esten berpendapat bahwa amanat adalah hasil pemecahan dari tema yang ingin disampaikan pengarang terhadap pembaca.26 Amanat menurut Nurgiyantoro bisa disampaikan secara langsung atau tak langsung. Penyampaian secara langsung bersifat menggurui. Berbeda dengan penyampaian tidak langsung, pesan hanya tersirat dalam cerita, berpadu secara koherensi dengan unsur cerita lain.27 Dengan demikian amanat merupakan pesan tersurat atau tersirat yang didapat oleh masing-masing pembaca dari novel yang telah dibaca.

B. Teori Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra menurut Ratna berasal dari bahasa Yunani, yaitu socio atau socius yang berarti bersama-sama, bersatu, kawan atau teman dan logos yang berarti sabda, perkataan, perumpamaan, atau ilmu.28 Sosiologi sastra merupakan salah satu pendekatan interdisiplin, selain empat pendekatan yang dikemukakan Abrams; pendekatan objektif, ekspresif, mimetik, dan pragmatik. Pendekatan ini menggabungkan antara ilmu sastra dengan ilmu sosiologi. Kedua ilmu tersebut memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat, namun terdapat perbedaan dalam hakikatnya. Ratna mengungkapkan bahwa sosiologi melukiskan

25 Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa, 1986), h. 6. 26

Mursal Esten, Kesusastraan: Pengantar Teori dan Sejarah, (Bandung: PT Angkasa, 2013), h. 20.

27 Burhan Nurgiyantoro, Teori ..., Op. Cit., h. 335-339.

28 Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009),

(28)

kehidupan manusia dan masyarakat melalui analisis ilmiah dan objektif,

sedangkan sastrawan mengungkapkannya melalui emosi.29

Kemunculan sastra di tengah masyarakat tidak secara tiba-tiba. Kurniawan berpendapat bahwa “sebagai produk budaya yang berupa tulisan bermedia bahasa, sastra tidak dapat lepas dengan genetisnya, yaitu manusia sebagai pengarang. Sastra eksis karena ada manusia yang menulisnya (penulis), dan penulis itu hidup dalam sistem sosial masyarakat yang menjadi kajian sosiologi.”30

Oleh karena itu, sastra tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat. Karya sastra seringkali

dinyatakan sebagai “dokumen sosial” lantaran keberadaannya yang

mencerminkan peristiwa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Emzir dan Rohman berpendapat bahwa “sebagai dokumen sosial, karya sastra dapat dilihat sebagai rekam jejak yang mencatat realitas keadaan sosial budaya pada masa karya itu diciptakan.”31

Ratna menyatakan sosiologi sastra adalah penelitian yang berfokus pada masalah manusia. Ratna menungkapkan bahwa di antara genre utama karya sastra; puisi, prosa, dan drama, genre prosalah khususnya novel, yang paling dominan dalam menampilkan unsur sosial. Alasan yang dapat dikemukakan di antaranya; novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang juga paling luas serta bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari yang paling umum digunakan dalam masyarakat. Oleh karena itu, karya sastra lebih jelas dalam mewakili ciri-ciri zamannya.32

Faruk menemukan setidaknya ada tiga sub pembahasan yang berbeda dalam sosiologi sastra, yaitu sosiologi pengarang, sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri, dan sosiologi sastra yang

29 Ibid., h. 4.

30 Heru Kurniawan, Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Graha

Ilmu, 2012), h. 6.

31

Emzir dan Saifur Rohman, Teori dan Pengajaran Sastra, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h. 114.

32

Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 335-336.

(29)

mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.33 Kalau mengacu kepada pendapat Faruk, maka sosiologi sastra saling berkaitan, bahwa sosiologi sastra dapat disebut juga sosiokritik sastra, dengan mempertimbangkan aspek- aspek kemasyarakatannya.34

Berdasarkan beberapa pendapat ahli, sosiologi sastra memandang bahwa karya sastra lahir dari masyarakat. Pengarang sebagai bagian dari masyarakat turut serta merepresentasikan kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat. Sehingga segala ide dan karakteristik masing-masing karya sastra berbeda. Hal tersebut dipengaruhi oleh proses kreatif serta faktor latar belakang pengarang.

C. Warna Lokal

Kemunculan warna lokal pada saat berakhirnya Civil War sampai dengan abad ke-19. Para penulis fiksi pada saat itu fokus mengangkat kearifan lokal Amerika. Para penulis sastra warna lokal pada saat itu seperti: Nancy Glazener, Richard Brodhead, dan Charles. Masing-masing di antara mereka mempunyai pandangan yang berbeda mengenai local color. Adapun penerbit buku yang menampung sastra warna lokal, di antaranya bernama: Harper’s New Monthly Magazine, The Century, dan The Atlantic Monthly. Berikut penjelasan warna lokal

The terms “regionalism” and “local color fiction” refer to a literary movement that flourished from the close of the Civil War to the end of the nineteenth century. Although most fiction is regional in that if makes use of a specific setting, for regionalist writers the setting was not incidental but central, and the “local color” details that established that setting gave of name to the movement. In writing regional fiction, authors focused on representating the unique locals of what they saw as a vanishing American past whose customs, dialect, and characters they sought to preserve. Furthermore, as writers of a continuing national narrative implicitly focused on what it meant to be American, they often presented characters as types, sometimes as representatives of the collective traits of a community or region and sometimes as outsiders or eccentrics whose attempts to fit into a community exposed both the community’s values and their own. In addition to this emphasis on setting and its effect upon character, local

33 Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), h. 5. 34

(30)

color stories feature dialect that lends authenticity to the tale. Another element common to local color fiction is a degree of narrative distance rendered through the character of a narrator differing in class or place of origin from the region’s residents; a variation on this is a narrative voice distanced through educated diction or an ironic tone.35

Dapat disimpulkan bahwa para penulis pada masa itu fokus menulis fiksi mengenai masa lalu Amerika, seperti: ciri khas, dialek, dan latar. Warna lokal tersebut mengangkat tentang daerah dan juga sebagai perwakilan dari kelompok yang berkaitan dengan daerah itu. Menurut para penulis pada saat itu, warna lokal bersifat central atau dengan kata lain hanya fokus mendeskripsikan satu identitas budaya. Hal itu beralasan untuk mempertahankan identitas kebudayaan Amerika supaya tidak hilang dengan kedatangan zaman modern.

In “Writing Out of Place” for example, Fetterley and Pryse differentiate “local color” from “regionalist” fiction: “local color” writing exploits regional materials for the benefit of an urban elite, but “regionalist” fiction, with its sympathetic approach, does not.36

Adapun perbedaan warna lokal dan regionalis menurut Fetterley dan Pryse adalah terletak pada fungsinya. Sastra warna lokal diciptakan untuk mengidentifikasi secara mendalam mengenai unsur daerah dan berdampak kepada masyarakat perkotaan sebagai penikmat sastra, sedangkan sastra regionalis hanya memetakan masing-masing daerah mempunyai unsur warna lokal (tidak mendalam).

Kemudian masuk ke dalam ranah sastra warna lokal Indonesia. Ratna menyatakan bahwa sastra lokal atau sastra warna lokal merupakan terjemahan local color.37 Dalam sejarah sastra Indonesia hanya dikenal sastra warna lokal, yaitu karya sastra dengan melukiskan ciri-ciri daerah tertentu. Sastra warna lokal dengan demikian sudah dimulai sejak Balai Pustaka dengan menampilkan kekhasan daerah dan adat istiadat Minangkabau dengan ciri-ciri matriarkat dan

35 Donna Campbell, Regionalism and Local Color Fiction, American History Through

Literature 1870-1920, dalam www.encylopedia.com., diakses pada Senin, 15 Februari 2021 pukul 21.37 WIB.

36 Ibid., pukul 21.45 WIB.

37 Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta,

(31)

kawin paksa. Setelah melewati dua periode, yaitu Pujangga Baru dan Periode ’45, yang masing-masing menampilkan ciri-ciri nasionalisme dan humanisme, sastra warna lokal lahir kembali pada periode 1960-an, pada waktu bangsa Indonesia mulai mempertanyakan kembali jati dirinya.38 Sejarah sastra Indonesia modern sudah mulai menampakkan warna lokal pada karya-karyanya yang mewakili zaman dan menampilkan representasi lokal masyarakat pada saat itu.

Ratna memberikan penjelasan terkait warna lokal tidak hanya di pedesaan saja, melainkan di kota-kota besar masih banyak menyimpan kantong dengan berbagai kekhasannya, seperti Jakarta dengan Betawi dan Batavia, Yogyakarta dengan Malioboro, dan Pecinan yang tersebar di berbagai kota besar lain di Indonesia. Cerita Si Dul Anak Betawi (Aman Datuk Majoindo), baik sebagai cerita asli maupun sesudah menjadi sinetron Si Dul Anak Sekolahan, tetap menarik semata-mata karena setting dan warna lokalnya. Bangsa yang didominasi oleh ciri-ciri agraris tradisional memerlukan cerita-cerita dengan setting warna lokal sebab melalui lukisan tersebut dapat tersalurkan berbagai nostalgia masa lampau.39 Warna lokal merupakan cerminan dari khas masyarakat yang tidak hanya ada di pedesaan, melainkan di kota besar juga dapat ditemukan.

Kemudian, Bahtiar menyatakan bahwa sebuah cerita yang baik didukung oleh latar yang tajam dan jelas. Latar yang tajam dan jelas membenarkan dan memberikan kesaksian bahwa memang di sanalah sebuah cerita berlangsung. Latar yang tajam dan jelas menggambarkan waktu dan tempat juga sosial budaya dinamakan warna lokal (local color) atau warna setempat. Warna lokal menjadi bagian dari struktur karya sastra, khususnya aspek dari latar, atmosfer, dan penggunaan bahasa. Sebagai bagian dari latar fisik dan ruang, warna lokal dikaitkan dengan geografi yang mencakup ciri-ciri kultur setempat, misalnya adat

38 Ibid., h. 385. 39

(32)

istiadat dan ritual, dan bahkan kecenderungan interferensi leksikal-idiomatis bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia yang digunakan di dalamnya.40

Penjelasan mengenai warna lokal tersebut sudah cukup jelas dari beberapa sumber, adapun wujud dari warna lokal berupa unsur sosial dan unsur budaya di dalamnya. Sebagai berikut:

1. Unsur-unsur Sosial

Unsur berarti sesuatu yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Unsur-unsur sosial meliputi kelas sosial, kelompok sosial, dinamika sosial, dan lembaga sosial.

a. Kelas Sosial

Setiap masyarakat mempunyai tingkat keadaan yang berbeda. Keadaan tersebut merujuk kepada nilai tingkat atas, menengah, dan bawah. Kelas sosial berarti pengelompokan orang berdasarkan nilai budaya, sikap, perilaku sosial, yang secara umum sama. Misalnya masyarakat kelas menengah ke atas berbeda karakteristik dengan

masyarakat menengah ke bawah.41

Kelas sosial dalam masyarakat sudah pasti ada. Biasanya merujuk kepada materi atau derajat sosial. Materi bisa dibilang seperti orang kaya raya dan orang miskin. Adapun derajat sosial seperti orang yang disebut tokoh masyarakat dan orang biasa.

b. Dinamika Sosial

Pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang dinamis. Akibatnya manusia yang hidupnya berkelompok sudah pasti mempunyai ide untuk berkembang. Perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya,

40

Ahmad Bahtiar, Warna Lokal Betawi dalam Kumpulan Cerpen “Terang Bulan Terang di Kali: Cerita Keliling Jakarta” Karya S.M. Ardan, Prosiding Seminar Sosiologi Satsra UI, 2016, h. 1.

41 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Kencana Prenada

(33)

termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan perilaku di antara

kelompok-kelompok dalam masyarakat.42

Dinamika sosial yang pertama adalah pengendalian sosial. Pengendalian sosial merupakan cara atau proses pengawasan baik yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan untuk mengajak, mendidik bahkan memaksa warga masyarakat agar para anggota masyarakat mematuhi norma dan nilai yang berlaku. Dalam pengendalian sosial, struktur sosial memiliki alat-alat pengendalian yang berupa nilai-nilai dan norma yang dilengkapi dengan unsur kelembagaannya.

Kedua, penyimpangan sosial merupakan perilaku sejumlah orang yang dianggap tidak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku sehingga penyimpangan tersebut menimbulkan reaksi-reaksi seperti pergunjingan masyarakat. Walaupun sudah ada nilai dan norma sebagai pedoman tingkah laku, akan tetapi pola kehidupan yang teratur masih sulit untuk dicapai. Hal ini diakibatkan kecenderungan manusia itu sendiri yang selalu ingin menyimpang dari tatanan tingkah laku tersebut.

c. Kelompok Sosial

Sosiologi menyatakan bahwa masyarakat terbentuk dari banyak individu yang menyebut dirinya kelompok. Suatu kelompok tersebut mencari identitasnya sendiri. Contoh kelompok yang sudah mempunyai identitas dalam sosial adalah keluarga. Kelompok tersebut akan berinteraksi dengan kelompok lainnya untuk mencapai tujuan dan kebutuhan. Suatu kelompok mencapai tujuan yakni dengan modal komunikasi.

Setiap individu adalah anggota dari suatu kelompok. Tetapi tidak setiap warga dari suatu masyarakat hanya menjadi anggota dari satu kelompok tertentu, ia bisa menjadi anggota lebih dari satu

42

(34)

45 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi 1, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), h. 80-81.

kelompok sosial.43 Dengan demikian kelompok sosial merupakan bentuk alamiah manusia yang cenderung untuk membutuhkan manusia lainnya, dengan begitu mengakibatkan kelompok sosial. d. Lembaga Sosial

Istilah lembaga sosial (social instutition) di sini, artinya bahwa lembaga sosial lebih menunjuk pada suatu bentuk perilaku sosial anggota masyarakat dalam kehidupan bersama, sekaligus juga mengandung pengertian yang abstrak perihal adanya norma-norma dan perartuan-peraturan tertentu yang menjadi ciri lembaga tersebut.44

Dapat diperjelas lagi, dengan demikian lembaga dapat dilukiskan sebagai suatu organ yang berfungsi dalam kehidupan masyarakat. Lembaga sosial baik secara formal maupun informal dibuat dengan tujuan untuk mengikat perilaku anggota masyarakat agar berperilaku sesuai dengan tatanan aturan yang menjadi kesepakatan sosial.

2. Unsur-unsur Budaya

Konsep tentang warna lokal diperjelas C. Kluckhohn tentang

unsur-unsur kebudayaan. Kluckhohn menyebutnya unsur-unsur

kebudayaan universal yang berarti bahwa kebudayaan (seperti kebudayaan Minangkabau, Bali, atau Jepang) dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia berjumlah tujuh unsur, yang dapat disebut intisari dari setiap kebudayaan.45 Hubungan warna lokal dengan kebudayaan adalah kebudayaan merupakan kebiasaan manusia hidup yang meliputi pola pikir dan tindakan yang sifatnya sangat kompleks. Manusia hidup mempunyai adat istiadat, kebiasaan, filsafat hidup, nilai-nilai, dan sebagainya, hal itu merupakan hasil dari kebudayaan. Itu artinya produk kebudayaan tersebut dapat membedakan budaya satu dengan budaya lainnya, produk budaya tersebut memiliki ciri khas. Dengan demikian

43

Elly M. Setiadi, dkk., Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 100.

(35)

47 Ibid.

produk kebudayaan tersebut dinamakan warna lokal. Berikut tujuh unsur kebudayaan

a. Sistem Religi

Sistem ini merupakan produk manusia sebagai homo religious. Sistem religi dalam suatu kebudayaan mempunyai tiga unsur yaitu sistem keyakinan, sistem upacara keagamaan, dan suatu umat yang menganut religi itu. Keyakinan yang di dalamnya mengandung konsepsi tentang dewa yang baik maupun jahat, konsepsi tentang makhluk halus, konsepsi tentang roh leluhur, konsepsi tentang hidup, konsepsi tentang dunia, konsepsi tentang ilmu gaib, dan sebagainya. Sistem upacara keagamaan mengandung empat aspek, yakni tempat upacara keagamaan dilakukan, saat upacara keagamaan dijalankan, benda-benda dan alat upacara, orang yang melakukan dan memimpin upacara. Mengenai umat yang menganut keyakinan, biasanya dideskripsikan mengenai pengikut suatu kepercayaan dan hubungan satu dengan yang lainnya.46

b. Sistem Organisasi Kemasyarakatan

Sistem ini merupakan produk manusia sebagai homo socius. Setiap kehidupan masyarakat diatur oleh adat-istiadat dan aturan-aturan mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan tempat individu itu hidup dan bergaul. Menyadari bahwa dirinya lemah, maka manusia dengan akalnya membentuk kekuatan dengan cara menyusun organisasi kemasyarakatan yang merupakan tempat bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, yaitu meningatkan kesejahteraan hidupnya.47

c. Sistem Pengetahuan

Sistem ini merupakan produk manusia sebagai homo sapiens. Pengetahuan tentang alam sekitar, pengetahuan tentang alam flora dan fauna, pengetahuan tentang tubuh manusia dalam kebudayaan-

46

Sri Rahaju Djatimurti Rita Hanafie, Ilmu Sosial Budaya Dasar, (Yogyakarta: Andi Offset, 2016), h. 38.

(36)

50 Ibid.

kebudayaan, seperti ilmu untuk menyembuhkan penyakit, dan pengetahuan tentang sifat dan tingkah laku manusia adalah pengetahuan yang teramat penting dalam suatu masyarakat. Selain itu, pengetahuan tentang sopan santun pergaulan, adat-istiadat, sistem norma, hukum adat, pengetahuan tentang sejarah tempat asal masyarakat itu menetap juga sangat penting.48

d. Sistem Mata Pencarian Hidup

Sistem ini merupakan produk manusia sebagai homo economicus. Sistem ini menjadikan tingkat kehidupan manusia secara umum terus meningkat. Dari food gathering berkembang ke food producing, dari bercocok tanam, kemudian berternak, mengusahakan kerjasama, berdagang dan terus berkembang.49

e. Sistem Teknologi dan Peralatan

Sistem ini merupakan produk manusia sebagai homo faber. Bersumber dari pemikirannya yang cerdas dibantu dengan kekuatan tangannya yang mampu memegang sesuatu dengan erat, manusia

menciptakan sekaligus mempergunakan alat yang kemudian

dimanfaatkan untuk lebih memenuhi kebutuhannya. Teknologi sering dikatakan sebagai cara-cara memproduksi, memakai, dan memelihara segala peralatan hidup setiap suku bangsa. Teknologi tradisional adalah teknologi yang belum dipengaruhi oleh teknologi yang berasal dari kebudayaan “Barat”. Teknologi tradisional mengenal tujuh macam sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik yang dipakai oleh masyarakat kecil atau masyarakat pedesaan yaitu: alat produksi, senjata, wadah, makanan, pakaian, tempat berlindung dan perumahan, serta alat- alat transportasi.50

48 Ibid., h. 39. 49

(37)

54 B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 16.

f. Bahasa

Bahasa dalam hal ini merupakan produk manusia sebagai homo longuens. Pembahasan ini mendeskripsikan tentang ciri-ciri terpenting dari bahasa yang diucapkan oleh suku bangsa yang bersangkutan beserta variasi dari bahasa tersebut. Ciri-ciri menonjol dari suku bangsa dapat diuraikan dengan beberapa contoh kata yang diambil dari ucapan bahasa sehari-hari. Kata-kata tersebut bisa mengenai anggota badan (kepala, mata, hidung, mulut, tangan, kaki, dan sebagainya), gejala-gejala dari alam (angin, hujan, panas, dingin, matahari, bulan, awan, langit, dan sebagainya), warna, bilangan, kata kerja pokok (makan, tidur, jalan, duduk, berdiri, dan sebagainya).51

g. Kesenian

Kesenian yang dimaksud merupakan produk manusia sebagai homo esteticus. Kesenian merupakan segala ekspresi hasrat manusia terhadap keindahan di dalam suatu kebudayaan. Hasil kesenian yang diciptakan oleh seniman di setiap daerah tentu beraneka ragam. Adapun ragam kesenian yang dimaksud misalnya seni rupa, seni suara, seni drama, dan lain-lain.52

D. Pembelajaran Sastra di Sekolah

Manfaat sastra menurut Wellek dan Warren adalah duice yakni menghibur dan utile berarti bermanfaat.53 Pendapat lain dari Rahmanto bahwa manfaat dari pembelajaran sastra di sekolah “membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, menunjang pembentukan watak”.54

Pembelajaran analisis novel di sekolah dapat membantu

mengembangkan pola intelektual dan emosional siswa. Novel masuk ke dalam

51

Ibid., h. 39-40.

52 Ibid., h. 40. 53

Rene Wallek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2016), h. 23.

(38)

56 Ibid., h. 49.

mata pelajaran Bahasa Indonesia, adapun ketika peserta didik mempelajari novel mendapatkan empat keterampilan berbahasa: menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Tujuan empat kompetensi keterampilan berbahasa dalam novel tersebut, sebagai berikut:

1. Kompetensi menyimak meliputi kemampuan peserta didik

mendengarkan dan memahami karya sastra ketika sedang ditampilkan di depan kelas oleh temannya.

2. Kompetensi berbicara meliputi kemampuan peserta didik memberikan tanggapan atau mendiskusikan karya sastra sesuai dengan konteks pembahasan.

3. Kompetensi membaca meliputi kemampuan peserta didik membaca secara ekstensif atau intensif terhadap karya sastra.

4. Kompetensi menulis meliputi kemampuan peserta didik produktif terhadap karya sastra, seperti menulis karya, kritik sastra, atau membuat esai sastra.

Pembelajaran sastra bertujuan melibatkan peserta didik dalam mengkaji nilai kepribadian, budaya, sosial, dan estetik. Misalnya dalam pembelajaran sastra peserta didik akan memperoleh pengalaman bersastra melalui kegiatan apresiasi dan ekspresi. Apresiasi sastra adalah penghargaan dan pengertian terhadap sastra yang tumbuh setelah melalui kegiatan mengakrabi dan menggemuli karya sastra dengan sungguh-sungguh.55 Sedangkan ekspresi adalah cara pengungkapan maksud, getaran ungkapan.56 Peserta didik belajar sastra bertujuan untuk menumbuhkembangkan kemampuan kecerdasan akal dan emosi, sebab sastra bagian dari seni, dengan demikian seni mengajarkan kepada manusia untuk dapat mengambil nilai yang ada di dalamnya.

Guru ketika mengajar di kelas membutuhkan metode pembelajaran. Metode tersebut merupakan hak subjektif guru supaya tercapainya tujuan pembelajaran.

(39)

58 B. Rahmanto, Metode..., Op. Cit., h. 38.

Guru menjadi titik penting ketika mengajarkan metode pembelajaran sastra di sekolah. Ahmad Bahtiar menyatakan bahwa di Tangerang Selatan, guru sastra masih jauh dari harapan untuk menjadi guru dengan kompetensi sastra yang ideal. Data guru dalam memahami metode kajian atau pendekatan sastra, pengetahuan tentang metode hanya dikuasai (27,5%) responden, sebagian besar responden memilih cukup (52,5%), responden yang memilih kurang dalam memahami metode kajian sastra sebesar (17,5%), responden yang tidak menguasai metode dalam kajian sastra sebesar (2,5%).57 Dengan demikian melihat data kuantitatif kompetensi guru sastra di Tangerang Selatan, perlu ditekankan bahwa metode pengajaran merupakan hal yang penting untuk dilakukan di kelas. Sebagai contoh metode yang bisa diterapkan guru sastra di sekolah yakni, metode pembelajaran humor, metode pembelajaran dengan bermain game, atau metode pembelajaran dengan menggunakan film yang berhubungan dekat dengan materi sastra. Berdasarkan contoh tersebut, guru perlu kreatif dan inovatif supaya pembelajaran sastra menarik di kelas. Selain itu, guru juga perlu meningkatkan literasi sastra supaya pengetahuan, pemahaman, dan pengkajian terhadap sastra makin mendalam.

Menurut Rahmanto, belajar sastra pada dasarnya adalah belajar bahasa dalam praktik. Belajar sastra harus selalu berpangkal pada realisasi bahwa setiap karya pada pokoknya merupakan kumpulan kata yang bagi siswa harus diteliti, ditelusuri, dianalisis, dan diintegrasikan.58 Implikasi penelitian novel dalam pembelajaran dapat terlihat dalam bahasa dan sastra. Pada umumnya ada empat unsur dalam keterampilan berbahasa yaitu: menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Cepat atau lambat siswa akan diajarkan untuk terampil dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

57

Ahmad Bahtiar, “Kompetensi Kesusastraan Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di Wilayah Tangerang Selatan”. dalam Jurnal Indonesian Language Education and Literature, Vol. 2, No. 2., 2017, h. 210.

(40)

E. Penelitian Relevan

Suatu penelitian tidak terlepas dari konteks penelitian sebelumnya. Karya ilmiah harus membutuhkan referensi atau sumber acuan penelitian terdahulu supaya hasilnya terpercaya dan akurat. Peneliti mencari objek penelitian terkait novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala. Hasil penelitian relevan dari novel Kronik Betawi, sebagai berikut:

Penelitian terdahulu tentang novel Kronik Betawi ditulis oleh Thomas Prasetyo, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Thomas menulis skripsi pada 2010 dengan judul Aspek Budaya Novel Kronik Betawi Karya Ratih Kumala: Tinjauan Semiotik dan Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA. Tujuan penelitian dari Thomas yaitu pertama untuk mengetahui struktur yang membangun novel Kronik Betawi, kedua untuk mengungkap aspek budaya yang terkandung dalam novel Kronik Betawi berdasarkan tinjauan semiotik, ketiga untuk mendeskripsikan implikasi aspek budaya novel Kronik Betawi dalam pembelajaran sastra di SMA. Penelitian Thomas menggunakan metode deskriptif kualitatif. Teori yang digunakan adalah aspek budaya untuk membedah novel Kronik Betawi dengan tinjauan semiotik. Sementara teknik pengumpulan data dengan studi kepustakaan dan teknik analisis data menggunakan model analisis interaktif dengan pembacaan heuristik serta hermeneutik. Hasil penelitian dari skripsi Thomas adalah terkait nilai aspek budaya dengan pandangan semiotik dalam novel Kronik Betawi kemudian diimplikasikan dalam pembelajaran sastra di SMA dengan proses pembelajaran melalui standar kompetensi dan kompetensi dasar.

Selanjutnya Erna Fajarwati, mahasiswa Universitas Sebelas Maret, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Jurusan Sastra Indonesia, menulis skripsi pada 2012 dengan judul Problem-problem Sosial dalam Novel Kronik Betawi Karya Ratih Kumala: Pendekatan Sosiologi Sastra. Tujuan penelitian Erna, pertama mendeskripsikan unsur struktural meliputi, tokoh, alur, latar, tema, dan amanat. Kedua, mendeskripsikan problem sosial. Ketiga, mendeskripsikan respon pengarang

(41)

terhadap problem sosial dalam novel Kronik Betawi. Metode dalam penelitian Erna mengunakan metode kualitatif dengan pendekatan sosiologi sastra. Erna membagi dua objek dalam penelitian, yaitu: objek material berupa novel Kronik Betawi dan objek formal berupa problem-problem sosial dan respon pengarang. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik kepustakaan. Hasil penelitian dari Erna adalah pertama, analisis struktural: tema, latar, alur, tokoh, amanat, gaya bahasa adalah sistem yang tidak dapat dipisahkan. Kedua, problem sosial meliputi problem sosial kebudayaan dan problem intern masyarakat Jakarta. Ketiga, sikap pengarang terhadap kebudayaan Betawi menunjukkan ada penolakan.

Kemudian Erniza Puspita menulis jurnal media commoline dari Universitas Airlangga pada tahun 2013 berjudul Wacana Identitas Etnis Betawi Dalam Novel Kronik Betawi Karya Ratih Kumala. Erniza meneliti tentang identitas etnis Betawi dalam novel Kronik Betawi. Erniza beralasan bahwa teks sastra bersifat holistik dalam satu waktu atau zaman, sehingga mengakibatkan munculnya wacana mengenai etnis Betawi sejak kolonial sampai reformasi. Metode penelitian yang digunakan yakni metode analisis wacana kritis milik A. Van Dijk karena dapat melihat intertekstualitas novel Kronik Betawi ke dalam dunia nyata. Hasil penelitian mendeskripsikan bahwa etnis Betawi memiliki identitas yang dinamis karena terkait sosial dan historis.

Selain itu Nina Farlina dalam Jurnal Dialektika Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Jakarta 2016 menulis artikel berjudul Representasi Kekerasan Simbolik Terhadap Perempuan Betawi dalam Novel Kronik Betawi Karya Ratih Kumala. Artikel tersebut membahas tentang representasi kekerasan simbolik oleh Pierre Bourdieu terhadap kaum perempuan Betawi dalam novel Kronik Betawi karya Ratih Kumala. Metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang diambil dari kajian pustaka mengenai kekerasan simbolik. Hasil penelitian dalam artikel ini menyatakan bahwa kekerasan simbolik dalam novel Kronik Betawi terjadi karena adanya nilai-nilai tradisional Betawi dan religi yang cenderung patriarki yang memberikan pengaruh dalam menentukan peran dan posisi kaum perempuan Betawi dalam kehidupan sehari-hari yang

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian hubungan kadar Pb dalam darah dengan profil darah petugas operator stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Kota Semarang Timur,

RUU ini sendiri tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa namun tampaknya istilah ini

Tanaman Untuk Penyakit Kutil Kelamin Perlu juga anda ketahui bahwa meskipun penyakit kutil kelamin ini, Umumnya tumbuh di daerah genital tapi juga bisa tumbuh di Anus, Bibir, Mulut

Untuk mengevaluasi berbagai alternatif penganggaran barang modal/investasi, perusahaan harus menentukan cash flow yang sesuai, yakni data mengenai aliran

Penelitian ini berbentuk Penelitian Tindakan Kelas yang dilaksanakan di SD Negeri 2 Mersi, melalui dua siklus perbaikan yang terdiri dari siklus I dan siklus II.. Subjek

Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh tidak langsung antara citra destinasi terhadap niat berkunjung kembali melalui kepuasan dan variabel kepuasan (Y1) berperan

daftar tempat-tempat yang menarik yang dapat digunakan untuk referensi bagi wisatawan [2]. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengambil penelitian dengan judul

Pihak Kedua berhak dan wajib bertanggung jawab terhadap target penjualan produk yang dikembangkan oleh PT.SAS Bangun Istana sesuai dengan peraturan dan / atau ketentuan  penjualan