• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN APRESIASI DRAMA DI KELAS XI IPA 5 SMA NEGERI 4 SURAKARTA TAHUN AJARAN 20092010 (Studi Kasus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PELAKSANAAN PEMBELAJARAN APRESIASI DRAMA DI KELAS XI IPA 5 SMA NEGERI 4 SURAKARTA TAHUN AJARAN 20092010 (Studi Kasus)"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

DI KELAS XI IPA 5 SMA NEGERI 4 SURAKARTA

TAHUN AJARAN 2009/2010

(Studi Kasus)

SKRIPSI

Oleh :

GANCAR ADHIWICAKSONO

K1206021

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

PELAKSANAAN PEMBELAJARANAPRESIASI DRAMA

DI KELAS XI IPA 5 SMA NEGERI 4 SURAKARTA

TAHUN AJARAN 2009/2010

(Studi Kasus)

Oleh :

GANCAR ADHIWICAKSONO

NIM K1206021

Skripsi

Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Syarat

Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan

Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(3)

Skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Pembelajaran Apresiasi Drama di Kelas XI IPA 5 SMA Negeri 4 Surakarta Tahun Ajaran 2009/2010” ini telah ini telah disahkan dan disetujui oleh pembimbing I dan pembimbing II pada:

Hari :

Tanggal :

Surakarta, Juni 2010

Persetujuan Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

(4)

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan

Pada hari :

Tanggal : Juli 2010

Tim Penguji Skripsi:

Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Drs. Slamet Mulyono, M. Pd. ___________

Sekretaris : Dra. Raheni Suhita, M. Hum. ____________

Anggota I : Dr. Nugraheni Eko W, M. Hum. ___________

Anggota II : Drs. Yant Mujiyanto, M. Pd. ____________

Disahkan oleh

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Dekan,

(5)

GANCAR ADHIWICAKSONO. K1206021. PELAKSANAAN PEMBELAJARAN APRESIASI DRAMA DI KELAS XI IPA 5 SMA NEGERI 4 SURAKARTA (Studi Kasus) Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Maret 2010.

(6)

menggunakan media pembelajaran yang kreatif supaya siswa lebih tertarik lagi dalam mengikuti pembelajaran; (2) guru menyuruh siswa untuk banyak menonton film dalam belajar drama. Dengan menonton film, siswa dapat belajar mengenai penghayatan karakter atau ekspresi, tata kostum, tata rias, alur, setting, amanat, dan lainnya yang berkaitan dengan apresiasi drama. Jadi, siswa bukan hanya belajar mengenai teori saja melainkan dapat pula belajar dengan hal yang nyata; (3) guru mewajibkan setiap kelompok membuat laporan kegiatan yang berisi tentang keterlibatan setiap siswa dalam membuat film. Dengan membuat laporan kegiatan dapat diketahui keaktifan dan partisipasi setiap siswa. Hal tersebut untuk mengetahui dan sebagai dasar untuk menilai segi afektif dan psikomotorik siswa, bukan hanya laporan kegiatan tetapi dengan pemantauan langung dalam pelaksanaan pembuatan film dan juga pengamatan dari keaktifan siswa dalam mengikuti pembelajaran di dalam kelas.

(7)

”Setiap masalah atau cobaan yang kita alami pasti akan ada jalan keluar untuk mengatasi dan pasti ada hikmah yang akan didapat buat diri sendiri maupun orang

lain” (Penulis)

”Mimpi, impian, dan harapan merupakan awal untuk mencapai apa yang akan dituju, jangan takut untuk bermimpi dan banyak-banyalah mempunyai impian”

(8)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya ini sebagai wujud syukur, sayang, cinta, dan terima kasihku teruntuk:

1. Bapak dan Ibu tercinta yang tak pernah lelah untuk terus menyalakan pelita kasih sayang dan perhatian yang tulus dalam setiap pijakan langkah-langkahku 2. Kakakku Agung Mahardika Prabandani

dan Adikku Danang Pangesti Wibowo tersayang.

3. Almamater.

(9)

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini dapat terselesaikan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat diatasi. Untuk itu, atas segala bentuk bantuannya penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Furqon Hidayatullah, M. Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin penyusunan skripsi;

2. Drs. Suparno, M. Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP UNS yang telah memberikan izin penyusunan skripsi;

3. Drs. Slamet Mulyono, M. Pd., selaku Ketua Program Pendidikan Bahasa, dan Sastra Indonesia yang telah memberikan izin penyusunan skripsi kepada penulis;

4. Dr. Nugraheni Eko W, M. Hum., selaku Pembimbing I yang telah membimbing penulis selama ini dengan penuh perhatian dan kesabaran dan Drs. Yant Mujiyanto, M. Pd., selaku Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis;

5. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M. Pd., selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan studi;

6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, khususnya Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan sebagian ilmunya kepada penulis dengan tulus ikhlas selama ini;

(10)

8. Seluruh siswa kelas Kelas XI IPA 5 SMA Negeri 4 Surakarta, yang telah menunjukkan sikap kerjasamanya selama proses penelitian;

9. Rekan-rekan Bastind ’06 yang telah banyak menorehkan kenangan manis yang tak terlupakan;

10.Pak Umar beserta keluarganya, yang telah banyak memberikan bantuan dan perhatiannya yang teramat sangat banyak;

11.Keluarga besarku, yang telah memberikan dukungan dan semangat.

12.Sahabat-sahabatku Widya, Agung, Fauzi, dan Ega yang telah banyak memberikan semangat dan makna sebuah persahabatan;

13.Penghuni E9 yang berjuang bersama di tanah perantauan untuk hari esok yang lebih cerah dan masa depan yang lebih baik, Pulung, Deni, Husin, Ardi Yan, Candra, dan penghuni gelap,;

14.Berbagai pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu-persatu.

Semoga kebaikan-kebaikan semua pihak mendapatkan imbalan dari Allah SWT, Amien.

Surakarta, Juni 2010

(11)

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PENGAJUAN ... ii

PERSETUJUAN ... iii

PENGESAHAN ... vi

ABSTRAK ... v

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN TEORETIS, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN KERANGKA BERPIKIR ... 9

A. Kajian Teoretis ... 9

1. Hakikat Drama ... 9

a. Pengertian Drama ... 9

b. Struktur Naskah Drama ... 12

c. Jenis-Jenis Drama ... 16

2. Hakikat Pembelajaran Drama ... 17

a. Pengertian Pembelajaran ... 17

(12)

c. Pengertian Apresiasi Drama ... 26

d. Strategi Pembelajaran Apresiasi Drama ………. 28

e. Hakikat Pembelajaran Apresiasi Drama ………. 34

f. Evaluasi Pembelajaran Apresiasi Drama ………. 38

B. Penelitian yang Relevan ... 44

C. Kerangka Berpikir ... 46

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 50

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 50

B. Bentuk dan Strategi Penelitian ... 50

C. Sumber Data ... 51

D. Teknik Pengumpulan Data ... 52

E. Uji Validitas Data ... 53

F. Teknik Analisis Data ... 54

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………... 56

A. Deskripsi Latar Penelitian ……….. 56

B. Hasil Penilitian ……….. 60

C. Pembahasan ……… 85

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ……… 108

A. Simpulan ………. 108

B. Implikasi ………. 111

C. Saran ……… 113

(13)
(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

(15)

Lampiran Halaman

1. Catatan Lapangan Hasil Observasi ... 118

2. Catatan Lapangan Hasil Observasi ... 123

3. Catatan Lapangan Hasil Wawancara ... 126

4. Catatan Lapangan Hasil Wawancara ... 138

5. Catatan Lapangan Hasil Analisis Dokumen ... 143

6. Catatan Lapangan Hasil Analisis Dokumen ... 146

7. Catatan Lapangan Hasil Analisis Dokumen ... 147

8. catatan Lapangan Hasil Analisis Dokumen ... 152

9. Denah SMA Negeri 4 Surakarta ... 154

10.Daftar Siswa Kelas XI IPA 5 ... 156

11.Silabus ... 157

12.Prota dan Promes ... 159

13.Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ... 163

14.Foto ... 167

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembelajaran adalah pemerolehan pengetahuan tentang satu hal atau keterampilan melalui pengalaman. Belajar adalah perubahan disposisi atau kemampuan seseorang yang dicapai melalui orang tersebut dan diperoleh bukan secara langsung dari proses pertumbuhan dirinya secara alamiah (Gagne dalam Sudjana, 2000: 97). Materi pelajaran yang diberikan pada anak didik pun berbagai macam mata pelajaran. Salah satunya adalah bahasa Indonesia.

Isi dari materi pembelajaran bahasa Indonesia berupa kebahasaan dan kesusastraan. Pembelajaran sastra pada umumnya masih menyatu atau bagian dari pelajaran bahasa Indonesia. Keadaan tersebut dapat terlihat di semua jenjang pendidikan atau sekolah. Salah satu alasan menempatkan pembelajaran sastra Indonesia sebagai bagian dari pelajaran bahasa Indonesia ialah sastra Indonesia tidak bisa lepas dengan bahasa Indonesia. Dalam kaitannya dengan kepentingan pembelajaran bahasa Indonesia, pembelajaran sastra Indonesia sangat membantu pencapaian tujuan pembelajaran bahasa Indonesia. Oleh karena itu, dalam penyajian pada pendidikan formal, pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia tidak dapat dipisahkan.

Berbagai jenis karya sastra, seperti puisi, cerita pendek, novel, drama, dan masih banyak lagi yang lainnya, telah diperkenalkan kepada siswa sejak mereka duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Dengan belajar sastra, siswa dapat belajar membaca, menulis, berbicara, dan menyimak. Jadi, dapat disimpulkan, siswa dapat meningkatkan kemampuan berbahasanya dengan baik. Jenis sastra yang dipelajari bisa berupa apa saja.

(17)

karya sastra. Begitu juga kemampuan kebahasaaannya. Pembelajaran sastra merupakan bentuk seni yang dapat diapresiasi, sehingga pelaksanaan pembelajaran harus bersifat apresiatif. Oleh karena itu, pembelajaran sastra hendaknya ditekankan pada segi apresiatif. Apresiasi karya sastra meliputi apresiasi prosa, puisi, dan drama. Pembelajaran apresiasi sastra khususnya pembelajaran apresiasi drama merupakan salah satu aspek yang harus diajarkan kepada siswa agar mampu mengenal, memahami, menikmati, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa.

Hasan Alwi (dalam Sarumpaet, 2002: 16) menyatakan minat dan apresiasi pembaca hendaknya mulai dibangkitkan dan ditumbuhkan sejak dini, yaitu ketika pembaca masih berusia sekolah. Mutu dan tingkat pemahaman apresiasi sastra yang telah dilalui oleh siswa di sekolah akan menjadi modal bagi perkembangan lebih lanjut pada saat mereka nanti terjun sebagai anggota masyarakat.

Sastra sangat penting diajarkan kepada siswa dalam perkembangan pola pikir. Seperti dijelaskan oleh Yuni Pratiwi (2005: 132) bahwa karya sastra yang bernilai tinggi mengandung pesan-pesan moral yang tinggi. Sastra yang mengandung pesan moral yang tinggi dapat menjadi medium untuk menggerakkan dan mengangkat manusia pada harkat yang tinggi. Karya sastra tersebut dapat berupa prosa, puisi, dan drama. Pembelajaran sastra ditekankan pada bagaimana mengapresiasikan karya, bukan pada menghafal karya sastra. Kenyataan yang ada di lapangan tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan karena pengajaran apresiasi sastra masih dinilai masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan dan masih rendahnya kualitas pembelajaran.

(18)

3

mampu mangaitkan nilai sastrawi dengan nilai-nilai etis/moral budaya dalam kehidupan.

Pembelajaran apresiasi drama merupakan salah satu bagian dari pengajaran apresiasi sastra yang tidak terlalu diminati oleh siswa dan banyak menemui kesulitan. Yus Rusyana (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 1) menarik kesimpulan bahwa minat sastra dalam membaca karya sastra yang terbanyak adalah prosa, menyusul puisi, baru kemudian drama. Perbandingannya adalah 6 : 3 : 1. Hal ini disebabkan karena menghayati naskah drama yang berupa dialog itu cukup sulit dan harus tekun. Penghayatan naskah drama lebih sulit daripada penghayatan naskah drama.

Pembelajaran apresiasi drama selama ini masih dapat dikatakan belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Rendahnya kualitas pembelajaran tentunya disebabkan oleh beberapa faktor, seperti penyajian yang tidak mengenai sasaran, saran belajar yang kurang menunjang dalam proses pembelajaran, atau guru yang kurang menguasai materi sastra. Keadaan tersebut sangat disesalkan jika terus berlanjut mengingat bahwa karya sastra dan proses pembelajarannya dapat meningkatkan pendidikan moral seseorang.

Pembelajaran drama sangat penting bagi siswa karena dapat membentuk manusia yang memiliki pengetahuan luas sekaligus memiliki moral dan kepribadian yang baik. Namun kenyataan yang terjadi di lapangan, pembelajaran drama belum sesuai dengan harapan. Pembelajaran drama masih menekankan pengetahuan belum menekankan pada aspek apresiasi. Herman J. Waluyo (2006: 165) menyatakan bahwa pembelajaran drama sebagai penunjang pemahaman bahasa berarti untuk melatih keterampilan membaca (teks drama) dan menyimak atau mendengarkan (dialog dalam drama, mendengarkan drama radio, televisi, dan sebagainya). Sementara sebagai penunjang latihan penggunaan bahasa dengan maksud yaitu melatih keterampilan menulis (teks drama, resensi drama, dan sebagainya) dan wicara (dialog-dialog dalam pementasan drama).

(19)

mengarah aspek teoritis dan kognitif; (2) pembelajaran apresiasi drama hendaknya melibatkan secara langsung peran serta siswa dalam proses apresiasi; (3) guru hendaknya memberi kesempatan kepada siswa untuk mendapatkan kenikmatan dan kemanfaatan dalam berapresiasi dengan memerankan drama; (4) pemelajaran apresiasi drama diarahkan pada pemerolehan pengalaman batin siswa dengan turut berperan serta dalam kegiatan pementasan drama.

Menurut Imam Syafe’i (dalam Marmi, 2006: 1) tujuan pembelajaran drama adalah untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam mengapresiasi drama. Ini berarti bahwa setelah selesai mengikuti kegiatan belajar mengajar drama diharapkan siswa dapat meningkatkan kemampuannya dalam mengapresiasi drama, yaitu mampu mengenal, menghayati, dan menghargai drama sebagai karya sastra secara kreatif. Selain itu, diharapkan pula mereka mampu mengomunikasikan hasil kegiatan mengapresiasi bentuk sastra itu kepada orang lain, baik secara lisan maupun tulis. Kemampuan mengapresiasi drama secara kreatif itu diharapkan pula dapat mendorong siswa untuk berani menuangkan pengalaman, gagasan, dan perasaannya dalam bentuk drama.

Keberhasilam pembelajaran apresiasi drama ini, dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu; kurikulum, guru, siswa, sarana, dan kondisi lingkungan. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi ketidakberhasilan pembelajaran apresiasi drama adalah minimnya buku-buku tentang drama yang tersedia di perpustakaan, alokasi waktu pembelajaran yang masih kurang pada materi apresiasi drama, dan kurang minatnya siswa terhadap materi bahasa Indonesia, khususnya pada pembelajaran drama. Membangkitkan minat siswa dalam kegiatan apresiasi sastra bukan merupakan hal yang mudah dilakukan.

(20)

5

Faktor yang cukup penting dan dominan terhadap keberhasilan pembelajaran drama di kelas adalah guru. Salah satu hal yang harus dilakukan oleh guru adalah memahami kurikulum yang berlaku, yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Penguasaan guru terhadap kurikulum akan mempengaruhi tingkat keberhasilan pembelajaran drama di kelas. Seorang guru dituntut mampu membuat perencanaan pembelajaran dengan baik, memilih materi pelajaran yang sesuai dengan kompetensi dasar, memilih metode yang sesuai dengan tujuan pembelajaran, menggunakan media pembelajaran dengan tepat yang disesuaikan dengan karakteristik tingkat kemampuan siswa. Jika pembelajaran sesuai dengan rencana pembelajaran, mengetahui cara untuk mengatasi kendala yang ada, dan pelaksanaan evaluasi yang tepat, maka pembelajaran berlangsung dengan baik.

Guru kerap menghadapi kesulitan dalam menentukan strategi yang tepat untuk meningkatkan keberhasilan pengajaran apresiasi sastra. Pengajaran apresiasi drama sebagai salah satu contoh pengajaran apresiasi sastra yang harus mendapatkan perhatian serius karena dalam drama banyak nilai penting yang dapat memperkaya khasanah budi pekerti manusia. Akan tetapi, terkadang dalam pembelajaran apresiasi drama di sekolah hanya sebatas pembelajaran yang menyangkut aspek kognitif tentang drama saja sehingga siswa hanya sebatas tahu tentang drama tanpa mereka bisa merasa bahwa ada sesuatu yang menarik dalam drama.

(21)

Dalam setiap pelakasanaan pembelajaran di kelas pasti terdapat problematika yang menjadikan pembelajaran tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Kendala atau hambatan berasal dari faktor intern maupun ekstern. Seperti di jelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwa faktor intern berasal dari diri guru dalam mengajar dan siswa pada saat mengikuti pembelajaran. Pada faktor ekstern berasal dari sarana dan prasarana yang ada dalam menunjang pelakasanaan pembelajaran. Begitu pula dalam pembelajaran apresiasi drama.

Berdasarkan kondisi pembelajaran drama sebagaimana telah dipaparkan di atas maka peneliti tertarik untuk mencoba meneliti bagaimanakah gambaran atau apa yang terjadi pada pelaksanaan pembelajaran apresiasi drama di kelas XI IPA 5 SMA Negeri 4 Surakarta. Dengan penelitian yang bersifat studi kasus, peneliti ingin mengetahui bagaimana proses kegiatan pembelajaran drama yang dimulai dari tahap persiapan sebelum pelakasanaan pembelajaran, tahap pelakasanaan pembelajarana, dan kendala atau hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan juga upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala yang dihadapi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas, permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pelaksanaan pembelajaran apresiasi drama di SMA Negeri 4 Surakarta, secara lebih terperinci dijabarkan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah perencanaan pelaksanaan pembelajaran apresiasi drama di kelas XI IPA 5 SMA Negeri 4 Surakarta Tahun Ajaran 2009/2010?

2. Bagaimanakah pelaksanaan pembelajaran apresiasi drama di kelas XI IPA 5 SMA Negeri 4 Surakarta Tahun Ajaran 2009/2010?

3. Kendala apa saja yang dihadapi oleh guru dalam pelaksanaan pembelajaran apresiasi drama di kelas XI IPA 5 SMA Negeri 4 Surakarta Tahun Ajaran 2009/2010?

(22)

7

C. Tujuan Penelitian

Sesuai rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan perencanaan pelaksanaan pembelajaran apresiasi drama di kelas XI IPA 5 SMA Negeri 4 Surakarta Tahun Ajaran 2009/2010?

2. Mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran drama di kelas XI IPA 5 SMA Negeri 4 Surakarta Tahun Ajaran 2009/2010?

3. Mendeskripsikan kendala-kendala apa saja yang dihadapi oleh guru dalam pelaksanaan pembelajaran drama di kelas XI IPA 5 SMA Negeri 4 Surakarta Tahun Ajaran 2009/2010?

4. Mendeskripsikan upaya mengatasi kendala yang dihadapi dalam pembelajaran drama di kelas XI IPA 5 SMA Negeri 4 Surakarta Tahun Ajaran 2009/2010?

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

Hasil dari penilitian yang hendak dilakukan diharapkan dapat memperkaya khazanah keilmuan khususnya dalam hal pembelajaran drama di SMA.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti

Sebagai pengembangan secara lengkap potensi dan kreativitas dalam diri peneliti terkait dengan aspek pembelajaran drama dan sekaligus dapat menjadi bahan perbandingan dalam kenyataan di lapangan.

b. Bagi Guru

Memberikan gambaran mengenai pembelajaran apresiasi sastra, pada drama khususnya sehingga dapat menjadi alternatif pemecahan masalah dan memunculkan kreativitas serta inovasi dalam pelaksanaan pembelajaran.

c. Bagi Sekolah

(23)

d. Bagi Peneliti Lain

(24)

9

BAB II

KAJIAN TEORETIS, PENELITIAN YANG RELEVAN,

DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Kajian Teoretis 1. Hakikat Drama

a. Pengertian Drama

Kata drama berasal dari bahasa Greek, dalam hal ini berasal dari kata kerja

dran yang berarti “berbuat, to act atau to do”. Namun, ada juga pendapat istilah drama berasal dari termologi Yunani “draomai” yang berarti berbuat, berlaku, bertindak atau beraksi. Herman J. Waluyo (2002: 1), mengungkapkan bahwa drama merupakan tiruan kehidupan manusia yang diproyeksikan di atas pentas. Drama adalah potret kehidupan manusia, potret duka, pahit manis, hitam putih kehidupan manusia. Drama adalah sebuah genre sastra yang penampilan fisiknya memperlihatkan secara verbal adanya dialog atau cakapan di antara tokoh-tokoh yang ada (Melani Budianta, 2002: 95).

Atar Semi (2000: 156) mengemukakan bahwa drama cerita atau tiruan perilaku manusia yang dipentaskan. Di mana kita dapat melakukan tiruan dengan mudah tentang sesuatu hal dalam kehidupan sehari-hari dan sesuai dengan cerita, hal tersebut akan menimbulkan kesan atau reaksi dari penonton. Drama adalah salah satu jenis karya yang ditulis dalam bentuk dialog yang didasarkan atas konflik batin dan mempunyai kemungkinan untuk dipentaskan, sedangkan

(25)

dipentaskan para aktor. Adapun unsur-unsur pembantu sebuah drama dalam pementasan adalah sebagai berikut:

1) Babak : bagian dari suatu lakon drama 2) Adegan : bagian dari suatu babak

3) Prolog : kata pendahuluan sebagai pengantar suatu lakon 4) Monolog : percakapan seorang pelaku dengan dirinya 5) Dialog : percakapan antar pelaku dalam pementasan 6) Epilog : kata penutup yang mengakhiri suatu lakon

7) Mimik : ekspresi (gerak-gerik) air muka pelaku untuk memberikan gambaran emosi

8) Pantomim : ekspresi anggota tubuh untuk menggambarkan emosi pelaku.

Selain didominasi oleh cakapan langsung (dialog antartokoh), lazimnya sebuah karya drama juga memperlihatkan adanya semcam petunjuk pemanggungan yang akan memberikan gambaran tentang suasana, lokasi, atau apa yang dilakukan oleh pelaku atau tokoh (Melani Budianta, 2002: 97). Penjelasan menegenai drama, maka istilah drama akan berhadapan dengan dua kemungkinan yaitu drama naskah dan drama pentas (Herman J. Waluyo, 2006: 2).

1) Drama Naskah

Drama naskah merupakan dasar dari telaah drama. Drama naskah dapat dijadikan bahan studi sastra, dapat dipentaskan, dan dapat dipagelarkan dalam media audio, berupa sandiwara radio atau kaset. Drama naskah dapat diberi batasan sebagai salah satu jenis karya sastra yang ditulis dalam bentuk dialog yang didasarkan atas konflik batin dan mempunyai kemungkinan dipentaskan. Drama naskah merupakan salah satu genre sastra yang dijajarkan dengan puisi dan prosa.

(26)

11

daripada bahasa prosa. Sebagai potret atau tiruan kehidupan, dialog drama banyak berorientasi pada dialog yang hidup.

Hasanudin WS (2009: 71) menyebutkan bahwa sebagai genre sastra, secara umum dapatdikatakan drama mendekati atau bahkan dapat diidentifikasi dengan fiksi. Pada umumnya rumusan tentang keidentikan ini diperoleh dari penelusuran tantang bagaimana unsur cerita atau peristiwa yang dihadirkan oleh pengarang. Naskah drama yang ditulis dimungkinkan bersifat komunikatif dan bahasanya adalah bahasa yang hidup dalam masyarakat, bahasa speech-act. Nilai literel memang tidak boleh ditinggalkan, tatapi sifat komunikatif harus diperhatikan.

2) Drama Pentas atau Teater

Karya drama adalah karya pentas, maksudnya bahwa drama sebagai karya sastra akan memiliki arti atau nilai setelah melewati tahap pementasan. Dengan pementasan maka drama sebagai karya seni eksistensinya menjadi sempurna. Dengan dipentaskan, dialog yang ada akan menjadi hidup. Dialog harus diperankan dengan didukung oleh olah vokal yang prima, jelas, fasih, intonasi dan penjedaan yang tepat serta didukung dengan acting yang ekspresif. Pementasan drama merupakan visualisasi dan konkretisasi cerita sehingga keindahan drama dapat dinikmati dengan segenap perasaan dan pancaindera. Dengan pementasan drama dapat dapat dilatih kan kemampuan praktik kemampuan berbahasa siswa. Drama pentas adalah jenis kesenian mandiri, yang merupakan integrasi antara berbagai jenis kesenian seperti musik, tata lampu, seni lukis (dekor, panggung), seni kostum, tata rias, dan sebagainya ( Heman J. Waluyo, 2006: 2)

(27)

diproyeksikan di atas pentas dan konflik yang disajikan dalam drama sama dengan konflik batin mereka sendiri, juga merupakan potret kehidupan. b. Struktur Naskah Drama

Dalam memerankan drama dengan baik, setiap pemeran harus memahami naskah drama. Untuk mampu memahami naskah drama dibutuhkan pemahaman dan analisis struktural naskah drama yang unsur-unsurnya saling terkait dan terjalin membentuk satu kesatuan. Herman J. Waluyo (2002: 136) menyatakan bahwa cerita rekaan adalah wacana yang dibangun oleh beberapa unsur yang membentuk satu kesatuan, kebulatan dan regulasi diri atau membangun struktur. Unsur-unsur tersebut bersifat fungsional, maksudnya dicipta oleh pengarang untuk mendukung maksud secara keseluruhan, dan maknanya ditentukan oleh keseluruhan cerita. Lebih lanjut Herman J. Waluyo (2006: 8-29) menjelaskan bahwa unsur-unsur penting yang membentuk sebuah struktur naskah drama, yaitu: (1) penokohan, (2) alur (plot), (3) latar (setting), (4) tema, (5) amanat, dan (6) cakapan (dialog dan monolog)

1) Penokohan

(28)

13

penokohan adalah proses menampilkan individu tersebut di dalam sebuah cerita.

Menurut Atar Semi (2000: 39-40) ada dua macam teknik memperkenalkan tokoh dan perwatakan dalam karya fiksi, yaitu: (a) secara analitik, adalah pengenalan watak tokoh dengan cara pengarang memaparkan watak atau karakter tokoh secara langsung. Pengarang secara langsung menyebutkan tokoh tertentu berwatak keras hati, penyanyang, lembut atau romantis. (b) Secara dramatik, yaitu penggambaran watak tokoh dengan tidak dipaparkan secara langsung, tetapi melalui pilihan nama tokoh, penggambaran fisik atau postur tubuh, cara berpakaian, melalui dialoga antar tokoh, dan sebagainya.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa penokohan atau perwatakan adalah suatu teknik bagaimana menampilkan tokoh-tokoh dan bagaimana mengembangkan dan membangun watak tokoh-tokoh tersebut di dalam sebuah cerita rekaan (termasuk drama).

2) Alur atau Plot

Herman J. Waluyo (2006: 8) menjelaskan bahwa alur atau plot merupakan jalinan cerita atau kerangka cerita dari awal hingga akhir yang merupakan jalinan konflik antara dua tokoh yang berlawanan (protagonis dan antagonis) dan merupakan hubungan sebab akibat. Plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tipe kejadian itu dihubungkan sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan peristiwa lain (Burhan Nurgiyantoro, 2000: 113). Panuti Sudjiman (2000: 4) mengatakan bahwa plot atau alur adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu.

(29)

Dalam karya sastra terdapat beberapa macam alur yang dapat dilihat setelah kita menikmatinya. Sudiro Satoto (2001: 53-54) mengemukakan bahwa ada beberapa jenis alur, yaitu: (1) alur menanjak (rising plot), (2) alur menurun (falling plot), (3) alur maju (progressive plot), (4) alur mundur (regressive plot), (5) alur lurus (straigt plot), (6) alur patah (break plot), (7) alur sirkule (circular plot), (8) alur linear (linear plot), (9) alur episodik (episodic plot).

3) Latar atau Setting

Panuti Sudjiman (2000: 48) menyatakan bahwa setting atau latar adalah segala keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan dalam suatu karya sastra. Setting atau tempat kejadian cerita sering pula disebut latar cerita. Setting biasanya meliputi tiga dimensi, yaitu tempat, ruang, dan waktu. Menurut Sudiro Satoto (dalam Suranto, 2006: 45) istilah

setting atau latar dalam arti yang lengkap meliputi aspek ruang dan waktu terjadinya peristiwa. Latar mencakup aspek penting, yaitu: (1) aspek ruang; (2) aspek waktu; dan (3) aspek suasana.

Lebih rinci, Herman J. Waluyo (2002: 197) menjelaskan bahwa setting

atau latar berkaitan dengan waktu dan tempat pencritaan. Waktu dapat berarti siang atau malam, tanggal, bulan, dan tahun. Dapat pula berarti lama berlangsungnya cerita. Aspek tempat dalam nashkah drama, kadang meliputi tempat yang luas atau kecil, seperti sebuah ruangan, taman, kota, daerah negara, dunia, atau bahkan mengambil latar di khayangan atau sebuah negeri antah berantah yang tidak pernah ada di dunia.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa latar atau setting adalah sebuah media cerita untuk melukiskan berlangsungnya sebuah peristiwa atau kejadian, baik menyangkut ruang, tempat, ataupun waktu. 4) Cakapan atau Dialog

(30)

15

dialog dalam drama, yaitu: (1) monolog, adalah berbicara seorang diri, dengan membicarakan hal-hal yang lampau. Monolog dibedakan menjadi sampingan dan soliloquy. Sampingan adalah berbicara seorang diri tetapi ditujukan kepada pembaca atau penonton, sedangkan sosiloquy adalah berbicara seorang diri membicarakan hal-hal yang akan datang; (2) dialog, yaitu percakapan yang melibatkan dua tokoh atau lebih.

Ciri khas suatu drama adalah naskahnya yang berbentuk percakapan atau dialog. Ragam bahasa dalam dialog adalah bahasa lisan yang komunikatif dan mencerminkan percakapan sehari-hari. Di samping dalam hal ragam, masalah diksi juga harus diperhatikan. Dialog harus bersifat estetis dari segi bahasa. Terkadang juga dituntut agar bersifat filosofis atau puitis. Dialog juga harus hidup, artinya mewakili tokoh yang dibawakan.

5) Tema

Herman J. Waluyo (2006: 24) menyatakan bahwa tema merupakan gagasan pokok yang terkandung dalam drama. Tema berhubungan dengan sudut pandang atau point of view. Sudut pandang sering dihubungkan dengan peran pengarang dalam cerita. Sudiro Satoto (2001: 34) menjelaskan bahwa tema adalah gagasan, ide, atau pikiran utama di dalam karya sastra, baik terungkap secara tersurat maupun tersirat. Tema dalam drama memiliki kedudukan yang sangat penting, karena tema menjadi dasar pengarang untuk menciptakan sebuah karya sastra. Pada saat menulis sebuah drama, seseorang tentu telah memiliki ide, gagasan, atau persoalan tertentu yang akan disampaikan kepada pembaca atau penonton.

Berdasar dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan tema adalah ide, gagasan, atau persoalan tertentu yang dijadikan dasar cerita dan ditentukan oleh pengarang. Tema di dalam suatu karya sastra dapat diungkapkan oleh pengarang secara langsung maupun tidak langsung, eksplisit maupun implisit.

6) Amanat

(31)

penonton (Burhan Nurgiyantoro, 2002: 321). Herman J. Waluyo (2006: 29) menjelaskan bahwa amanat biasanya memberikan manfaat dalam kehidupan secara praktis. Dengan demikian, karya sastra yang jelek sekali pun akan memberikan manfaat kepada kita, jika kita mampu memetik manfaatnya. Sedangkan Sudiro Satoto (dalam Suranto, 2006: 35) mengatakan bahwa ajaran moral yang ingin disampaikan pengarang kepada pihaknya disebut amanat. Pendapat senada diungkapkan oleh Panuti Sudjiman (2000: 5) yang menyatakan bahwa pesan yang ingin disampaikan pengarang itulah yang disebut amanat.

Dari beberapa penjelasan di atas mengenai amanat, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan amanat adalah sesuatu yang menjadi pendirian, sikap, atau pendapat pengarang mengenai inti persoalan yang merupakan pesan moral yang ingin disampaikan pengarang kepada publik. c. Jenis-Jenis Drama

Pembagian jenis drama berdasarkan pada jenis sterotip manusia dan tanggapan manusisa terhadap hidup dan kehidupan (Herman J. Waluyo, 2006: 39). Drama dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis, yaitu: (1) tragedi (duka cita), (2) melodrama, (3) komedi (drama ria), dan dagelan.

1) Tragedi

Tragedi atau drama duka adalah drama yang melukiskan kisah sedih yang besar dan agung. Tokoh-tokohnya terlibat dalam bencana yang besar. Dengan kisah tentang bencana ini, pengarang naskah mengharapkan agar penonton memandang kehidupan secara optimis. Kenyataan hidup yang dilukiskan berwana romantis atau idealis, sebab itu lakon yang dilukiskan sering kali mengungkapkan kekecewaan hidup karena mengharapkan sesuatu yang sempurna atau yang paling baik di dunia ini.

2) Melodrama

(32)

17

martabat orang tersebut, karena dianggap berperilaku yang melebih-lebihkan perasaannya.

3) Komedi

Drama ringan yang sifatnya menghibur dan di dalamnya terdapat dialog kocak dan bersifat menyindir dan biasanya berakhir dengan kebahagian yaitu disebut drama komedi. Lelucon bukan tujuan utama dalam komedi, tetapi hanya untuk menimbulkan kelucuan atau tawa riang. Nilai dramatik dari komedi masih tetap dipelihara. Hal ini berbeda dengan dagelan (farce) yang mudah mengorbankan nilai dramatik dari lakon demi kepentingan mencari kelucuan. Drama komedi ditampilkan tokoh yang tolol, konyol, atau tokoh bijaksana tetapi lucu.

4) Dagelan

Dagelan (farce) disebut juga banyolan. Seringkali jenis drama ini disebut dengan komedi murahan atau komedi picisan. Seering pula disebut tontonan konyol atau tontonan murahan. Dagelan adalah drama kocak dan ringan, alurnya tersusun berdasarkan arus situasi dan tidak berdasarkan arus situasi, tidak berdasarkan perkembangan struktur dramatik dan perkembang cerita sang tokoh. Isi cerita dagelan ini biasanya kasar, lentur, dan vulgar. Jika melodrama berhubungan dengan tragedi, dagelan berhubungan dengan dengan komedi.

2. Hakikat Pembelajaran Apresiasi Drama a. Pengertian Pembelajaran

Sebelum mengetahui definisi pembelajaran, perlu diketahui terlebih dahulu pengertian belajar. Pembelajaran berasal dari kata "belajar" mendapat imbuhan pe- an. Kata belajar berarti suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Imbuhan pe-an dapat berarti proses atau hal. Jadi, pembelajarpe-an berarti proses membelajarkpe-an siswa (Slameto, 2003: 2).

(33)

dalam struktur kognitif seseorang. Sedangkan menurut Martins Yamin (2007: 104) belajar merupakan kegiatan yang membawa manusia pada perkembangan pribadi yang seutuhnya, meliputi perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Istilah pembelajaran memiliki makna yang berbeda dengan istilah pengajaran. Brown H. Douglas (2000: 7) mengemukakan bahwa pembelajaran (learning) adalah pemerolehan pengetahuan tentang suatu hal atau keterampilan melalui belajar pengalaman, sedangkan pengajaran (teaching) adalah upaya untuk membantu seseorang untuk belajar dan bagaimana melakukan sesuatu, memberikan pengajaran, membantu dalam menyelesaikan sesuatu, memberi pengetahuan, dan membuat seseorang menjadi mengerti.

Proses belajar mengajar merupakan suatu kegiatan yang komponennya bekerja sama sejak awal kegiatan sampai dengan kegiatan berakhir. Pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berpikir dan bernalar, mempertajam kepekaan sosial dan kepekaaan perasaan siswa, menikmati dan menghayati keindahan bahasa melalui karya-karya sastra. Hendaknya pembelajaran yang terjadi dapat dipersisapkan dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh agar tujuan dari setiap pembelajaran mencapai hasil akhir yang memuaskan. Oemar Hamalik (2001: 57) menuturkan bahwa pembelajaran adalah susunan unsur-unsur meliputi: manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi dan berkombinasi untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Dalam kegiatan belajar mengajar terdapat berbagai ciri khas, yaitu: (1) aktivitas yang menghasilkan perubahan tingkah laku pada diri pelajar individu yang belajar, baik aktual ataupun potensial; (2) perubahan itu pada pokoknya didapatkan kemampuan baru yang berlaku dalam waktu yang relatif lama; (3) perubahan itu terjadi karena usaha (Gino dkk, 2000:15).

(34)

19

saling menyatu atau berkombinasi membentuk sebuah proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan pembelajaran itu sendiri.

Situasi yang memungkinkan kegiatan belajar mengajar berjalan secara optimal adalah situasi, di mana siswa mampu berinteraksi dengan guru dan faktor intern lain yang telah diatur dalam rangka tercapainya tujuan pembelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa dalam proses pembelajaran melibatkan komponen-komponen. Adapun yang dimaksudkan dengan komponen tersebuat antara lain:

1) Guru

Guru adalah pihak yang bertindak sebagai pengelola kegiatan belajar-mengajar, sebagai mediator antara siswa dengan materi, dan peran lainnya yang memungkinkan terjadinya suatu kegiatan belajar-mengajar yang efektif. Guru merupakan salah satu komponen yang penting dalam kegiatan pendidikan, yang bertugas menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, dan memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan. Lebih lanjut diuraikan bahwa sebagai tenaga profesional yang memiliki kualifikasi, peranan guru dalam pendidikan, diantaranya: sebagai fasilitator, sebagai pembimbing, sebagai evaluator, sebagai inovator, dan sebagainya (Oemar Hamalik, 2001 : 9).

Peran guru di atas juga selaras dengan pendapat Hadi (2005 : 23) yang secara ringkas mengelompokkan tugas seorang guru pada dasarnya meliputi tiga hal, yakni: (1) tugas edukasional (mendidik), (2) tugas instruksional (mengembangkan kemampuan afektif, kognitif, dan psikomotorik), dan (3) tugas managerial (mengelola kelas dan kegiatan belajar).

2) Siswa

(35)

Setiap siswa mempunyai kebutuhan dan minat yang berbeda-beda. Dalam pembelajaran drama bahan ajar dan penyampaian sedapat mungkin disesuaikan dengan minat dan kebutuhan siswa. Segala sesuatu yang menarik dan dibutuhkan siswa tentu akan menarik perhatian siswa tersebut. Dengan demikian, siswa akan bersungguh-sungguh dalam belajar.

Minat merupakan sesuatu yang menjadikan anak didik tertarik dalam proses belajar. Untuk menarik minat siswa, dapat dilakukan dengan memilih media dan metode yang sesuai sehingga menjadikan anak lebih tertarik dalam proses pembelajaran. Misalnya, dapat dilakukan dengan mengajak siswa untuk belajar di luar kelas dan penggunaan media yang berwarna. Motivasi merupakan suatu dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak untuk melakukan suatu tindakan untuk mencapai tujuan tertentu. Oemar Hamalik (2001: 86-87) mengungkapkan bahwa motivasi belajar dapat bersumber dari dalam diri siswa sendiri berdasarkan kebutuhan, dorongan, dan kesadaran pada tujuan belajar. Motivasi ini disebut motivasi intrinsik. Motivasi belajar dapat juga tumbuh berkat rangsangan atau tekanan dari luar, misalnya hadiah, ganjaran, tekanan, yang disebut dengan motivasi ekstrinsik. Kedua motivasi ini berdaya guna dalam proses belajar dan sangat berpengaruh terhadap tujuan pembelajaran.

3) Tujuan

Tujuan adalah pernyataan tentang perubahan tingkah laku yang diinginkan terjadi pada siswa setelah mengikuti kegiatan belajar-mengajar. Perubahan tingkah laku ini mencakup perubahan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.

(36)

21

cinta dan peka terhadap sastra sehingga kelak setelah anak didik dewasa maka dewasa pula ia dalam kegemaran, kemampuan penangkapan (apresiasi) dan penilaian terhadap nilai-nilai sastra. Dengan demikian pengajaran sastra itu tidak hanya mempunyai aspek-aspek latihan teori dan praktik, tetapi mempunyai pembentukan nilai watak dan sikap, di samping unsur-unsur kesenangan dan kenikmatan artistik.

4) Materi

Materi adalah merupakan segala bentuk informasi yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Materi dalam pembelajaran berhubungan dengan isi yang tercantum dalam kurikulum yang berlaku. B. Rahmanto (1998: 27-33) menyebutkan tiga aspek yang tidak boleh dilupakan jika ingin memilih bahan pembelajaran sastra, yaitu:

(a) bahasa, agar pengajaran sastra dapat berhasil, guru kiranya perlu mengembangkan keterampilan khusus untuk memilih bahan pengajaran yang bahasanya sesuai dengan tingkat penguasaan bahasa siswa;

(b) psikologis, dalam memilih materi pengajaran sastra hendaknya guru memperhatikan tahap ini karena sangat besar pengaruhnya terhadap minat dan keengganan anak didik dalam banyak hal. Tahap perkembangan psikologis ini sangat besar pengaruhnya bagi daya ingat, kemauan mengerjakan tugas, kesiapan bekerja sama, dan kemungkina pemecahan masalah yang dihadapi; dan

(c) latar belakang budaya, masalah-masalah yang ditampilkan oleh suatu karya seyogyanya mendekati dengan apa yang dihadapi oleh para siswa dalam kehidupan sehari-hari.

5) Metode dan Model Pembelajaran

(37)

Winarno Surakhmad (1994: 131) menyatakan bahwa metode merupakan cara utama yang dipergunakan untuk mecapai tujuan. Dengan kata lain, metode dalam hal ini adalah cara yang digunakan untuk memberi kesempatan kepada siswa untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran yang baik tentunya diperlukan suatu cara yang efektif dan efisien sehingga ketercapaian pembelajaran yang baik dapat terealisasikan.

Pada kurikulum KTSP guru diberikan kebebasan untuk memanfaatkan berbagai macam metode dan model pembelajaran. Guru perlu memanfaatkan berbagai macam metode pembelajaran yang dapat membangkitkan minat, perhatian, dan kreativitas peserta didik, seperti ceramah, tanya jawab, demonstrasi. Selain metode, penggunaan model pembelajaran yang sesuai akan menjadikan pembelajaran menjadi menarik dan menyenangkan.

Model pembelajaran CTL, kooperatif, dan quantum merupakan beberapa alternatif model pembelajaran PAIKEM yang dapat diterapkan oleh guru.

Trianto (2007: 103-104) pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual, yaitu (1) konstruktivisme (constructivism), (2) inkuiri (inquiry), (3) bertanya (questioning), (4) masyarakat belajar

(learning community), (5) pemodelan (modeling), (6) refleksi

(reflection), dan (7) penilaian outentik (authentic assessment).

(38)

23

Model pembelajaran quantum berorientasi pada penciptaan pola interaksi pembelajaran yang efektif. Beberapa cara yang dilakukan dengan

quantum learning, yakni: berpartisipasi dengan cara mengubah keadaan kelas dari yang semula biasa menjadi kelas yang menarik; memotivasi dan menumbuhkan minat siswa dengan menerangkan kerangka rancangan yang dikenal.

6) Media

Media yakni alat atau bahan yang digunakan untuk menyampaikan materi atau informasi pada siswa. Media tersebut dapat berupa media elektronik maupun nonelektronik. Media yang digunakan oleh guru bisa audio, visual, maupun audio-visual. Media pada umumnya berfungsi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi komunikasi dalam proses belajar mengajar. Selain itu, dengan adanya penggunaan media diharapkan akan menarik minat siswa dalam belajar. Media pembelajaran merupakan media yang digunakan dalam pembelajaran, yaitu meliputi alat bantu guru dalam mengajar serta sarana pembawa pesan dari sumber belajar ke penerima pesan belajar (siswa). Wina Sanjaya (2008: 175) menjelaskan bahwa media dalam proses pembelajaran dapat diartikan sebagai alat bantu untuk mempermudah pencapaian tujuan pembelajaran. Penentuan media pembelajaran harus sesuai dengan karakteristik peserta didik dan kondisi lingkungan. Suatu media yang digunakan tidak mungkin cocok untuk semua siswa.

William Burton (dalam Moh. Uzer Usman, 2005: 32) memberikan petunjuk bahwa dalam memilih media yang akan digunakan dalam pembelajaran, hendaknya perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Alat-alat yang dipilih harus sesuai dengan kematangan dan pengalaman siswa serta perbedaan individual dalam kelompok. b. Alat yang dipilih harus tepat, memadai, dan mudah digunakan. c. Harus direncanakan dengan teliti dan diperiksa terlebih dahulu. d. Penggunaan alat peraga disertai kelanjutannya, seperti dengan

(39)

e. Sesuai dengan batas kemampuan biaya.

Media pendidikan merupakan alat komunikasi untuk lebih mengefektifkan proses belajar mengajar. Dengan demikian, media pendidikan merupakan dasar yang sangat diperlukan, yang bersifat melengkapi demi berhasilnya proses pembelajaran di sekolah. Kehadiran media dalam proses pembelajaran sastra harus menunjang keberlangsungan pola pikir, berbicara, dan bertanya siswa. Sesuai dengan kondisi pendidikan di Indonesia, guru diharapkan secara kreatif dan mempunyai daya inovatif untuk mengembangkan, mendayagunakan imajinasinya untuk memilih media yang ada serta menciptakan dan mengembangkan media yang baru sehingga dapat menciptakan pembelajaran sastra yang aktif, kreatif, efektif, dan juga menyenangkan. 7) Evaluasi

Evaluasi adalah cara yang digunakan untuk memperoleh informasi yang akurat mengenai penyelenggaraan pembelajaran dan keberhasilan belajar siswa. Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui tingkat keberhasilan dan kegagalan tujuan yang telah ditetapkan. Oemar Hamalik (2001 : 30) mengungkapkan bahwa aspoek-aspek yang dinilai dalam evalusi didasarkan pada, tujuan yang hendak dicapai dan kemampuan apa yang hendak dikembangkan (pengetahuan, sikap, dan keterampilan).

Mengenai pembelajaran, disebutkan bahwa istilah pembelajaran sama dengan instruksi atau pengajaran mempunyai arti yaitu cara (perbuatan) mengajar atau mengajarkan. Jadi, pengajaran dapat pula disamakan dengan proses belajar mengajar yang dilakukan oleh siswa dan guru (dalam Gino dkk, 2000: 30). Dapat disimpulkan yaitu pengajaran dan pembelajaran merupakan dua hal yang pada hakikatnya sama, meski istilah yang digunakan tidak sama.

(40)

25

siswa baik meliputi kemampuan dasarnya, motivasinya, latar belakang sosial ekonomi, dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan kesiapan seorang guru untuk mengenal karakteristik siswa dalam pembelajaran merupakan modal utama penyampaian bahan belajar dan menjadi indikator suksesnya pelaksanaan pembelajaran.

Berdasarkan definisi-definisi pembelajaran yang diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa pembelajaran adalah perpaduan antara guru dan siswa yang terkemas dalam sebuah interaksi aktif dengan mengoptimalkan faktor internal maupun eksternal untuk mencapai tujuan pembelajaran berupa perubahan yang dialami oleh peserta didik, perubahan itu meliputi aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik.

b. Pengertian Apresiasi

Kata “apresiasi” secara etimologis berasal dari bahasa Latin “apreciatio”

yang berarti “menghargai”. Dalam bahas Inggris “appreciate” berarti “menyadari, memahami, dan menilai”, memiliki makna “penghargaan, pemahaman, dan penghayatan”. Kata apresiasi dalam bahasa Indonesia memilliki makna yang sejajar dengan kata apreciato (Latin), dan appreciation (Inggris) tersebut. Apresiasi sastra berarti berusaha menerima karya sastra sebagai sesuatu yang layak diterima dan menerima nilai-nilai sastra sebagai suatu kebenaran.

(41)

Pada pihak lain, Squire dan Taba (dalam Suranto, 2006: 48) berpendapat bahwa suatu proses apresiasi melibatkan tiga unsur inti; (1) aspek kognitif, berkaitan dengan keterlibatan intelek pembaca atau penikmat dalam memahami unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif; (2) aspek emotif, berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi pembaca atau penikmat dalam upaya menghayati unsur-unsur keindahan dalam karya sastra yang dibaca atau yang ditonton. Selain itu, aspek emosi sangat berperan dalam memahami unsur-unsur yang bersifat subjektif; (3) aspek evaluatif, berhubungan dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap baik buruk, indah tidak indah, sesuai tidak sesuai, serta jumlah ragam lain yang tidak harus hadir dalam sebuah karya kritik, tetapi secara personal dimiliki pembaca atau penikmat. Keterlibatan unsur penilaian dalam hal ini masih bersifat umum, sehingga setiap apresiator yang telah mampu merespon teks sastra yang dibaca sampai pada tahap pemahaman dan penghayatan, sekaligus juga mampu mengadakan penilaian.

Berdasarkan dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa apresiasi drama adalah memahami, menghayati, menghargai karya drama dengan jalan mendengarkan, membaca, menyaksikan, memerankan, mementaskan drama serta membuat resensi drama.

Abdul Rozak Zaidan (dalam Herman J. Waluyo, 2003: 44) menjelaskan bahwa syarat untuk mengapresiasi sastra adalah kepekaan batin terhadap nilai-nilai karya sastra, sehingga seseorang dapat: (1) mengenal; (2) memahami; (3) mampu menafsirkan; (4) mampu menghayati; (5) dapat menikmati karya sastra tersebut.

c. Pengertian Apresiasi Drama

(42)

27

kualitas karya sastra serta pemberian nilai yang wajar kepadanya berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang jelas, sadar, serta kritis.

Dalam mengapresiasi drama diperlukan kecerdasan, kehalusan perasaan, dan daya khayal yang cukup lincah. Demikan juga untuk mementaskannya. Hal itu disebabkan kita harus menangkap makna drama dari dilog-dialog yang kadang-kadang menggunakan bahasa yang bukan bahasa sehari-hari, bahkan kadang-kadang dengan bahasa yang berkadar estetika atau filosofis tinggi (Herman J. Waluyo, 2002: 194).

Fowler (dalam Herman J. Waluyo, 2006: 202) menjelaskan bahwa apresiasi drama, khususnya pementasan drama dan prosa dapat dibagi atas empat tingkat apresiasi, yaitu:

1) Pembaca yang telah dapat merasakan karya sastra itu sebagai sesuatu yang hidup, dengan pelakunya-pelakunya yang mengagumkan. Mereka telah dapat terbawa dalam cerita atau drama yang sedang dibacanya, yang sering diiringi dengan tertawa, menangis, membeci seseorang pelaku dan sebagainya. Jadi, mereka telah menggemari karya yang dibaca atau ditontonnya.

2) Pembaca drama yang telah dapat melihat dalamnya perasaan manusia atau jika mereka telah dapat mengungkapkan rahasia kepribadian para pelaku suatu drama telah selangkah lebih maju dari pembaca di atas. Pada tingkat ini pembaca drama tidak saja minikmati kejadian-kejadian dalam drama secara badaniah, tetapi lebih banyak pada apa yang terjadi dalam pikiran pelaku, tingkat ini juga dinamakan tingkat menikmati.

3) Pembaca drama yang telah dapat membandingkan satu drama dengan yang lain dapat memberi pendapatnya mengenai satu karya, telah dapat membaca karya yang lebih sulit dengan kenikmatan. Tingkat ini dapat dikatakan tingkat ketiga apresiasi drama, di mana telah dapat reaksi. 4) Pada tingkat keempat apresiasi drama, pembaca telah dapat melihat

(43)

respon pada daya sastra yang merangsang mereka berpikir, diteruskan dengan memberi respon pada seni yang disajikan sastrawan dan juga mereka telah dapat menghasilkan karya sendiri. Tingkat ini disebut tingkat kreatif.

Berdasarkan dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa apresiasi drama adalah memahami, menghayati, menanggapi, dengan jalan mendengarkan, menyaksikan, memerankan, mementaskan drama, serta membuat resensi drama dalam rangka menilai dan menghargai karya drama tersebut.

Kegiatan apresiasi drama ini menyebabkan seseorang memahami drama secara mendalam, mampu merasakan apa yang ditulis oleh dramawan (penulis naskah drama), mampu menyerap nilai-nilai yang terkandung di dalam drama, menghargai drama sebagai karya seni dengan kekurangan dan kelebihannya. d. Strategi Pembelajaran Apresiasi Drama

Pelaksanana pembelajaran akan menjadi semakin mudah apabila mengunakan strategi tertentu dalam penyampaian materi, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Strategi pembelajaran drama yang menjadi patokan pembahasan adalah strategi pembelajan yang berkaitan (1) strategi pembelajaran teks drama dan (2) strategi pembelajaran drama pentas. Pada strategi bagian strategi pembelajaran teks drama akan diuraikan strategi yang berbentuk: a) strategi Stratta, b) langkah-langkah penyajian, c) strategi induktif model Taba, d) strategi analisis, e) strategi sinektik (model Gordon), f) role playing (bermaian peran), g) simulasi. Pada bagian strategi pembelajaran diuraikan strategi yang berbentuk: a) pementasan drama di kelas, b) pementasan drama oleh teater sekolah, c) teknik pembinaan apresiasi drama, dan d) catatan tambahan tentang pemilihan materi.

1) Strategi Pembelajaran Teks Drama a) Strategi Stratta

(44)

29

pengajaran drama, guru harus memberikan rangsangan untuk mempersiapkan siswa untuk membaca atau menonton suatu drama; (2) pada tahap interprestasi, hasil bacaaan atau tontotnan mereka (siswa) didiskusikan dengan pertanyaan-pertanyaan menggali oleh guru, mengenai kesan mereka, tokoh, latar, watak, dan lain-lain; (3) pada tahap rekreasi, guru melatih siswa membaca peran-peranya dan mencoba mementaskan kalau dapat. Kegiatan ini dapatr dilakukan dalam kelas tatap muka atau dan dilanjutkan di luar kelas sebagai tugas terstruktur.

b) Langkah-langkah Penyajian

Sebelum guru melaksanakan kegiatan pembelajaran drama di kelas harus melakukan persiapan terlebih dahulu. Persiapan tersebut antara lain persiapan memilih bahan yang cocok dalam mengajar dan persiapan guru sebelum membawa bahan tersebut di kelas, supaya dalam pelaksanaan mengajarnya dapat terlaksana dengan baik seperti melakukan penjajagan

terlebih dahulu terhadap bahan yang akan diajarkan dan siswa yang diajar,

interprestasi yang dimaksudkan untuk membandingkan pemahaman atau pendapat siswa mengenai drama dengan pendapat yang terdapat dari buku materi, rekreasi ini adalah tingkat pelaksanaan atau praktik bermain drama.

c) Strategi Induktif Model Taba

(45)

d) Strategi Analisis

Strategi ini menitikberatkan pada proses analisis terhadap tema sebagai hasil akhir, setelah penokohan, plot, hubungan sebab akibat, dan sebagainya, yang kemudian disusul dengan pemahan hal atau unsur yang abstrak dari naskah drama. Strategi analisis di dalam kelas, menurut Wardhani (dalam Herman J. Waluyo, 2006: 193) menempuh tiga langkah, yaitu sebagai berikut.

(1) Membaca secara keseluruhan yang menimbulkan kesan pertama bagi siswa, dimana mungkin akan timbul kesan yang berbeda-beda. (2) Analisis, yang akan menimbulkan kesan yang lebih objektif.

(3) Memberikan pendapat akhir yang merupakan perpaduan antara respon yang sebjektif dari siswa dengan analisis yang objektif yang dilakukan.

e) Strategi Sinektik (Model Gordon)

Strategi ini dikombinasikan unsur-unsur yang berbeda dan nyata. Strategi tersebut dikembangkan oleh Gordon. Ada tiga langkah dalam metode sintetik ini, yaitu (1) analogi langsung (direct analogy), memerlukan penjajaran problem yang dihayati setelah membaca atau menonton drama secara pararel; (2) analogi personal merupakan hasil dari analogi langsung yang harus dicatat, dianalisis secara personal. Dalam hal ini siswa akan mengidentifikasi masalah yang dibahas. Siswa harus mencoba berpikir dan merasa, bagaimanakah seandainya dia itu penulis drama tersebut; (3) konflik kempaan merupakan hasil dari analisis personal yang akan mempertahankan dua sudut pandangan yang berbeda. Dengan konflik kempaan juga akan ditemukan pengertian atau wawasan baru.

f) Bermain Peran

(46)

31

yaitu (1) memotivasi kelompok, (2) memilih peran (casting), (3) menyiapkan pengamat, (4) menyiapkan tahap-tahap peran, (5) pemeranan (pentas di depan kelas), (6) diskusi dan evaluasi I (spontanitas), (7) pemeranan (pentas ulang), (8) diskusi dan evaluasi (pemecahan masalah, dan (9) membagi pengalaman dan menarik generalisasi. Melalui strategi pembelajaran drama role playing dapat dicapai aspek perasaan, sikap, nilai, persepsi, keterampilan pemecahan masalah, dan pemahaman terhadap pokok permasalahan.

g) Simulasi

Dalam pembelajaran drama, strategi simulasi merupakan strategi yang digunakan untuk memberikan kemungkinan kepada siswa agar dapat menguasai suatu keterampilan melalui latihan dalam situasi tiruan. Prinsip-prinsip simulasi adalah: (1) harus ada tujuan kegiatan artinya keterampilan berbahasa apa yang harus dikuasai; (2) siswa dibagi dalam kelompok-kelompok dengan tugas melakukan simulasi (sama atau beda); (3) penentuan topik dan peran disesuaikan dengan kemampuan bahasa, tingkat sekolah, dan situasi; (4) di samping tujuan pokok, diarahkan tujuan lain baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik; (5) berikan petunjuk tentang peran, situasi, dan pembagian tugas-tugas (Herman J. Waluyo, 2002: 191). 2) Strategi Pembelajaran Drama Pentas

Dalam hal pementasan drama, guru dapat berperan sebagai sutradara, akan tetapi dapat sebagai pengaruh. Dalam hal ini guru dibantu oleh pekerja teater yang bertugas melatih aktor/aktris dan memimpin pementasan. Pementasan drama ini dalam pelaksanaanya dapat diselenggarakan di kelas sebagai bagian dari pengajaran bahasa dan dapat juga sebagai kegiatan ekstrakurikuler berteater.

a) Pementasan Drama di Kelas

(47)

kelompok mendapat giliran untuk berpentas, tentu saja dengan naskah drama yang berdurasi pendek. Hal ini dikarenakan dalam pengajaran drama di kelas, alokasi waktu di dalam kelas pun hanya sedikit. Setelah melakukan pementasan, sisa waktu yang tersedia digunakan untuk berdiskusi.

Pementasan drama di kelas ini hendaknya tidak dipentaskan di dalam kelas. Hal tersebut dikarenakan ruang kelas tidak sepenuhnya mendukung dalam sebuah pementasan. Aula merupakan salah satu tempat yang ideal untuk melaksanakan sebuah pementasan. Dengan alasan, aula sendiri sudah dirancang untuk sebuah pertunjukan, apabila pementasan dilakukan di dalam ruang kelas tentu akan menggangu kelas yang berada di sekitar kelas tersebut.

b) Pementasan Drama oleh Teater Sekolah

Herman J. Waluyo (2006: 200) berpendapat bahwa pementasan drama yang dipentaskan oleh teater sekolah sebaiknya naskah yang digunakan berdurasi antara 90 menit sampai 120 menit. Hal tersebut merupakan waktu yang ideal dalam sebuah pementasan teater. Pemilihan naskah yang digunakan dalam pementasan sekolah hendaknya dipilih naskah-naskah yang komunikatif, mudah dipahami, mempunyai konflik kuat, dan atraktif. Apabila naskah yang dibawakan membosankan dan terlalu lama, maka penonton pun akan lebih cepat untuk meninggalkan atau bahkan membuat kegaduhan sendiri. Hal tersebut akan merusak jalannya sebuah pementasan drama. Sebaiknya, apabila pementasan drama yang disajikan terlalu lucu maka efek yang ditimbulkan pun akan kurang baik.

(48)

33

c) Teknik Pembinaan Apresiasi Drama

Pembinaan yang dimaksudkan yaitu membina hal yang sudah terlaksana supaya lebih baik dan dapat juga berarti membuat yang belum ada, menyelenggarakan pembinaan. Sulitnya naskah drama dan belum tentu guru bahasa Indonesia mempunyai kemampuan menyutradarai drama, yang menjadikan pembelajaran drama kurang memuaskan.

Tanpa pembacaan naskah sendiri oleh siswa dan menonton pertunjukan drama sendiri, maka pembinaan sulit dilaksanakan. Pembinaan dapat dilakukan berupa (1) pembinaan dan pengembangan apresiasi drama. Dalam pembinaan ini guru dan siswa harus dilengkapi dengan bahan yang serasi untuk kelompok-kelompok yang diajarkan dan menguasai teknik mengajarkan drama dengan baik, serta dapat menyesuaikan teknik dan bahan jika diperlukan. Dengan buku-buku atau naskah-naskah drama yang cukup diberikan oleh guru yang mencintai drama diharapkan apresiasi siswa akan berangsur-angsur dapat berkembang; (2) aktivitas kelas dan kelompok, guru harus sering-sering membacakan drama dengan nyaring untuk memberi contoh dan sekaligus memperjelas watak pelaku. Pemutaran recorder atau video juga sangat bermanfaat sebagai sarana dalam memberi contoh drama yang baik.

d) Catatan Tambahan tentang Pemilihan Materi

Pemilihan bahan naskah drama untuk diajarkan harus memenuhi kriteria sebgai berikut.

(1) Sesuai dan menarik bagi tingkat kematangan para siswa.

(2) Tingkat kesulitan bahasanya sesuai tingkat kemapuan bahasa siswa yang akan menggunkannya. Apabila bahasanya terlalu sulit, maka apresiasi tidak mungkin baik.

(3) Bahasanya sedapat mungkin digunakan bahasa yang standar, kecuali kalau cerita memang memasalahkan penggunaan dialek. Penggunaan dialek sedikit mungkin tidaklah begitu jelek, tetapi jika dapat dihindarkan sebaik mungkin dihindari saja.

(49)

(5) Naskah hendaknya mempunyai ciri, yaitu adanya masalah yang jelas, tema atau tujuan yang jelas, perwatakan peranan, adanya penggunaan kejutan yang tepat, bertolak dari gagasan murni penulis, dan menggunkan bahasa yang baik.

e. Hakikat Pembelajaran Apresiasi Drama

Drama merupakan salah satu bagian dari karya sastra. Oleh karena itu, dalam mempelajari drama kita tidak dapat sepenuhnya lepas dari pembelajaran sastra secara umum, sehingga sebelum mempelajari mengenai pembelajaran apresiasi drama, ada baiknya apabila kita mempelajari terlebih dahulu mengenai pembelajaran apresiasi sastra.

Sastra adalah seni. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengajaran sastra adalah suatu kegiatan pembelajaran yang memacu siswa menemukan nilai-nilai yang teradapat dalam karya sastra yang bersangkutan. Untuk itu, siswa harus diarahkan dengan cara-cara yang tepat agar mampu memahami apa yang terkandung dalam karya sastra itu sendiri.

Pembelajaran apresiasi sastra Indonesia ialah memperkenalkan kepada siswa nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra dan mengajak siswa ikut menghayati pengalaman-pengalaman yang disajikan. Pembelajaran apresiasi sastra Indonesia bertujuan mengembangkan kepada siswa terhadap nilai-nilai indrawi, nilai akali, nilai afektif, nilai keagamaan, dan nilai sosial, secara sendiri-sendiri, atau gabungan keseluruhan, seperti tercemin di dalam karya sastra. Pada hakikatnya pengajaran sastra adalah menciptakan secara bersama dalam kelas.

“Creative drama in education increases durability of the knowledge that theindividuals experience in a learning environment where they can express themselves freely. Therefore, creative drama needs to be compulsory a part of all teacher education programs in each department of faculty of education aiming to prepare future classroom teachers for all grade levels. Also, the findings of this research suggest that creative drama should be an indispensable part of education and its use should be promoted in in-service teacher training programs and there needs to be efforts to make creative drama continually usable at schools.” (Ozdemir dan Cakmak, 2008: 27)

(50)

35

dengan bebas. Oleh karena itu, drama kreatif perlu dalam dari semua program jenjang pendidikan dan semua tingkatan kelas. Drama kreatif sangat dibutuhkan bagian dari pendidikan dan penggunaannya harus dikembangkan bagi guru sehingga membuat drama kreatif yang secara terus menerus dapat dipakai di sekolah.

Pembelajaran apresiasi drama merupakan bagian dari pembelajaran apresiasi sastra. Moody (dalam B. Rahmanto, 1998: 16-25) mengungkapkan bahwa pembelajaran apresiasi sastra dapat membantu pendidikan scara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu:

1) Membantu keterampilan berbahasa

Dengan pengajaran apresiasi sastra, siswa dapat melatih keterampilan menyimak dengan mendengarkan suatu karya sastra yang dibacakan oleh guru, teman, atau pita rekaman. Siswa dapat melatih keterampilan berbicara dengan ikut berperan dalam suatu drama. Siswa dapat juga meningkatkan keterampilan membaca dengan membacakan puisi atau prosa cerita. Siswa dapat mendiskusikannya dan kemudian menuliskan hasilnya sebagai latihan keterampilan menulis.

2) Meningkatkan pengetahuan budaya

Setiap sistem pendidikan kiranya perlu disertai usaha untuk menanamkan wawasan pemahaman budaya bagi setiap anak didik. Salah satu tugas yang utama pengajaran adalah memperkenalkan anak didik dengan sederetan kemajuan yang dicapai manusia di seluruh dunia tanpa merusak kebanggaan atas kebudayaan yang mereka miliki sendiri. Begitu pula dengan pengajaran apresiasi sastra, jika dilaksanakan dengan bijaksana, dapat mengantar anak didik berkenalan dengan pribadi-pribadi dan pemikir-pemikir besar dunia serta pemikiran-pemikiran utama dari zaman ke zaman.

3) Mengembangkan cipta dan rasa

(51)

peraba. Dengan tafsiran serta makna kata-kata yang diungkapkan pengarang melalui karya-karyanya, anak didik akan diantar untuk mengenali berbagai pengertian dan mampu membedakan satu hal dengan yang lain, misalnya kuning dengan keemasan, bising dengan menggemparkan, harum dengan busuk, serta masih banyak lagi.

4) Menunjang pembentukan watak

Dalam nilai pengajaran sastra ada dua tuntutan yang dapat diungkapkan sehubungan dengan watak ini. Pertama, pengajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih tajam. Seseorang yang telah banyak mendalami berbagai karya sastra biasanya mempunyai perasaan yang lebih peka untuk menunjuk hal mana yang bernilai dan mana yang tak bernilai. Tuntutan kedua, bahwa pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian siswa yang antara lain meliputi ketekunan, kepandaian, pengimajian, dan penciptaan.

Herman J. Waluyo (2006: 165) menyatakan pembelajaran drama sebagai penunjang pemahaman bahasa berarti untuk melatih keterampilan membaca (teks drama) dan menyimak atau mendengarkan (dialog dalam drama, mendengarkan. drama radio, televisi, dan sebagainya. Sementara sebagai penunjang latihan penggunaan bahasa dengan maksud yaitu melatih keterampilan menulis (teks drama, resensi drama, dan sebagainya) dan wicara (dialog-dialog dalam pementasan drama).

Gambar

Gambar 1: Alur Kerangka Berpikir
Tabel 1. Waktu dan Kegiatan Penelitian
Gambar 2. Analisis Interaktif (Miles & Huberman dalam Tjetjep R, 1992:23).
Tabel 2. Waktu Pelaksanaan Pembelajaran

Referensi

Dokumen terkait

fenomena sifat koligatif larutan dalam kehidupan sehari-hari. - Membedakan sifat koligatif larutan elektrolit dan non elektrolit. - Reaksi reduksi dan oksidasi dalam

Oleh sebab itu, umat Islam harus dapat menyadari bahwa puasa sebagai suatu peluang yang berharga diberikan Allah untuk melihat siapa yang akan keluar menjadi pemenang setelah

Keuntungan yang diharapkan sebesar 50% dari biaya pokok maka petani dapat menyewakan traktornya sebesar Rp 581.454/Ha.Dengan menggunakan perhitungan analisa kelayakan usaha yang

Berdasarkan hasil penelitian di unit pendaftaran pasien rawat jalan RS Ken Saras tahun 2016 pada karakteristik petugas terlihat pada tingkat pendidikan petugas bahwa 9

5 Saya mampu untuk berhubungan baik dengan orang lain sekalipun suasana hati saya saat itu sedang tidak baik.. 6 Saya tidak dapat menjelaskan dengan tepat emosi

pengurangan, dan sebagainya) dari seluruh transaksi yang tercantum dalam Daftar Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye dengan cara melakukan perhitungan

lainnya clopat menerapkan konsep window system im. Sedangkan umuk di Pelahuha11 Tnsaku. 1'1' l'elayaron Meratus sebagat saloh salu mitra dori PT PT:I.IN/X),Iu(Za

Terapi ACT adalah suatu terapi yang menggunakan konsep penerimaan, kesadaran, dan penggunaan nilai-nilai pribadi untuk menghadapi stresor internal jangka panjang, yang