• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN TEORETIS, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Kajian Teoretis 1. Hakikat Drama 1.Hakikat Drama

2. Hakikat Pembelajaran Apresiasi Drama a.Pengertian Pembelajaran

Sebelum mengetahui definisi pembelajaran, perlu diketahui terlebih dahulu pengertian belajar. Pembelajaran berasal dari kata "belajar" mendapat imbuhan pe- an. Kata belajar berarti suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Imbuhan pe-an dapat berarti proses atau hal. Jadi, pembelajarpe-an berarti proses membelajarkpe-an siswa (Slameto, 2003: 2).

Menurut Ausubel (dalam Martins Yamin, 2007: 102) belajar merupakan proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat

dalam struktur kognitif seseorang. Sedangkan menurut Martins Yamin (2007: 104) belajar merupakan kegiatan yang membawa manusia pada perkembangan pribadi yang seutuhnya, meliputi perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Istilah pembelajaran memiliki makna yang berbeda dengan istilah pengajaran. Brown H. Douglas (2000: 7) mengemukakan bahwa pembelajaran (learning) adalah pemerolehan pengetahuan tentang suatu hal atau keterampilan melalui belajar pengalaman, sedangkan pengajaran (teaching) adalah upaya untuk membantu seseorang untuk belajar dan bagaimana melakukan sesuatu, memberikan pengajaran, membantu dalam menyelesaikan sesuatu, memberi pengetahuan, dan membuat seseorang menjadi mengerti.

Proses belajar mengajar merupakan suatu kegiatan yang komponennya bekerja sama sejak awal kegiatan sampai dengan kegiatan berakhir. Pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berpikir dan bernalar, mempertajam kepekaan sosial dan kepekaaan perasaan siswa, menikmati dan menghayati keindahan bahasa melalui karya-karya sastra. Hendaknya pembelajaran yang terjadi dapat dipersisapkan dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh agar tujuan dari setiap pembelajaran mencapai hasil akhir yang memuaskan. Oemar Hamalik (2001: 57) menuturkan bahwa pembelajaran adalah susunan unsur-unsur meliputi: manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi dan berkombinasi untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Dalam kegiatan belajar mengajar terdapat berbagai ciri khas, yaitu: (1) aktivitas yang menghasilkan perubahan tingkah laku pada diri pelajar individu yang belajar, baik aktual ataupun potensial; (2) perubahan itu pada pokoknya didapatkan kemampuan baru yang berlaku dalam waktu yang relatif lama; (3) perubahan itu terjadi karena usaha (Gino dkk, 2000:15).

Mulyasa (2003: 100) mengatakan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungan, sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Dalam interaksi tersebut terdapat banyak faktor dan unsur yang mempengaruhi, baik faktor internal yang datang dari dalam diri individu maupun faktor eksternal yang datang dari lingkungan. Unsur-unsur

19

saling menyatu atau berkombinasi membentuk sebuah proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan pembelajaran itu sendiri.

Situasi yang memungkinkan kegiatan belajar mengajar berjalan secara optimal adalah situasi, di mana siswa mampu berinteraksi dengan guru dan faktor intern lain yang telah diatur dalam rangka tercapainya tujuan pembelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa dalam proses pembelajaran melibatkan komponen-komponen. Adapun yang dimaksudkan dengan komponen tersebuat antara lain:

1) Guru

Guru adalah pihak yang bertindak sebagai pengelola kegiatan belajar-mengajar, sebagai mediator antara siswa dengan materi, dan peran lainnya yang memungkinkan terjadinya suatu kegiatan belajar-mengajar yang efektif. Guru merupakan salah satu komponen yang penting dalam kegiatan pendidikan, yang bertugas menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, dan memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan. Lebih lanjut diuraikan bahwa sebagai tenaga profesional yang memiliki kualifikasi, peranan guru dalam pendidikan, diantaranya: sebagai fasilitator, sebagai pembimbing, sebagai evaluator, sebagai inovator, dan sebagainya (Oemar Hamalik, 2001 : 9).

Peran guru di atas juga selaras dengan pendapat Hadi (2005 : 23) yang secara ringkas mengelompokkan tugas seorang guru pada dasarnya meliputi tiga hal, yakni: (1) tugas edukasional (mendidik), (2) tugas instruksional (mengembangkan kemampuan afektif, kognitif, dan psikomotorik), dan (3) tugas managerial (mengelola kelas dan kegiatan belajar).

2) Siswa

Siswa adalah pihak yang bertindak sebagai penerima, pencari, dan penyimpan materi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Siswa dituntut beperan lebih aktif dalam proses pembelajaran dan tidak diharapkan hanya sekedar menerima, menurut, dan pasrah terhadap segala materi yang diberikan.

Setiap siswa mempunyai kebutuhan dan minat yang berbeda-beda. Dalam pembelajaran drama bahan ajar dan penyampaian sedapat mungkin disesuaikan dengan minat dan kebutuhan siswa. Segala sesuatu yang menarik dan dibutuhkan siswa tentu akan menarik perhatian siswa tersebut. Dengan demikian, siswa akan bersungguh-sungguh dalam belajar.

Minat merupakan sesuatu yang menjadikan anak didik tertarik dalam proses belajar. Untuk menarik minat siswa, dapat dilakukan dengan memilih media dan metode yang sesuai sehingga menjadikan anak lebih tertarik dalam proses pembelajaran. Misalnya, dapat dilakukan dengan mengajak siswa untuk belajar di luar kelas dan penggunaan media yang berwarna. Motivasi merupakan suatu dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak untuk melakukan suatu tindakan untuk mencapai tujuan tertentu. Oemar Hamalik (2001: 86-87) mengungkapkan bahwa motivasi belajar dapat bersumber dari dalam diri siswa sendiri berdasarkan kebutuhan, dorongan, dan kesadaran pada tujuan belajar. Motivasi ini disebut motivasi intrinsik. Motivasi belajar dapat juga tumbuh berkat rangsangan atau tekanan dari luar, misalnya hadiah, ganjaran, tekanan, yang disebut dengan motivasi ekstrinsik. Kedua motivasi ini berdaya guna dalam proses belajar dan sangat berpengaruh terhadap tujuan pembelajaran.

3) Tujuan

Tujuan adalah pernyataan tentang perubahan tingkah laku yang diinginkan terjadi pada siswa setelah mengikuti kegiatan belajar-mengajar. Perubahan tingkah laku ini mencakup perubahan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Pada hakikatnya mempelajari sastra adalah mempelajari tentang hidup dan kehidupan. Melalui karya sastra manusia akan memperoleh gizi batin sehingga sisi gelap dalam hidup dan kehidupannya dapat tercerahkan lewat kristalisasi nilai yang terkandung dalam karya sastra. Pembelajaran sastra pada hakikatnya adalah upaya untuk menanamkan pada anak didik rasa

21

cinta dan peka terhadap sastra sehingga kelak setelah anak didik dewasa maka dewasa pula ia dalam kegemaran, kemampuan penangkapan (apresiasi) dan penilaian terhadap nilai-nilai sastra. Dengan demikian pengajaran sastra itu tidak hanya mempunyai aspek-aspek latihan teori dan praktik, tetapi mempunyai pembentukan nilai watak dan sikap, di samping unsur-unsur kesenangan dan kenikmatan artistik.

4) Materi

Materi adalah merupakan segala bentuk informasi yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Materi dalam pembelajaran berhubungan dengan isi yang tercantum dalam kurikulum yang berlaku. B. Rahmanto (1998: 27-33) menyebutkan tiga aspek yang tidak boleh dilupakan jika ingin memilih bahan pembelajaran sastra, yaitu:

(a) bahasa, agar pengajaran sastra dapat berhasil, guru kiranya perlu mengembangkan keterampilan khusus untuk memilih bahan pengajaran yang bahasanya sesuai dengan tingkat penguasaan bahasa siswa;

(b) psikologis, dalam memilih materi pengajaran sastra hendaknya guru memperhatikan tahap ini karena sangat besar pengaruhnya terhadap minat dan keengganan anak didik dalam banyak hal. Tahap perkembangan psikologis ini sangat besar pengaruhnya bagi daya ingat, kemauan mengerjakan tugas, kesiapan bekerja sama, dan kemungkina pemecahan masalah yang dihadapi; dan

(c) latar belakang budaya, masalah-masalah yang ditampilkan oleh suatu karya seyogyanya mendekati dengan apa yang dihadapi oleh para siswa dalam kehidupan sehari-hari.

5) Metode dan Model Pembelajaran

Metode adalah cara yang digunakan oleh guru dalam menyampaikan materi pelajaran. Dalam usaha pemudahan ini guru memerlukan cara-cara (metode) tertentu. Guru yang baik, pada umumnya, selalu berusaha untuk menggunakan metode mengajar yang paling efektif, dan memakai alat/media yang terbaik (Sri Utari Subyakto-Nababan, 2003: 5).

Winarno Surakhmad (1994: 131) menyatakan bahwa metode merupakan cara utama yang dipergunakan untuk mecapai tujuan. Dengan kata lain, metode dalam hal ini adalah cara yang digunakan untuk memberi kesempatan kepada siswa untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran yang baik tentunya diperlukan suatu cara yang efektif dan efisien sehingga ketercapaian pembelajaran yang baik dapat terealisasikan.

Pada kurikulum KTSP guru diberikan kebebasan untuk memanfaatkan berbagai macam metode dan model pembelajaran. Guru perlu memanfaatkan berbagai macam metode pembelajaran yang dapat membangkitkan minat, perhatian, dan kreativitas peserta didik, seperti ceramah, tanya jawab, demonstrasi. Selain metode, penggunaan model pembelajaran yang sesuai akan menjadikan pembelajaran menjadi menarik dan menyenangkan.

Model pembelajaran CTL, kooperatif, dan quantum merupakan beberapa alternatif model pembelajaran PAIKEM yang dapat diterapkan oleh guru.

Trianto (2007: 103-104) pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual, yaitu (1) konstruktivisme (constructivism), (2) inkuiri (inquiry), (3) bertanya (questioning), (4) masyarakat belajar

(learning community), (5) pemodelan (modeling), (6) refleksi

(reflection), dan (7) penilaian outentik (authentic assessment).

Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu bentuk pembelajaran di mana siswa diharapkan mampu belajar dalam kelompok kecil yang mempunyai kemampuan berbeda. Tujuan dibentuknya kelompok tersebut untuk memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk dapat terlibat secara aktif dalam proses berpikir dan mengeluarkan pendapat dalam kegiatan belajar-mengajar (Trianto, 2007: 41).

23

Model pembelajaran quantum berorientasi pada penciptaan pola interaksi pembelajaran yang efektif. Beberapa cara yang dilakukan dengan

quantum learning, yakni: berpartisipasi dengan cara mengubah keadaan kelas dari yang semula biasa menjadi kelas yang menarik; memotivasi dan menumbuhkan minat siswa dengan menerangkan kerangka rancangan yang dikenal.

6) Media

Media yakni alat atau bahan yang digunakan untuk menyampaikan materi atau informasi pada siswa. Media tersebut dapat berupa media elektronik maupun nonelektronik. Media yang digunakan oleh guru bisa audio, visual, maupun audio-visual. Media pada umumnya berfungsi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi komunikasi dalam proses belajar mengajar. Selain itu, dengan adanya penggunaan media diharapkan akan menarik minat siswa dalam belajar. Media pembelajaran merupakan media yang digunakan dalam pembelajaran, yaitu meliputi alat bantu guru dalam mengajar serta sarana pembawa pesan dari sumber belajar ke penerima pesan belajar (siswa). Wina Sanjaya (2008: 175) menjelaskan bahwa media dalam proses pembelajaran dapat diartikan sebagai alat bantu untuk mempermudah pencapaian tujuan pembelajaran. Penentuan media pembelajaran harus sesuai dengan karakteristik peserta didik dan kondisi lingkungan. Suatu media yang digunakan tidak mungkin cocok untuk semua siswa.

William Burton (dalam Moh. Uzer Usman, 2005: 32) memberikan petunjuk bahwa dalam memilih media yang akan digunakan dalam pembelajaran, hendaknya perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Alat-alat yang dipilih harus sesuai dengan kematangan dan pengalaman siswa serta perbedaan individual dalam kelompok. b. Alat yang dipilih harus tepat, memadai, dan mudah digunakan. c. Harus direncanakan dengan teliti dan diperiksa terlebih dahulu. d. Penggunaan alat peraga disertai kelanjutannya, seperti dengan

e. Sesuai dengan batas kemampuan biaya.

Media pendidikan merupakan alat komunikasi untuk lebih mengefektifkan proses belajar mengajar. Dengan demikian, media pendidikan merupakan dasar yang sangat diperlukan, yang bersifat melengkapi demi berhasilnya proses pembelajaran di sekolah. Kehadiran media dalam proses pembelajaran sastra harus menunjang keberlangsungan pola pikir, berbicara, dan bertanya siswa. Sesuai dengan kondisi pendidikan di Indonesia, guru diharapkan secara kreatif dan mempunyai daya inovatif untuk mengembangkan, mendayagunakan imajinasinya untuk memilih media yang ada serta menciptakan dan mengembangkan media yang baru sehingga dapat menciptakan pembelajaran sastra yang aktif, kreatif, efektif, dan juga menyenangkan. 7) Evaluasi

Evaluasi adalah cara yang digunakan untuk memperoleh informasi yang akurat mengenai penyelenggaraan pembelajaran dan keberhasilan belajar siswa. Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui tingkat keberhasilan dan kegagalan tujuan yang telah ditetapkan. Oemar Hamalik (2001 : 30) mengungkapkan bahwa aspoek-aspek yang dinilai dalam evalusi didasarkan pada, tujuan yang hendak dicapai dan kemampuan apa yang hendak dikembangkan (pengetahuan, sikap, dan keterampilan).

Mengenai pembelajaran, disebutkan bahwa istilah pembelajaran sama dengan instruksi atau pengajaran mempunyai arti yaitu cara (perbuatan) mengajar atau mengajarkan. Jadi, pengajaran dapat pula disamakan dengan proses belajar mengajar yang dilakukan oleh siswa dan guru (dalam Gino dkk, 2000: 30). Dapat disimpulkan yaitu pengajaran dan pembelajaran merupakan dua hal yang pada hakikatnya sama, meski istilah yang digunakan tidak sama.

Saiful Sagala (2007 : 61) menyatakan bahwa pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang dirancang untuk membantu seseorang mempelajari sesuatu kemampuan dan atau nilai yang baru. Dalam proses pembelajaran seorang guru dituntut untuk mengetahui kemampuan dasar yang dimiliki

25

siswa baik meliputi kemampuan dasarnya, motivasinya, latar belakang sosial ekonomi, dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan kesiapan seorang guru untuk mengenal karakteristik siswa dalam pembelajaran merupakan modal utama penyampaian bahan belajar dan menjadi indikator suksesnya pelaksanaan pembelajaran.

Berdasarkan definisi-definisi pembelajaran yang diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa pembelajaran adalah perpaduan antara guru dan siswa yang terkemas dalam sebuah interaksi aktif dengan mengoptimalkan faktor internal maupun eksternal untuk mencapai tujuan pembelajaran berupa perubahan yang dialami oleh peserta didik, perubahan itu meliputi aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik.

b. Pengertian Apresiasi

Kata “apresiasi” secara etimologis berasal dari bahasa Latin “apreciatio”

yang berarti “menghargai”. Dalam bahas Inggris “appreciate” berarti “menyadari, memahami, dan menilai”, memiliki makna “penghargaan, pemahaman, dan penghayatan”. Kata apresiasi dalam bahasa Indonesia memilliki makna yang sejajar dengan kata apreciato (Latin), dan appreciation (Inggris) tersebut. Apresiasi sastra berarti berusaha menerima karya sastra sebagai sesuatu yang layak diterima dan menerima nilai-nilai sastra sebagai suatu kebenaran.

Dalam konteks yang lebih luas, apresiasi menurut Gove (dalam Suranto, 2006: 48) mengandung makna: (1) pengenalan melalui perasaan dan kepekaan batin; dan (2) pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan oleh pengarang. Herman J. Waluyo (2003: 44) menjelaskan bahwa apresiasi biasanya dikaitkan dengan kegiatan seni. Apresiasi puisi berkaitan dengan kegiatan yang ada sangkut pautnya dengan puisi, yaitu mendengar atau membaca puisi dengan penghayatan yang sungguh-sungguh, menulis puisi, mendeklamasikannya, dan menulis resensi puisi. Dengan demikian, apresiasi drama berkaitan dengan kegiatan memahami, menghargai, menghayati, mendengarkan, membaca, menyaksikan, memerankan, dan bahkan mementaskan drama serta membuat resensi drama.

Pada pihak lain, Squire dan Taba (dalam Suranto, 2006: 48) berpendapat bahwa suatu proses apresiasi melibatkan tiga unsur inti; (1) aspek kognitif, berkaitan dengan keterlibatan intelek pembaca atau penikmat dalam memahami unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif; (2) aspek emotif, berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi pembaca atau penikmat dalam upaya menghayati unsur-unsur keindahan dalam karya sastra yang dibaca atau yang ditonton. Selain itu, aspek emosi sangat berperan dalam memahami unsur-unsur yang bersifat subjektif; (3) aspek evaluatif, berhubungan dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap baik buruk, indah tidak indah, sesuai tidak sesuai, serta jumlah ragam lain yang tidak harus hadir dalam sebuah karya kritik, tetapi secara personal dimiliki pembaca atau penikmat. Keterlibatan unsur penilaian dalam hal ini masih bersifat umum, sehingga setiap apresiator yang telah mampu merespon teks sastra yang dibaca sampai pada tahap pemahaman dan penghayatan, sekaligus juga mampu mengadakan penilaian.

Berdasarkan dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa apresiasi drama adalah memahami, menghayati, menghargai karya drama dengan jalan mendengarkan, membaca, menyaksikan, memerankan, mementaskan drama serta membuat resensi drama.

Abdul Rozak Zaidan (dalam Herman J. Waluyo, 2003: 44) menjelaskan bahwa syarat untuk mengapresiasi sastra adalah kepekaan batin terhadap nilai-nilai karya sastra, sehingga seseorang dapat: (1) mengenal; (2) memahami; (3) mampu menafsirkan; (4) mampu menghayati; (5) dapat menikmati karya sastra tersebut.

c. Pengertian Apresiasi Drama

Herman J. Waluyo (2003: 44) menjelaskan bahwa apresiasi biasanya dikaitkan dengan kegiatan seni. Apresiasi drama berkaitan dengan kegiatan memahami, menghargai, menghayati, mendengarkan, membaca, menyaksikan, memerankan, dan bahkan mementaskan drama serta membuat resensi drama. apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra. Apresiasi sastra adalah penaksiran

27

kualitas karya sastra serta pemberian nilai yang wajar kepadanya berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang jelas, sadar, serta kritis.

Dalam mengapresiasi drama diperlukan kecerdasan, kehalusan perasaan, dan daya khayal yang cukup lincah. Demikan juga untuk mementaskannya. Hal itu disebabkan kita harus menangkap makna drama dari dilog-dialog yang kadang-kadang menggunakan bahasa yang bukan bahasa sehari-hari, bahkan kadang-kadang dengan bahasa yang berkadar estetika atau filosofis tinggi (Herman J. Waluyo, 2002: 194).

Fowler (dalam Herman J. Waluyo, 2006: 202) menjelaskan bahwa apresiasi drama, khususnya pementasan drama dan prosa dapat dibagi atas empat tingkat apresiasi, yaitu:

1) Pembaca yang telah dapat merasakan karya sastra itu sebagai sesuatu yang hidup, dengan pelakunya-pelakunya yang mengagumkan. Mereka telah dapat terbawa dalam cerita atau drama yang sedang dibacanya, yang sering diiringi dengan tertawa, menangis, membeci seseorang pelaku dan sebagainya. Jadi, mereka telah menggemari karya yang dibaca atau ditontonnya.

2) Pembaca drama yang telah dapat melihat dalamnya perasaan manusia atau jika mereka telah dapat mengungkapkan rahasia kepribadian para pelaku suatu drama telah selangkah lebih maju dari pembaca di atas. Pada tingkat ini pembaca drama tidak saja minikmati kejadian-kejadian dalam drama secara badaniah, tetapi lebih banyak pada apa yang terjadi dalam pikiran pelaku, tingkat ini juga dinamakan tingkat menikmati.

3) Pembaca drama yang telah dapat membandingkan satu drama dengan yang lain dapat memberi pendapatnya mengenai satu karya, telah dapat membaca karya yang lebih sulit dengan kenikmatan. Tingkat ini dapat dikatakan tingkat ketiga apresiasi drama, di mana telah dapat reaksi. 4) Pada tingkat keempat apresiasi drama, pembaca telah dapat melihat

keindahan susunan dialog, setting simbolis pemakaian kata-kata yang berirama yang disajikan oleh sastrawan. Mereka telah mampu memberi

respon pada daya sastra yang merangsang mereka berpikir, diteruskan dengan memberi respon pada seni yang disajikan sastrawan dan juga mereka telah dapat menghasilkan karya sendiri. Tingkat ini disebut tingkat kreatif.

Berdasarkan dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa apresiasi drama adalah memahami, menghayati, menanggapi, dengan jalan mendengarkan, menyaksikan, memerankan, mementaskan drama, serta membuat resensi drama dalam rangka menilai dan menghargai karya drama tersebut.

Kegiatan apresiasi drama ini menyebabkan seseorang memahami drama secara mendalam, mampu merasakan apa yang ditulis oleh dramawan (penulis naskah drama), mampu menyerap nilai-nilai yang terkandung di dalam drama, menghargai drama sebagai karya seni dengan kekurangan dan kelebihannya. d. Strategi Pembelajaran Apresiasi Drama

Pelaksanana pembelajaran akan menjadi semakin mudah apabila mengunakan strategi tertentu dalam penyampaian materi, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Strategi pembelajaran drama yang menjadi patokan pembahasan adalah strategi pembelajan yang berkaitan (1) strategi pembelajaran teks drama dan (2) strategi pembelajaran drama pentas. Pada strategi bagian strategi pembelajaran teks drama akan diuraikan strategi yang berbentuk: a) strategi Stratta, b) langkah-langkah penyajian, c) strategi induktif model Taba, d) strategi analisis, e) strategi sinektik (model Gordon), f) role playing (bermaian peran), g) simulasi. Pada bagian strategi pembelajaran diuraikan strategi yang berbentuk: a) pementasan drama di kelas, b) pementasan drama oleh teater sekolah, c) teknik pembinaan apresiasi drama, dan d) catatan tambahan tentang pemilihan materi.

1) Strategi Pembelajaran Teks Drama

Dokumen terkait