• Tidak ada hasil yang ditemukan

Population dynamics and stock assesment of blue swimmer crab (Portunus pelagicus Linnaeus) resource in Pati and Adjacent Waters

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Population dynamics and stock assesment of blue swimmer crab (Portunus pelagicus Linnaeus) resource in Pati and Adjacent Waters"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA POPULASI DAN PENGKAJIAN STOK

SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus Linnaeus) DI

PERAIRAN KABUPATEN PATI DAN SEKITARNYA

TRI ERNAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dinamika Populasi dan Pengkajian Stok Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Kabupaten Pati dan sekitarnyaadalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2013

Tri Ernawati

(4)
(5)

RINGKASAN

TRI ERNAWATI. Dinamika Populasi dan Pengkajian Stok Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus) di Perairan Kabupaten Pati dan Sekitarnya. Dibimbing oleh MENNOFATRIA BOER dan YON VITNER.

Selama dua dekade sumberdaya rajungan (P.pelagicus) di Perairan kabupaten Pati telah dieksploitasi secara terus-menerus. Alat tangkap utama yang digunakan adalah bubu lipat. Saat ini ada indikasi penurunan hasil tangkapan rajungan. Kondisi tersebut disebabkan jumlah populasi rajungan menurun yang disebabkan oleh tekanan penangkapan yang terus menerus. Keadaan tersebut merupakan suatu tantangan dan permasalahan yang cukup berat dalam melakukan pengelolaan sumberdaya rajungan. Penelitian ini bertujuan mengkaji: 1) penyebaran dan kelimpahan stok sumberdaya rajungan serta faktor-faktor lingkungan, 2) aspek reproduksi rajungan, 3) rata-rata ukuran pertama kali matang gonad (Lm) dan rata-rata ukuran pertama kali tertangkap (Lc), 4) dinamika populasi rajungan seperti sebaran ukuran, laju pertumbuhan, laju mortalitas dan umur, 5) status dan tingkat pemanfaatan (exploitation rate) sumberdaya rajungan dan 6) opsi pengelolaan rajungan untuk merencanakan pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan.

Penelitian telah dilakukan dari bulan Januari 2012 sampai dengan bulan Maret 2013, terbagi dalam tiga bagian terdiri dari observasi di tempat pendaratan, observasi di laut dan pengamatan di laboratorium. Daerah penelitian terbagi dalam tiga zona yang merupakan fishing ground nelayan rajungan yang berbasis di Alasdowo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Data yang dikumpulkan terdiri data lingkungan, biologi (ukuran, bobot, jenis kelamin dan TKG) dan hasil tangkapan (buku bakul dan experimental fishing).

Kondisi lingkungan perairan laut Pati pada Musim Timur dan Musim Barat cukup optimum untuk pertumbuhan rajungan, sehingga sebaran hasil tangkapan rajungan berdasarkan musim dan tipe substrat relatif sama (p<0.05). Hasil tangkapan rajungan per satuan upaya (CPUE) di zona penangkapan 1, 2 dan 3 dipengaruhi oleh siklus bulan (p<0.05). CPUE di zona 1 dan 3 pada musim Barat dan Timur adalah relatif sama (p>0.05). Sedangkan CPUE musim barat lebih tinggi dibandingkan musim timur di zona 2 (p<0.05).

Nisbah kelamin pada musim Barat relatif seimbang (p>0.05). Nisbah kelamin pada musim Timur relatif tidak seimbang, kecenderungan betina lebih banyak dibanding jantan (p<0.05). Reproduksi rajungan di perairan Pati terjadi sepanjang tahun. Rata-rata. Ukuran rata-rata pertama kali matang gonad (Lm) rajungan betina berada pada ukuran lebar karapas 107 mm. Jumlah telur atau fekunditas rajungan di perairan Pati berkisar antara 351 214 sampai 1 347 029 butir dengan rata-rata 957 196 butir.

(6)

September hingga November berukuran relatif lebih besar dibandingkan di bulan-bulan lainnya, diduga bahwa rajungan-rajungan tersebut secara umum sudah memasuki fase dewasa dan telah matang gonad.Ukuran rata-rata rajungan pertama kali tertangkap (Lc) bubu lipat adalah 108 mm.

Hubungan lebar karapas dan bobot rajungan jantan dan betina adalah bersifat alometrik positif (p<0.05). Faktor kondisi bulanan jantan dan betina relatif sama, pada betina dipengaruhi oleh proses pematangan gonad. Laju pertumbuhan jantan lebih cepat dibandingkan betina dengan ditunjukkan nilai K yang lebih tinggi. Laju pertumbuhan rajungan di zona 2 paling cepat dibandingkan di zona 1 dan 3. Pola pertumbuhan rajungan masih cukup baik namun tingkat pemanfaatan relatif tinggi dan cenderung over fishing.

Opsi pengelolaan sumberdaya rajungan, antara lain: 1) pelarangan kegiatan penangkapan di area muara dan pinggiran pantai (zona 2), 2) pelepasan kembali rajungan-rajungan betina yang tertangkap dalam kondisi sedang mengerami telur, 3) dilakukan pengaturan tentang minimum legal size yang didasarkan pada rata-rata ukuran pertama kali matang gonad dan 4) pembatasan dan pengurangan upaya penangkapan.

(7)

SUMMARY

TRI ERNAWATI. Population Dynamics and Stock Assesment of Blue Swimmer Crab (Portunus pelagicus Linnaeus) Resource in Pati and Adjacent Waters. Supervised by MENNOFATRIA BOER and YON VITNER.

Blue swimmer crab ( P.pelagicus ) resource have been exploited continuously in Pati regency waters for two decades. The main fishing gear were used by portable traps. It was indicated crab catches decline. It’s caused by decline of crab population that have been fishing continuously. That is a problem to manage the crab resource . This study aims to assess: 1) the distribution and stock abundance of crab and it’s environmental factors, 2) aspects of crab reproduction, 3) the mean width at first capture (Lc) and mean width at the first maturity (Lm), 4) population dynamics such as size distribution, growth, mortality and age, 5) status and exploitation rate of crab resource and 6) management options for sustainable crab resource.

Research has been carried out from January 2012 to March 2013. It was divided into three parts, consisting of: observations at the landing base, observations at the sea and observations in the laboratory. Study area were divided into three zones which are crab fishermen fishing ground based in Alasdowo, Pati regency, Central Java. The data consists of environment parameters, biology ( size, weight, sex and TKG ) and the catch ( buku bakul and experimental fishing).

Marine environmental conditions were quite optimum for the growth of crab in East and West season, so the distribution of crab catches by season and different substrate are relatively similar (p < 0.05). Crab catch per unit effort ( CPUE ) in fishing zone 1, 2 and 3 are influenced by the lunar cycle (p <0.05). CPUE in zones 1 and 3 was relatively similar (p > 0.05) in the west and east season. While CPUE in West season was higher than east season ( p < 0.05 ).

Sex ratio is relatively balanced (p > 0.05) in West season. But sex ratio was not balanced in East season, it’s tendency that females more than males (p<0.05 ). Crab reproduction occured throughout the year in Pati waters. The mean carapace width at first maturity (Lm) of females were 107 mm. The fecundity of crab was ranged between 351 214 to 1 347 029 grains with an average at 957 196 grain.

The mean carapace width of the crab caught in zone 2 was smaller (105.2 mm for males and 106.8 mm for females) than the crab caught in the waters of the middle zone 1 and 3 ( p <0.05 ). The average crab in January and February are smaller than in other months due to decreased salinity waters. It made adult crabs which generally maturring were migrated to deeper waters. Crab size between September and November are relatively higher than in other months, alleged that the crabs generally have entered the mature phase and has matured gonad. The mean width at first capture (Lc) of crabs by portable trap was 108 mm .

(8)

growth pattern was good enough but exploitation is relatively height and tend to over fishing.

Based on the research results were derived management options for crab resources. The options of management are consists of : 1) prohibition of fishing activities in the estuary and coastal area (zone 2), 2) released the female crab that was in egg-bearing condition, 3) establish regulations concerning the minimum legal size that based on the mean width at first maturity and 4) limitation and reduction of fishing effort .

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

DINAMIKA POPULASI DAN PENGKAJIAN STOK

SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus Linnaeus) DI

PERAIRAN KABUPATEN PATI DAN SEKITARNYA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(12)
(13)

Judul Tesis : Dinamika Populasi dan Pengkajian Stok Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus) di Perairan Kabupaten Pati dan Sekitarnya

Nama : Tri Ernawati

NRP : C251110311

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Mennofatria Boer Ketua

Dr Yon Vitner, SPiMSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: (4 November 2013)

(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2012 sampai April 2013 adalah Dinamika Populasi dan Pengkajian Stok Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus) di Perairan Kabupaten Pati dan Sekitarnya. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof Dr Mennofatria Boer dan Bapak Dr Yon Vitner SPiMsi selaku pembimbing, serta Bapak Prof Dr Ali Suman dari Balai Penelitian Perikanan Laut yang telah banyak memberi dukungan dalam pelaksanaan penelitian. Penulis juga menyampaikan terima kasih yang mendalam kepada Bapak Agus Sunaryo dari Pos PSDKP-KKP Banyutowo Kabupaten Pati dan rekan-rekan kerja di Balai Penelitian Perikanan Laut serta berbagai pihak yang telah banyak membantu selama pengumpulan data.Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami, anak, ibu, bapak serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2011

(16)
(17)

DAFTAR ISI

3 PENGARUH SIKLUS BULAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN

PERSATUAN UPAYA RAJUNGAN 11

5 DISTRIBUSI UKURAN DAN UKURAN RATA-RATA PERTAMA KALI

(18)

6 PERTUMBUHAN, MORTALITAS DAN TINGKAT PEMANFAATAN 39

1 Parameter, suhu, salinitas dan substrat di Perairan Pati 8 2 Nisbah kelamin rajungan jantan dan betina pada musim Barat dan

Timur 20

3 Proporsi TKG belum matang dan matang pada musim timur dan barat 21 4 Deskripsi distribusi ukuran lebar karapas rajungan berdasarkan lokasi

penangkapan 29

5 Perbandingan ukuran rajungan antar zona penangkapan 30 6 Hasil analisa hubungan lebar karapas dan bobot rajungan (P.pelagicus)

total 43

7 Hasil analisa hubungan lebar karapas dan bobot rajungan (P.pelagicus)

berdasarkan zona penangkapan yang berbeda 43

8 Nilai parameter pertumbuhan rajungan di Perairan Pati 43 9 Nilai parameter pertumbuhan rajungan berdasarkan zona penangkapan. 44 10 Nilai parameter pertumbuhan rajungan di beberapa perairan 45 11 Nilai laju mortalitas dan tingkat pemanfaatan rajungan 48 12 Nilai laju mortalitas dan tingkat pemanfaatan rajungan per zona

penangkapan 48

(19)

DAFTAR GAMBAR

1 Peta lokasi penelitian 6

2 Komposisi hasil tangkapan bubu lipat pada Musim Barat dan Timur 8 3 Sebaran hasil tangkapan rajungan pada tipe substrat berbeda 9 4 Rata-rata CPUE zona 1 dan 3 berdasarkan siklus bulan dari periode

April 2012 sampai dengan Maret 2013 13

5 Rata-rata CPUE zona 2 berdasarkan siklus bulan dari periode Juli 2012

sampai dengan April 2013 14

6 Penentuan tingkat kematangan gonad 18

7 Persentase Tingkat Kematangan gonad Rajungan Betina 21

8 Ukuran rata-rata pertama kali matang gonad (Lm) rajungan betina 22 9 Hubungan lebar karapas dengan fekunditas rajungan 23

10 Bubu lipat yang digunakan untuk pengumpulan data rata-rata ukuran

pertama kali tertangkap rajungan 28

11 Persentase frekuensi ukuran rajungan jantan berdasarkan daerah

penangkapan 30

12 Persentase frekuensi ukuran rajungan betina berdasarkan daerah

penangkapan 31

13 Persentase frekuensi ukuran rajungan jantan dari bulan Januari 2012

sampai dengan Maret 2013 33

14 Persentase frekuensi ukuran rajungan betina dari bulan Januari 2012

sampai dengan Maret 2013 34

15 Kurva selektivitas bubu lipat rajungan 35

16 Hubungan lebar karapas dan bobot rajungan (P. pelagicus) 42 17 Faktor kondisi rajungan jantan dan betina di Perairan Pati dan

sekitarnya 44

18 Grafik Von Bertalanffy rajungan di perairan Pati dan sekitarnya 46 19 Kurva pertumbuhan rajungan di perairan Pati dan sekitarnya 46 20 Kurva pertumbuhan rajungan per zona penangkapan di perairan Pati

dan sekitarnya 47

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Jenis-jenis rajungan yang tertangkap di Perairan Pati dan sekitarnya 67 2 Jenis kelamin rajungan (Portunus pelagicus) 68 3 Unit perikanan tangkap bubu lipat di tempat pendaratan Alasdowo 69 4 Kegiatan penangkapan rajungan di Perairan Pati 70

5 Hasil tangkapan bubu lipat 71

6 Peralatan yang digunakan dalam sampling lingkungan perairan 72 7 Hasil analisis pengaruh perbedaan substrat terhadap sebaran rajungan 74 8 Hasil analisis pengaruh siklus bulan terhadap rata-rata CPUE 75 9 Hasil analisis perbandingan rata-rata CPUE pada musim barat dan

musim timur 76

(21)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rajungan adalah salah satu hasil perikanan laut yang memegang peranan penting dalam ekspor hasil perikanan Indonesia. Statistik DJP2HP (2012), mengemukakan bahwa selama tahun 2007 sampai dengan 2011 volume dan nilai ekspor rajungan cenderung meningkat. Namun di tahun 2009 terjadi penurunan volume dan nilai ekspor rajungan masing-masing sebesar 9.85% dan 26.75%. Tercatat volume ekspor rajungan pada periode 2009 adalah sebesar 18 673 ton dengan nilai 156 992 000 USD. Kemudian tercatat di tahun 2011 volume dan nilai ekspor rajungan terus mengalami peningkatan. Volume dan nilai ekspor rajungan tahun 2011 adalah masing-masing sebesar 23 089 ton dan 262 321 000 USD. Selanjutnya Fauzi (2013) menambahkan bahwa volume ekspor rajungan tahun 2012 adalah sebesar 28 212 ton dengan proyeksi nilai sebesar 329 724 000 USD, menduduki urutan ketiga setelah udang dan tuna.

FAO (2011) dalam Chu et al (2012) menyebutkan bahwa volume produksi rajungan Indonesia periode 1970 sampai dengan 2008 terjadi fluktuasi. Peningkatan produksi secara signifikan terjadi antara tahun 1970 sampai dengan 2004 diikuti dengan penurunan pada di tahun 2004 dan 2005 dan meningkat kembali pada tahun berikutnya. Pada tahun 2008 produksi rajungan Indonesia mencapai 34 000 ton dan memberi kontribusi 20% dari produksi secara global di dunia dan merupakan penghasil rajungan nomor dua setelah Cina.

Rajungan telah menjadi komoditas ekspor utama dalam sektor perikanan Indonesia sejak tahun 1994 sampai dengan 1998 dengan banyak nya permintaan pasar dari luar negeri khususnya dari Amerika Serikat. Ekspor rajungan Indonesia pertama kali adalah ke Amerika Serikat pada tahun 1994 oleh PT. Phillips Seafood. Sebelum tahun tersebut, nilai ekonomis rajungan relatif rendah karena hanya dikonsumsi secara lokal dengan harga yang relatif murah (SFP 2009).

Tingginya permintaan ekspor rajungan mendorong harga rajungan semakin mahal, sehingga merangsang nelayan untuk mengeksploitasi sumberdaya tersebut. Kondisi ini akan memacu peningkatan upaya penangkapan rajungan yang berakibat intensitas penangkapan terhadap rajungan semakin tinggi. Tingginya intensitas penangkapan dapat mengakibatkan upaya penangkapan yang berlebih.

(22)

2

Tantangan dalam pengelolaan sumberdaya rajungan masih sangat besar, karena belum ada kebijakan terkait pengelolaan sumberdaya tersebut. Salah satu unsur penting dalam penentuan pengelolaan sumberdaya adalah dengan mengetahui kondisi stok dan dinamika populasi sumberdaya nya. Pada kenyataannya informasi tentang kondisi stok dan dinamika populasi rajungan masih sangat terbatas. Oleh karena itu, pengkajian stok dan dinamika populasi rajungan dibutuhkan untuk menyusun langkah-langkah upaya pengelolaan rajungan.

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pati dan sekitarnya (provinsi Jawa Tengah) yang merupakan salah satu landingbase rajungan di Pantai Utara Jawa. Eksploitasi rajungan di wilayah tersebut dilakukan dengan menggunakan alat tangkap yang didominasi oleh bubu lipat. Jenis alat tangkap lain yang digunakan nelayan adalah jenis jaring kejer (gill net).

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1) Mengkaji penyebaran dan kelimpahan stok sumberdaya rajungan serta faktor-faktor lingkungan perairan yang mempengaruhinya

2) Mengkaji aspek reproduksi rajungan

3) Mengkaji rata-rata ukuran pertama kali matang gonad (Lm) dan rata-rata ukuran pertama kali tertangkap (Lc)

4) Mengkaji dinamika populasi rajungan (Portunus pelagicus) di perairan Pati dan sekitarnya, seperti sebaran ukuran, laju pertumbuhan, laju mortalitas dan umur,

5) Menganalisis status dan tingkat pemanfaatan (exploitation rate) sumberdaya rajungan

6) Mengkaji opsi pengelolaan rajungan untuk merencanakan pengelolaan yang rasional

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan manfaat antara lain sebagai berikut:

1) Menjadi bahan masukan dalam pengelolaan sumberdaya rajungan di perairan Pati dan sekitarnya sehingga pemanfaatannya dapat berkelanjutan 2) Memberikan informasi status terkini perikanan rajungan di Pati dan

(23)

3 Ruang Lingkup Penelitian

Perikanan rajungan (Portunus pelagicus) di daerah Alasdowo kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati masih bersifat tradisional (small scale fisheries) dan telah dikembangkan sejak tahun 1993. Selama periode tersebut hingga saat ini telah berkembang dua jenis alat tangkap yaitu jaring rajungan dan bubu lipat. Kedua jenis alat tangkap tersebut, dioperasikan oleh perahu dengan ukuran kurang dari 5 GT. Dalam perkembangannya, jaring rajungan tidak banyak digunakan karena kurang efisien. Setiap selesai digunakan, nelayan harus melakukan banyak perbaikan bahkan lebih sering harus ganti dengan jaring baru. Kondisi ini yang menyebabkan penggunaan jaring rajungan tidak diminati oleh nelayan, sehingga lebih memilih menggunakan bubu lipat. Pengoperasian bubu lipat terdiri dari dua tipe, yaitu : (1) dioperasikan di perairan pinggiran atau masih sekitar muara sungai dan estuari dengan kedalaman rata-rata kurang dari 12 meter, dan (2) dioperasikan di perairan tengah dengan kedalaman rata-rata di atas 12 meter sampai dengan 60 meter.

Bubu yang dioperasikan di daerah pinggiran/pantai biasanya direndam semalaman dari menjelang magrib hingga subuh (±12 jam). Setelah setting bubu selesai, nelayan langsung pulang dan kembali saat subuh untuk mengambil bubu yang telah dipasang sebelumnya. Umumnya jumlah bubu yang digunakan sebanyak 150 sampai dengan 300 buah.

Berbeda dengan bubu pinggiran, bubu yang dioperasikan di perairan tengah dipasang pada saaat menjelang magrib, direndam sekitar ± 6 jam. Lama hari operasi untuk tipe bubu tengah adalah 1 sampai dengan 4 hari per trip, tergantung kondisi perairan dan cuaca. Nelayan yang beroperasi lebih dari 1(satu) hari, hasil tangkapan rajungan yang diperoleh direbus terlebih dahulu untuk menjaga kualitas dagingnya. Jumlah bubu yang dipasang tiap kali setting/tawur adalah antara 400 sampai dengan 600 buah.

Selama periode tahun 1993 hingga saat ini (2013), produksi dan nilai produksi rajungan (P.pelagicus) belum tercatat dalam data Statistik Perikanan Tahunan Kabupaten. Padahal dalam kurun waktu selama hampir dua dekade, sumberdaya rajungan (P.pelagicus) di wilayah tersebut telah dieksploitasi secara terus-menerus. Berdasarkan informasi dari beberapa nelayan, kondisi saat ini ada indikasi penurunan hasil tangkapan rajungan. Kondisi ini menunjukkan bahwa ada kemungkinan jumlah populasi rajungan di daerah tersebut telah menurun yang disebabkan oleh tekanan penangkapan yang berlebih. Keadaan tersebut merupakan suatu tantangan dan permasalahan yang cukup berat dalam melakukan pengelolaan sumberdaya rajungan.

Beberapa masalah yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya rajungan di perairan Pati dan sekitarnya antara lain adalah :

1) Belum diketahui faktor-faktor lingkungan tertentu yang mempengaruhi kelimpahan stok rajungan, seperti kondisi perairan dan daerah penangkapan dengan dasar perairan yang berlainan 2) Belum adanya informasi tentang biologi populasi rajungan, antara

(24)

4

3) Belum diketahui indikator-indikator dinamika populasi yang diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya rajungan, meliputi umur dan laju pertumbuhan, mortalitas baik secara alami maupun karena penangkapan.

4) Belum diketahui rajungan yang tertangkap telah melakukan pemijahan,

(25)

5 2 SEBARAN RAJUNGAN

Pendahuluan

Rajungan adalah kelompok kepiting (Portunidae) yang merupakan bagian Krustase dari kelas Malacostraca dan ordo Decapoda. Decapoda telah banyak menjadi obyek penelitian karena mempunyai nilai ekonomis sangat tinggi dan juga karena keragaman jenisnya yang cukup banyak (Martin dan Davis 2001). Sebaran rajungan (Portunus pelagicus) meliputi perairan pantai tropis di sepanjang Samudera Hindia bagian barat, Timur Samudera Pasifik dan Indo-Pasifik barat (Kailola et al. 1993; Ng 1998). Pada umumnya rajungan hidup pada perairan bersuhu hangat. Di daerah Australia yang beriklim sedang, siklus hidup rajungan berkembang sempurna untuk pertumbuhan dan reproduksi ketika suhu perairan menyerupai kondisi daerah tropis. Kondisi tersebut terjadi saat bulan-bulan bersuhu hangat. Pada bulan-bulan lainnya rajungan bertahan pada suhu yang relatif

lebih dingin di lingkungan selatan Australia dengan mengurangi aktivitas (Svane dan

Hooper 2004).

Hewan-hewan umumnya tidak tersebar secara acak. Penyebaran sangat ditentukan oleh berbagai faktor antara lain: habitat, kebiasaan makan dan pemijahannya (Webley et al 2009). Hal tersebut juga terjadi pada rajungan. Rajungan tersebar di suatu habitat terkait dengan fase-fase siklus hidup nya. Rajungan jenis P.pelagicus, tersebar pada area yang sangat luas mulai dari habitat beralga hingga habitat lamun dan dari substrat berpasir hingga berlumpur. Rajungan tersebar dari zona intertidal (pasang surut) hingga ke zona dengan kedalaman lebih dari 50 meter (Edgar 1990). Pada perairan pantai, rajungan muda banyak ditemukan di perairan dangkal sementara rajungan dewasa banyak ditemukan di perairan yang lebih dalam (Smith 1982).

Suhu dan salinitas juga mempengaruhi pertumbuhan rajungan dan daya tahan rajungan terutama pada fase larva (Hill et al 1989). Pada umumnya rajungan menyukai perairan bersuhu hangat. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya pertumbuhan dan reproduksi terjadi pada saat kondisi perairan bersuhu hangat di daerah yang beriklim sub tropis (Dixon dan Hooper 2010). Larva rajungan dapat hidup pada kisaran salinitas yang relatif lebar yaitu pada kisaran 20 sampai dengan 36 ‰ dan salinitas optimumnya pada kisaran 27 sampai dengan 30 ‰. Suhu optimum untuk pemeliharaan larva rajungan adalah suhu tetap 30 oC dengan kisaran suhu antara 27 sampai dengan 32 oC (Juwana 1998).

(26)

6

Metode Penelitian

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di perairan laut Kabupaten Pati dan sekitarnya pada bulan Juli 2012 dan Februari 2013. Penentuan waktu penelitian dilakukan atas dasar untuk mewakili musimTimur (April sampai dengan September) dan Musim Barat (Oktober sampai dengan Maret). Daerah penelitian terbagi dalam tiga zona yang merupakan fishing ground nelayan rajungan yang berbasis di Alasdowo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah (Gambar 1). Masing-masing zona terdiri dari beberapa stasiun (zona 1 dan 2 terbagi 4 stasiun serta zona 3 terbagi 3 stasiun).

Gambar 1. Peta lokasi penelitian Pengumpulan Data

(27)

7 Pengambilan data parameter lingkungan dilakukan mengikuti pengambilan sampel tangkapan rajungan. Pada satu stasiun pengambilan sampel rajungan terbagi dalam 2 sampai dengan 4 sub stasiun untuk pengambilan data parameter lingkungan.

Analisis Data

Data parameter lingkungan dianalisa secara deskriptif dalam bentuk tabulasi. Sebaran hasil tangkapan rajungan berdasarkan substrat disajikan secara deskriptif dalam bentuk grafik. Untuk mengetahui pengaruh perbedaan substrat terhadap sebaran rajungan dilakukan analisis sidik ragam (ANOVA).

Hasil

Parameter Lingkungan

Berdasarkan hasil observasi di laut yang dilakukan pada bulan Juli 2012 (Musim Timur) dan Februari 2013 (Musim Barat) diperoleh jenis substrat yang berbeda. Hasil analisa substrat terbagi dalam tiga jenis, yaitu: pasir berlumpur, lumpur berpasir dan berlumpur. Suhu rata-rata berdasarkan musim adalah 28.2 (±0.39) oC pada musim timur dan 30 (±0.39) oC pada musim barat. Sementara salinitas rata-rata pada musim timur dan barat masing-masing adalah 34.8(±0.39) ‰ dan 31.8(±0.39) ‰. Suhu rata-rata pada zona 1, 2 dan 3 masing-masing adalah 28.3(±0.08) oC, 30.2(±1.49) oC dan 28.9(±0.16) oC. Demikian hal nya dengan salinitas rata-rata pada zona 1, 2 dan 3 adalah 34.8(±0.63) ‰, 32.3(±1.27) ‰ dan 32.2(±0.58) ‰ (Tabel 1).

Komposisi Hasil Tangkapan

Target utama bubu lipat adalah rajungan dengan jenis Portunus pelagicus. Hasil tangkapan bubu lipat yang diperoleh selama penelitian antara lain;

P.pelagicus, Charybdis feriatus, C.affinis, P.sanguinolentus dan Scylla serrata ( Gambar 2). Pada musim barat dan timur, hasil tangkapan didominasi oleh jenis

P.pelagicus masing-masing sebesar 60% dan 90%. Komposisi C.feriatus pada musim barat meningkat dibandingkan pada musim timur. Sebaliknya P.pelagicus

(28)

8

Tabel 1. Parameter suhu, salinitas dan substrat di Perairan Pati

Stasiun suhu (oC) Salinitas substrat Musim

Gambar 2. Komposisi hasil tangkapan bubu lipat pada Musim Barat dan Timur

Sebaran Rajungan

(29)

9

Gambar 3. Sebaran hasil tangkapan rajungan pada tipe substrat berbeda.

Pembahasan

Suhu rata-rata pada zona 1, 2 dan 3 masing-masing adalah 28.3 oC, 30.2 oC dan 28.9 oC. Salinitas rata-rata pada zona 1, 2 dan 3 adalah 34.8‰, 32.3‰ dan 32.2‰. Hasil penelitian tentang suhu dan salinitas optimum untuk perkembangan rajungan di Sub-kontinen Samudera India adalah suhu berkisar antara 28o dan 30 o

C dan salinitas berkisar antara 30‰ dan 35‰ (Ravi dan Manisseri 2012). Hasil serupa tentang suhu dan salinitas optimum untuk pertumbuhan dan perkembangan larva P.pelagicus dalam skala lab adalah 30 oC dan 30 ‰ (Ikhwanuddin et al

2012). Sehingga dapat dikatakan bahwa kondisi suhu dan salinitas diperairan Pati dan sekitarnya masih termasuk dalam kisaran optimum untuk hidup rajungan.

Komposisi hasil tangkapan pada musim Barat dan Timur adalah relatif sama dengan didominasi oleh jenis P.pelagicus. Komposisi C.feriatus pada musim barat meningkat dibandingkan pada musim timur. Sebaliknya P.pelagicus mengalami penurunan meskipun tetap mendominasi. Perubahan komposisi diduga karena adanya perbedaan fishing ground. Pada musim Barat (Februari 2013) daerah penangkapan tidak terlalu jauh berada di perairan yang lebih dekat dengan pantai (zona 2 dan 3) dan relatif dangkal pada kedalaman kurang dari 20 meter. Kemunculan C.feriatus atau dikenal dengan rajungan karang lebih banyak pada musim barat diduga karena terbawa ombak dan gelombang. Kondisi cuaca pada musim barat relatif kurang baik dengan ditunjukkan gelombang yang besar. Menurut Ng (1998), rajungan karang umumnya hidup di daerah sublitoral dan lebih menyenangi habitat berpasir atau pasir berlumpur pada kedalaman 30-60 meter. Yan et al (2004) menambahkan bahwa rajungan karang banyak hidup di habitat pantai berbatu termasuk daerah terumbu karang.

Hasil uji ANOVA terhadap hasil tangkapan berdasarkan tipe substrat yang berbeda, diperoleh ρ-value > 0.05. Hasil analisa tersebut menunjukkan bahwa hasil rajungan pada tipe substrat yang berbeda adalah relatif sama. Djunaedi (2009) menyatakan bahwa substrat dasar pasir, lumpur dan liat tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan rajungan. Menurut Edgar (1990),

(30)

10

rajungan dewasa lebih menyukai substrat berpasir atau lumpur berpasir pada perairan dangkal hingga kedalaman 50 m. Sedangkan Smith (1982) menjelaskan bahwa rajungan-rajungan muda banyak ditemukan di daerah mangrove dan berlumpur dengan ukuran lebar karapas mencapai 80 sampai dengan 100 mm. Oleh karena itu, sebaran hasil tangkapan berdasarkan perbedaan substrat adalah relatif sama karena masing-masing habitat adalah bagian dari siklus hidup rajungan.

Simpulan

1. Kondisi lingkungan perairan laut Pati pada Musim Timur dan Musim Barat cukup optimum untuk pertumbuhan rajungan.

(31)

11

3 PENGARUH SIKLUS BULAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN PER SATUAN UPAYA RAJUNGAN

Pendahuluan

Pengetahuan tentang pengaruh siklus bulan terhadap aktivitas organisme laut telah cukup banyak dipelajari. Siklus bulan berpengaruh terhadap perubahan kondisi lingkungan laut terkait dengan pencahayaan dan fluktuasi pasang-surut (Gliwicz 1986 dalam Hanson et al. 2008). Fluktuasi pasang-surut dapat mempengaruhi siklus hidup, aktivitas dan distribusi hewan-hewan yang hidup di perairan pantai, termasuk hewan-hewan yang bersifat benthik. Perubahan tingkah laku dan aktivitas dari hewan-hewan tersebut dapat mempengaruhi strategi penangkapan dalam kegiatan perikanan tangkap (Nishida et al. 2006).

Siklus bulan mempengaruhi molting dan proses kematangan kelamin pada Krustase khususnya Decapoda (Nascimento et al. 1991 dalam Camargo et al.

2002). Berbagai contoh pengaruh siklus bulan terhadap organisme, umumnya adalah hewan-hewan di daerah intertidal, salah satunya adalah kepiting biola (Uca

spp) (Courtney et al. 1996). Contoh lain adalah terhadap udang penaid (Penaeus schmitti), bahwa puncak kematangan kelamin selama periode siklus bulan terjadi pada fase bulan purnama (full moon) dan bulan baru (new moon). Sementara moulting umumnya terjadi pada fase antara periode bulan penuh dan bulan baru, yaitu fase perbani (Nascimento et al. 1991 dalam Camargo et al. 2002).

Siklus bulan dapat mempengaruhi hasil tangkapan nelayan untuk kelompok Krustase. Pada udang raja (Penaeus plebejus) di perairan pantai tenggara Queensland (Australia), rata-rata tangkapan per satuan upaya (CPUE) tertinggi terjadi saat menjelang fase bulan purnama dan kemudian menurun selama tujuh hari setelah fase bulan purnama (Courtney et al.1996). Hal serupa juga terjadi pada perikanan udang galah (Macrobrachium spp) di perairan estuari Cross River (Nigeria). CPUE udang galah tertinggi tercatat selama periode fase bulan purnama dan bulan baru. Sedangkan hasil CPUE terendah tercatat selama periode fase bulan perbani (Nwosu dan Holzlohner 2003).

Hasil-hasil penelitian sebelumnya telah banyak diinformasikan tentang pengaruh siklus bulan terhadap Krustase khususnya Decapoda, terhadap tingkah laku, molting dan reproduksi. Siklus bulan juga berpengaruh terhadap hasil tangkapan per satuan upaya untuk kelompok krustase. Oleh karena itu siklus bulan diduga mempunyai pengaruh terhadap hasil tangkapan per satuan upaya rajungan. Penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh sikus bulan dan musim

terhadap hasil tangkapan rajungan per satuan upaya.

(32)

12

Metode Penelitian

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Tempat Pendaratan Ikan Alasdowo, kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati pada bulan April 2012 sampai dengan April 2013 (Gambar 1).

Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan bersumber dari catatan buku bakul pengumpul rajungan. Buku bakul yang digunakan terdiri dari dua kelompok, yaitu: 1) catatan hasil tangkapan bubu lipat yang beroperasi dengan jarak kurang dari 2 mil dari

fishing base (zona 2) dan 2) catatan hasil tangkapan bubu lipat yang beroperasi lebih dari 3 mil (zona 1 dan 3). Buku bakul tersebut merupakan catatan hasil tangkapan harian nelayan-nelayan bubu dengan target tangkapan adalah rajungan. Catatan buku bakul yang dikumpulkan adalah selama satu tahun mulai dari bulan April 2012 sampai dengan April 2013.

Analisa Data

Hasil tangkapan dan banyak nya upaya yang tercatat dalam buku bakul diklasifikasikan ke dalam empat kelompok berdasarkan empat fase bulan: (1) bulan baru, (2) perbani awal, (3) bulan purnama dan (4) perbani akhir. Penentuan fase bulan dilakukan dengan mengikuti kalender siklus bulan yang diakses dari www.moonconnection.com. Hasil tangkapan per satuan upaya diperoleh, sebagai berikut :

= / Keterangan :

CPUE = jumlah hasil tangkapan per satuan upaya (kg/perahu/hari), C = jumlah hasil tangkapan rajungan per perahu (kg) dan E = jumah upaya harian rajungan (hari).

(33)

13 Hasil

CPUE Rajungan Zona 1 dan 3

Rata-rata CPUE harian rajungan zona 1 dan 3 pada fase bulan baru, fase perbani dan bulan purnama masing-masing adalah 49.58 (±20.44) kg/perahu/hari, 48.72 (±15.94) kg/perahu/hari dan 63.19 (±22.38) kg/perahu/hari. CPUE rata-rata pada fase bulan purnama dan bulan baru dalam sepanjang satu tahun (April 2012 sampai dengan Maret 2013) relatif paling tinggi dibandingkan pada fase perbani (Gambar 4). Pada bulan Agustus untuk fase bulan baru tidak diperoleh data CPUE. Pada fase tersebut, tidak ada nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan disebabkan libur lebaran (tanggal 15 sampai dengan 20 Agustus 2012).

Hasil perbandingan CPUE rata-rata pada fase bulan baru dan purnama dengan fase bulan perbani yang dilakukan dengan uji t-student diperoleh hasil sangat nyata (ρ<0.025). Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan CPUE pada fase bulan baru dan purnama dengan fase bulan perbani.

Gambar 4. Rata-rata CPUE zona 1 dan 3 berdasarkan siklus bulan dari periode April 2012 sampai dengan Maret 2013 (keterangan: NM=bulan baru, Q=perbani dan FM=bulan penuh).

Rata-rata CPUE berdasarkan musim adalah 49.54 (±22.61) kg/perahu/hari di musim barat dan 57.92 (±15.94) kg/perahu/hari di musim timur. Berdasarkan hasil uji t-student untuk melihat perbedaan CPUE di musim barat dan timur diperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan CPUE pada musim barat dengan musim timur (ρ>0.05).

Apr-12 Mei-12 Jun-12 Jul-12 Agt-12 Sep-12 Okt-12 Nop-12 Des-12 Jan-13 Feb-13 Mar-13

(34)

14

CPUE Rajungan Zona 2

Rata-rata CPUE harian rajungan pinggiran atau zona 2 pada fase bulan baru, fase perbani dan bulan purnama masing-masing adalah 5.74 (±2.55) kg/perahu/hari, 4.86 (±2.21) kg/perahu/hari dan 6.30 (±2.61) kg/perahu/hari. CPUE rata-rata berdasarkan siklus bulan pada fase bulan purnama dan bulan baru selama periode 10 bulan (Juli 2012 sampai dengan April 2013) relatif paling tinggi dibandingkan pada fase perbani (Gambar 4). Sama halnya dengan CPUE zona 1 dan 3, pada bulan Agustus untuk fase bulan baru tidak diperoleh data CPUE. Pada fase tersebut, tidak ada nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan disebabkan libur lebaran (tanggal 15 sampai dengan 20 Agustus 2012). Rata-rata CPUE berdasarkan siklus bulan pada periode bulan Juli, November dan Desember cenderung menunjukkan rata-rata relatif tinggi dibandingkan periode bulan lain. Hasil perbandingan CPUE rata-rata fase bulan baru dan purnama dengan fase bulan perbani diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan CPUE fase bulan baru dan purnama dengan fase bulan perbani (ρ<0.025).

Gambar 5. Rata-rata CPUE zona 2 berdasarkan siklus bulan dari periode Juli 2012 sampai dengan April 2013 (keterangan: NM=bulan baru, Q=perbani dan FM=bulan penuh).

Hasil rata-rata CPUE di zona 2 adalah 4.44 (±2.53) kg/perahu/hari di musim timur dan 6.36 (±2.21) kg/perahu/hari di musim barat. Berdasarkan hasil uji t-student untuk melihat perbedaan CPUE di musim barat dan timur diperoleh hasil berbeda nyata (ρ<0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan CPUE di zona 2 pada musim barat dengan musim timur. Pada musim barat CPUE lebih besar dibandingkan musim timur.

0

Jul-12 Agt-12 Sep-12 Okt-12 Nop-12 Des-12 Jan-13 Feb-13 Mar-13 Apr-13

(35)

15 Pembahasan

Pada fase bulan baru dan purnama kondisi air laut mengalami pasang tertinggi (spring tide) sedangkan pada fase perbani terjadi pasang laut perbani (neap tide). Pasang perbani adalah peristiwa terjadinya pasang naik dan pasang surut terendah. Selain berpengaruh terhadap fluktuasi pasang surut air laut, siklus bulan mempengaruhi intensitas cahaya dan lama penyinaran sehingga berpengaruh terhadap aktivitas organisme perairan (Gliwicz 1986 dalam Hanson

et al. 2008; Nishida et.al 2006). Perubahan aktivitas dan tingkah laku tersebut mempengaruhi hasil tangkapan rajungan.

CPUE rajungan dengan alat tangkap bubu lipat yang dioperasikan di perairan zona 2 (<3 mil) dan di perairan zona 1 dan 3 atau tengahan (3 mil <) diperoleh hasil relatif sama. Pada fase bulan baru dan purnama diperoleh rata-rata CPUE relatif tinggi dibandingkan pada fase perbani. Hal ini dapat dijelaskan bahwa rajungan umumnya bersifat nokturnal, aktif pada malam hari terutama untuk mencari makan. Pada fase purnama, intensitas cahaya optimum mampu menembus dasar perairan. Cahaya yang masuk menembus perairan yang lebih dalam hingga dasar perairan pada perairan dangkal tentu akan memudahkan rajungan untuk mencari makan.

Bubu lipat yang dioperasikan di dasar perairan menggunakan umpan ikan mati, sehingga lebih mudah terlihat pada saat terjadi terjadi bulan purnama. Ikan adalah salah satu makanan yang disenangi oleh rajungan setelah krustase dan moluska (Josileen 2011a). Lebih lanjut Zainal (2013) menjelaskan bahwa rajungan bersifat omnivora cenderung menyukai hewan dan pemakan bangkai (scavenger). Oleh karena itu peluang rajungan untuk masuk ke bubu tinggi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pada fase purnama dan bulan baru terjadi pasang tertinggi diduga pada kondisi tersebut distribusi mangsa dan makanan di kolom perairan melimpah (Robinson dan Gomez-Aguierre 2004) sehingga banyak rajungan berenang menuju kolom perairan (vertical migratory). Setelah air pasang mulai surut rajungan kembali ke dasar perairan. Saat rajungan-rajungan kembali ke dasar perairan peluang untuk masuk ke bubu (dianggap sebagai tempat perlindungan) lebih besar sehingga rajungan banyak tertangkap.

Rajungan lebih menyukai perairan yang gelap untuk melakukan moulting. Sehingga pada bulan baru, rajungan yang moulting lebih banyak ditemukan (Hamsa 1978). Berdasarkan hal tersebut, dapat dijelaskan bahwa pada saat bulan baru rajungan diduga lebih banyak berada di dasar perairan untuk melakukan moulting. Umumnya dalam melakukan moulting, rajungan mencari tempat yang terlindung dari predatornya. Sehingga peluang masuknya rajungan ke dalam alat tangkap bubu cukup besar karena dianggap bahwa bubu lipat sebagai tempat perlindungan yang aman.

(36)

16

Simpulan

(37)

17 4 REPRODUKSI RAJUNGAN

Pendahuluan

Reproduksi adalah suatu bagian dari siklus hidup suatu spesies. Kemampuan bereproduksi suatu spesies akan menentukan rekruitmen atau peremajaan pada suatu populasi. Hampir sebagian besar binatang laut bereproduksi dengan melepaskan dan menetaskan telur nya mejadi larva di laut terbuka. Larva-larva tersebut terapung sebagai plankton selama beberapa periode hari hingga beberapa bulan sebelum bermetamorfosis menjadi juwana (King 1995), termasuk rajungan.

Jantan dan betina rajungan mencapai kematangan kelamin pada lebar karapas antara 70 sampai 90 mm, ketika umurnya mendekati satu tahun. Jantan dan betina akan membentuk pre-korpula selama 8 sampai 10 hari sebelum ecdysis

betina. Setelah ecdysis betina, terjadi kopulasi selama 6 sampai dengan 8 jam ketika cangkang betina lunak (Meagher 1971 dalam Svane dan Hooper 2004).

Perkembangan gonad betina rajungan dipengaruhi oleh kondisi suhu perairan. Pada perairan sub tropis, reproduksi banyak terjadi ketika suhu perairan mendekati kondisi suhu perairan tropis (Svane dan Hooper 2004). Pada perairan tropis betina banyak ditemukan sedang mengerami telur sepanjang tahun (Kumar

et al. 2000 dalam Svane dan Hooper 2004). Kondisi lingkungan sangat berpengaruh dalam pematangan gonad. Meskipun demikian, pematangan gonad terjadi pada individu-individu yang telah mencapai umur atau ukuran tertentu sebelum mereka mampu untuk bereproduksi. Rata-rata ukuran pada reproduksi pertama atau ukuran rata-rata saat matang kelamin didefinisikan sebagai ukuran pada 50% dari semua individu betina yang telah matang kelamin (King 1995).

Jumlah telur atau fekunditas yang dihasilkan individu betina dalam pemijahan dapat menunjukkan kemampuan individu dalam menghasilkan keturunan. Fekunditas rajungan dapat diketahui dengan menghitung jumlah telur yang sedang dierami oleh betina (Kumar et al 2003). Rajungan betina dapat memijah lebih dari satu batch (kumpulan) telur dalam satu musim. Setelah terjadi pemijahan dari batch telur pertama, sekitar 8 sampai dengan 10 hari betina mengalami ovulasi dan fertilisasi pada batch kedua (Meagher, 1971). Pada percobaan terhadap betina yang sedang matang, beberapa terdapat telur dengan tingkat kematangan 2 dan 3 di dalam ovari, sementara di bagian luar sedang membawa kumpulan telur embrio (Kumar et al. 2003).

(38)

18

Metode Penelitian

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Tempat Pendaratan Ikan Alasdowo, kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati. Penelitian dilakukan selama sembilan bulan, dimulai dari bulan Mei 2012, Juli 2012 sampai dengan Februari 2013.

Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah data biologi bersumber dari hasil sampling yang dilakukan setiap bulan selama sembilan bulan. Data biologi rajungan antara lain: lebar karapas, berat, jenis kelamin, tingkat kematangan gonad betina dan fekunditas. Penentuan tingkat kematangan gonad betina diidentifikasi secara morfologis, dengan mengamati warna, bentuk dan sebarannya (Gambar 6) dengan mengikuti yang telah dilakukan Sumpton et al. (1994). Tingkat kematangan gonad dikategorikan dalam lima tingkatan, yaitu sebagai berikut:

1. Belum terlihat tanda-tanda secara makroskopis dari gonad

2. Gonad immature (belum matang), putih atau tembus cahaya dengan diameter telur mencapai 0.14 mm

3. Gonad maturing, gonad berwarna kuning/oranye muda, tidak menyebar dalam area hati dengan diameter telur berukuran 0.15 sampai 0.21 mm.

4. Gonad mature, gonad berwarna oranye terang, tersebar hingga area hati dengan diameter telur berukuran 0.22 sampai 0.40 mm.

5. Ovigerous, secara eksternal betina mengerami telur-telur yang telah matang

(39)

19 Fekunditas rajungan diketahui dengan menghitung telur yang dierami oleh betina. Telur rajungan yang dihitung adalah yang masih berwarna kuning atau jingga.

Analisa Data

Penentuan perbedaan jumlah rajungan jantan dan betina untuk mengetahui perbandingan kelamin maka dilakukan pengujian dengan uji- chi square (X2)

Oi = frekuensi rajungan yang diamati dan

Ei = frekuensi rajungan jantan dan betina yang diharapkan.

Nilai-nilai X2 yang diperoleh diperbandingkan dengan X2 tabel dengan selang kepercayaan 95%. Bila nilai X2hitung lebih dari X2tabel maka hasil keputusannya

adalah menolak hipotesis nol (jumlah jantan dan betina tidak sama atau 1 1).

Selanjutnya jika X2hitung kurang dari X2 tabel, maka keputusannya adalah terima

hipotesis nol (jumlah jantan dan betina mencapai kondisi yang seimbang 1:1).

Sebaran tingkat kematangan gonad setiap bulan dianalisa secara deskriptif ditampilkan dalam bentuk grafik. Kemudian untuk melihat perbedaan kondisi TKG pada musim barat dan timur dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan uji t-student.

Analisa penghitungan ukuran rata-rata matang telur (Lm) dihitung dengan pendekatan fungsi logistik. Fungsi logistik yang digunakan adalah dengan mengadopsi persamaan selektivitas untuk bubu atau trawl seperti yang dikenalkan oleh King (1995):

= 1

1 + ( + ) Keterangan:

PLm = proporsi rajungan dengan lebar karapas L yang telah matang telur dibagi jumlah rajungan dengan lebar karapas L yang telah matang dan belum matang,

a dan b = parameter kurva (a<0 dan b>0). Sehingga panjang pada 50% matang (L50) atau Lm adalah sama dengan -a/b.

Fekunditas jumlah total telur dalam satu gonad rajungan betina dihitung dengan formula sebagai berikut :

= ×

Keterangan :

(40)

20

Hasil

Nisbah kelamin

Pengamatan nisbah kelamin dibedakan dalam dua musim, yaitu musim Barat dan musim Timur. Berdasarkan hasil uji chi-square (χ2) nisbah kelamin musim Barat menunjukkan hasil tidak berbeda nyata (χ2hitung < χ2 tabel(α=0.05)).

Rata-rata hasil uji chi-square (χ2) untuk nisbah kelamin bulanan adalah relatif sama. Sehingga dapat dikatakan nisbah kelamin jantan dan betina pada musim Barat berada dalam keadaan seimbang. Ada perbedaan nisbah kelamin jantan dan betina (χ2hitung < χ

2

tabel(α=0.05)) adalah pada bulan Oktober dan Desember. Pada bulan

Oktober jumlah jantan lebih sedikit dibandingkan betina. Sementara pada bulan Desember jumlah jantan lebih banyak dibandingkan betinanya (Tabel 2).

Berbeda dengan musim Timur, berdasarkan hasil uji chi-square (χ2) pengamatan nisbah kelamin total jantan dan betina diperoleh hasil tidak seimbang

(1 1). Perbandingan jumlah jantan lebih kecil dibandingkan jumlah betina 1:1.4.

Namun nisbah kelamin di bulan April, Mei dan Agustus relatif seimbang (Tabel 2).

Rata-rata hasil uji chi-square (χ2) untuk nisbah kelamin bulanan musim Timur adalah relatif tidak seimbang. Sehingga dapat dikatakan nisbah kelamin jantan dan betina pada musim Timur berada dalam keadaan tidak seimbang.

(41)

21 Tingkat Kematangan Gonad

Data pengamatan tingkat kematangan gonad (TKG) terkumpul dari bulan Mei 2012 sampai dengan Februari 2013 sebanyak 424 sampel rajungan betina. Hasil pengamatan ditampilkan pada Gambar 7. Persentase perkembangan gonad yang belum matang relatif kecil dibandingkan dengan yang sudah matang. Pada setiap pengamatan menunjukkan bahwa selalu terdapat rajungan dengan tingkat kematangan III dan IV atau matang yang tertangkap. Tingkat kematangan gonad III dan IV banyak ditemukan pada bulan Oktober dan November.

Rata-rata persentase TKG belum matang adalah 35.6% di musim timur dan 25.7% di musim barat. Hasil rata-rata persentase TKG yang sudah matang pada musim Timur dan Barat, masing-masing adalah 64.4% dan 74.3% (Tabel 3). Perbedaan TKG belum matang di musim Barat dan Timur diperoleh hasil cukup nyata (ρ<0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rata-rata TKG belum matang pada musim Barat dengan musim Timur. Rata-rata TKG belum matang pada musim Timur lebih banyak dibandingkan pada musim Barat. Perbedaan rata-rata TKG sudah matang pada musim Barat dengan musim Timur juga diperoleh hasil cukup nyata (ρ<0.05). Rata-rata TKG sudah matang pada musim Timur lebih sedikit dibandingkan pada musim Barat.

Tabel 3. Proporsi TKG belum matang dan matang pada musim timur dan barat

Gambar 7. Persentase Tingkat Kematangan gonad Rajungan Betina 0

Mei-12 Jul-12 Agt-12 Sep-12 Okt-12 Nop-12 Des-12 Jan-13 Feb-13

(42)

22

Ukuran Rata-rata Matang Gonad (Lm)

Ukuran rata-rata matang gonad pada rajungan betina (Lm) didefinisikan sebagai lebar karapas pada 50% dari semua individu betina yang telah matang kelamin (King 1995). Hasil analisis dengan model fungsi logistik diperoleh Lm 107 mm (Gambar 8). Nilai Lm tersebut lebih besar dibandingkan hasil perairan Teluk Bone sebesar 71.63 mm (Kembaren et al. 2012), perairan pantai Karnataka India sekitar 80 sampai dengan 90 mm (Sukumaran dan Neelakantan 1997a) dan perairan selatan Australia sebesar 58.5 mm ( Xiao dan Kumar 2004).

Gambar 8. Ukuran rata-rata pertama kali matang gonad (Lm) rajungan betina Fekunditas

(43)

23

Gambar 9. Hubungan lebar karapas dengan fekunditas rajungan

Pembahasan

Pengamatan nisbah kelamin dibedakan dalam dua musim, yaitu musim Barat dan musim Timur. Nisbah kelamin rajungan jantan dan betina pada musim Barat berada dalam keadaan seimbang kecuali bulan Oktober dan Desember terdapat perbedaan nisbah kelamin. Nisbah kelamin pada musim Timur relatif tidak seimbang, kecenderungan betina lebih banyak dibanding jantan di bulan Juni, Juli dan September. Pada musim barat, jumlah jantan lebih sedikit dibandingkan betina di bulan Oktober. Sedangkan bulan Desember jumlah jantan lebih banyak dibandingkan betina. Nisbah kelamin dalam suatu populasi dipengaruhi oleh kondisi musim, migrasi dan perubahan cuaca (Smith dan Sumpton 1989 dalam Hosseini et al. 2012). Ketidakseimbangan nisbah kelamin rajungan disebabkan oleh adanya preferensi habitat yang berbeda antara rajungan jantan dan betina (Weng 1992). Selanjutnya Hill et al. (1989) menjelaskan bahwa betina dewasa lebih menyenangi habitat dengan salinitas tinggi dan perairan yang lebih dalam. Menurut Kamrani et al. (2010), variasi bulanan nisbah kelamin disebabkan oleh migrasi betina pada beberapa periode dalam setahun.

Pada bulan Desember diduga rajungan betina bermigrasi di luar area fishing ground. Rajungan betina melakukan migrasi ke perairan yang lebih dalam untuk melakukan pemijahan. Dijelaskan bahwa variasi nisbah kelamin disebabkan oleh migrasi rajungan betina yang telah matang gonad menuju ke daerah berpasir untuk menetaskan telur nya (Sumpton et al. 1994). Perubahan tingkah laku dalam mencari makan rajungan betina selama periode musim pemijahan dapat mengurangi tertangkapnya rajungan betina oleh bubu (Xiao dan Kumar 2004).

(44)

24

perairan Selatan Australia Kumar et al. (2000) diacu dalam Dixon dan Hooper (2010). Menurut Battoy et al (1987); Dixon dan Hooper (2010) menyatakan bahwa P.pelagicus memijah sepanjang tahun di daerah tropis. Tingkat kematangan gonad III dan IV banyak ditemukan pada bulan Oktober dan November. Puncak pemijahan diduga terjadi antara bulan Oktober dan November. Svane dan Hooper (2004) melaporkan bahwa rajungan yang matang gonad banyak ditemukan pada bulan Oktober dan November.

Rata-rata TKG belum matang pada musim Timur lebih banyak dibandingkan pada musim Barat. Sebaliknya rata-rata TKG sudah matang pada musim Timur lebih sedikit dibandingkan pada musim Barat. Hal tersebut diduga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan secara umum terutama oleh pengaruh suhu perairan. Meskipun reproduksi terjadi sepanjang tahun, namun rata-rata reproduksi rajungan di musim Barat relatif lebih tinggi disebabkan oleh suhu perairan di musim Barat lebih optimum dibandingkan di musim Timur.

Ukuran rata-rata pertama kali matang gonad (Lm) diperoleh pada ukuran lebar karapas 107 mm. Nilai Lm tersebut lebih besar dibandingkan hasil dari perairan Teluk Bone sebesar 71.63 mm (Kembaren et al. 2012) dan perairan selatan Australia sebesar 58.5 mm (Xiao dan Kumar 2004). Berdasarkan perbedaan-perbedaan dari ukuran Lm, penentuan ukuran minimum legal size harus lebih hati-hati karena ukuran Lm pada perairan yang berbeda tidak sama.

(45)

25 Simpulan

1. Terdapat variasi nisbah kelamin pada musim Barat dan musim Timur. Nisbah kelamin pada musim Barat relatif seimbang. Nisbah kelamin pada musim Timur relatif tidak seimbang, kecenderungan betina lebih banyak dibanding jantan.

2. Reproduksi rajungan di perairan Pati terjadi sepanjang tahun. Rata-rata TKG belum matang pada musim Timur lebih banyak dibandingkan pada musim Barat. Sebaliknya rata-rata TKG sudah matang pada musim timur lebih sedikit dibandingkan pada musim barat.

3. Ukuran rata-rata pertama kali matang gonad rajungan betina berada pada ukuran lebar karapas 107 mm.

(46)
(47)

27 5 DISTRIBUSI UKURAN DAN UKURAN RATA-RATA PERTAMA

KALI TERTANGKAP

Pendahuluan

Kepiting dari famili Portunidae umumnya hidup di habitat pantai pada daerah tropis, subtropis dan beriklim sedang (Carmona-Suarez dan Conde 2002). Salah satu spesies dari Portunidae adalah Portunus pelagicus yang tersebar meliputi perairan pantai tropis di sepanjang Samudera Hindia bagian barat, Timur Samudera Pasifik dan Indo-Pasifik Barat (Kailola et al. 1993; Ng 1998).

Rajungan tersebar di suatu habitat terkait dengan fase-fase siklus hidup nya. Rajungan jenis P.pelagicus, tersebar pada area yang sangat luas mulai dari habitat beralga hingga habitat lamun dan dari substrat berpasir hingga berlumpur. Rajungan tersebar dari zona intertidal (pasang surut) hingga ke zona dengan kedalaman lebih dari 50 meter (Edgar 1990). Pada perairan pantai, rajungan muda banyak ditemukan di perairan dangkal sementara rajungan dewasa banyak ditemukan di perairan yang lebih dalam (Smith 1982). Kondisi tersebut dapat tergambarkan dari distribusi ukuran rajungan yang tertangkap. Distribusi ukuran rajungan yang dikumpulkan dari hasil tangkapan berdasarkan area atau zona penangkapan yang berbeda dapat menggambarkan sebagian siklus hidup dan kondisi sumberdaya rajungan sebagai satu unit stok khusus nya di Perairan Pati dan sekitarnya. Sementara distribusi ukuran secara kontinyu berdasarkan periode waktu tertentu dapat menjelaskan modus-modus ukuran rajungan yang menggambarkan kohort atau kelompok umur.

(48)

28

Metode Penelitian

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di perairan laut Kabupaten Pati dan sekitarnya, dari bulan Januari 2012 sampai dengan bulan Maret 2013. Kegiatan penelitian terbagi dalam dua observasi, yaitu observasi di tempat pendaratan dan observasi di laut. Observasi di tempat pendaratan dilakukan setiap bulan, sementara observasi di laut dilakukan pada bulan Juli 2012, Desember 2012 dan Februari 2013. Daerah penelitian terbagi dalam tiga zona yang merupakan fishing ground nelayan rajungan yang berbasis di Alasdowo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah (Gambar 1). Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah ukuran lebar karapas dan jenis kelamin dan dikelompokkan berdasarkan lokasi penangkapan. Pengoperasian bubu lipat terdiri dari dua tipe, yaitu : (1) dioperasikan di perairan pinggiran atau masih sekitar pantai dengan kedalaman rata-rata kurang dari 12 meter, dan (2) dioperasikan di perairan tengah dengan kedalaman rata-rata di atas 12 meter sampai dengan 60 meter. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1, zona 1 adalah lokasi penangkapan nelayan bubu tengah yang beroperasi selama 3 sampai 4 hari, zona 2 adalah lokasi penangkapan nelayan bubu pinggiran dan zona 3 adalah lokasi penangkapan nelayan bubu tengah yang beroperasi selama 1 hari.

Pengumpulan data rata-rata ukuran pertama kali tertangkap rajungan dilakukan dengan experimental fishing menggunakan alat tangkap bubu lipat yang telah dimodifikasi dengan penambahan cover net seperti yang ditunjukkan pada Gambar 10.

(49)

29 Analisa Data

Distribusi ukuran lebar karapas berdasarkan zona maupun bulanan dianalisa secara deskriptif ditampilkan dalam bentuk grafik. Untuk melihat perbedaan rata-rata ukuran rajungan antar zona1, zona 2 dan zona 3 dilakukan dengan menggunakan pendekatan metode statistik melalui uji nilai tengah, dengan asumsi ragam tidak sama. Penghitungan rata-rata ukuran rajungan pertama kali tertangkap (L50) atau Lc pada alat tangkap bubu sama seperti pada trawl yaitu dengan menggunakan pendekatan selektivitas celah pelolosan dengan fungsi logistik, (Spare dan Venema 1999; Stewart dan Ferrel 2002). Formula yang digunakan adalah sebagai berikut:

= 1

1 + ( + ) Keterangan:

SLc = rajungan dengan lebar karapas L tertahan di bubu dibagi rajungan dengan lebar karapas L dalambubu dan cover net, a dan b = parameter kurva selektivitas (a<0 dan b>0). Sehingga panjang

pada 50% tertahan (L50) atau Lc adalah sama dengan -a/b.

Hasil

Distribusi ukuran berdasarkan daerah penangkapan

Rajungan yang tertangkap di pinggiran atau zona 2 berukuran lebih kecil dibandingkan dengan rajungan yang ditangkap di perairan tengah (zona 1 dan 3). Kisaran ukuran pada zona 3 lebih lebar (73 mm sampai dengan 189 mm) dibandingkan dengan zona 1 (73 mm sampai dengan 176 mm) (Tabel 4). Distribusi ukuran berdasarkan zona ditampilkan pada Gambar 11 dan 12.

Hasil analisa ukuran rajungan jantan dan betina melalui uji nilai tengah menunjukkan perbedaan rata-rata ukuran antar zona (Tabel 5). Berdasarkan hasil yang ditunjukkan pada Tabel tersebut, diketahui bahwa rata-rata ukuran rajungan pada zona 1 relatif lebih besar dibandingkan pada zona 2 dan 3. Sedangkan rata-rata ukuran rajungan pada zona 2 adalah lebih kecil dibandingkan zona 2 dan 3. Tabel 4. Deskripsi distribusi ukuran lebar karapas rajungan berdasarkan lokasi

penangkapan

Lokasi pinggiran (zona 2) Tengah (zona 3) Tengah (zona 1)

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

(50)

30

Tabel 5. Perbandingan ukuran rajungan antar zona penangkapan

Perbedaan Jantan betina

Zona 1 dan 3 (ρ<0.025) (ρ<0.05)

sangat nyata nyata

Zona 1 dan 2 (ρ<0.025) (ρ<0.025)

sangat nyata sangat nyata

Zona 2 dan 3 (ρ<0.025) (ρ<0.025)

sangat nyata sangat nyata

(51)

31

Gambar 11. Persentase frekuensi ukuran rajungan jantan berdasarkan daerah penangkapan

(52)

32

Distribusi ukuran bulanan

Distribusi ukuran lebar karapas rajungan jantan keseluruhan dari bulan Januari 2012 sampai dengan Maret 2013 berkisar antara 58 mm sampai dengan 176 mm, dengan rata-rata 123.36 (±19.46) mm (Gambar 13). Sedangkan sebaran ukuran betina berkisar antara 60.1 mm sampai dengan 189 mm dengan rata-rata 124.88 (±18.98) mm (Gambar 14).

Berdasarkan Gambar 13, beberapa modus muncul yang menggambarkan kelompok ukuran pada rajungan jantan. Pada setiap bulan, modus ukuran yang muncul rata-rata lebih dari empat modus. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dalam setiap bulannya terdapat pergerakan atau pergeseran modus. Bila dicermati, secara umum sebaran frekuensi ukuran pada bulan Januari dan Februari relatif lebih kecil dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain. Sedangkan sebaran frekuensi ukuran antara bulan September sampai dengan Nopember memiliki sebaran ukuran relatif lebih besar.

(53)

33

Gambar 13. Persentase frekuensi ukuran rajungan jantan dari bulan Januari 2012 sampai dengan Maret 2013.

(54)

34

(55)

35 Ukuran rata-rata pertama kali tertangkap

Ukuran pertama kali tertangkap (Lc) identik dengan L50% pada selektivitas alat tangkap. Sejauh ini, selektivitas telah ditentukan sebagai fungsi dari panjang/lebar. Hasil yang diperoleh dari uji coba selektifitas bubu ditunjukkan pada Gambar 15. Hasil perhitungan diperoleh ukuran rata-rata rajungan pertama kali tertangkap adalah pada lebar karapas 108 mm.

Gambar 15. Kurva selektivitas bubu lipat rajungan.

Pembahasan

Rajungan yang tertangkap di pinggiran atau zona 2 berukuran lebih kecil dibandingkan dengan rajungan yang ditangkap di perairan tengah (zona 1 dan 3). Hal ini karena adanya perubahan-perubahan yang terjadi dalam siklus hidup rajungan. Perbedaan ukuran rajungan dalam setiap zona, menggambarkan adanya perubahan preferensi habitat dalam setiap fase dalam siklus hidup rajungan. Rajungan pada fase siklus hidupnya memiliki preferensi habitat yang berbeda-beda. Hasil penelitian di perairan Teluk Moreton-Australia disebutkan bahwa juvenil rajungan lebih banyak mendominasi hidup di perairan dangkal (Sumpton

(56)

36

daerah mangrove dan lumpur selama delapan hingga 12 bulan dengan ukuran lebar karapas mencapai 80 sampai dengan100 mm (Smith 1982).

Pada zona 2 atau daerah pinggiran, rajungan jantan lebih banyak tertangkap dibandingkan rajungan betina. Kondisi ini diduga karena rajungan jantan umumnya lebih menyukai perairan dengan salinitas yang lebih rendah, sehingga bermigrasi menuju daerah estuari atau muara-muara sungai (Dudley dan Judy 1971 diacu dalam Hill et al. 1989). Sejumlah besar rajungan sering memasuki estuari sebagai juvenil dan tinggal di habitat ini untuk waktu yang panjang. Meskipun betina rajungan kadang-kadang ditemui di estuari namun beberapa individu keluar dari perairan estuari (emigrasi) menuju perairan laut yang lebih dalam untuk melepaskan telur-telurnya. Meskipun demikian, terdapat beberapa individu betina lainnya yang akan memijah tetap menempati di area pinggiran dan tidak melakukan migrasi ke perairan yang lebih dalam. Hal tersebut terjadi jika salinitas di area

pinggiran tinggi dan optimum untuk pemijahan. Menurut Lestang et al. (2003),

kondisi salinitas yang rendah di suatu perairan menyebabkan rajungan betina akan mencari daerah dengan salinitas tinggi untuk melakukan pemijahan.

Distribusi frekuensi ukuran rajungan bulan Januari dan Februari rata-rata berukuran lebih kecil dibandingkan di bulan-bulan lain. Kondisi ini disebabkan oleh tingginya curah hujan di bulan-bulan tersebut yang berakibat turunnya salinitas di perairan pantai. Sehingga rajungan-rajungan berukuran lebih besar yang umumnya telah matang kelamin bermigrasi ke perairan yang lebih dalam. Sukumaran dan Neelakantan (1997b) menjelaskan bahwa karena rendahnya salinitas di perairan pantai, rajungan-rajungan yang berukuran besar bermigrasi ke perairan yang lebih dalam dengan salinitas yang lebih tinggi. Kecilnya ukuran rajungan pada bulan Januari dan Februari, juga disebabkan karena terbatasnya kemampuan armada perahu bubu lipat untuk menjangkau ke perairan-perairan yang lebih dalam. Pada bulan-bulan tersebut, kondisi cuaca kurang baik ditunjukkan dengan sering terjadi gelombang-gelombang besar di laut. Oleh karena itu, nelayan-nelayan melakukan kegiatan penangkapan cenderung di sekitar perairan muara dan estuari (pinggiran).

Frekuensi ukuran rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada bulan antara September hingga November berukuran relatif lebih besar dibandingkan di bulan-bulan lainnya. Hal ini diduga bahwa rajungan-rajungan yang tertangkap di bulan-bulan tersebut adalah rajungan-rajungan dewasa yang telah matang gonad. Seperti yang dijelaskan pada pembahasan bab sebelumnya bahwa musim pemijahan diduga terjadi antara bulan Oktober hingga Nopember, sehingga hasil analisa distribusi frekuensi ukuran rajungan ini memperkuat dugaan tersebut. Karena secara umum rajungan yang akan melakukan pemijahan umumnya memiliki ukuran yang besar-besar.

(57)

37 Simpulan

1. Rajungan yang tertangkap di zona 2 atau pinggiran berukuran lebih kecil dibandingkan dengan rajungan yang tertangkap di perairan tengah (zona 1 dan 3).

2. Ukuran rajungan bulan Januari dan Februari rata-rata berukuran lebih kecil dibandingkan di bulan-bulan lain disebabkan karena salinitas perairan menurun.

(58)
(59)

39 6 PERTUMBUHAN, MORTALITAS DAN TINGKAT

PEMANFAATAN

Pendahuluan

Rajungan adalah salah satu jenis kepiting laut yang memiliki nilai ekonomis sangat tinggi. Permintaan pasar akan rajungan terus meningkat terutama untuk kebutuhan ekspor. Selain daging, cangkang kering rajungan juga diekspor sebagai bahan pembuatan chitosan. Pemanfaatan rajungan di alam dilakukan dengan menggunakan alat tangkap arad, gill net dan bubu lipat. Khusus di daerah Pati dan sekitarnya, rajungan dominan didaratkan oleh jenis alat tangkap bubu lipat. Karena permintaan pasar yang terus meningkat, maka mendorong peningkatan terhadap upaya penangkapannnya. Menurut Juwana et al. (2009) menyebutkan bahwa rajungan di alam sudah mengalami penurunan, sehingga untuk memenuhi permintaan daging rajungan kupas untuk kebutuhan ekspor, nelayan harus melaut lebih jauh dan lebih sering daripada tahun-tahun sebelumnya.

Pertumbuhan pada kelompok krustasea adalah tidak kontinu, karena dibatasi kulit luar yang dimilikinya. Selama antar waktu molting, perubahan ukuran sangat lambat karena terhambat oleh kulit keras. Setelah molting pertumbuhan akan sangat cepat sampai kulit yang baru kembali mengeras. Sehingga pertumbuhan krustase dapat diuraikan menjadi dua komponen. Pertama adalah laju pertumbuhan ukuran yang terjadi pada fase molting, kedua adalah periode antar molting (Hartnoll 1982).

Larva rajungan (P.pelagicus) mengalami mortalitas yang sangat tinggi. Ingles dan Braum (1989) diacu dalam Kangas (2000) mengestimasi mortalitas rajungan di Filipina dari penetasan hingga fase megalopa mencapai 98%. Sementara hasil perhitungan Byars (1997) diacu dalam Kangas (2000) di perairan Australia Selatan menghasilkan bahwa estimasi mortalitas rajungan dari penetasan hingga fase Zoea IV mencapai lebih dari 99%.

Kondisi saat ini ada indikasi penurunan hasil tangkapan rajungan khususnya di Perairan Pati dan sekitarnya. Hal ini menunjukkan bahwa ada kemungkinan jumlah populasi rajungan di daerah tersebut telah menurun yang disebabkan oleh tekanan penangkapan yang terus menerus. Keadaan tersebut merupakan suatu tantangan dan permasalahan yang cukup berat dalam melakukan pengelolaan sumberdaya rajungan. Oleh karena banyaknya permintaan pasar terhadap rajungan, maka sangat penting untuk mengetahui dan mengkaji parameter-parameter populasinya di alam. Beberapa parameter populasi yang penting untuk dikaji antara lain adalah faktor kondisi, pertumbuhan, mortalitas dan sejauh mana tingkat pemanfaatannya.

Gambar

Gambar 1. Peta lokasi penelitian
Gambar 2. Komposisi hasil tangkapan bubu lipat pada Musim Barat dan Timur
Gambar 4. Rata-rata CPUE zona 1 dan 3 berdasarkan siklus bulan dari periode
Gambar 6. Penentuan tingkat kematangan gonad
+7

Referensi

Dokumen terkait

2.1 Beban merata dari suatu bangunan yang relatif fleksibel diatas tanah lempung yang relatif lunak akan menyebabkan reaksi perlawanan tanah yang juga merata, namun akan

Bank Syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatannya dengan aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana dan

Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit yang selanjutnya disebut SMK3 Rumah Sakit adalah bagian dari manajemen Rumah Sakit secara keseluruhan dalam

Kerangka analitis mengasumsikan bahwa kandungan pencemaran teluk Jakarta mempengaruhi performa perikanan rajungan, yang bisa diukur dari kondisi biologis rajungan

Guna meningkatkan kualitas evaluasi, penelitian ini akan mengoptimasi prosedur pengaturan instrumen evaluasi, sehingga instrumen evaluasi dapat diubah dan

Isu yang sering dibahaskan ialah guru besar lebih mementingkan peningkatan pengajaran dan pembelajaran berbanding apa yang ICT boleh lakukan untuk diri dan pentadbiran dan

Dari hasil penelitian diketahui bahwa pada metode relatif dengan menggunakan perangkap yellow sticky trap pada area anorganik individu serangga yang diperoleh adalah

Pemberian tambahan penghasilan dinamis individu bagi pejabat PLT/PLH dengan jabatan yang memiliki kelas jabatan sama dari pada jabatan definitif, diberikan tambahan