• Tidak ada hasil yang ditemukan

a rajungan di perairan Pati dan sekitarnya tela pir lebih dari 20 tahun. Pemanfaatan sumber ikanan skala kecil. Kegiatan penangkapan dil

kurang dari 5 GT. Sampai saat ini kebij ndonesia terkait dengan perikanan skala kecil masih

penangkapan khususnya untuk rajungan dilakuk g tahun. Berdasarkan hasil penelitian yang telah

ya, untuk menjaga kelestarian dan keberlanjut rikan beberapa opsi pengelolaan perikanan raj iran Pati dan sekitarnya.

ian dikaji berdasarkan zona penangkapan yang gi atas tiga zona adalah gambaran dari bagian

a rajungan yang diasumsikan sebagai satu uni pat digambarkan secara umum sebagai segiti daerah asuhan, stok ikan dan daerah pemijaha on dan Holt (1957) menjelaskan bahwa masukn

daerah asuhan menuju daerah penangkapan uitmen. Gulland (1983) menjelaskan lebih lanjut masuknya individu-individu baru di habitat ya e berikutnya dalam suatu siklus hidup. Kemudi uitmen bisa dalam bentuk rekruitmen dari telur dari daerah pemijahan menuju rekruitmen juve uitmen juvenil dari daerah asuhan menuju da du dewasa.

21. Segitiga siklus hidup sumberdaya rajungan (P.pe

53

elah dimanfaatkan berdaya umumnya dilakukan dengan bijakan peraturan sih sangat minim. lakukan sepanjang lah diuraikan pada njutan sumberdaya rajungan ke depan ng berbeda. Zona n siklus hidup dan u unit stok. Siklus itiga siklus hidup han (Gambar 21). asuknya individu- pan (stok) disebut

njut bahwa proses yang berbeda dari udian dicontohkan ur menuju embrio,

juvenil di daerah u daerah populasi

54

Pada siklus hidup rajungan, setiap fase nya memiliki preferensi habitat yang berbeda. Juvenil rajungan lebih banyak mendominasi hidup di perairan dangkal, dengan salinitas lebih rendah tetapi tetap lebih tinggi dibanding salinitas di estuari atau sungai, untuk tumbuh dan menjadi dewasa. Juvenil-juvenil ditemukan di daerah mangrove dan lumpur selama delapan hingga 12 bulan. Sementara rajungan-rajungan dewasa hidup di perairan lebih dalam (Fischler dan Walburg 1962; Sumpton et al. 1994; Chande dan Mgaya 2003; Nitiratsuwan et al. 2010). Pada Tabel 13, 14 dan 15 ditampilkan rangkuman hasil-hasil penelitian yang meliputi aspek lingkungan, biologi dan pemanfaatannya.

Tabel 13. Kondisi lingkungan di perairan Pati dan sekitarnya

Lingkungan Zona penangkapan

Zona 1 Zona 2 Zona 3

Suhu (oC) 28.3(±0.08) 30.2(±1.49) 28.9(±0.16)

Salinitas (‰) 34.8(±0.63) 32.3(±1.27) 32.2(±0.58)

Substrat pasir berlumpur berlumpur + lumpur berpasir lumpur berpasir

Tabel 14. Parameter biologi rajungan di perairan Pati dan sekitarnya

Biologi Zona penangkapan Musim

Zona 1 Zona 2 Zona 3 Barat Timur

Komposisi - - - 60% P.

pelagicus

90% P. pelagicus

Nisbah kelamin - - - Relatif

sebanding tidak sebanding

TKG - - - 74.3% (III&IV) 64.4% (III&IV) Ukuran (mm) -jantan 134.3 105.20 132.71 -betina 133.17 106.77 131.92 Hub L & W Isometrik Alometrik negatif Alometrik positif Lm 107 mm Keterangan :

- TKG : tingkat kematangan gonad - L & W : Lebar karapas dan bobot - Lm : Ukuran rata-rata matang gonad

55 Tabel 15. Pemanfaatan rajungan di perairan Pati dan sekitarnya

Pemanfaatan Zona penangkapan Musim

Zona 2 Zona 1 Zona 3 Barat Timur

CPUE m barat > m timur m barat ≈ m timur

-zona 2 Sangat rendah

-zona 1&3 Cukup tinggi

K (per tahun) 1.4 1.05 1.22

Lmax (mm) 147.25 178.6 173.85

tmax (tahun) 2.14 2.67 2.46

F 8.5 4.82 5.21

E Over fishing Over fishing Over fishing

Lc 108 mm

Keterangan:

- CPUE : hasil tangkapan per satuan upaya (kg/perahu/hari) - K : Laju pertumbuhan

- Lmax : lebar karapas maksimum - tmax : umur maksimum

- F : Mortalitas yang diakibatkan penangkapan - E : tingkat pemanfaatan

- Lc : Ukuran rata-rata pertama kali tertangkap Habitat

Kondisi lingkungan perairan Pati secara umum dapat dikatakan berada pada kisaran optimum. Hasil penelitian terdahulu disebutkan bahwa suhu dan salinitas optimum untuk perkembangan rajungan di Sub-kontinen Samudera India berkisar antara 28o sampai dengan 30 oC dan salinitas berkisar antara 30‰ sampai dengan 35‰ (Ravi dan Manisseri 2012). Suhu dan salinitas optimum untuk pertumbuhan dan perkembangan larva P.pelagicus dalam skala lab adalah 30 oC dan 30 ‰ (Ikhwanuddin et al 2012). Jenis substrat di perairan Pati dan sekitarnya teridentifikasi tiga tipe substrat, yaitu lumpur, lumpur berpasir dan lumpur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga tipe substrat tersebut tidak mempengaruhi sebaran rajungan. Setiap fase siklus hidup rajungan memiliki preferensi habitat yang berbeda. Menurut Edgar (1990), rajungan dewasa lebih menyukai substrat berpasir atau lumpur berpasir pada perairan dangkal hingga kedalaman 50 m. Sedangkan Smith (1982) menjelaskan bahwa rajungan-rajungan muda banyak ditemukan di daerah mangrove dan berlumpur dengan ukuran lebar karapas mencapai 80 sampai dengan 100 mm. Secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi abiotik lingkungan perairan di kabupaten Pati dan sekitarnya untuk kehidupan rajungan dapat dikatakan masih baik. Oleh karena itu kondisi ini harus tetap dipertahankan dan dijaga.

56

Komposisi jenis rajungan yang tertangkap di musim barat dan timur selalu didominasi oleh jenis P. pelagicus. Spesies ini selalu mendominasi hasil tangkapan disebabkan oleh kondisi lingkungan perairan masih dalam kondisi baik untuk kehidupan jenis tersebut. Jenis rajungan tersebut juga memiliki nilai ekonomis paling tinggi dibandingkan rajungan-rajungan jenis lain.

Konservasi

Perbandingan nisbah kelamin antara jantan dan betina berbeda pada musim Barat dan Timur. Pada musim barat relatif sebanding dibandingkan pada musim Timur yang cenderung tidak sebanding. Perbedaan tersebut tidak mengganggu dalam keberlanjutan sumberdaya, khususnya dalam hal reproduksi. Hal tersebut ditunjukkan dengan TKG di musim Barat dan Timur selalu didominasi oleh TKG yang sudah matang. Dapat dikatakan bahwa kematangan gonad rajungan di perairan Pati dan sekitarnya terjadi sepanjang tahun.

Pada negara-negara sub tropik atau beriklim sedang dapat diberlakukan kebijakan clossed season yaitu pelarangan kegiatan penangkapan. Di daerah tropis seperti Indonesia, bentuk kebijakan tersebut sangat sulit untuk diberlakukan mengingat secara umum kondisi perikanan di daerah tropis bersifat multispesies. Selain itu, secara khusus rajungan yang matang gonad terjadi sepanjang tahun dan selalu dominan dibandingkan dengan yang belum matang. Sehingga kebijakan tersebut kurang tepat diberlakukan untuk perikanan rajungan khususnya di perairan Pati dan sekitarnya. Solusi yang memungkinkan adalah diberlakukan peraturan utuk melepaskan kembali rajungan-rajungan betina yang tertangkap dalam kondisi sedang mengerami telur dengan kaki-kaki renangnya (beared female). Sehingga rajungan-rajungan tersebut memiliki kesempatan untuk menetaskan telurnya. Diharapkan melalui opsi tersebut, keberlanjutan sumberdaya rajungan dapat terus terjaga.

Sebaran rajungan sangat dipengaruhi oleh faktor siklus hidup. Telah dijelaskan bahwa rajungan-rajungan muda atau juvenil hidup di perairan pantai relatif dangkal dan daerah dekat muara sungai (area zona 2). Rata-rata ukuran rajungan yang tertangkap di daerah pinggiran atau zona 2 adalah paling kecil dibandingkan di zona 1 dan 3. Rata-rata ukuran jantan dan betina yang tertangkap di zona 2 adalah 105.2 mm dan 106.77 mm. Sehingga dapat diduga bahwa rata- rata rajungan yang berada di perairan zona 2 adalah rajungan-rajungan muda. Laju pertumbuhan (K) di zona 2 adalah sangat cepat dan pencapaian lebar karapas infinitif (L∞) nya relatif paling kecil dibandingkan di zona 1 dan 3. Rata-rata ukuran rajungan yang tertangkap di zona 2 adalah kurang dari rata-rata ukuran pertama kali matang gonad (107 mm).

Rajungan di perairan zona 2 cenderung kurus dibandingkan di perairan zona 1 dan 3 (hubungan L&W). Kondisi ini disebabkan banyak nya aktivitas penangkapan yang dapat menyebabkan berkurangnya sumber makanan alami rajungan. Aktivitas-aktivitas tersebut meyebabkan mortalitas pada ikan-ikan dan biota-biota lain yang dapat merusak sistem rantai makanan. Berdasarkan hal tersebut, sebaiknya kegiatan penangkapan tidak dilakukan di zona 2 atau dilakukan di area yang lebih ke tengah. Sehingga opsi pengelolaannya adalah perlu melakukan pengaturan daerah penangkapan dalam hal ini adalah melakukan

57

Clossing area dapat dilakukan pada bulan tertentu di musim Barat yaitu bulan Januari dan Februari. Clossing area adalah salah satu cara untuk melakukan preservasi stok. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa distribusi frekuensi ukuran rajungan bulan Januari dan Februari rata-rata berukuran lebih kecil dibandingkan di bulan-bulan lain. Kondisi ini disebabkan oleh tingginya curah hujan di bulan- bulan tersebut yang berakibat turunnya salinitas di perairan pantai. Pantai dengan sainitas tidak terlalu tinggi adalah daerah yang optimum sebagai habitat pertumbuhan juvenil rajungan untuk tumbuh dan menjadi dewasa. Sehingga rajungan-rajungan berukuran lebih besar yang umumnya telah matang kelamin bermigrasi ke perairan yang lebih dalam. Sukumaran dan Neelakantan (1997b) menjelaskan bahwa karena rendahnya salinitas di perairan pantai, rajungan- rajungan yang berukuran besar bermigrasi ke perairan yang lebih dalam dengan salinitas yang lebih tinggi.

Pemanfaatan

Ukuran rata-rata pertama kali matang gonad (Lm) rajungan betina lebih besar dibandingkan ukuran rata-rata pertama kali tertangkap (Lc). Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata rajungan yang tertangkap telah melakukan pemijahan. Kondisi ini harus terus dipertahankan sehingga keberlanjutan sumberdaya rajungan dapat terjaga. Dengan mengetahui ukuran rata-rata pertama kali matang gonad, dapat dijadikan dasar dalam penentuan kebijakan ukuran minimal yang boleh ditangkap (minimum legal size), khusus nya di perairan Pati dan sekitarnya. Nilai Lm yang diperoleh di perairan Pati dan sekitarnya berbeda dengan hasil yang diperoleh di perairan lain. Berdasarkan perbedaan dari ukuran Lm, penentuan ukuran minimal yang boleh ditangkap harus lebih hati-hati dalam pengambilan kebijakan skala nasional. Hal ini harus disesuaikan dengan sumberdaya rajungan di masing-masing perairan. Karena rajungan di masing- masing perairan diduga merupakan unit stok yang berbeda.

Rata-rata CPUE di area perairan tengah (zona 1 dan 3) adalah relatif sama di musim Barat (49.54 ±22.61 kg/perahu/hari) maupun musim Timur (57.9±15.94 kg/perahu/hari). Sebaliknya rata-rata CPUE di zona 2 musim Barat lebih besar dibandingkan musim Timur. Rata-rata CPUE zona 2 di musim Barat adalah 6.4±2.53 kg/perahu/hari dan musim timur lebih rendah yaitu hanya 4.4±2.21 kg/perahu/hari. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa sumberdaya rajungan di perairan zona 2 relatif sedikit. Sehingga kegiatan penangkapan di zona 2 sebaiknya diarahkan untuk berpindah ke perairan yang lebih ke tengah (zona 1 dan 3). Rata-rata ukuran rajungan di zona 1 dan 3 memiliki kemampuan mencapai lebar karapas maksimum lebih besar dibandingkan rajungan di zona 2.

Mortalitas yang diakibatkan oleh kegiatan penangkapan relatif tinggi terutama di zona 2. Karena hal tersebut menyebabkan parameter tingkat pemanfaatan rajungan di perairan Pati dan sekitarnya telah menunjukkan indikasi lebih tangkap atau over fishing (E>0.5). Oleh karena itu dalam pengelolaan perikanan rajungan di wilayah ini harus lebih hati-hati. Perlu dibatasi atau dikurangi jumlah upaya penangkapannya. Pembatasan dan pengurangan jumlah upaya penangkapan dapat dilakukan dengan cara mengurangi jumlah trip, jumlah alat tangkap dan jumlah armada penangkapan. Seberapa banyak jumlah trip, alat

58

tangkap dan armada yang diijinkan sangat sulit ditentukan karena harus mengacu pada MSY dan TAC (jumlah yang boleh ditangkap) nya. Permasalahn saat ini adalah untuk mengestimasi MSY dan TAC adalah dibutuhkan data yang kontinyu dan komprehensif. Data yang sederhana seperti data hasil tangkapan dan data upaya penangkapan sampai saat ini belum tersedia. Sehingga diharapkan kedepan baik daerah maupun pusat sudah memulai dan memiliki strategi dalam pengumpulan data yang lebih baik.

59 8 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Sebaran stok rajungan berdasarkan perbedaan tipe substrat relatif sama. Hal ini karena kondisi habitat dan faktor-faktor lingkungan perairan relatif optimum.

2. Rajungan bereproduksi sepanjang tahun.

3. Rata-rata rajungan yang tertangkap telah melakukan pemijahan. Ditunjukkan dengan rata-rata ukuran lebar karapas pertama kali tertangkap (Lc) 108 mm lebih besar dibandingkan rata-rata ukuran lebar karapas pertama kali matang gonad (Lm) 107 mm.

4. Pola pertumbuhan rajungan masih cukup baik namun tingkat pemanfaatan relatif tinggi dan cenderung over fishing.

5. Opsi pengelolaan sumberdaya rajungan, antara lain: 1) pelarangan kegiatan penangkapan di area muara dan pinggiran pantai, 2) pelepasan kembali rajungan-rajungan betina yang tertangkap dalam kondisi sedang mengerami telur, 3) dilakukan pengaturan tentang minimum legal size yang didasarkan pada rata-rata ukuran pertama kali matang gonad dan 4) pembatasan dan pengurangan upaya penangkapan.

Saran

1. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai siklus hidup rajungan di perairan Pati dan sekitarnya. Beberapa hal mengenai siklus hidup rajungan antara lain: tentang larva rajungan, area rajungan melakukan pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground) rajungan dan kapan rajungan memasuki area penangkapan (fishing ground). Sehingga diperoleh tambahan informasi yang lengkap untuk pengelolaan sumberdaya rajungan di perairan Pati dan sekitarnya.

2. Perlu dilakukan penelitian tentang aspek reproduksi rajungan jantan dan betina yang lebih mendalam di tiap zona penangkapan agar dapat diprediksi pola-pola pemijahan.

3. Perlu dilakukan penelitian tentang genetika populasi rajungan untuk mengkaji unit stok rajungan.

61 DAFTAR PUSTAKA

Arshad A, Efrizal, Kamarudin MS, Saad CR. 2006. Study on Fecundity, Embryology and Larval Development of Blue Swimming Crab

Portunus pelagicus (Linneaus, 1758) under Laboratory Conditions. Research Journal of Fisheries and Hydrobiology, 1 (1): 35-44.

Batoy CB, Sarmago JF, Pilapil BC. 1987. Breeding season, sexual maturity and fecundity of the blue crab, Portunus pelagicus (L.) in selected coastal waters in Leyte and vicinity, Philippines. Annals of Tropical Research, 9:157-177.

Beverton RJH, Holt SJ. 1957. On The Dynamics of Exploited Fish Populations. Fishery Investigations. 19 : 533 p.

Camargo WN, Van Vooren L, Sorgeloos P. 2002. Effects of Lunar Cycles on Artemia Density in Hypersaline Environments. Hydrobiologia. 468: 251-260.

Carmona-Suarez CA, Conde JE. 2002. Local Distribution and Abundance of Swimming Crabs (Callinectes spp and Arenaeus cribrarius) on Tropical Arid Beach. Fish. Bull 100: 11-25.

Chande AI, Mgaya YD. 2003. The Fishery of Portunus pelagicus and Species Diversity of Portunid Crabs along the Coast of Dar es Salaam, Tanzania. Western indian Ocean J.Mar. Sc. Vol. 2, No. 1. Pp:75-84. Chu J, Anderson JL, Anderson CM. 2012. Evaluation of New Fishery

Performance Indicators (FPIs) : A case study of the Blue Swimming Crab Fisheries in Indonesia and Philippines. Agric. and Rural Dev. Discussion Paper 52. The World Bank. Washington,DC: 7-8.

Courtney AJ, Die DJ, McGilvray JG. 1996. Lunar Periodicity in Catch Rate and Reproductive Condition of Adult Eastern King Prawns, Penaeus plebejus, in Coastal Waters of South-eastern Queensland, Australia. Mar.Freshwater Res. 47:67-76.

deLestang S, Hall NG, Potter IC. 2003. Reproductive biology of the blue Swimmmer Crab (Portunus pelagicus, Decapoda:Portunidae) in Five Bodies of Water on The West Coast of Australia. Fish. Bull. 101(4):745-757.

Dixon CD, Hooper GE. 2010. Blue Crab (Portunus pelagicus) Fishery 2008/2009. Stock Assesment Report to PIRSA Fisheries. South Australian Research and Development Institute (Aquatic Sciences), Adelaide. SARDI Publication No.F2007/000729-6. SARDI Research Report Series No. 428. 86 p.

DJP2HP [Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan]. 2012. Statistik Ekspor Hasi Perikanan 2011. Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. Jakarta.

Djunaedi A. 2009. Kelulusan dan Pertumbuhan Crablet Rajungan (Portunus pelagicus Linn) pada Budidaya dengan Substrat Dasar yang Berbeda. Ilmu Kelautan. Vol. 14 (1):23-26.

Edgar GJ. 1990. Predator-prey Interactions in Seagrass Beds. II. Distribution and Diet of The Blue Manna Crab Portunus pelagicus Linnaeus at Cliff Head, Western Australia. J.Exp. Mar. Bio. Ecol. 139(3):23-32.

62

Effendie MI. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 p.

Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Fauzi S. 2013. Kebijakan Pembangunan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. Workshop Nasional Pengelolaan Penangkapan Rajugan di Perairan Utara Jawa 22 Oktober 2013. Semarang. Ditjen P2HP. KKP. Jakarta.

Fischler KJ, Walburg CH. 1962. Blue crab movement in coastal South Carolina, 1958-59. Trans. Am.Fish. Soc. 91:275-278.

Gayanilo FC Jr, Sparre P, Pauly D. 2005. The FAO-ICLARM Stock Assessment Tools II (FiSAT II).Revised Version. User’s Guide. FAO Comput. Inf. Ser. Fish. No 8. 168p.

Gulland JA. 1971. The Fish Resources of The Ocean. Fishing News (Books) Ltd. West Byfleet England. 255 p.

Gulland JA. 1983. Fish Stock Assessment: Amanual of Basic Methods. John Wiley & Sons New York. 223 p.

Hamsa KMSA. 1978. Meat Content of Portunus pelagicus with Some Observations on Lunar Periodicity in Relation to Abundance, Weight and Moulting. Indian Journal of Fisheries 25 (1): 165-170.

Hanson KC, Arrosa S, Hasler CT, Suski CD, Philipp DP, Niezgoda G, Cookie SJ. 2008. Effects of Lunar Cycles on The Activity Patterns and Depth Use of a Temperate Sport Fish, The Largemouth Bass, Micropterus salmoides. Fisheries Management and Ecology. 15:357-364.

Hartnoll RG. 1982. Growth. In D.E. Bliess (ed). The Biology of Crustacea. Vol 2, embriology, morfology and genetics. Academic Press. New York. P 111- 196.

Hill J, Flower DL, Van Den Avyle MJ. 1989. Species profiles: Life Histories and Enviromental Requirements of Coastal Fishes and Invertebrates (Mid- Atlantic)-Blue Crab. U.S. Fish Wildl. Serv. Biol. Rep. 82 (11.100). U.S. Army Corps of Engineers, TR EL-82-4. 18 pp.

Hosseini M, Vazirizade A, Parsa Y, Mansori A. 2012. Sex Ratio, Size Distribution and Seasonal Abundance of Blue Swimming Crab,

Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) in Persian Gulf Coasts, Iran. World Applied Sciences Journal 17(7):919-925. ISSN 1818-4952. Ikhwanuddin Mhd, Azra MN, Talpur MAD, Abol-Munafi AB, Shabdin ML. 2012.

Optimal Water Temperature and Salinity for Production of Blue Swimming Crab, Portunus pelagicus 1st Day Juvenile Crab. International Journal of the Bioflux Society. Vol 5 Issue 1.

Josileen J, Menon NG. 2004. Larval Stage of The Blue Swimmer Crab, Portunus pelagicus (Linnaeus,1758) (Decapoda, Brachyura). Crustaceana 77(7): 785 – 803.

Josileen J. 2005. Growth of The Blue Swimmer Crab, Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) (Decapoda, Brachyura) in Captivity. Crustaceana 78 (1):1-18.

63 Josileen J. 2011a. Food and Feeding of The Blue Swimmer Crab, Portunus

pelagicus (Linnaeus, 1758) (Decapoda, Brachyura) Along The Cosat of Mandapam Tamil Nadu India. Crustaceana 84 (10):1169-1180. Josileen J. 2011b. Morphometrics and Length-Weight Relationship in The Blue

Swimmer Crab, Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) (Decapoda, Branchyura) from The Mandapam Coast, India. Crustaceana 84 (14):1665-1681.

Juwana S, Aswandy I, Panggabean MGL. 1987. Larval development of The Indonesian Blue Swimming Crab, Portunus pelagicus (L) (Crustacea: Decapoda : Portunidae) reared in the Laboratory. Mar.Res. Indonessia 26: 29-49.

Juwana S. 1998. Pengamatan Salinitas, Suhu dan Diet untuk Pemeliharaan Burayak Rajungan (Portunus pelagicus). Prosiding. Seminar Bioteknologi Kelautan Indonesia I. Jakarta 14 – 15 Oktober 1998: 257- 272.

Juwana S, Aziz A, Ruyitno. 2009. Evaluasi Potensi Ekonomis Pemacuan Stok Rajungan di Perairan Teluk Klabat, Pulau Bangka. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 35(2): 107-128.

Kailola PJ, Williams MJ, Stewart PC, Reichelt RE, McNee A, Grieve C. 1993. Australian Fisheries Resources. Bureau of Resource Sciences, Department of Primary Industries and Energy, and the Fisheries Research and Development Corporation, Canberra, Australia. 422 p. Kamrani E, Sabili AN, Yahyavi M. 2010. Stock Asseement and Reproductive

Biology of The Blue Swimming Crab, Portunus pelagicus in Bandar Abbas Coastal Waters, Norther Persian Gulf. Journal of The Persian Gulf. Marine Science. 1(2):11-22.

Kangas M.I. 2000. Synopsis of the biology and exploitation of the blue swimmer crab, Portunus pelagicus Linnaeus, in Western Australia. Fisheries Research Report No. 121. Fisheries Western Australia.

Kembaren DD, Ernawati T, Suprapto. 2012. Biologi dan Parameter Populasi Rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Bone dan Sekitarnya. JPPI 18(4):273-281.

King M. 1995. Fisheries Biology, Assessment and Management. United kingdom: fishing news books. 341 p.

Kumar MS, Xiao Y, Venema S, Hooper G. 2003. Reproductive Cycle of The Blue Swimmer Crab, Portunus pelagicus off Southern Australia. J. Mar. Biol. Ass. UK 83: 983-994.

Le Cren ED. 1951. The Length-weight Relationship and Seasonal Cycle in Gonad Weight and Conditions in The Perch Perca fluviatilis. J. Animal Ecol. 20: 201-219.

Martin JW, Davis GE. 2001. An Updated Classification of the Recent Crustacea.

No. 39. Science Series Natural History Museum. Los Angeles. 124 p. Meagher TD. 1971. Ecology of the Crab Portunus pelagicus (Crustacea:

Portunidae) in South Western Australia. Unpublished. PhD Thesis, University of Western Australia, Australia.

Mohapatra A, Mohanty RK, Mohanty SK, Dey SK. 2010. Carapace width and weigth relationships, Condition Factor, Relative Condition Factor and

64

Gonado-somatic index (GSI) of Mud Crabs (Scylla spp) from Chilika Lagoon, India. Indian Journal of Marine Sciences. 39(1): 120-127. Ng PKL. 1998. Crabs. In Carpenter, K.E. and V.H.Niem (Eds). FAO Species

identification guide for fishery purposes. The living marine resources of the Western Central Pacific. FAO-UN. Vol. 2. Rome. p:1045 - 1155.

Nishida AK, Nordi N, Alves RRN. 2006. The Lunar-tide Cycle Viewed by Crustacean and Mollusc Gatherers in The State of Paraiba, Northeast Brazil and Their Influence in Collection attitudes. Journal of ethnobiology and Ethnomedicine. 2:1. doi:10.1186/1746-4269-2-1. Nitiratsuwan T, Nitithamyong C, Chiayvareesajja S, Somboonsuke B. 2010.

Distribution of Blue Swimming Crab (Portunus pelagicus Linnaeus, 1758) in Trang Province. Songklanakarin J. Sci. Technol. 32 (3): 207- 212.

Nwosu FM, Holzlohner S. 2003. Lunar and seasonal variations in the catches of Macrobrachium fisheries of the Cross River Estuary, SE Nigeria. In: 16th Annual Conference of the Fisheries Society of Nigeria (FISON), 4-9 November 2001.Maiduguri, Nigeria.

Nuraini S, Prihatiningsih, Hartati ST. 2009. Parameter Populasi dan Selektivitas Rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus) yang Tertangkap dengan Beberapa Jenis Alat Tangkap di Teluk Jakarta. JPPI 15(4):287-295. Pauly D. 1980. On the Interrelationships Between Natural Mortality, Growth

Parameters and Mean Environmental Temperature in 175 fish stocks. J. Cons. CIEM 39(3): 175–92.

Prihatiningsih, Wagiyo K. 2009. Sumber Daya Rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Tangerang. Bawal. 2(6):273-282.

Ravi R, Manisseri MK. 2012. Survival Rate and Development Period of the Larvae of Portunus pelagicus (Decapoda, Brachyura, Portunidae) in Relation to Temperature and Salinity. FAJ(49):1-8.

Robinson CJ, Gomez-Aguirre S. 2004. Tidal Stream Use by The Red Crab Pleuroncodes planipes in Bahia Magdalena, Mexico. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology. 308:237-252. doi:10.1016/j.jembe.2004.03.00

SFP [Sustainable Fisheries Partnership]. 2009. Indonesian Blue Swimming Crab Fisheries.

Smith H. 1982. Blue Swimmer Crabs in South Australia – their Status, Potential and Biology. Safic. 6(5):6-9.

Soundarapandian H, Tamizhazhagan T. 2009. Embryonic Development of Commercially Important Swimming Crab Portunus pelagicus

(Linnaeus). Current Research Journal of Biological Sciences. 1(3):106 -108.

Sparre P, Venema SC. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Penerjemah. Terjemahan dari : Introduction to Tropical Fish Stock Assesment Part I. FAO Fish Tech Pap No. 306/1. 438 p.

Stewart J, Ferrell DJ. 2002. Mesh Selectivity in The New South Wales Demersal Trap Fishery. Fisheries Research 59(2003):379-392.

65 Sukumaran KK, Neelakantan B. 1997a. Sex Ratio, Fecundity and Reproductive

Potential in Two Marine Portunid Crabs, Portunus (Portunus)

Dokumen terkait