• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

B. Hakikat Pekerja Seks Komersial

Pekerja seks dan pekerja seks komersial merupakan istilah yang sering di pakai untuk menggantikan istilah pelacur. Istilah ini bukan merupakan istilah resmi yang dipakai pemerintah untuk menggantikan istilah pelacur. Istilah pekerja seks dan pekerja seks komersial sudah merupakan istilah yang lazim dan sering diungkapkan dan ditulis banyak orang. Dua istilah ini merupakan terjemahan dari kata sex worker yang sering ditulis dibeberapa buku bacaan.

Istilah pelacur berasal dari kata dasar lacur yang artinya malang, celaka, gagal, sial atau tidak jadi. Kata lacur juga berarti buruk laku. Bentukan kata dari kata lacur adalah melacur yaitu berbuat lacur atau menjual diri sebagai pelacur. Orang yang menjual diri disebut pelacur. Istilah pelacur seringkali disamakan dengan wanita Tuna Susila (WTS). Melalui keputusan menteri sosial republik Indonesia Nomor 23/HUK/96, pemerintah lebih mengakui istilah WTS (Wanita Tuna Susila). Namun akhir-akhir ini, banyak pakar dan praktisi mengartikan istilah pelacur dengan pekerja seks atau pekerja seks komersial (Koentjoro dan Sugihastuti 2012).

Pelacuran atau prostitusi berasal dari bahasa latin pro-stituere atau

pro-stauree yang berarti membiarkan diri berbuat zinah, melakukan

persundalan, pencabulan, pergendakan. Sedangkan prostitue adalah pelacur atau sundal. Dikenal juga dengan istilah WTS atau Wanita Tuna

Susila (Kartini Kartono, 1981). Pelacuran atau porstitusi merupakan “profesi” yang sangat tua usianya, setua umur kehidupan manusia itu sendiri. Pelacuran itu berupa tingkahlaku lepas bebas tanpa kendali dan cabul, karena adanya pelampiasan nafsu seks dengan lawan jenisnya tanpa mengenal batas-batas kesopanan (Kartini Kartono 2017).

Profesor W. A. Bronger dalam tulisannya ”Maatschappelijke Oorzaken der” mendefenisikan Prostitusi ialah gejala kemasyarakatan dimana wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian. Definisi ini jelas dinyatakan adanya pristiwa penjualan diri sebagai profesi atau mata pencaharian sehari-hari dengan melakukan relasi-relasi seksual (Kartini Kartono 2017).

Sarjana P. J. de Bruine Van Amstel menyatakan prostitusi adalah penyerahan diri dari anita kepada banyak laki-laki dengan pembayaran. Defenisi ini mengemukakan adanya unsur ekonomis, dan penyerahan diri wanita yang dilakukan secara berulang-ulang atau terus menerus dengan banyak laki-laki (Kartini Kartono 2017).

Peraturan pemerintah Daerah DKI Jakarta Raya tahun 1967 mengenai penggulangan masalah pelacuran, menyatakan; Wanita Tuna

Susila adalah wanita yang kebiasaaannya melakukan hubungan kelamin

di luar perkawinan baik dengan imbalan jasa maupun tidak. Pemerintah Daerah Tingkat 1 Jawa Barat untuk melaksanakan pemberantasan dan penerbitan masalah pelacuran menyatakan; pelacur yang selanjutnya di singkat dengan P adalah mereka yang biasa melakukan hubungan

kelamin di luar pernikahan yang sah. Kedua peraturan ini menekankan maslaha hubungan kelamin di luar pernikahan baik dengan mendapatkan imbalan pembayaran mauun tidak (Kartini Kartono 2017).

Dalam Jurnal Endurance Pekerja Seks Komersial (PSK) adalah seseorang yang menjual jasanya untuk melakukan hubungan seksual demi uang. Biasanya pelayanan ini dalam bentuk menyewakan tubuh. Di Indonesia PSK sebagai pelaku pelacuran sering disebut sebagai sundal atau sundel yang menunjukkan bahwa perilaku perempuan sundal itu sangat begitu buruk hina dan menjadi musuh masyarakat (Harnani, 2015).

Permatasari (Jurnal Student UNY, 2017) menuliskan bahwa PSK atau prostitue sendiri sangat erat hubungannya dengan pengertian pelacuran. PSK menunjuk pada “orang” nya, sedangkan pelacuran menunjuk pada “perbuatan”. Koentjoro (2004) yang menyatakan bahwa pekerja seks komersial merupakan bagian dari kegiatan seks di luar nikah yang ditandai oleh kepuasan dari bermacam-macam orang yang melibatkan beberapa pria, dilakukan demi uang dan dijadikan sebagai sumber pendapatan. Prostitusi telah terorganisasi berdasarkan prinsip yang sama di berbagai waktu dan budaya. Pada level bawah, kita dapat menemui prostitusi jalanan, diikuti dengan rumah bordil/lokalisasi, bar dan club. Di level menengah ada gadis panggilan atau biasa disebut dengan call girls. Sedangkan di level tinggi ada wanita simpanan dimana pekerja seks tersebut berpenampilan lebih baik, lebih muda dan lebih

sehat, menetapkan harga yang lebih tinggi dan menghabiskan waktu lebih lama dengan klien (Edlund & Korn, 2002). Motivasi yang melatarbelakangi tumbuhnya pelacuran pada wanita itu bermacam-macam. Motivasi dalam berbuat sesuatu dipengaruhi oleh faktor-faktor yang datang dari dalam dan luar seseorang itu sendiri (Bagong Suyanto, 2014).

2. Jenis-Jenis Pekerja Seks Komersial.

Jenis prostitusi dapat dibagi menurut aktivitasnya yaitu terdaftar dan terorganisasi dan yang tidak terdaftar dan terorganisasi.

1) Prostitusi yang terdaftar.

Pelakunya diwasi oleh bagian Vice Control dari kepolosia, yang dibantu dan bekerjasama dengan Jawatan Sosial dan Jawatan Kesehatan. Pada uamumnya mereka dilokalisasi dalam satu daerah tertentu. Penghuninay secara periodik harus memerik-sakan diri pada dokter atau petugas kesehatan dan mendapatkan suntikan serta pengobatan, sebagai tindakan kesehatan dan keamanan umum.

2) Prostitusi yang tidak terdaftar.

Termasuk dalam kelompok ini ialah mereka yang melakukan prostitusi secara gelap-gelapan dan liar, baik secara perorangan maupun dalam kelompok. Perbuatannya tidak terorganisasi tempatnyapun tidak tertentu. Biasa di sembarang tempat, baik mencari mangsa sendiri, maupun melaui calo-calo dan panggilan. Sehingga

kesehatan mereka sangat diragukan karena belum tentu mereka mau memeriksakan keehatannya ke dokter (Kartini Kartono 2017).

3. Faktor Yang Mempengaruhi Perempuan Menjadi Pekerja Seks Komersial.

a) Tidak adanya undang-undang yang melarang pelacuran. Juga tidak ada larangan terhadap orang-orang yang melakukan relasi seks sebelum pernikahan atau di luar pernikahan. Yang dilarang dan diancam dengan hukuman ialah praktek germo (pasal 296 KUHP) dan mucikari (pasal 506 KUHP).

b) Adanya keinginan dan dorongan manusia untuk menyalurkan kebutuhan seks, khususnya di luar ikatan perkawinan.

c) Komersialisasi dari seks, baik di pihak wanita maupun germo-germo dan oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan pelayanan seks. Jadi, seks dijadikan alat jamak-guna (multipurpose) untuk tujuan-tujuan komersialisasi di luar perkawinan.

d) Dekadensi moral, merosotnya norma-norma susila dan keagamaan pada saat-saat orang mengenyam kesejahteraan hidup: da nada pemutarbalikan nilai-nilai pernikahan sejati.

e) Semakin besarnya penghinaan orang terhadap martabat kaum wanita dan harkat manusia.

f) Kebudayaan eksploitasi pada zaman modern ini, khususnya mengeksploitir kaum lemah/wanita untuk tujuan-tujuan komersil.

g) Ekonomi laisser-faire menyebabkan timbulnya sistem harga berdasarkan hokum “jual dan permintaan” yang diterapkan pula dalam relasi seks (Kartini Kartono 2011).

4. Alasan Perempuan Menjadi Pekerja Seks Komersial.

a) Adanya kecenderungan melacurkan diri pada banyk wanita untuk menghindarkan diri dari kesulitan hidup, dan mendapatkan kesenangan melalui jalan pendek. Kurang pengertian, kurang pendidikan, dan buta huruf, sehingga menghalalkan pelacuran.

b) Ada nafsu-nafsu seks yang abnormal, tidak terintegrasi dalam kepribadian dan keroyalan seks. Histeris dan hyperseks, sehingga tidak merasa puas mengadakan relasi seks dengan satu pria atau suami.

c) Tekanan ekonomi, faktor kemiskinan, pertimbangan-pertimbangan ekonomis untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, khususnya dalam usaha mendapatkan status sosial yang lebih baik.

d) Aspirasi meteriil yang tinggi pada diri wanita dan kesenangan ketamakan terhadap pakaian-pakaian indah dan perhiasan meah. Ingin hidup bermewah-mewahan tapi malas bekerja.

e) Penundaan perkawinan, jauh sesudah kematangan biologis, disebabkan oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomis dan standar hidup yang tinggi. Lebih suka melacurkan diri daripada kawin.

f) Adanya ambisi-ambisi besar pada diri wanita untuk mendapatkan status sosial yang tinggi dengan jalan yang mudah tanpa kerja berat, tanpa suatu skill dan keterampilan khusus.

g) Pekerjaan sebagai pelacur tidak memerlukan keterampilan/skill, tidak memerlukan intelegensi tinggi, mudah dikerjakan asal orang memerlukan kecantikan, kemudaan, dan keberanian. Tidak hanya orang-orang normal, wanita-wanita yang agak lemah dalam ingatanpun bisa melakukan pekerjaan ini.

h) Oleh pengalaman-pengalaman traumatis (luka jiwa) dan shock mental misalnya gagal dalam bercinta atau perkawinan dimadu, ditipu, sehingga muncul kematangan seks yang telalu dini dan abnormalitas seks.

i) Ada kebutuhan seks yang normal, akan tetapi tidak dipuaskan oleh pihak suami. Misalnya karena suami impoten, lama menderita sakit, banyak istri-istri lain sehingga sang suami jarang mendatangi istri yang bersangkutan, lama bertugas di tempat yang jauh dan lai-lain (Kartini Kartono 2011).

Dokumen terkait