• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN TEORETIS, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Kajian Teoretis 1. Hakikat Drama 1.Hakikat Drama

1) Strategi Pembelajaran Teks Drama a)Strategi Stratta

Strategi ini diciptakan oleh oleh Lesli StrattaI dan dapat diterapkan untuk drama dan prosa fiksi. Wardani (dalam Herman J. Waluyo, 2006: 186) menjelaskan bahwa di dalam Strategi Stratta ada tiga tahap pembelajaran, yaitu; (1) tahap penjelajahan, pada tahap ini di dalam

29

pengajaran drama, guru harus memberikan rangsangan untuk mempersiapkan siswa untuk membaca atau menonton suatu drama; (2) pada tahap interprestasi, hasil bacaaan atau tontotnan mereka (siswa) didiskusikan dengan pertanyaan-pertanyaan menggali oleh guru, mengenai kesan mereka, tokoh, latar, watak, dan lain-lain; (3) pada tahap rekreasi, guru melatih siswa membaca peran-peranya dan mencoba mementaskan kalau dapat. Kegiatan ini dapatr dilakukan dalam kelas tatap muka atau dan dilanjutkan di luar kelas sebagai tugas terstruktur.

b) Langkah-langkah Penyajian

Sebelum guru melaksanakan kegiatan pembelajaran drama di kelas harus melakukan persiapan terlebih dahulu. Persiapan tersebut antara lain persiapan memilih bahan yang cocok dalam mengajar dan persiapan guru sebelum membawa bahan tersebut di kelas, supaya dalam pelaksanaan mengajarnya dapat terlaksana dengan baik seperti melakukan penjajagan

terlebih dahulu terhadap bahan yang akan diajarkan dan siswa yang diajar,

interprestasi yang dimaksudkan untuk membandingkan pemahaman atau pendapat siswa mengenai drama dengan pendapat yang terdapat dari buku materi, rekreasi ini adalah tingkat pelaksanaan atau praktik bermain drama.

c) Strategi Induktif Model Taba

Strategi ini dikemukaan oleh Hilda Taba. Model pengajarannya bersifat induktif dan biasanya strategi ini cocok untuk bagi pembahasan sastra. Data-data sastra langsung diteliti oleh siswa, kemudian diadakan penyimpulan-penyimpulan. Hilda Taba mengembangkan model pengajaran yang berorientasi pada pengolahan orientasi. Adapun langkahg-langkahnya yaitu, (1) pembentukan konsep, meliputi mendaftar data, mengklasifikasikan, dan memberi nama, (2) penganalisasian data, meliputi menafsirkan, membandingkan, dan menyimpulkan, (3) penerapan prinsip, meliputi menganalisa, membuat hipotesis, menerangkan, dan memeriksa hipotesis.

d) Strategi Analisis

Strategi ini menitikberatkan pada proses analisis terhadap tema sebagai hasil akhir, setelah penokohan, plot, hubungan sebab akibat, dan sebagainya, yang kemudian disusul dengan pemahan hal atau unsur yang abstrak dari naskah drama. Strategi analisis di dalam kelas, menurut Wardhani (dalam Herman J. Waluyo, 2006: 193) menempuh tiga langkah, yaitu sebagai berikut.

(1) Membaca secara keseluruhan yang menimbulkan kesan pertama bagi siswa, dimana mungkin akan timbul kesan yang berbeda-beda. (2) Analisis, yang akan menimbulkan kesan yang lebih objektif.

(3) Memberikan pendapat akhir yang merupakan perpaduan antara respon yang sebjektif dari siswa dengan analisis yang objektif yang dilakukan.

e) Strategi Sinektik (Model Gordon)

Strategi ini dikombinasikan unsur-unsur yang berbeda dan nyata. Strategi tersebut dikembangkan oleh Gordon. Ada tiga langkah dalam metode sintetik ini, yaitu (1) analogi langsung (direct analogy), memerlukan penjajaran problem yang dihayati setelah membaca atau menonton drama secara pararel; (2) analogi personal merupakan hasil dari analogi langsung yang harus dicatat, dianalisis secara personal. Dalam hal ini siswa akan mengidentifikasi masalah yang dibahas. Siswa harus mencoba berpikir dan merasa, bagaimanakah seandainya dia itu penulis drama tersebut; (3) konflik kempaan merupakan hasil dari analisis personal yang akan mempertahankan dua sudut pandangan yang berbeda. Dengan konflik kempaan juga akan ditemukan pengertian atau wawasan baru.

f) Bermain Peran

Strategi pembelajaran teks drama dengan bermaian peran ini sebetulnya termasuk strategi yang sangat sederhana. Peran dapat diambil dari kehidupan sehari-hari. Sebagaimana dikutip Herman J. Waluyo (2002: 189), Shafel menyebutkan adanya sembilan langkah dalam role playing,

31

yaitu (1) memotivasi kelompok, (2) memilih peran (casting), (3) menyiapkan pengamat, (4) menyiapkan tahap-tahap peran, (5) pemeranan (pentas di depan kelas), (6) diskusi dan evaluasi I (spontanitas), (7) pemeranan (pentas ulang), (8) diskusi dan evaluasi (pemecahan masalah, dan (9) membagi pengalaman dan menarik generalisasi. Melalui strategi pembelajaran drama role playing dapat dicapai aspek perasaan, sikap, nilai, persepsi, keterampilan pemecahan masalah, dan pemahaman terhadap pokok permasalahan.

g) Simulasi

Dalam pembelajaran drama, strategi simulasi merupakan strategi yang digunakan untuk memberikan kemungkinan kepada siswa agar dapat menguasai suatu keterampilan melalui latihan dalam situasi tiruan. Prinsip-prinsip simulasi adalah: (1) harus ada tujuan kegiatan artinya keterampilan berbahasa apa yang harus dikuasai; (2) siswa dibagi dalam kelompok-kelompok dengan tugas melakukan simulasi (sama atau beda); (3) penentuan topik dan peran disesuaikan dengan kemampuan bahasa, tingkat sekolah, dan situasi; (4) di samping tujuan pokok, diarahkan tujuan lain baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik; (5) berikan petunjuk tentang peran, situasi, dan pembagian tugas-tugas (Herman J. Waluyo, 2002: 191). 2) Strategi Pembelajaran Drama Pentas

Dalam hal pementasan drama, guru dapat berperan sebagai sutradara, akan tetapi dapat sebagai pengaruh. Dalam hal ini guru dibantu oleh pekerja teater yang bertugas melatih aktor/aktris dan memimpin pementasan. Pementasan drama ini dalam pelaksanaanya dapat diselenggarakan di kelas sebagai bagian dari pengajaran bahasa dan dapat juga sebagai kegiatan ekstrakurikuler berteater.

a) Pementasan Drama di Kelas

Pementasan drama di kelas dalam kaitannya dengan pelajaran bahasa Indonesia aspek sastra, dapat berupa pementasan satu naskah drama oleh satu kelompok, atau dapat juga beberapa kelompok yang dibentuk dari sebagian atau seluruh siswa di kelas. Pada waktu pementasan setiap

kelompok mendapat giliran untuk berpentas, tentu saja dengan naskah drama yang berdurasi pendek. Hal ini dikarenakan dalam pengajaran drama di kelas, alokasi waktu di dalam kelas pun hanya sedikit. Setelah melakukan pementasan, sisa waktu yang tersedia digunakan untuk berdiskusi.

Pementasan drama di kelas ini hendaknya tidak dipentaskan di dalam kelas. Hal tersebut dikarenakan ruang kelas tidak sepenuhnya mendukung dalam sebuah pementasan. Aula merupakan salah satu tempat yang ideal untuk melaksanakan sebuah pementasan. Dengan alasan, aula sendiri sudah dirancang untuk sebuah pertunjukan, apabila pementasan dilakukan di dalam ruang kelas tentu akan menggangu kelas yang berada di sekitar kelas tersebut.

b) Pementasan Drama oleh Teater Sekolah

Herman J. Waluyo (2006: 200) berpendapat bahwa pementasan drama yang dipentaskan oleh teater sekolah sebaiknya naskah yang digunakan berdurasi antara 90 menit sampai 120 menit. Hal tersebut merupakan waktu yang ideal dalam sebuah pementasan teater. Pemilihan naskah yang digunakan dalam pementasan sekolah hendaknya dipilih naskah-naskah yang komunikatif, mudah dipahami, mempunyai konflik kuat, dan atraktif. Apabila naskah yang dibawakan membosankan dan terlalu lama, maka penonton pun akan lebih cepat untuk meninggalkan atau bahkan membuat kegaduhan sendiri. Hal tersebut akan merusak jalannya sebuah pementasan drama. Sebaiknya, apabila pementasan drama yang disajikan terlalu lucu maka efek yang ditimbulkan pun akan kurang baik.

Strategi ini akan mudah terlaksana apabila terdapat ekstrakurikuler teater di sekolah. Akan tetapi, setiap sekolah belum tentu mempunyai ekstrakurikuler teater. Keadaan yang seperti ini yang menjadi kendala dalam menggunakan strategi pembelajaran drama pentas. Semua kembali lagi pada kemampuan pengajar untuk mengatai hal-hal seperti ini dan tidak menjadikan hambatan dalam pembelajaran apresiasi drama terhadap siswa.

33

c) Teknik Pembinaan Apresiasi Drama

Pembinaan yang dimaksudkan yaitu membina hal yang sudah terlaksana supaya lebih baik dan dapat juga berarti membuat yang belum ada, menyelenggarakan pembinaan. Sulitnya naskah drama dan belum tentu guru bahasa Indonesia mempunyai kemampuan menyutradarai drama, yang menjadikan pembelajaran drama kurang memuaskan.

Tanpa pembacaan naskah sendiri oleh siswa dan menonton pertunjukan drama sendiri, maka pembinaan sulit dilaksanakan. Pembinaan dapat dilakukan berupa (1) pembinaan dan pengembangan apresiasi drama. Dalam pembinaan ini guru dan siswa harus dilengkapi dengan bahan yang serasi untuk kelompok-kelompok yang diajarkan dan menguasai teknik mengajarkan drama dengan baik, serta dapat menyesuaikan teknik dan bahan jika diperlukan. Dengan buku-buku atau naskah-naskah drama yang cukup diberikan oleh guru yang mencintai drama diharapkan apresiasi siswa akan berangsur-angsur dapat berkembang; (2) aktivitas kelas dan kelompok, guru harus sering-sering membacakan drama dengan nyaring untuk memberi contoh dan sekaligus memperjelas watak pelaku. Pemutaran recorder atau video juga sangat bermanfaat sebagai sarana dalam memberi contoh drama yang baik.

d) Catatan Tambahan tentang Pemilihan Materi

Pemilihan bahan naskah drama untuk diajarkan harus memenuhi kriteria sebgai berikut.

(1) Sesuai dan menarik bagi tingkat kematangan para siswa.

(2) Tingkat kesulitan bahasanya sesuai tingkat kemapuan bahasa siswa yang akan menggunkannya. Apabila bahasanya terlalu sulit, maka apresiasi tidak mungkin baik.

(3) Bahasanya sedapat mungkin digunakan bahasa yang standar, kecuali kalau cerita memang memasalahkan penggunaan dialek. Penggunaan dialek sedikit mungkin tidaklah begitu jelek, tetapi jika dapat dihindarkan sebaik mungkin dihindari saja.

(5) Naskah hendaknya mempunyai ciri, yaitu adanya masalah yang jelas, tema atau tujuan yang jelas, perwatakan peranan, adanya penggunaan kejutan yang tepat, bertolak dari gagasan murni penulis, dan menggunkan bahasa yang baik.

e. Hakikat Pembelajaran Apresiasi Drama

Drama merupakan salah satu bagian dari karya sastra. Oleh karena itu, dalam mempelajari drama kita tidak dapat sepenuhnya lepas dari pembelajaran sastra secara umum, sehingga sebelum mempelajari mengenai pembelajaran apresiasi drama, ada baiknya apabila kita mempelajari terlebih dahulu mengenai pembelajaran apresiasi sastra.

Sastra adalah seni. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengajaran sastra adalah suatu kegiatan pembelajaran yang memacu siswa menemukan nilai-nilai yang teradapat dalam karya sastra yang bersangkutan. Untuk itu, siswa harus diarahkan dengan cara-cara yang tepat agar mampu memahami apa yang terkandung dalam karya sastra itu sendiri.

Pembelajaran apresiasi sastra Indonesia ialah memperkenalkan kepada siswa nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra dan mengajak siswa ikut menghayati pengalaman-pengalaman yang disajikan. Pembelajaran apresiasi sastra Indonesia bertujuan mengembangkan kepada siswa terhadap nilai-nilai indrawi, nilai akali, nilai afektif, nilai keagamaan, dan nilai sosial, secara sendiri-sendiri, atau gabungan keseluruhan, seperti tercemin di dalam karya sastra. Pada hakikatnya pengajaran sastra adalah menciptakan secara bersama dalam kelas.

“Creative drama in education increases durability of the knowledge that theindividuals experience in a learning environment where they can express themselves freely. Therefore, creative drama needs to be compulsory a part of all teacher education programs in each department of faculty of education aiming to prepare future classroom teachers for all grade levels. Also, the findings of this research suggest that creative drama should be an indispensable part of education and its use should be promoted in in-service teacher training programs and there needs to be efforts to make creative drama continually usable at schools.” (Ozdemir dan Cakmak, 2008: 27)

Drama kreatif di dalam pendidikan dapat meningkatkan pengetahuan bagi tiap individu yang mengikuti suatu pelajaran tersebut dan dapat mengekspresikan diri

35

dengan bebas. Oleh karena itu, drama kreatif perlu dalam dari semua program jenjang pendidikan dan semua tingkatan kelas. Drama kreatif sangat dibutuhkan bagian dari pendidikan dan penggunaannya harus dikembangkan bagi guru sehingga membuat drama kreatif yang secara terus menerus dapat dipakai di sekolah.

Pembelajaran apresiasi drama merupakan bagian dari pembelajaran apresiasi sastra. Moody (dalam B. Rahmanto, 1998: 16-25) mengungkapkan bahwa pembelajaran apresiasi sastra dapat membantu pendidikan scara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu:

1) Membantu keterampilan berbahasa

Dengan pengajaran apresiasi sastra, siswa dapat melatih keterampilan menyimak dengan mendengarkan suatu karya sastra yang dibacakan oleh guru, teman, atau pita rekaman. Siswa dapat melatih keterampilan berbicara dengan ikut berperan dalam suatu drama. Siswa dapat juga meningkatkan keterampilan membaca dengan membacakan puisi atau prosa cerita. Siswa dapat mendiskusikannya dan kemudian menuliskan hasilnya sebagai latihan keterampilan menulis.

2) Meningkatkan pengetahuan budaya

Setiap sistem pendidikan kiranya perlu disertai usaha untuk menanamkan wawasan pemahaman budaya bagi setiap anak didik. Salah satu tugas yang utama pengajaran adalah memperkenalkan anak didik dengan sederetan kemajuan yang dicapai manusia di seluruh dunia tanpa merusak kebanggaan atas kebudayaan yang mereka miliki sendiri. Begitu pula dengan pengajaran apresiasi sastra, jika dilaksanakan dengan bijaksana, dapat mengantar anak didik berkenalan dengan pribadi-pribadi dan pemikir-pemikir besar dunia serta pemikiran-pemikiran utama dari zaman ke zaman.

3) Mengembangkan cipta dan rasa

Dalam pengajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan yang bersifat indra, penalaran, efektif, sosial, dan religius. Pengajaran sastra dapat digunakan untuk memperluas pengungkapan apa yang diterima oleh panca indra seperti penglihatan, pendengaran, pengecapan, dan

peraba. Dengan tafsiran serta makna kata-kata yang diungkapkan pengarang melalui karya-karyanya, anak didik akan diantar untuk mengenali berbagai pengertian dan mampu membedakan satu hal dengan yang lain, misalnya kuning dengan keemasan, bising dengan menggemparkan, harum dengan busuk, serta masih banyak lagi.

4) Menunjang pembentukan watak

Dalam nilai pengajaran sastra ada dua tuntutan yang dapat diungkapkan sehubungan dengan watak ini. Pertama, pengajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih tajam. Seseorang yang telah banyak mendalami berbagai karya sastra biasanya mempunyai perasaan yang lebih peka untuk menunjuk hal mana yang bernilai dan mana yang tak bernilai. Tuntutan kedua, bahwa pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian siswa yang antara lain meliputi ketekunan, kepandaian, pengimajian, dan penciptaan.

Herman J. Waluyo (2006: 165) menyatakan pembelajaran drama sebagai penunjang pemahaman bahasa berarti untuk melatih keterampilan membaca (teks drama) dan menyimak atau mendengarkan (dialog dalam drama, mendengarkan. drama radio, televisi, dan sebagainya. Sementara sebagai penunjang latihan penggunaan bahasa dengan maksud yaitu melatih keterampilan menulis (teks drama, resensi drama, dan sebagainya) dan wicara (dialog-dialog dalam pementasan drama).

Pembelajaran drama di sekolah dapat ditafsirkan menjadi dua macam, yaitu pembelajaran teori dan pembelajaran apresiasi drama. Pembelajaran teori mempelajari mengenai teori pembuatan dan pembacaan teks drama serta teori tentang pementasan drama. Sedangkan dalam pembelajaran apresiasi drama mempelajari mengenai apresiasi terhadap naskah dan apresiasi pementasan drama (Herman J. Waluyo, 2002: 161). Dalam pembelajaran teori menitikberatkan pada kemampuan kognitif siswa yang mengutamakan masalah pengetahuan yang sifatnya teoretis. Sedangkan dalam pembelajaran apresiasi menitikberatkan pada kemampuan afektif siswa yang mengutamakan kegiatan apresiasi. Namun, apabila siswa sudah mulai belajar untuk mementaskan, maka pengajaran drama mulai

37

memasuki kawasan kemampuan psikomotorik, meskipun sebenarnya dalam pengajaran drama di sekolah tidak dapat sepenuhnya lepas dari kemampuan kognitif, sebab bagaimanapun siswa pasti diminta untuk dapat menguasai beberapa materi yang bersifat teori.

Tujuan pembelajaran apresiasi drama untuk SMA menurut Herman J. Waluyo (2002: 89) ádalah supaya siswa mampu membaca drama, dan gemar membaca drama. Pokok-pokok bahasan pembelajaran drama meliputi: (1) membaca teks drama dengan lancar dan penuh pemahaman; (2) membaca drama untuk menambah pengetahuan; (3) membaca drama untuk menikmati nilai-nilai yang terkandung di dalamnya; (4) membaca sastra (drama) terjemahan untuk menambah pengetahuan dan mengetahui nilai-nilai adat istiadat dalam masyarakat.

Pembelajaran apresiasi drama harus ditekankan pada aspek apresiasi reseptis dan aspek apresiasi ekspresif. Aspek apresiasi reseptif ini antara lain melalui kegiatan siswa dala mendengarkan dan menonton drama, membaca dan menganalisis berbagai teks drama. Sementara itu aspek apresiasi ekspresif dapat diwujudkan melalui kegiatan siswa dalam mengungkapakan pikiran, pendapat, gagasan, dan perasan dan bentuk lisan meupun tulis tentang drama, seperti membuat teks drama, yang sederhana, menyusun resensi teks drama, dan bermain drama.

“Student engaged in drama play in this manner become active in colallaboration, dialogue and solution development because they are actively constructing their projects. The play take on the life of the the students and classroom. Moreover, the studens take owner shipof the projects. This dynamic sets the stage for the resulting learnig to likewise be their own. Much like ancient fables, the final drama play solution may be small, or short, but for the student (and teachers) it has profound meaning and depth.”(Karekes dan King, 2010: 4)

Para siswa terlibat dalam permain drama, dengan cara ini menjadikan kegiatan lebih aktif dalam bentuk kerja sama/kolaborasi, dialog dan pemecahan solusi sebab dengan pelaksanaan yang aktip dapat membangun proyek mereka. Dengan permainan siswa dapat saling menerima gagasan di dalam kelas. Lebih dari itu, siswa mempunyai andil dalam pelaksanaannya. Kegiatan yang dinamis

ini menghasilkan pembelajaran yang baik bagi mereka sendiri. Penggunaan dongeng masa lampau, solusi permainan drama yang pendek/singkat mempunyai maksud dan bermakna bagi siswa (dan para guru).

Dalam pembelajaran drama di sekolah, pembelajaran apresiasi drama juga harus menitikberatkan pada apresiasi siswa yaitu kegiatan atau aktivitas siswa dalam pembelajaran drama di sekolah. Apresiasi siswa itu mencakup tiga hal, yakni kreasi, resepsi, dan kreasi siswa terjadap drama. Adapun kegiatan siswa yang berupa kreasi yaitu kegiatan siswa ketika menulis naskah drama secara individu atau kelompok yang berupa resepsi yaitu kegiatan siswa ketika membaca dan menghafalkan naskah drama yang telah dibuat, sedangkan yang beupa ekspresi yaitu ketika siswa mementaskan drama berdasarkan naskah drama tersebut.

f. Evaluasi Pembelajaran Drama

Evaluasi atau penilaian drama dilaksanakan pada akhir proses pembelajaran. Evaluasi merupakan faktor yang sangat penting dalam mengetahui apakah siswa benar-benar telah memahami bahan yang telah diajarkan guru atau belum. Berbagai jenis penilaian yang dapat diguanakan menurut Sumarna (2004: 18) antara lain: tes tertulis, tes perbuatan, pemberian tugas, penilaian produk, penilaian sikap, dan penilaian portofolio. Dalam penilaian berbasis kelas, jenis penilaian yang harus dibuat oleh guru meliputi, penilaian kinerja, penilaian sikap, penilaian proyek, penilaian produk, penialain portofolio, dan penilaian diri (Sarwiji Suwandi 2009: 72-109). Semua jenis tes di atas harus dilaksanakan oleh guru agar guru dapat melaksanakan evaluasi pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan dalam KTSP.

Penilaian dalam KBK dan KTSP menganut prinsip penilaan berkelanjutan dan komprehensif guna mendukung upaya memandirikan siswa untuk belajar, bekerja sama, dan menilai diri sendiri. Karena itu, penilaian dilaksanakan dalam kerangka penilaian berbasis kelas (selanjutnya disebut PBK). Dikatakan PBK karena kegiatan penilaian dilaksanakan secara terpadu dalam kegiatan pembelajaran. PBK merupakan suatu kegiatan pengumpulan informasi tentang proses dan hasil belajar siswa yang dilakukan oleh guru yang

39

bersangkutan sehingga penilaian tersebut akan mengukur apa yang hendak diukur dari siswa. Salah satu prinsip penilaian berbasis kelas ialah penilaian dilakukan oleh guru dan siswa. Dalam praktiknya, PBK harus memperhatikan tiga ranah, yaitu ranah pengetahuan (kognitif), ranah sikap (afektif), dan ranah keterampilan (psikomotor). Ketiga ranah tersebut dinilai secara proporsional sesuai dengan sifat mata pelajaran atau materi pembelajaran yang akan dikenakan pada siswa (Masnur Muslich, 2007: 91).

Evalusi pembelajaran drama dapat dilakukan dalam dua jenis, yaitu evaluasi pemahaman naskah drama yang lebih bersifat kognitif, dan evaluasi terhadap pementasan drama yang lebih bersifat afektif dan psikomotorik. Evaluasi pembelajaran drama ini harus direncanakan dengan baik agara dapat mengevaluasi secara tepat kompetensi yang harus dikuasai siswa. Ketiga aspek dapat dinilai dengan penilaian sebagai berikut:

1) Penilaian dengan Tes

Tes merupakan suatu bentuk pemberian tugas atau pertanyaan yang harus dikerjakan oleh siswa yang sedang dites. Jawaban yang diberikan siswa terhadap pertanyaan-pertanyaan itu dianggap sebagai informasi terpercaya yang mencerminkan kemampuannya. Informasi tersebut dinyatakan sebagai masukan yang penting untuk mempertimbangkan siswa (Sarwiji Suwandi, 2009: 39).

Sarwiji Suwandi (2009: 44) memaparkan pada umunya tes dipergunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan dalam pembelajaran. Tingkat keberhasilan siswa dimaksudkan juga tingkat kemampuan siswa yang diperoleh setelah mengikuti kegiatan pembelajaran tersebut.

Bentuk tes dapat berupa tes esai dan tes objektif. Tes esai adalah suatu bentuk pertanyaan yang menuntut jawaban siswa dalam bentuk uraian dengan menggunakan bahasa sendiri. Tes ini menuntut siswa untuk berpikir tentang dan mempergunakan apa yang diketahui yang berkenaan dengan pertanyaan yang harus dijawab. Tes bentuk esai memberikan kebebasan kepada siswa untuk menyusun dan mengemukakan jawaban

sendiri dalam lingkup yang secara relatif dibatasi. Oleh karena itu, tes esai disebut sebagai tes subjektif. Tes subjektif memungkinkan siswa menunjukan kemampuannya dalam menerapkan pengetahuan, menganalisis, menghubungkan, dan mengevaluasi informasi baru yang dihadapkan kepadanya. Alat ini dapat menilai berbagai jenis kompetensi, misalnya mengemukakan pendapat, berpikir logis, dan menyimpulkan.

Sedangkan tes objektif yaitu disebut juga sebagai tes jawaban singkat (short answer test). Jawaban terhadap tes objektif bersifat pasti, hanya ada satu kemungkinan jawaban yang benar. Jenis tes objektif yang banyak dipergunakan orang ádalah tes jawaban benar-salah (trae-false), pilihan ganda (multipli choice), isian (complection), dan penjodohan (maching). Jenis objektif yang telas disebutkan tadi merupakan alat yang hanya menilai kemampuan berpikir rendah, yaitu kemampuan mengingat (Sarwiji Suwandi, 2009: 47-49).

Cara menghitung untuk mendapatkan nilai dengan tes, yaitu sebagai berikut.

banyak jawaban benar Nilai = x 100

banyak soal

2) Penilaian Sikap

Sarwiji Suwandi (2009, 80-81) memaparakan bahwa sikap bermula dari perasaan yang terkait dengan kecenderungan seseorang dalam merespon sesuatu atau objek. Sikap juga suatu ekspresi dari nilai-nilai atau pandangan hidup yang dimiliki oleh seseorang. Secara umum, objek sikap yang perlu dinilai dalam proses pembelajaran adalah sebagai berikut.

a) Sikap terhadap materi pelajaran. b) Sikap terhadap guru atau pengajar. c) Sikap terhadap proses pembelajaran.

d) Sikap berkaitan dengan nilai atau norma yang berhubungan dengan

Dokumen terkait