• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Kepiting dari famili Portunidae umumnya hidup di habitat pantai pada daerah tropis, subtropis dan beriklim sedang (Carmona-Suarez dan Conde 2002). Salah satu spesies dari Portunidae adalah Portunus pelagicus yang tersebar meliputi perairan pantai tropis di sepanjang Samudera Hindia bagian barat, Timur Samudera Pasifik dan Indo-Pasifik Barat (Kailola et al. 1993; Ng 1998).

Rajungan tersebar di suatu habitat terkait dengan fase-fase siklus hidup nya. Rajungan jenis P.pelagicus, tersebar pada area yang sangat luas mulai dari habitat beralga hingga habitat lamun dan dari substrat berpasir hingga berlumpur. Rajungan tersebar dari zona intertidal (pasang surut) hingga ke zona dengan kedalaman lebih dari 50 meter (Edgar 1990). Pada perairan pantai, rajungan muda banyak ditemukan di perairan dangkal sementara rajungan dewasa banyak ditemukan di perairan yang lebih dalam (Smith 1982). Kondisi tersebut dapat tergambarkan dari distribusi ukuran rajungan yang tertangkap. Distribusi ukuran rajungan yang dikumpulkan dari hasil tangkapan berdasarkan area atau zona penangkapan yang berbeda dapat menggambarkan sebagian siklus hidup dan kondisi sumberdaya rajungan sebagai satu unit stok khusus nya di Perairan Pati dan sekitarnya. Sementara distribusi ukuran secara kontinyu berdasarkan periode waktu tertentu dapat menjelaskan modus-modus ukuran rajungan yang menggambarkan kohort atau kelompok umur.

Ukuran pertama kali tertangkap (Lc) identik dengan L50% pada selektivitas alat tangkap. Sejauh ini, selektivitas telah ditentukan sebagai fungsi dari panjang (Sparre dan Venema 1999), untuk rajungan adalah lebar karapas . Salah satu jenis alat tangkap untuk menangkap rajungan adalah bubu lipat yang termasuk dalam kategori perangkap. Selektivitas perangkap menjadi kompleks sebab tergantung oleh spesies yang bergerak aktif ke dalam perangkap. Pada perangkap yang berukuran kecil hanya satu spesimen dari suatu spesies diharapkan dapat tertangkap, namun individu yang tertangkap mungkin telah digantikan oleh lainnya sebelum perangkap ditarik (Sparre dan Venema 1999). Menurut Munro (1983) diacu dalam Sparre dan Venema (1999) menjelaskan bahwa selalu ada peluang bahwa individu yang terperangkap menemukan bukaan masuk dan berenang keluar. Pengetahuan tentang rata-rata ukuran pertama kali tertangkap sangat bermanfaat sebagai bahan masukan dalam penentuan kebijakan ukuran yang boleh ditangkap. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji distribusi ukuran dan rata-rata ukuran pertama kali tertangkap rajungan.

28

Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di perairan laut Kabupaten Pati dan sekitarnya, dari bulan Januari 2012 sampai dengan bulan Maret 2013. Kegiatan penelitian terbagi dalam dua observasi, yaitu observasi di tempat pendaratan dan observasi di laut. Observasi di tempat pendaratan dilakukan setiap bulan, sementara observasi di laut dilakukan pada bulan Juli 2012, Desember 2012 dan Februari 2013. Daerah penelitian terbagi dalam tiga zona yang merupakan fishing ground nelayan rajungan yang berbasis di Alasdowo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah (Gambar 1). Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah ukuran lebar karapas dan jenis kelamin dan dikelompokkan berdasarkan lokasi penangkapan. Pengoperasian bubu lipat terdiri dari dua tipe, yaitu : (1) dioperasikan di perairan pinggiran atau masih sekitar pantai dengan kedalaman rata-rata kurang dari 12 meter, dan (2) dioperasikan di perairan tengah dengan kedalaman rata-rata di atas 12 meter sampai dengan 60 meter. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1, zona 1 adalah lokasi penangkapan nelayan bubu tengah yang beroperasi selama 3 sampai 4 hari, zona 2 adalah lokasi penangkapan nelayan bubu pinggiran dan zona 3 adalah lokasi penangkapan nelayan bubu tengah yang beroperasi selama 1 hari.

Pengumpulan data rata-rata ukuran pertama kali tertangkap rajungan dilakukan dengan experimental fishing menggunakan alat tangkap bubu lipat yang telah dimodifikasi dengan penambahan cover net seperti yang ditunjukkan pada Gambar 10.

Gambar 10. Bubu lipat yang digunakan untuk pengumpulan data rata-rata ukuran pertama kali tertangkap rajungan

29 Analisa Data

Distribusi ukuran lebar karapas berdasarkan zona maupun bulanan dianalisa secara deskriptif ditampilkan dalam bentuk grafik. Untuk melihat perbedaan rata- rata ukuran rajungan antar zona1, zona 2 dan zona 3 dilakukan dengan menggunakan pendekatan metode statistik melalui uji nilai tengah, dengan asumsi ragam tidak sama. Penghitungan rata-rata ukuran rajungan pertama kali tertangkap (L50) atau Lc pada alat tangkap bubu sama seperti pada trawl yaitu dengan menggunakan pendekatan selektivitas celah pelolosan dengan fungsi logistik, (Spare dan Venema 1999; Stewart dan Ferrel 2002). Formula yang digunakan adalah sebagai berikut:

= 1

1 + ( + ) Keterangan:

SLc = rajungan dengan lebar karapas L tertahan di bubu dibagi rajungan dengan lebar karapas L dalambubu dan cover net, a dan b = parameter kurva selektivitas (a<0 dan b>0). Sehingga panjang

pada 50% tertahan (L50) atau Lc adalah sama dengan -a/b. Hasil

Distribusi ukuran berdasarkan daerah penangkapan

Rajungan yang tertangkap di pinggiran atau zona 2 berukuran lebih kecil dibandingkan dengan rajungan yang ditangkap di perairan tengah (zona 1 dan 3). Kisaran ukuran pada zona 3 lebih lebar (73 mm sampai dengan 189 mm) dibandingkan dengan zona 1 (73 mm sampai dengan 176 mm) (Tabel 4). Distribusi ukuran berdasarkan zona ditampilkan pada Gambar 11 dan 12.

Hasil analisa ukuran rajungan jantan dan betina melalui uji nilai tengah menunjukkan perbedaan rata-rata ukuran antar zona (Tabel 5). Berdasarkan hasil yang ditunjukkan pada Tabel tersebut, diketahui bahwa rata-rata ukuran rajungan pada zona 1 relatif lebih besar dibandingkan pada zona 2 dan 3. Sedangkan rata- rata ukuran rajungan pada zona 2 adalah lebih kecil dibandingkan zona 2 dan 3. Tabel 4. Deskripsi distribusi ukuran lebar karapas rajungan berdasarkan lokasi

penangkapan

Lokasi pinggiran (zona 2) Tengah (zona 3) Tengah (zona 1)

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

Rata-rata L (mm) 105.20 106.77 132.71 131.92 134.3 133.17

Sd 13.97 15.53 13.20 14.01 14.47 13.24

L min (mm) 58 60.1 73 86.02 73 80

L max (mm) 159.4 148.3 166 189.00 176 175.44

n 709 609 649 646 653 693

30

Tabel 5. Perbandingan ukuran rajungan antar zona penangkapan

Perbedaan Jantan betina

Zona 1 dan 3 (ρ<0.025) (ρ<0.05)

sangat nyata nyata Zona 1 dan 2 (ρ<0.025) (ρ<0.025)

sangat nyata sangat nyata Zona 2 dan 3 (ρ<0.025) (ρ<0.025)

sangat nyata sangat nyata

Berdasarkan gambar 11 dan 12, sebaran ukuran antara jantan dan betina di masing-masing zona memiliki pola yang relatif sama. Hal ini ditunjukkan dari kemunculan modus-modus ukuran yang hampir sama antara jantan dan betina pada masing-masing zona. Pada zona 2, modus-modus ukuran jantan muncul pada kelompok ukuran 72, 86, 98, 102, 106 dan 116 mm, dengan modus terbanyak terdapat pada ukuran 106 mm. Modus ukuran betina muncul pada kelompok ukuran 72, 88, 100, 106, 112, 116 dan 122 mm, dengan modus terbanyak berada di ukuran 106 mm. Pada zona 3, kemunculan modus ukuran jantan terdapat di ukuran 110, 116, 122, 126, 130, 136, 140 dan 146 mm, dengan modus terbanyak berada di 130, 136 dan 140 mm. Tidak terlalu berbeda dengan jantan, modus ukuran betina terdapat pada 108, 116, 126, 134, 140 dan 146 mm, dengan modus terbanyak berada di ukuran 126, 134 dan 140 mm. Selanjutnya pada zona 1, kemunculan modus ukuran jantan terdapat di ukuran 116, 126, 136, 146 dan 152 mm, dengan modus terbanyak berada di 136 dan 146 mm. Modus ukuran betina terdapat pada 118, 128, 140, 148 dan 156 mm, dengan modus terbanyak berada di ukuran 140 mm.

31

Gambar 11. Persentase frekuensi ukuran rajungan jantan berdasarkan daerah penangkapan

Gambar 12. Persentase frekuensi ukuran rajungan betina berdasarkan daerah penangkapan

32

Distribusi ukuran bulanan

Distribusi ukuran lebar karapas rajungan jantan keseluruhan dari bulan Januari 2012 sampai dengan Maret 2013 berkisar antara 58 mm sampai dengan 176 mm, dengan rata-rata 123.36 (±19.46) mm (Gambar 13). Sedangkan sebaran ukuran betina berkisar antara 60.1 mm sampai dengan 189 mm dengan rata-rata 124.88 (±18.98) mm (Gambar 14).

Berdasarkan Gambar 13, beberapa modus muncul yang menggambarkan kelompok ukuran pada rajungan jantan. Pada setiap bulan, modus ukuran yang muncul rata-rata lebih dari empat modus. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dalam setiap bulannya terdapat pergerakan atau pergeseran modus. Bila dicermati, secara umum sebaran frekuensi ukuran pada bulan Januari dan Februari relatif lebih kecil dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain. Sedangkan sebaran frekuensi ukuran antara bulan September sampai dengan Nopember memiliki sebaran ukuran relatif lebih besar.

Pola distribusi frekuensi ukuran rajungan betina yang ditunjukkan dalam Gambar 14, tidak terlalu berbeda dengan pola distribusi frekuensi ukuran rajungan jantan. Setiap bulan, modus-modus ukuran yang tampak rata-rata lebih dari empat modus dan dalam setiap bulannya juga terjadi pergeseran modus. Rata-rata sebaran frekuensi ukuran bulan Januari dan Februari memiliki ukuran relatif lebih kecil dibandingkan dengan ukuran-ukuran pada bulan-bulan lain. Sama hal nya dengan rajungan jantan, sebaran frekuensi ukuran antara bulan September sampai dengan bulan Nopember cenderung memiliki sebaran ukuran yang relatif lebih besar dibandingkan pada bulan-bulan lain.

33

Gambar 13. Persentase frekuensi ukuran rajungan jantan dari bulan Januari 2012 sampai dengan Maret 2013.

34

Gambar 14. Persentase frekuensi ukuran rajungan betina dari bulan Januari 2012 sampai dengan Maret 2013.

35 Ukuran rata-rata pertama kali tertangkap

Ukuran pertama kali tertangkap (Lc) identik dengan L50% pada selektivitas alat tangkap. Sejauh ini, selektivitas telah ditentukan sebagai fungsi dari panjang/lebar. Hasil yang diperoleh dari uji coba selektifitas bubu ditunjukkan pada Gambar 15. Hasil perhitungan diperoleh ukuran rata-rata rajungan pertama kali tertangkap adalah pada lebar karapas 108 mm.

Gambar 15. Kurva selektivitas bubu lipat rajungan.

Pembahasan

Rajungan yang tertangkap di pinggiran atau zona 2 berukuran lebih kecil dibandingkan dengan rajungan yang ditangkap di perairan tengah (zona 1 dan 3). Hal ini karena adanya perubahan-perubahan yang terjadi dalam siklus hidup rajungan. Perbedaan ukuran rajungan dalam setiap zona, menggambarkan adanya perubahan preferensi habitat dalam setiap fase dalam siklus hidup rajungan. Rajungan pada fase siklus hidupnya memiliki preferensi habitat yang berbeda- beda. Hasil penelitian di perairan Teluk Moreton-Australia disebutkan bahwa juvenil rajungan lebih banyak mendominasi hidup di perairan dangkal (Sumpton

et al. 1994). Rajungan di perairanTrang-Thailand dengan ukuran lebar karapas kurang dari 100 mm lebih banyak ditemukan di area sekitar pantai terutama di muara sungai. Sedangkan rajungan dewasa dengan lebar karapas lebih dari 100 mm, banyak ditemukan di area pantai yang lebih dalam (Nitiratsuwan et al. 2010). Juvenil rajungan bermigrasi menuju perairan yang dangkal dengan salinitas lebih rendah tetapi tetap lebih tinggi dibanding salinitas di estuari atau sungai, untuk tumbuh dan menjadi dewasa (Fischler dan Walburg 1962). Rajungan-rajungan muda mencapai dewasa umunya membutuhkan waktu sekitar satu tahun setelah ditetaskan dari mulai tahap zoea (Hill et al. 1989). Rajungan-rajungan muda hidup di perairan dangkal sementara rajungan-rajungan dewasa hidup di perairan lebih dalam (Smith 1982; Chande dan Mgaya 2003). Juvenil-juvenil ditemukan di

36

daerah mangrove dan lumpur selama delapan hingga 12 bulan dengan ukuran lebar karapas mencapai 80 sampai dengan100 mm (Smith 1982).

Pada zona 2 atau daerah pinggiran, rajungan jantan lebih banyak tertangkap dibandingkan rajungan betina. Kondisi ini diduga karena rajungan jantan umumnya lebih menyukai perairan dengan salinitas yang lebih rendah, sehingga bermigrasi menuju daerah estuari atau muara-muara sungai (Dudley dan Judy 1971 diacu dalam Hill et al. 1989). Sejumlah besar rajungan sering memasuki estuari sebagai juvenil dan tinggal di habitat ini untuk waktu yang panjang. Meskipun betina rajungan kadang-kadang ditemui di estuari namun beberapa individu keluar dari perairan estuari (emigrasi) menuju perairan laut yang lebih dalam untuk melepaskan telur-telurnya. Meskipun demikian, terdapat beberapa individu betina lainnya yang akan memijah tetap menempati di area pinggiran dan tidak melakukan migrasi ke perairan yang lebih dalam. Hal tersebut terjadi jika salinitas di area

pinggiran tinggi dan optimum untuk pemijahan. Menurut Lestang et al. (2003),

kondisi salinitas yang rendah di suatu perairan menyebabkan rajungan betina akan mencari daerah dengan salinitas tinggi untuk melakukan pemijahan.

Distribusi frekuensi ukuran rajungan bulan Januari dan Februari rata-rata berukuran lebih kecil dibandingkan di bulan-bulan lain. Kondisi ini disebabkan oleh tingginya curah hujan di bulan-bulan tersebut yang berakibat turunnya salinitas di perairan pantai. Sehingga rajungan-rajungan berukuran lebih besar yang umumnya telah matang kelamin bermigrasi ke perairan yang lebih dalam. Sukumaran dan Neelakantan (1997b) menjelaskan bahwa karena rendahnya salinitas di perairan pantai, rajungan-rajungan yang berukuran besar bermigrasi ke perairan yang lebih dalam dengan salinitas yang lebih tinggi. Kecilnya ukuran rajungan pada bulan Januari dan Februari, juga disebabkan karena terbatasnya kemampuan armada perahu bubu lipat untuk menjangkau ke perairan-perairan yang lebih dalam. Pada bulan-bulan tersebut, kondisi cuaca kurang baik ditunjukkan dengan sering terjadi gelombang-gelombang besar di laut. Oleh karena itu, nelayan-nelayan melakukan kegiatan penangkapan cenderung di sekitar perairan muara dan estuari (pinggiran).

Frekuensi ukuran rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada bulan antara September hingga November berukuran relatif lebih besar dibandingkan di bulan-bulan lainnya. Hal ini diduga bahwa rajungan-rajungan yang tertangkap di bulan-bulan tersebut adalah rajungan-rajungan dewasa yang telah matang gonad. Seperti yang dijelaskan pada pembahasan bab sebelumnya bahwa musim pemijahan diduga terjadi antara bulan Oktober hingga Nopember, sehingga hasil analisa distribusi frekuensi ukuran rajungan ini memperkuat dugaan tersebut. Karena secara umum rajungan yang akan melakukan pemijahan umumnya memiliki ukuran yang besar-besar.

Hasil perhitungan selektivitas bubu lipat diperoleh rata-rata ukuran rajungan pertama kali tertangkap adalah pada lebar karapas 108 mm. Hasil tersebut lebih besar bila dibandingkan rajungan dari perairan Teluk Jakarta dengan Lc sebesar 85.4 mm (Nuraini et al. 2009). Hal ini menunjukkan bahwa tekanan penangkapan rajungan di perairan Pati dan sekitarnya relatif lebih kecil dibandingkan di perairan Teluk Jakarta. Tekanan penangkapan dalam hal ini tidak hanya banyaknya alat-alat tangkap yang menangkap kelompok rajungan dan jenis kepiting lain, tetapi juga unit-unit penangkapan lainnya yang beroperasi di daerah penangkapan yang sama.

37 Simpulan

1. Rajungan yang tertangkap di zona 2 atau pinggiran berukuran lebih kecil dibandingkan dengan rajungan yang tertangkap di perairan tengah (zona 1 dan 3).

2. Ukuran rajungan bulan Januari dan Februari rata-rata berukuran lebih kecil dibandingkan di bulan-bulan lain disebabkan karena salinitas perairan menurun.

3. Ukuran rajungan antara September hingga November berukuran relatif lebih besar dibandingkan di bulan-bulan lainnya, diduga bahwa rajungan-rajungan tersebut secara umum sudah memasuki fase dewasa dan matang gonad. 4. Ukuran rata-rata rajungan pertama kali tertangkap bubu lipat adalah 108 mm.

39 6 PERTUMBUHAN, MORTALITAS DAN TINGKAT

PEMANFAATAN

Pendahuluan

Rajungan adalah salah satu jenis kepiting laut yang memiliki nilai ekonomis sangat tinggi. Permintaan pasar akan rajungan terus meningkat terutama untuk kebutuhan ekspor. Selain daging, cangkang kering rajungan juga diekspor sebagai bahan pembuatan chitosan. Pemanfaatan rajungan di alam dilakukan dengan menggunakan alat tangkap arad, gill net dan bubu lipat. Khusus di daerah Pati dan sekitarnya, rajungan dominan didaratkan oleh jenis alat tangkap bubu lipat. Karena permintaan pasar yang terus meningkat, maka mendorong peningkatan terhadap upaya penangkapannnya. Menurut Juwana et al. (2009) menyebutkan bahwa rajungan di alam sudah mengalami penurunan, sehingga untuk memenuhi permintaan daging rajungan kupas untuk kebutuhan ekspor, nelayan harus melaut lebih jauh dan lebih sering daripada tahun-tahun sebelumnya.

Pertumbuhan pada kelompok krustasea adalah tidak kontinu, karena dibatasi kulit luar yang dimilikinya. Selama antar waktu molting, perubahan ukuran sangat lambat karena terhambat oleh kulit keras. Setelah molting pertumbuhan akan sangat cepat sampai kulit yang baru kembali mengeras. Sehingga pertumbuhan krustase dapat diuraikan menjadi dua komponen. Pertama adalah laju pertumbuhan ukuran yang terjadi pada fase molting, kedua adalah periode antar molting (Hartnoll 1982).

Larva rajungan (P.pelagicus) mengalami mortalitas yang sangat tinggi. Ingles dan Braum (1989) diacu dalam Kangas (2000) mengestimasi mortalitas rajungan di Filipina dari penetasan hingga fase megalopa mencapai 98%. Sementara hasil perhitungan Byars (1997) diacu dalam Kangas (2000) di perairan Australia Selatan menghasilkan bahwa estimasi mortalitas rajungan dari penetasan hingga fase Zoea IV mencapai lebih dari 99%.

Kondisi saat ini ada indikasi penurunan hasil tangkapan rajungan khususnya di Perairan Pati dan sekitarnya. Hal ini menunjukkan bahwa ada kemungkinan jumlah populasi rajungan di daerah tersebut telah menurun yang disebabkan oleh tekanan penangkapan yang terus menerus. Keadaan tersebut merupakan suatu tantangan dan permasalahan yang cukup berat dalam melakukan pengelolaan sumberdaya rajungan. Oleh karena banyaknya permintaan pasar terhadap rajungan, maka sangat penting untuk mengetahui dan mengkaji parameter-parameter populasinya di alam. Beberapa parameter populasi yang penting untuk dikaji antara lain adalah faktor kondisi, pertumbuhan, mortalitas dan sejauh mana tingkat pemanfaatannya.

40

Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di perairan laut Kabupaten Pati dan sekitarnya, dilakukan dari bulan Januari 2012 sampai bulan Maret 2013. Kegiatan penelitian dilakukan melalui observasi setiap bulan di tempat pendaratan yang berlokasi di Tempat Pendaratan Ikan Alasdowo, kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati.

Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan merupakan data biologi bersumber dari hasil sampling yang dilakukan setiap bulan selama 15 bulan. Data biologi rajungan yang dikumpulkan adalah lebar karapas, bobot dan jenis kelamin.

Analisa Data

Analisis hubungan lebar karapas dengan bobot rajungan menggunakan uji regresi dengan rumus sebagai berikut (King 1995):

W = aLb Keterangan:

W = Bobot tubuh rajungan (gram), L = lebar karapas (mm),

a, b = konstanta pertumbuhan.

Nilai b sebagai penduga kedekatan hubungan kedua parameter, yaitu:

Nilai b=3, menunjukkan pola pertumbuhan isometrik (pola pertumbuhan lebar karapas sama dengan pola pertumbuhan bobot)

Nilai b ≠ 3, menunjukkan pola pertumbuhan allometrik (pola pertumbuhan lebar karapas tidak sama dengan pola pertumbuhan bobot).

Untuk lebih menguatkan pengujian dalam menentukan keeratan hubungan kedua parameter (nilai b), dilakukan uji t.

Perhitungan faktor kondisi relatif rajungan (Kn) didasarkan dari hasil hubungan lebar karapas dan bobot. maka perhitungannya adalah mengikuti Le Cren (1951), sebagai berikut :

=

Analisa pertumbuhan, data lebar karapas ditabulasikan dalam tabel distribusi lebar karapas (L) dengan interval 2 mm. Data frekuensi tersebut selanjutnya digunakan untuk mengestimasi parameter populasi rajungan.

41 Penentuan lebar karapas infinitif (L∞) dan laju pertumbuhan (K) diduga dengan

menggunakan program ELEFAN yang dikemas dalam FISAT II (Gayanilo et al. 2005). Penghitungan pertumbuhan rajungan dilakukan mengikuti persamaan von Bertalanffy sebagai berikut (King, 1995) :

Lt = L∞ (1-e[-K(t-to)]) Keterangan:

Lt = lebar karapas pada saat umur t (satuan waktu) , L∞ = lebar asimtotik secara teoritis,

K = koefisien pertumbuhan (per satuan waktu),

t0 = umur teoritis pada saat lebar karapas sama dengan nol.

Pendugaan umur teoritis (t0) dilakukan dengan persamaan empiris Paully (1980): to = tmax - (2.9957/K)

dimana tmax≈ 3/K Keterangan:

K = koefisien pertumbuhan (per satuan waktu),

t0 = umur teoritis pada saat lebar karapas sama dengan nol.

tmax = umur pada saat lebar karapas mencapai lebar maksimum (Lmax)

Lebar karapas maksimum (Lmax) umumnya tercapai sekitar 95% dari lebar karapas asimtotik (L∞) (Beverton 1963 dalam Pauly 1980).

Mortalitas alami dapat diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1980). Pauly menjelaskan bahwa ada pengaruh suhu rata-rata perairan terhadap laju mortalitas, berdasarkan pengamatan empiris nya. Rumus Pauly adalah sebagai berikut :

Log M = -0,0066 – 0,279 log L∞ + 0,6543 log K + 0,4634 log T Keterangan:

M = mortalitas alami,

L∞ = lebar asimtotik secara teoritis,

K = koefisien pertumbuhan (per satuan waktu), T = rata-rata suhu perairan (0C).

Pendugaan mortalitas total (Z) dilakukan dengan metode kurva konversi hasil tangkapan dengan panjang (length converted catch curve) pada paket program FISAT II (Gayanilo et.al 2005). Penghitungan tingkat pemanfaatan (E) diperoleh dari nilai-nilai dugaan mortalitas alami (M) dan mortalitas penangkapan (F). Pendekatan rumus dari nilai-nilai tersebut digunakan persamaan berikut :

E =

42

Dijelaskan lebih lanjut, suatu stok sudah mengalami kelebihan tangkap (E > 0.5) atau belum (E < 0.5), dengan asumsi bahwa nilai E optimal (E opt) adalah 0.5. Penggunaan E ~ 0.5 sebagai nilai optimal untuk rasio pengusahaan suatu stok didasarkan pada asumsi bahwa hasil berimbang adalah optimal bila F=M (Gulland 1971).

Hasil

Parameter populasi rajungan dikaji berdasarkan zona penangkapan yang berbeda. Zona penangkapan yang terbagi atas tiga zona adalah gambaran dari bagian siklus hidup dan kondisi sumberdaya rajungan yang diasumsikan sebagai satu unit stok.

Hubungan Lebar Karapas dan Bobot

Hubungan lebar karapas dan bobot menggambarkan sifat pertumbuhan rajungan. Persamaan hubungan lebar karapas dan bobot rajungan jantan dan betina ditunjukkan pada Gambar 16. Nilai b dari persamaan hubungan lebar karapas dengan bobot jantan dan betina telah diuji-t pada selang kepercayaan 95%. Hasil uji diperoleh hasil yang berbeda nyata baik untuk jantan maupun betina (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa sifat pertumbuhan rajungan jantan dan betina adalah allometrik positif dengan b masing-masing adalah 3.342 dan 3.250. Sifat pertumbuhan alometrik positif menunjukkan bahwa pertumbuhan bobot lebih cepat dibandingakan dengan pertumbuhan lebar karapasnya.

Hasil penelitian di beberapa perairan lain juga diperoleh sifat pertumbuhan yang variatif. Beberapa penelitian tersebut, antara lain: di perairan Tangerang (Jawa Barat) baik jantan maupun betina diperoleh pertumbuhan yang bersifat alometrik negatif (Prihatiningsih dan Wagiyo 2009), perairan Trang (Thailand) (Sawusdee dan Songrak 2009) dan perairan Bandar Abbas (Persia) (Kamrani et al.

2010) diperoleh sifat pertumbuhan jantan dan betina yang isometrik. Sedangkan di perairan pantai Mandapam-India menunjukkan pola pertumbuhan yang bersifat alometrik positif baik jantan maupun betina (Josileen 2011b).

43 Tabel 6. Hasil analisa hubungan lebar karapas dan bobot rajungan (P.pelagicus)

total

persamaan b R2 t hitung t(α=0.05) sifat pertumbuhan

jantan W = 0.00001L 3.342 3.342 0.916 9.851 1.645 allometrik positif

betina W = 0.00002 L 3.259 3.259 0.899 9.797 1.645 allometrik positif

Hasil analisa hubungan lebar karapas dan bobot rajungan yang dikelompokkan berdasarkan zona penangkapan menunjukkan hasil yang berbeda- beda di tiap zona (Tabel 7). Pada zona 1 diperoleh pertumbuhan yang bersifat isometrik, zona 2 bersifat alometrik negatif dan zona 3 bersifat allometrik positif. Tabel 7. Hasil analisa hubungan lebar karapas dan bobot rajungan (P.pelagicus)

berdasarkan zona penangkapan yang berbeda

Zona persamaan b R2 t hitung t(α=0.05) sifat pertumbuhan

1 W =0.00007L 2.997 2.997 0.817 0.081 1.645 isometrik

2 W = 0.00009L 2.917 2.917 0.867 2.786 1.645 allometrik negatif

3 W = 0.00004L 3.126 3.126 0.802 2.75 1.645 allometrik positif

Faktor Kondisi

Pengamatan bulanan faktor kondisi rajungan jantan dan betina memiliki pola relatif sama. Pada jantan, nilai faktor kondisi relatif sama, tidak terjadi fluktuasi yang signifikan. Faktor kondisi jantan berkisar antara 0.8210 sampai dengan 1.1846 dan betina berkisar antara 1.0219 sampai dengan 1.2947. Nilai faktor kondisi terendah jantan terjadi di bulan Maret 2012 dan tertinggi di bulan Februari 2013. Pada betina faktor kondisi terendah terjadi di bulan September 2013 dan tertinggi terjadi di bulan Oktober 2013 (Gambar 17). Rata-rata faktor

Dokumen terkait