• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Pengetahuan tentang pengaruh siklus bulan terhadap aktivitas organisme laut telah cukup banyak dipelajari. Siklus bulan berpengaruh terhadap perubahan kondisi lingkungan laut terkait dengan pencahayaan dan fluktuasi pasang-surut (Gliwicz 1986 dalam Hanson et al. 2008). Fluktuasi pasang-surut dapat mempengaruhi siklus hidup, aktivitas dan distribusi hewan-hewan yang hidup di perairan pantai, termasuk hewan-hewan yang bersifat benthik. Perubahan tingkah laku dan aktivitas dari hewan-hewan tersebut dapat mempengaruhi strategi penangkapan dalam kegiatan perikanan tangkap (Nishida et al. 2006).

Siklus bulan mempengaruhi molting dan proses kematangan kelamin pada Krustase khususnya Decapoda (Nascimento et al. 1991 dalam Camargo et al.

2002). Berbagai contoh pengaruh siklus bulan terhadap organisme, umumnya adalah hewan-hewan di daerah intertidal, salah satunya adalah kepiting biola (Uca

spp) (Courtney et al. 1996). Contoh lain adalah terhadap udang penaid (Penaeus schmitti), bahwa puncak kematangan kelamin selama periode siklus bulan terjadi pada fase bulan purnama (full moon) dan bulan baru (new moon). Sementara moulting umumnya terjadi pada fase antara periode bulan penuh dan bulan baru, yaitu fase perbani (Nascimento et al. 1991 dalam Camargo et al. 2002).

Siklus bulan dapat mempengaruhi hasil tangkapan nelayan untuk kelompok Krustase. Pada udang raja (Penaeus plebejus) di perairan pantai tenggara Queensland (Australia), rata-rata tangkapan per satuan upaya (CPUE) tertinggi terjadi saat menjelang fase bulan purnama dan kemudian menurun selama tujuh hari setelah fase bulan purnama (Courtney et al.1996). Hal serupa juga terjadi pada perikanan udang galah (Macrobrachium spp) di perairan estuari Cross River (Nigeria). CPUE udang galah tertinggi tercatat selama periode fase bulan purnama dan bulan baru. Sedangkan hasil CPUE terendah tercatat selama periode fase bulan perbani (Nwosu dan Holzlohner 2003).

Hasil-hasil penelitian sebelumnya telah banyak diinformasikan tentang pengaruh siklus bulan terhadap Krustase khususnya Decapoda, terhadap tingkah laku, molting dan reproduksi. Siklus bulan juga berpengaruh terhadap hasil tangkapan per satuan upaya untuk kelompok krustase. Oleh karena itu siklus bulan diduga mempunyai pengaruh terhadap hasil tangkapan per satuan upaya rajungan. Penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh sikus bulan dan musim

terhadap hasil tangkapan rajungan per satuan upaya.

12

Metode Penelitian

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Tempat Pendaratan Ikan Alasdowo, kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati pada bulan April 2012 sampai dengan April 2013 (Gambar 1).

Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan bersumber dari catatan buku bakul pengumpul rajungan. Buku bakul yang digunakan terdiri dari dua kelompok, yaitu: 1) catatan hasil tangkapan bubu lipat yang beroperasi dengan jarak kurang dari 2 mil dari

fishing base (zona 2) dan 2) catatan hasil tangkapan bubu lipat yang beroperasi lebih dari 3 mil (zona 1 dan 3). Buku bakul tersebut merupakan catatan hasil tangkapan harian nelayan-nelayan bubu dengan target tangkapan adalah rajungan. Catatan buku bakul yang dikumpulkan adalah selama satu tahun mulai dari bulan April 2012 sampai dengan April 2013.

Analisa Data

Hasil tangkapan dan banyak nya upaya yang tercatat dalam buku bakul diklasifikasikan ke dalam empat kelompok berdasarkan empat fase bulan: (1) bulan baru, (2) perbani awal, (3) bulan purnama dan (4) perbani akhir. Penentuan fase bulan dilakukan dengan mengikuti kalender siklus bulan yang diakses dari www.moonconnection.com. Hasil tangkapan per satuan upaya diperoleh, sebagai berikut :

= / Keterangan :

CPUE = jumlah hasil tangkapan per satuan upaya (kg/perahu/hari), C = jumlah hasil tangkapan rajungan per perahu (kg) dan E = jumah upaya harian rajungan (hari).

CPUE disajikan dalam bentuk grafik. Untuk mengetahui perbandingan CPUE pada fase bulan baru dan bulan penuh terhadap kedua fase perbani dilakukan dengan metode statistik melalui uji t-student. Hipotesa pertama terhadap Ho adalah tidak terdapat perbedaan CPUE pada fase bulan baru dan bulan purnama dengan fase perbani. Hipotesa kedua terhadap Ho adalah tidak terdapat perbedaan CPUE pada musim barat dengan musim timur.

13 Hasil

CPUE Rajungan Zona 1 dan 3

Rata-rata CPUE harian rajungan zona 1 dan 3 pada fase bulan baru, fase perbani dan bulan purnama masing-masing adalah 49.58 (±20.44) kg/perahu/hari, 48.72 (±15.94) kg/perahu/hari dan 63.19 (±22.38) kg/perahu/hari. CPUE rata-rata pada fase bulan purnama dan bulan baru dalam sepanjang satu tahun (April 2012 sampai dengan Maret 2013) relatif paling tinggi dibandingkan pada fase perbani (Gambar 4). Pada bulan Agustus untuk fase bulan baru tidak diperoleh data CPUE. Pada fase tersebut, tidak ada nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan disebabkan libur lebaran (tanggal 15 sampai dengan 20 Agustus 2012).

Hasil perbandingan CPUE rata-rata pada fase bulan baru dan purnama dengan fase bulan perbani yang dilakukan dengan uji t-student diperoleh hasil sangat nyata (ρ<0.025). Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan CPUE pada fase bulan baru dan purnama dengan fase bulan perbani.

Gambar 4. Rata-rata CPUE zona 1 dan 3 berdasarkan siklus bulan dari periode April 2012 sampai dengan Maret 2013 (keterangan: NM=bulan baru, Q=perbani dan FM=bulan penuh).

Rata-rata CPUE berdasarkan musim adalah 49.54 (±22.61) kg/perahu/hari di musim barat dan 57.92 (±15.94) kg/perahu/hari di musim timur. Berdasarkan hasil uji t-student untuk melihat perbedaan CPUE di musim barat dan timur diperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan CPUE pada musim barat dengan musim timur (ρ>0.05). 0 20 40 60 80 100 120 140 N M Q F M N M Q F M N M Q F M N M Q F M N M Q F M N M Q F M N M Q F M N M Q F M N M Q F M N M Q F M N M Q F M N M Q F M

Apr-12 Mei-12 Jun-12 Jul-12 Agt-12 Sep-12 Okt-12 Nop-12 Des-12 Jan-13 Feb-13 Mar-13

R at a- rat a C P U E ± sd (k g /p e rah u /h ar i)

14

CPUE Rajungan Zona 2

Rata-rata CPUE harian rajungan pinggiran atau zona 2 pada fase bulan baru, fase perbani dan bulan purnama masing-masing adalah 5.74 (±2.55) kg/perahu/hari, 4.86 (±2.21) kg/perahu/hari dan 6.30 (±2.61) kg/perahu/hari. CPUE rata-rata berdasarkan siklus bulan pada fase bulan purnama dan bulan baru selama periode 10 bulan (Juli 2012 sampai dengan April 2013) relatif paling tinggi dibandingkan pada fase perbani (Gambar 4). Sama halnya dengan CPUE zona 1 dan 3, pada bulan Agustus untuk fase bulan baru tidak diperoleh data CPUE. Pada fase tersebut, tidak ada nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan disebabkan libur lebaran (tanggal 15 sampai dengan 20 Agustus 2012). Rata-rata CPUE berdasarkan siklus bulan pada periode bulan Juli, November dan Desember cenderung menunjukkan rata-rata relatif tinggi dibandingkan periode bulan lain. Hasil perbandingan CPUE rata-rata fase bulan baru dan purnama dengan fase bulan perbani diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan CPUE fase bulan baru dan purnama dengan fase bulan perbani (ρ<0.025).

Gambar 5. Rata-rata CPUE zona 2 berdasarkan siklus bulan dari periode Juli 2012 sampai dengan April 2013 (keterangan: NM=bulan baru, Q=perbani dan FM=bulan penuh).

Hasil rata-rata CPUE di zona 2 adalah 4.44 (±2.53) kg/perahu/hari di musim timur dan 6.36 (±2.21) kg/perahu/hari di musim barat. Berdasarkan hasil uji t-student untuk melihat perbedaan CPUE di musim barat dan timur diperoleh hasil berbeda nyata (ρ<0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan CPUE di zona 2 pada musim barat dengan musim timur. Pada musim barat CPUE lebih besar dibandingkan musim timur.

0 20 40 60 80 100 120 140 N M Q F M N M Q F M N M Q F M N M Q F M N M Q F M N M Q F M N M Q F M N M Q F M N M Q F M N M Q F M

Jul-12 Agt-12 Sep-12 Okt-12 Nop-12 Des-12 Jan-13 Feb-13 Mar-13 Apr-13

R at a- rat a C P U E ± sd (k g /p e rah u /h ar i)

15 Pembahasan

Pada fase bulan baru dan purnama kondisi air laut mengalami pasang tertinggi (spring tide) sedangkan pada fase perbani terjadi pasang laut perbani (neap tide). Pasang perbani adalah peristiwa terjadinya pasang naik dan pasang surut terendah. Selain berpengaruh terhadap fluktuasi pasang surut air laut, siklus bulan mempengaruhi intensitas cahaya dan lama penyinaran sehingga berpengaruh terhadap aktivitas organisme perairan (Gliwicz 1986 dalam Hanson

et al. 2008; Nishida et.al 2006). Perubahan aktivitas dan tingkah laku tersebut mempengaruhi hasil tangkapan rajungan.

CPUE rajungan dengan alat tangkap bubu lipat yang dioperasikan di perairan zona 2 (<3 mil) dan di perairan zona 1 dan 3 atau tengahan (3 mil <) diperoleh hasil relatif sama. Pada fase bulan baru dan purnama diperoleh rata-rata CPUE relatif tinggi dibandingkan pada fase perbani. Hal ini dapat dijelaskan bahwa rajungan umumnya bersifat nokturnal, aktif pada malam hari terutama untuk mencari makan. Pada fase purnama, intensitas cahaya optimum mampu menembus dasar perairan. Cahaya yang masuk menembus perairan yang lebih dalam hingga dasar perairan pada perairan dangkal tentu akan memudahkan rajungan untuk mencari makan.

Bubu lipat yang dioperasikan di dasar perairan menggunakan umpan ikan mati, sehingga lebih mudah terlihat pada saat terjadi terjadi bulan purnama. Ikan adalah salah satu makanan yang disenangi oleh rajungan setelah krustase dan moluska (Josileen 2011a). Lebih lanjut Zainal (2013) menjelaskan bahwa rajungan bersifat omnivora cenderung menyukai hewan dan pemakan bangkai (scavenger). Oleh karena itu peluang rajungan untuk masuk ke bubu tinggi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pada fase purnama dan bulan baru terjadi pasang tertinggi diduga pada kondisi tersebut distribusi mangsa dan makanan di kolom perairan melimpah (Robinson dan Gomez-Aguierre 2004) sehingga banyak rajungan berenang menuju kolom perairan (vertical migratory). Setelah air pasang mulai surut rajungan kembali ke dasar perairan. Saat rajungan-rajungan kembali ke dasar perairan peluang untuk masuk ke bubu (dianggap sebagai tempat perlindungan) lebih besar sehingga rajungan banyak tertangkap.

Rajungan lebih menyukai perairan yang gelap untuk melakukan moulting. Sehingga pada bulan baru, rajungan yang moulting lebih banyak ditemukan (Hamsa 1978). Berdasarkan hal tersebut, dapat dijelaskan bahwa pada saat bulan baru rajungan diduga lebih banyak berada di dasar perairan untuk melakukan moulting. Umumnya dalam melakukan moulting, rajungan mencari tempat yang terlindung dari predatornya. Sehingga peluang masuknya rajungan ke dalam alat tangkap bubu cukup besar karena dianggap bahwa bubu lipat sebagai tempat perlindungan yang aman.

Rata-rata CPUE rajungan yang ditangkap di perairan zona 1dan 3 pada musim barat dan timur menunjukkan hasil yang relatif sama. Sedangkan rata-rata CPUE rajungan yang ditangkap di perairan zona 2 pada musim barat dan timur menunjukkan hasil yang relatif berbeda. Rata-rata CPUE musim barat relatif lebih tinggi dibandingkan musim timur. Kondisi tersebut disebabkan pengaruh cuaca yang kurang baik pada musim barat. Pada musim barat sering terjadi gelombang dan arus yang cukup kuat yang menyebabkan banyak rajungan yang terbawa ke muara dan estuari (zona 2).

16

Simpulan

1. Hasil tangkapan rajungan per satuan upaya (CPUE) dipengaruhi oleh siklus bulan. Pada fase bulan baru dan purnama CPUE zona penangkapan 1 dan 3 dan zona penangkapan 2 relatif lebih tinggi dibandingkan pada fase perbani. 2. CPUE di zona 1 dan 3 pada musim barat dan timur adalah relatif sama. 3. CPUE musim barat di zona 2 lebih tinggi dibandingkan musim timur.

17 4 REPRODUKSI RAJUNGAN

Pendahuluan

Reproduksi adalah suatu bagian dari siklus hidup suatu spesies. Kemampuan bereproduksi suatu spesies akan menentukan rekruitmen atau peremajaan pada suatu populasi. Hampir sebagian besar binatang laut bereproduksi dengan melepaskan dan menetaskan telur nya mejadi larva di laut terbuka. Larva-larva tersebut terapung sebagai plankton selama beberapa periode hari hingga beberapa bulan sebelum bermetamorfosis menjadi juwana (King 1995), termasuk rajungan.

Jantan dan betina rajungan mencapai kematangan kelamin pada lebar karapas antara 70 sampai 90 mm, ketika umurnya mendekati satu tahun. Jantan dan betina akan membentuk pre-korpula selama 8 sampai 10 hari sebelum ecdysis

betina. Setelah ecdysis betina, terjadi kopulasi selama 6 sampai dengan 8 jam ketika cangkang betina lunak (Meagher 1971 dalam Svane dan Hooper 2004).

Perkembangan gonad betina rajungan dipengaruhi oleh kondisi suhu perairan. Pada perairan sub tropis, reproduksi banyak terjadi ketika suhu perairan mendekati kondisi suhu perairan tropis (Svane dan Hooper 2004). Pada perairan tropis betina banyak ditemukan sedang mengerami telur sepanjang tahun (Kumar

et al. 2000 dalam Svane dan Hooper 2004). Kondisi lingkungan sangat berpengaruh dalam pematangan gonad. Meskipun demikian, pematangan gonad terjadi pada individu-individu yang telah mencapai umur atau ukuran tertentu sebelum mereka mampu untuk bereproduksi. Rata-rata ukuran pada reproduksi pertama atau ukuran rata-rata saat matang kelamin didefinisikan sebagai ukuran pada 50% dari semua individu betina yang telah matang kelamin (King 1995).

Jumlah telur atau fekunditas yang dihasilkan individu betina dalam pemijahan dapat menunjukkan kemampuan individu dalam menghasilkan keturunan. Fekunditas rajungan dapat diketahui dengan menghitung jumlah telur yang sedang dierami oleh betina (Kumar et al 2003). Rajungan betina dapat memijah lebih dari satu batch (kumpulan) telur dalam satu musim. Setelah terjadi pemijahan dari batch telur pertama, sekitar 8 sampai dengan 10 hari betina mengalami ovulasi dan fertilisasi pada batch kedua (Meagher, 1971). Pada percobaan terhadap betina yang sedang matang, beberapa terdapat telur dengan tingkat kematangan 2 dan 3 di dalam ovari, sementara di bagian luar sedang membawa kumpulan telur embrio (Kumar et al. 2003).

Informasi tentang reproduksi rajungan sangat diperlukan dalam pengkajian populasi rajungan terkait untuk pengelolaan. Hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan antara lain berkaitan dengan: musim, daerah penangkapan, penentuan ukuran minimal yang boleh ditangkap (minimum legal size) dan sebagai nya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji berbagai hal berkaitan reproduksi rajungan antara lain tentang nisbah kelamin berdasarkan musim, musim pemijahan, ukuran rata-rata pertama kali matang gonad (Lm) dan fekunditas rajungan.

18

Metode Penelitian

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Tempat Pendaratan Ikan Alasdowo, kecamatan Dukuhseti Kabupaten Pati. Penelitian dilakukan selama sembilan bulan, dimulai dari bulan Mei 2012, Juli 2012 sampai dengan Februari 2013.

Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah data biologi bersumber dari hasil sampling yang dilakukan setiap bulan selama sembilan bulan. Data biologi rajungan antara lain: lebar karapas, berat, jenis kelamin, tingkat kematangan gonad betina dan fekunditas. Penentuan tingkat kematangan gonad betina diidentifikasi secara morfologis, dengan mengamati warna, bentuk dan sebarannya (Gambar 6) dengan mengikuti yang telah dilakukan Sumpton et al. (1994). Tingkat kematangan gonad dikategorikan dalam lima tingkatan, yaitu sebagai berikut:

1. Belum terlihat tanda-tanda secara makroskopis dari gonad

2. Gonad immature (belum matang), putih atau tembus cahaya dengan diameter telur mencapai 0.14 mm

3. Gonad maturing, gonad berwarna kuning/oranye muda, tidak menyebar dalam area hati dengan diameter telur berukuran 0.15 sampai 0.21 mm.

4. Gonad mature, gonad berwarna oranye terang, tersebar hingga area hati dengan diameter telur berukuran 0.22 sampai 0.40 mm.

5. Ovigerous, secara eksternal betina mengerami telur-telur yang telah matang

19 Fekunditas rajungan diketahui dengan menghitung telur yang dierami oleh betina. Telur rajungan yang dihitung adalah yang masih berwarna kuning atau jingga.

Analisa Data

Penentuan perbedaan jumlah rajungan jantan dan betina untuk mengetahui perbandingan kelamin maka dilakukan pengujian dengan uji- chi square (X2) sebagai berikut :

= − = k i Ei Ei Oi X 1 2 2 ( ) Keterangan : X2 = chi square,

Oi = frekuensi rajungan yang diamati dan

Ei = frekuensi rajungan jantan dan betina yang diharapkan.

Nilai-nilai X2 yang diperoleh diperbandingkan dengan X2 tabel dengan selang kepercayaan 95%. Bila nilai X2hitung lebih dari X2tabel maka hasil keputusannya

adalah menolak hipotesis nol (jumlah jantan dan betina tidak sama atau 1 1).

Selanjutnya jika X2hitung kurang dari X2 tabel, maka keputusannya adalah terima

hipotesis nol (jumlah jantan dan betina mencapai kondisi yang seimbang 1:1).

Sebaran tingkat kematangan gonad setiap bulan dianalisa secara deskriptif ditampilkan dalam bentuk grafik. Kemudian untuk melihat perbedaan kondisi TKG pada musim barat dan timur dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan uji t-student.

Analisa penghitungan ukuran rata-rata matang telur (Lm) dihitung dengan pendekatan fungsi logistik. Fungsi logistik yang digunakan adalah dengan mengadopsi persamaan selektivitas untuk bubu atau trawl seperti yang dikenalkan oleh King (1995):

= 1

1 + ( + ) Keterangan:

PLm = proporsi rajungan dengan lebar karapas L yang telah matang telur dibagi jumlah rajungan dengan lebar karapas L yang telah matang dan belum matang,

a dan b = parameter kurva (a<0 dan b>0). Sehingga panjang pada 50% matang (L50) atau Lm adalah sama dengan -a/b.

Fekunditas jumlah total telur dalam satu gonad rajungan betina dihitung dengan formula sebagai berikut :

= × Keterangan :

N = jumlah keseluruhan telur n = jumlah telur sampel W = berat total gonad betina w = berat sampel gonad

20

Hasil Nisbah kelamin

Pengamatan nisbah kelamin dibedakan dalam dua musim, yaitu musim Barat dan musim Timur. Berdasarkan hasil uji chi-square (χ2) nisbah kelamin musim Barat menunjukkan hasil tidak berbeda nyata (χ2hitung < χ2 tabel(α=0.05)). Rata-

rata hasil uji chi-square (χ2) untuk nisbah kelamin bulanan adalah relatif sama. Sehingga dapat dikatakan nisbah kelamin jantan dan betina pada musim Barat berada dalam keadaan seimbang. Ada perbedaan nisbah kelamin jantan dan betina (χ2hitung < χ

2

tabel(α=0.05)) adalah pada bulan Oktober dan Desember. Pada bulan

Oktober jumlah jantan lebih sedikit dibandingkan betina. Sementara pada bulan Desember jumlah jantan lebih banyak dibandingkan betinanya (Tabel 2).

Berbeda dengan musim Timur, berdasarkan hasil uji chi-square (χ2) pengamatan nisbah kelamin total jantan dan betina diperoleh hasil tidak seimbang

(1 1). Perbandingan jumlah jantan lebih kecil dibandingkan jumlah betina 1:1.4.

Namun nisbah kelamin di bulan April, Mei dan Agustus relatif seimbang (Tabel 2).

Rata-rata hasil uji chi-square (χ2) untuk nisbah kelamin bulanan musim Timur adalah relatif tidak seimbang. Sehingga dapat dikatakan nisbah kelamin jantan dan betina pada musim Timur berada dalam keadaan tidak seimbang.

21 Tingkat Kematangan Gonad

Data pengamatan tingkat kematangan gonad (TKG) terkumpul dari bulan Mei 2012 sampai dengan Februari 2013 sebanyak 424 sampel rajungan betina. Hasil pengamatan ditampilkan pada Gambar 7. Persentase perkembangan gonad yang belum matang relatif kecil dibandingkan dengan yang sudah matang. Pada setiap pengamatan menunjukkan bahwa selalu terdapat rajungan dengan tingkat kematangan III dan IV atau matang yang tertangkap. Tingkat kematangan gonad III dan IV banyak ditemukan pada bulan Oktober dan November.

Rata-rata persentase TKG belum matang adalah 35.6% di musim timur dan 25.7% di musim barat. Hasil rata-rata persentase TKG yang sudah matang pada musim Timur dan Barat, masing-masing adalah 64.4% dan 74.3% (Tabel 3). Perbedaan TKG belum matang di musim Barat dan Timur diperoleh hasil cukup nyata (ρ<0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rata-rata TKG belum matang pada musim Barat dengan musim Timur. Rata-rata TKG belum matang pada musim Timur lebih banyak dibandingkan pada musim Barat. Perbedaan rata-rata TKG sudah matang pada musim Barat dengan musim Timur juga diperoleh hasil cukup nyata (ρ<0.05). Rata-rata TKG sudah matang pada musim Timur lebih sedikit dibandingkan pada musim Barat.

Tabel 3. Proporsi TKG belum matang dan matang pada musim timur dan barat

Gambar 7. Persentase Tingkat Kematangan gonad Rajungan Betina 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Mei-12 Jul-12 Agt-12 Sep-12 Okt-12 Nop-12 Des-12 Jan-13 Feb-13

% Bulan TKG I TKG II TKG III TKG IV

22

Ukuran Rata-rata Matang Gonad (Lm)

Ukuran rata-rata matang gonad pada rajungan betina (Lm) didefinisikan sebagai lebar karapas pada 50% dari semua individu betina yang telah matang kelamin (King 1995). Hasil analisis dengan model fungsi logistik diperoleh Lm 107 mm (Gambar 8). Nilai Lm tersebut lebih besar dibandingkan hasil perairan Teluk Bone sebesar 71.63 mm (Kembaren et al. 2012), perairan pantai Karnataka India sekitar 80 sampai dengan 90 mm (Sukumaran dan Neelakantan 1997a) dan perairan selatan Australia sebesar 58.5 mm ( Xiao dan Kumar 2004).

Gambar 8. Ukuran rata-rata pertama kali matang gonad (Lm) rajungan betina Fekunditas

Rajungan betina dengan lebar karapas berkisar antara 95.5 dan 124.4 mm memproduksi telur berkisar antara 3.5121 x 105 sampai 1.3470 x 106 butir dengan rata-rata 9.5720 x 105 butir. Beberapa hasil penelitian sebelumnya tentang fekunditas rajungan diperoleh: Kamrani et al (2010) berkisar antara 2.7742 x 105 sampai 1.1143 x 106 butir; Soundarapandian dan Tamizhazhagan (2009) berkisar antara 9.0000 x 105 sampai 1.0000 x 106 butir dan Kumar et al. (2000) diacu dalam Dixon dan Hooper (2010) berkisar antara 6.5000 x 105 sampai 1.7600 x 106 butir. Pada Gambar 9 ditunjukkan bahwa lebar karapas semakin bertambah maka fekunditas atau jumlah telur juga semakin banyak, dengan R2 = 0.74. Hasil penelitian lain tentang hubungan lebar karapas dengan banyaknya telur yang diproduksi di perairan pantai Bandar Abbas, Teluk Persia diperoleh persamaan y = 5678.4x – 18815 dengan R2 = 0.88 (Kamrani et al. 2010).

23

Gambar 9. Hubungan lebar karapas dengan fekunditas rajungan

Pembahasan

Pengamatan nisbah kelamin dibedakan dalam dua musim, yaitu musim Barat dan musim Timur. Nisbah kelamin rajungan jantan dan betina pada musim Barat berada dalam keadaan seimbang kecuali bulan Oktober dan Desember terdapat perbedaan nisbah kelamin. Nisbah kelamin pada musim Timur relatif tidak seimbang, kecenderungan betina lebih banyak dibanding jantan di bulan Juni, Juli dan September. Pada musim barat, jumlah jantan lebih sedikit dibandingkan betina di bulan Oktober. Sedangkan bulan Desember jumlah jantan lebih banyak dibandingkan betina. Nisbah kelamin dalam suatu populasi dipengaruhi oleh kondisi musim, migrasi dan perubahan cuaca (Smith dan Sumpton 1989 dalam Hosseini et al. 2012). Ketidakseimbangan nisbah kelamin rajungan disebabkan oleh adanya preferensi habitat yang berbeda antara rajungan jantan dan betina (Weng 1992). Selanjutnya Hill et al. (1989) menjelaskan bahwa betina dewasa lebih menyenangi habitat dengan salinitas tinggi dan perairan yang lebih dalam. Menurut Kamrani et al. (2010), variasi bulanan nisbah kelamin disebabkan oleh migrasi betina pada beberapa periode dalam setahun.

Pada bulan Desember diduga rajungan betina bermigrasi di luar area fishing ground. Rajungan betina melakukan migrasi ke perairan yang lebih dalam untuk melakukan pemijahan. Dijelaskan bahwa variasi nisbah kelamin disebabkan oleh migrasi rajungan betina yang telah matang gonad menuju ke daerah berpasir untuk menetaskan telur nya (Sumpton et al. 1994). Perubahan tingkah laku dalam mencari makan rajungan betina selama periode musim pemijahan dapat mengurangi tertangkapnya rajungan betina oleh bubu (Xiao dan Kumar 2004).

Pada setiap pengamatan menunjukkan bahwa selalu terdapat rajungan dengan tingkat kematangan III dan IV (matang) yang tertangkap. Hal ini menunjukkan bahwa rajungan di perairan Pati memijah sepanjang tahun. Hasil serupa juga diperoleh pada penelitian rajungan di perairan Bandar Abbas, Persia (Kamrani et al. 2010); Teluk Moreton, Australia (Sumpton et al. 1994) dan

y = 24940x - 2E+06 R² = 0,740 0 200000 400000 600000 800000 1000000 1200000 1400000 1600000 0 50 100 150 fe k u n d it as ( b u ti r) Lebar karapas (mm)

24

perairan Selatan Australia Kumar et al. (2000) diacu dalam Dixon dan Hooper

Dokumen terkait